Waluya terdiam, hatinya bergejolak. Tawaran itu menggoda, tetapi ada sesuatu dalam cara Sean berbicara yang membuatnya ragu. Di balik kepedulian yang ditunjukkan menantunya, dia merasa ada harapan tersembunyi agar dia berpihak pada Sean, bukan pada Lila.Waluya menghela napas panjang, seolah menimbang setiap kata yang baru saja diucapkan oleh Sean. Matanya yang lelah menatap menantunya dengan pandangan yang sendu, seolah sudah lama memikirkan hal ini. Tawaran yang diberikan Sean mungkin terdengar mulia bagi sebagian orang, namun bagi Waluya, itu adalah sebuah jebakan.“Sean,” ucap Waluya pelan namun tegas, “saya menghargai tawaranmu. Saya tahu kamu punya niat baik untuk membantu, tapi bukan itu yang saya cari saat ini. Yang saya inginkan hanyalah satu, kebahagiaan anak saya.”Sean menatap Waluya dengan ekspresi yang sulit dibaca, sedikit cemas. Dia berharap tawarannya akan melunakkan hati ayah mertuanya, membuatnya berpihak pada dirinya dalam pernikahan ini. Tapi respons Waluya yang t
Sean mengemudi dengan tangan yang mengepal erat di setir, wajahnya tegang dan penuh amarah. Jalanan di depannya tampak kabur oleh kemarahan yang berkecamuk di pikirannya. Setiap detik yang berlalu hanya menambah bara kemarahan dalam hatinya. Dia tidak percaya bahwa ibunya, Sekar, telah berbicara kepada Miranda tentang masalah yang menimpa pernikahannya dengan Lila.“Apa yang dia pikirkan?" gumam Sean dengan suara keras, kemarahan meletup di setiap kata. Miranda tidak seharusnya tahu tentang ini. Masalah pernikahannya sudah cukup rumit tanpa ada orang lain yang ikut campur.Roda mobil melaju cepat menyusuri jalan, dan beberapa kali Sean nyaris melewati batas kecepatan. Ketika akhirnya tiba di depan rumah besar ibunya, dia menginjak rem dengan keras, mobil berhenti mendadak di depan gerbang.Tanpa berpikir panjang, Sean keluar dari mobil dan menghampiri pintu rumah Sekar. Pikirannya masih dipenuhi oleh rasa marah dan kecewa. Dia menggedor pintu dengan keras.Tidak butuh waktu lama bagi
Lila masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit, meskipun fisiknya perlahan pulih, perasaannya tetap hampa. Matanya menatap kosong ke arah jendela, tak banyak yang bisa ia lakukan selain menunggu. Di sampingnya, Inayah sibuk merapikan barang-barangnya. Hari ini, Inayah dan Waluya harus pulang. Waluya harus mempersiapkan diri untuk cuci darah rutin yang tak bisa ditunda.Inayah menghampiri Lila, duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan putrinya yang dingin. “Nak, kami harus pulang. Bapakmu harus siap-siap cuci darah. Tapi sebelum kami pulang, ada yang ingin Ibu bicarakan.”Lila hanya mengangguk lemah, matanya tetap terfokus pada jendela, seolah mencoba menghindari percakapan itu. Inayah menarik napas dalam, mencoba memilih dan memilah kata-kata yang tepat.“Ibu tahu, Sean bukan laki-laki yang sempurna, tapi ... Ibu yakin dia juga tidak sepenuhnya jahat,” ucap Inayah sambil mengusap lembut punggung tangan putrinya. “Luka-lukamu sudah mulai sembuh, Lila. Mungkin sekarang saatnya untuk
Selama beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, Lila selalu didampingi seorang perempuan yang menjadi perwakilan dari sebuah LSM yang peduli pada kasus-kasus kekerasan pada anak dan perempuan. Hubungan mereka terlihat mulai akrab hingga sering terlibat dalam pembicaraan."Di mata banyak orang, kamu itu perempuan yang beruntung. Punya suami seperti Sean, tampan, kaya, dan sukses. Banyak perempuan di luar sana yang pasti iri padamu."Lila menoleh perlahan, menatap perempuan itu dengan ekspresi datar. Ada ironi dalam kata-kata yang baru saja diucapkan. "Ya, seharusnya begitu, kan?" jawab Lila dengan nada datar dan terdengar hambar.Perempuan dari LSM itu tersenyum canggung, tidak mengira respons Lila akan sedatar itu. "Iya, maksudku, dengan suami seperti dia, kamu seharusnya bisa bahagia. Hidupmu pasti terjamin, nggak perlu khawatir tentang uang atau hal-hal lain."Lila menarik napas dalam, menunduk sejenak sebelum menjawab. "Ya, seharusnya menikah dengan orang kaya itu bisa mem
Miranda adalah perempuan yang sebenarnya Sean cintai. Mereka pernah memiliki hubungan yang begitu dalam sebelum pernikahan dengan Lila terjadi. Sean mengakui jika sampai saat ini hatinya masih tertambat pada Miranda.Namun, dia tidak ingin Miranda mengalami penderitaan yang sama seperti yang dialami Lila. Jika Sean menikahi Miranda, Sekar akan langsung menekan mereka untuk segera memiliki anak sebagai penerus keluarga Wismoyojati, dan Miranda akan terjebak dalam lingkaran tekanan dan derita yang sama.Posisi ini membuat Sean semakin terjebak dalam dilema yang tak berujung. Menyetujui perceraian dengna Lila akan membawa masalah baru, tapi mempertahankan pernikahan mereka tentu juga tidak adil bagi Lila.Sean menarik napas panjang. "Akhirnya kau menang, Lila," gumam Sean dengan perasaan getir menjalar di dadanya.Sean meraih ponselnya dan menelusuri kontak. Jarinya berhenti pada nama Ari Nugraha, pengacara keluarganya. Dengan hati yang mantap, dia menekan tombol panggil. Ketika panggila
"Sean sudah setuju untuk bercerai."Lila menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis. Entah bahagia atau sedih saat Lila mendengar kabar tersebut dari perempuan yang mendampinginya selama berada di rumah sakit. Ini adalah sesuatu yang sudah menjadi keinginan dan harapannya, tetapi saat semua itu sudah hampir terwujud rasanya ada yang hilang.“Tapi dia ingin bertemu denganmu sebelum kalian memasuki persidangan. Katanya ada sesuatu yang harus kalian bicarakan.”Lila terdiam dengan tatap mata yang sulit diartikan. Ada rasa takut yang tiba-tiba menghampirinya.“Kalau kau tidak mau aku akan mengatakan kepada pengacaramu agar disampaikan kepada Sean,” ucap perempuan itu sambil mengusap lembut punggung tangan Lila, seolah memahami ketakutan yang Lila rasakan.“Aku akan bicara dengannya,” sahut Lila pelan.Bagi Lila ini bukan hanya hanya tentang perceraian, melainkan meyakinkan dirinya sendiri. Dia merasa harus bertemu dengan Sean untuk meyakinkan dirinya jika dia akan baik-baik saja setelah
Suasana di ruang sidang terasa hening, seolah waktu melambat. Lila duduk di bangku depan, ditemani oleh pengacaranya. Dia merasa tenang, lebih tenang dari yang dia bayangkan sebelumnya. Di sampingnya, Sean duduk dengan raut wajah yang sulit ditebak. Keduanya telah sepakat untuk mengakhiri pernikahan ini dengan damai.Hakim membaca keputusan dengan suara yang lantang, memutuskan secara resmi bahwa ikatan pernikahan antara Lila dan Sean telah berakhir. Tidak ada drama, tidak ada air mata. Sidang perceraian berjalan lancar, seperti yang sudah mereka harapkan. Meskipun begitu, dalam hati Lila masih ada sedikit perasaan ganjil, seperti membuka lembaran baru dengan luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.Setelah sidang berakhir, Lila berdiri dan berjalan keluar ruang sidang. Sean menyusul di belakangnya. Ketika mereka sudah di luar, di tengah koridor yang sepi, Sean menghampirinya. Mereka berhenti sejenak, saling menatap. Ungkin ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka.Sean mengulurkan t
Selama proses perceraiannya dengan Sean, Lila menempati apartemen yang sudah disiapkan oleh Sekar. Dan setelah ketuk palu langsung Lila kembalikan. Kini Lila tidak memiliki tempat tinggal dan tujuannya adalah rumah kedua orang tuanyanya.Lila sadar jika Inayah tidak pernah setuju dengan keputusannya tersebut, sehingga saat Lila memutuskan untuk tetap bercerai dengan Sean, sang ibu langsung mendiamkannya. Bahkan sampai beberapa hari Lila berada di rumah sang ibu belum mau berbicara dengannya.Lila berdiri di ambang pintu ruang tamu, menatap punggung ibunya yang duduk di sofa, punggung yang kaku dan tidak menyambut. Udara di ruangan itu begitu tegang, seperti menunggu pecahnya ombak badai."Bu ..." suara Lila terdengar parau dan ragu-ragu, hampir berbisik.Ada harapan kecil dalam hatinya bahwa mungkin, meski hanya sedikit, ibunya akan melembut dan memahami alasannya. Bahwa mungkin sang ibu akan membuka pelukan dan memberikan kenyamanan yang selama ini ia rindukan. Namun, Lila langsung t
Sean memandang tangga dengan napas tertahan, perutnya seakan diikat rasa cemas. Lila, dengan perut besarnya, telah berlari menaikinya tanpa memperhatikan kondisi tubuhnya.Sean tahu jika dia harus segera menyusul untuk menyelesaikan masalah. Tetapi ada rasa takut, jika saat dia mengejar Lila menjadi panik dan terpeleset. Akhirnya Sean memutuskan tetap memperhatikan setiap langkah Lila sambil berdoa untuk keselamatan anak dan istrinya.Setelah beberapa saat, ketika rumah kembali sunyi dan yakin Lila sudah masuk ke kamar, Sean akhirnya melangkah naik. Tangannya gemetar saat menyentuh kenop pintu kamar mereka yang terkunci. Ia mengetuk perlahan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski hatinya sedang kacau.“Lila,” panggil Sean pelan. “Boleh aku masuk? Kita harus bicara.”Tidak ada jawaban dari dalam kamar, hanya keheningan yang terasa menyesakkan. Sean mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. “Lila, aku tahu aku salah. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Tolong buka pintunya.”
Lila masih terpaku di posisinya, air mata mengalir tanpa bisa dia kontrol. Rasanya, seluruh tubuhnya lumpuh, tidak sanggup melangkah pergi dari kenyataan yang baru saja dia temukan.Suara gemericik air di kamar mandi berhenti. Lalu, pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan Sean yang melangkah keluar sambil mengeringkan tangannya.“Lila?” Suara Sean terdengar terkejut.Sean berhenti di ambang pintu, melihat istrinya berdiri kaku di depan meja kerjanya, dengan mata sembab dan pipi basah. Pandangan Sean beralih ke laptopnya yang masih terbuka, lalu kembali ke wajah Lila. Wajah Sean seketika berubah tegang, menyadari telah melakukan sebuah keteledoran.“Kenapa kamu di sini?” tanya Sean dengan suara yang terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang bercampur dengan kegugupan.Lila mendongak perlahan, matanya yang memerah menatap Sean dengan luka yang begitu nyata. “Apa maksud semua ini, Sean?” tanya Lila dengan suara parau, tangannya menunjuk layar laptop yang masih menyala.Sean tidak me
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Nadya. Selama Sean memperlakukan dirinya dengan baik, Lila harus bersyukur dan menikmati segala yang dia miliki saat ini. Dia harus fokus pada kehamilan dan proses persalinan yang semakin dekat.Perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Sean akhir-akhir ini, membuat Lila merasa jika hubungannya dengan sang suami semakin membaik. Tak ayal hal tersebut membuat Lila merasa bahagia menantikan kelahiran putra pertamanya.Saat Lila sedang merapikan tempat tidurnya, dia dikejutkan oleh tangan kekar yang melingkar di perutnya. Tetapi keterkejutan itu berganti senyum, saat Lila mengenali aroma parfum yang akhir-akhir ini terasa begitu menenangkan baginya. Dan senyum itu semakin lebar, saat Lila menoleh ke belakang dan memastikan jika sang suami adalah pelakunya.“Sudah pulang?” tanyanya lembut.Sean tidak menjawab pertanyaan Lila, dia segera membalikkan tubuh Lila hingga membuat mereka dalam posisi yang saling berhadapan. Sean melabuhkan kecupan hangat di pucu
Di ruang kerja yang sunyi, Sean duduk di depan laptopnya. Video lama yang pernah diunggah Lila sedang diputar, menampilkan istrinya dengan ekspresi tenang namun penuh keyakinan. Suaranya yang lembut namun tegas mengisi ruangan, menjelaskan isu ekonomi yang rumit dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami.“Kita tidak bisa menghindari deflasi, tetapi kita bisa belajar untuk menghadapinya,” ujar Lila di video. “Bagi keluarga dari kalangan menengah, penting untuk memahami bagaimana prioritas keuangan harus disesuaikan. Fokus pada kebutuhan primer, kurangi pengeluaran yang tidak perlu, dan jika memungkinkan, cobalah mencari sumber penghasilan tambahan.”Sean menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari layar. Kata demi yang terlontar dari mulut Lila terasa begitu mengalir seperti angin segar, membangkitkan semangat dan memberikan perspektif baru.Sean memperhatikan setiap gerakan kecil Lila, caranya menjelaskan dengan tangan, senyum yang sesekali muncul saat dia memberikan
Ryan duduk terpaku di kursi ruangannya, memo dari bagian HRD masih berada di tangannya. Surat pengunduran diri Nadya yang baru saja diserahkan pagi itu menjadi pukulan berat yang tidak dia duga. Wajahnya memerah, dan rahangnya mengeras. Dalam hitungan minggu, tiga karyawan terbaik yang selama ini menjadi andalannya, Lila, Rina, dan sekarang Nadya, telah meninggalkan perusahaan.“Mengapa jadi seperti ini?” gumam Ryan sambil meremas memo tersebut.Matanya menatap lurus ke meja, pikirannya berputar dengan berbagai spekulasi. Untuk Lila dan Rina, Ryan tidak bisa menghalangi mereka karena dia sadar itu semua adalah kesalahannya sendiri.Tetapi Nadya? Mengapa dia ikut-ikutan mengundurkan diri seperti dua rekannya?Ryan menyadari kedekatan mereka bertiga, tetapi tidak pernah menduga saat dia mengusik salah satunya, ketiganya akan memilih untuk meninggalkan perusahaannya.Ryan berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangannya yang sepi. Tidak bisa dipungkiri, kepergian mereka satu p
Pintu rumah terbuka perlahan, dan Sean melangkah masuk dengan langkah berat. Penampilannya jauh dari kesan rapi seperti biasanya. Jas hitamnya terlipat asal di lengan, dasinya sudah dilepas dan tergantung di saku celana, dan kemeja putihnya penuh kerutan.Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, seolah tangannya terlalu sering meraup kepala dalam frustrasi. Wajahnya kusut, lingkar hitam di bawah matanya semakin dalam, mencerminkan kelelahan yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional.Dia menghela napas panjang, membiarkan pintu tertutup di belakangnya. Sean melepaskan sepatu dengan gerakan asal sebelum melangkah ke ruang tengah. Di sana, dia dikejutkan oleh pemandangan yang tidak dia duga."Lila?" Sean setengah tidak percaya melihat.Di sofa ruang tengah, Lila duduk dengan laptop di pangkuannya, matanya terfokus pada layar yang memancarkan cahaya biru samar. Tumpukan buku dan catatan berserakan di sekitarnya.Sean segera menghampiri, raut wajah lelahnya berganti dengan
“Lil, terima kasih banyak karena kamu sudah membebaskan Rina,” ucap Nadya dengan nada penuh rasa syukur. “Dia pasti sangat berterima kasih atas kebaikan kamu.”“Dia baik-baik saja?” tanya Lila, mencoba menyembunyikan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran.“Iya, tadi dia sempat datang ke Mahendra Securitas, tapi hanya untuk menyerahkan surat pengunduran diri,” jawab Nadya.Lila mengernyit. “Rina resign? Kenapa?”Nadya menghela napas. “Aku nggak sempat banyak bicara dengannya. Rina kelihatan sangat terburu-buru. Mungkin dia merasa sudah tidak nyaman punya bos seperti Pak Ryan.”“Dia akan kerja di mana setelah ini?” Lila bertanya lagi, merasa bersalah meskipun dia tahu masalah ini bukan sepenuhnya tanggung jawabnya.“Aku nggak tahu pasti. Tapi dengan skill seperti Rina, dia pasti cepat dapat pekerjaan,” jawab Nadya, mencoba menenangkan Lila.Lila terdiam sejenak. “Aku harap dia baik-baik saja.”“Bagaimana keadaanmu sekarang?” Nadya mengganti topik, mencoba mengalihkan perhatian Lila ya
Pada saat Sean di luar berusaha untuk menyelesaikan semua masalah, Lila di rumah tampak bingung karena tidak memiliki kegiatan sama sekali. Wanita hamil itu hanya mondar-mandir menikmati kemewahan rumah yang menjadi tempat tinggalnya sekarang.Memiliki rumah dengan halama luas dan taman yang indah adalah Impian Lila sejak kecil. Tetapi saat impian itu terwujud, Lila justru merasa seperti di dalam sangkar emas.Sampai saat ini Sean belum mengizinkan Lila keluar, meski hanya untuk sekedar bersosialisasi dengan para tetangga. Bahkan Lila pun tidak diizinkan untuk menerima tamu. Memang kedatangan teman-temannya yang lalu berakibat sangat fatal, tetapi Lila sungguh merasa suntuk dan kesepian.“Mbak Lila, siang ini mau makan apa? Bibi masakin apa saja Mbak Lila mau, biar anaknya tidak ngeces.”Kehadiran Bi Siti, asisten rumah tangga yang di rumah mewah itu membuyarkan lamunan Lila. Wajah wanita paruh baya itu terlihat lelah setelah membersihkan rumah besar itu sendiri.Bukan bermaksud tidak
“Kau tahu bagaimana pandangan orang-orang di negeri ini,” ucap Sean dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. “Posisi sebagai orang ketiga dalam hubungan selalu dipandang rendah. Orang-orang tidak akan peduli apa pun alasanmu. Yang mereka lihat hanyalah seorang wanita yang dianggap mencoba merebut kebahagiaan wanita lain.”Miranda mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan rasa perih di hatinya. “Tapi dalam kasus ini, Lila yang telah mencuri kebahagiaanku.”“Tetapi fakta bahwa aku rujuk dengan Lila karena dia sedang hamil, itu akan semakin memperkuat simpati publik untuknya. Kau tahu bagaimana netizen di negeri ini, mereka mudah tergerak oleh cerita tentang keluarga yang begitu dramatis, tentang bagaimana seorang ibu yang berjuang untuk anaknya.”Miranda menelan ludah, mencoba menahan amarah dan hatinya yang perih. Tetapi tampaknya Sean tidak memberi ruang kepada Miranda untuk menyangkal.“Aku tidak ingin kamu berada dalam posisi itu, Mira,” ucap Sean dengan suaranya yang