"Sean sudah setuju untuk bercerai."Lila menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis. Entah bahagia atau sedih saat Lila mendengar kabar tersebut dari perempuan yang mendampinginya selama berada di rumah sakit. Ini adalah sesuatu yang sudah menjadi keinginan dan harapannya, tetapi saat semua itu sudah hampir terwujud rasanya ada yang hilang.“Tapi dia ingin bertemu denganmu sebelum kalian memasuki persidangan. Katanya ada sesuatu yang harus kalian bicarakan.”Lila terdiam dengan tatap mata yang sulit diartikan. Ada rasa takut yang tiba-tiba menghampirinya.“Kalau kau tidak mau aku akan mengatakan kepada pengacaramu agar disampaikan kepada Sean,” ucap perempuan itu sambil mengusap lembut punggung tangan Lila, seolah memahami ketakutan yang Lila rasakan.“Aku akan bicara dengannya,” sahut Lila pelan.Bagi Lila ini bukan hanya hanya tentang perceraian, melainkan meyakinkan dirinya sendiri. Dia merasa harus bertemu dengan Sean untuk meyakinkan dirinya jika dia akan baik-baik saja setelah
Suasana di ruang sidang terasa hening, seolah waktu melambat. Lila duduk di bangku depan, ditemani oleh pengacaranya. Dia merasa tenang, lebih tenang dari yang dia bayangkan sebelumnya. Di sampingnya, Sean duduk dengan raut wajah yang sulit ditebak. Keduanya telah sepakat untuk mengakhiri pernikahan ini dengan damai.Hakim membaca keputusan dengan suara yang lantang, memutuskan secara resmi bahwa ikatan pernikahan antara Lila dan Sean telah berakhir. Tidak ada drama, tidak ada air mata. Sidang perceraian berjalan lancar, seperti yang sudah mereka harapkan. Meskipun begitu, dalam hati Lila masih ada sedikit perasaan ganjil, seperti membuka lembaran baru dengan luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.Setelah sidang berakhir, Lila berdiri dan berjalan keluar ruang sidang. Sean menyusul di belakangnya. Ketika mereka sudah di luar, di tengah koridor yang sepi, Sean menghampirinya. Mereka berhenti sejenak, saling menatap. Ungkin ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka.Sean mengulurkan t
Selama proses perceraiannya dengan Sean, Lila menempati apartemen yang sudah disiapkan oleh Sekar. Dan setelah ketuk palu langsung Lila kembalikan. Kini Lila tidak memiliki tempat tinggal dan tujuannya adalah rumah kedua orang tuanyanya.Lila sadar jika Inayah tidak pernah setuju dengan keputusannya tersebut, sehingga saat Lila memutuskan untuk tetap bercerai dengan Sean, sang ibu langsung mendiamkannya. Bahkan sampai beberapa hari Lila berada di rumah sang ibu belum mau berbicara dengannya.Lila berdiri di ambang pintu ruang tamu, menatap punggung ibunya yang duduk di sofa, punggung yang kaku dan tidak menyambut. Udara di ruangan itu begitu tegang, seperti menunggu pecahnya ombak badai."Bu ..." suara Lila terdengar parau dan ragu-ragu, hampir berbisik.Ada harapan kecil dalam hatinya bahwa mungkin, meski hanya sedikit, ibunya akan melembut dan memahami alasannya. Bahwa mungkin sang ibu akan membuka pelukan dan memberikan kenyamanan yang selama ini ia rindukan. Namun, Lila langsung t
Sean mengemudikan mobilnya dengan tenang, sesekali melirik ke arah Miranda yang duduk di sebelahnya. Suasana hening di antara mereka sejak meninggalkan rumah Sekar, hanya diisi suara mesin mobil dan jalan yang sepi.Di dalam hatinya, Sean merasa terjebak. Dia tahu Miranda adalah perempuan yang sempurna, cantik, cerdas, dan berprestasi, sesuai dengna kriteria Sekar. Tapi, perceraian dengan Lila masih menyisakan luka yang dalam. Sean belum siap untuk menjalin hubungan baru, apalagi yang seolah didorong oleh sang mama.Sesampainya di depan apartemen Miranda, Sean menghentikan mobilnya. Miranda tersenyum, memecah keheningan yang selama ini menggantung."Terima kasih sudah mengantar, Sean," ucap Miranda lembut, lalu meraih tasnya, siap untuk turun dari mobil.Namun sebelum Miranda benar-benar membuka pintu, Sean menahannya dengan sebuah kalimat yang tak terduga.“Aku minta maaf.” Sean menghela napas panjang. “Aku masih butuh waktu. Aku belum siap memulai sesuatu yang baru setelah perceraia
Lila mengusap matanya yang sembap saat matahari mulai naik perlahan di langit pagi. Suara seruan ibu-ibu di depan rumah yang sedang menunggu tukang sayur keliling terdengar sayup-sayup di telinganya. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menyiapkan diri menghadapi hari yang penuh bisikan dan tatapan yang tidak lagi bisa dihindari.Sudah beberapa hari sejak kepulangannya ke rumah orang tua, dan selama itu juga, Lila selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga. Mencuci pakaian, menyapu lantai, memasak, semuanya dia lakukan sendiri.Bukan karena dia ingin, tapi lebih karena merasa harus. Ibunya, Inayah, tidak lagi memperlakukannya sebagai anak yang butuh perlindungan, melainkan lebih sebagai beban. Setiap malam, dia mendengar ibunya menghela napas panjang, seolah menahan banyak keluhan yang tak terucapkan.Hari itu, seperti biasa, Lila keluar dari rumah untuk berbelanja. Udara pagi terasa lebih dingin, dan sayatan rasa sakit di hatinya semakin dalam. Sesampainya di depan tukan
Lila menatap bangunan apartemen sederhana di depannya, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Langit senja sudah berubah menjadi gelap, tapi hawa malam masih terasa hangat. Dia membawa koper kecil berisi pakaian dan beberapa berkas penting, itu saja yang ia bawa dari rumah orang tuanya.Saat Lila membuka pintu apartemen barunya, suasana sepi dan dingin langsung menyambutnya. Ruangannya kecil, dengan hanya satu kamar tidur, dapur sempit, dan ruang tamu yang sederhana. Lila meletakkan kopernya di lantai dan sejenak berdiri di tengah ruangan, memindai seisi ruangan.Berbeda sekali dengan apartemen mewah yang dulu ia tempati bersama Sean. Apartemen itu luas, dengan pemandangan kota yang indah, perabotan mahal, dan segala fasilitas yang memanjakan. Sekarang, dia di tempat yang sangat berbeda, sederhana, nyaris kosong. Perbandingannya bagai langit dan bumi.Namun, anehnya, Lila merasa lega. Hatinya terasa lebih ringan, meski dikelilingi oleh kesederhanaan ini. Dia sadar, ke
Rangga, orang kepercayaan Sean selama bertahun-tahun, berdiri dengan tangan terlipat di depan meja kerja bosnya. Matanya mengamati Sean yang masih asyik dengan layar laptop, tak terganggu sedikit pun oleh rentetan panggilan telepon yang baru saja dia terima. Sebagai orang yang dekat dengan Sean, Rangga sudah sering melihat sikap dingin dan manipulatif majikannya, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. "Kau yakin apa yang kau lakukan ini benar, Mas?" Rangga akhirnya angkat bicara, suaranya tenang, tapi gurta wajahnya terlihat sangat serius. Sean mendongak, sedikit terkejut Rangga berani mempertanyakan keputusannya. "Apa maksudmu?" tanya Sean datar merasa tidak nyaman dengan sikap Rangga yang dia anggap terlalu ikut campur. Rangga mendekat, duduk di kursi yang berada tepat di hadapan meja Sean. "Lila. Kau mempersulit hidupnya setelah perceraian ini. Memblokir peluang kerjanya, menyebar pengaruhmu ke berbagai perusahaan. Itu bukan sesuatu yang biasanya kau lakukan hanya untuk ...
Lila duduk di sofa apartemen sederhananya, ponsel di tangan. Sudah beberapa email lamaran dikirim, namun semua berujung penolakan. Dengan napas berat, dia mencoba opsi terakhir yang dia miliki, menghubungi teman-temannya. Mungkin ada yang bisa membantunya mendapatkan pekerjaan, meskipun hanya pekerjaan sementara. Lila menggulir kontak di ponselnya, berhenti di nama Sarah, teman lama yang bekerja di sebuah perusahaan besar. Dia menekan tombol panggil. “Lila! Apa kabar?” suara Sarah terdengar ceria di awal percakapan. Setelah sedikit basa-basi, Lila langsung ke pokok permasalahan. "Sarah, aku sedang butuh pekerjaan. Apakah ada lowongan di kantormu?" Suara Sarah berubah ragu. "Oh, aku turut prihatin, Lil. Tapi ... di kantorku sekarang lagi ada restrukturisasi besar-besaran, dan mereka justru sedang mengurangi staf. Jadi, mungkin saat ini belum bisa bantu." Lila berusaha tersenyum, meskipun dia tahu Sarah hanya mencari alasan. "Aku mengerti, terima kasih ya, Sar." Setelah menutup te
Setelah makan malam, mereka duduk santai di ruang keluarga. Sekar duduk di sofa dengan nyaman, sementara Lila menyandarkan kepalanya di bahu Sean yang duduk di sampingnya. Brilian sudah tertidur pulas di kamarnya, membuat malam terasa lebih tenang.Sekar menyesap teh hangatnya, lalu melirik ke arah Sean. “Sean, apartemen kamu di Regal Hight itu sampai sekarang masih kosong, ya?” tanya Sekar santai.Sean menoleh ke ibunya, lalu mengangkat bahu. “Iya, Ma. Kenapa?”Sekar menatapnya dengan tajam. “Apa rencanamu dengan apartemen itu?”Sean menghela napas, melirik sekilas ke arah Lila yang tampak mendengarkan obrolan mereka dengan tenang. “Belum ada rencana, Ma,” jawab Sean akhirnya.Sekar langsung bersuara dengan nada tegas, “Kalau begitu lebih baik disewakan saja. Daripada dibiarkan kosong, hanya menghabiskan biaya perawatan.”Sean kembali melirik Lila, kali ini lebih lama. Sebenarnya, dia punya rencana sendiri untuk apartemen itu. Sesekali, dia ingin mengajak istrinya ke sana, menghabisk
Setelah kelahiran Brilian, ada rasa kurang nyaman saat mereka menikmati kebersamaan. Beberapa kali Brilian terbangun di saat yang tidak tepat, hingga membuat Sean dan Lila terpaksa menyelesaikan dengan cepat, bahkan pernah akhirnya tidak dilanjutkan.Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Sean dan Lila menikmati kesempatan yang diberikan oleh Sekar. Terasa seperti bulan madu saat menikmati kebersamaan penuh gairah tanpa ada gangguan.Tidak harus terburu-buru untuk saling memberikan kenikmatan. Bahkan Sean tidak perlu membekap mulut Lila agar suara desah dan jeritannya membangun Brilian.Setelah berburu kenikmatan bersama dalam berbagai gaya diiringi dengan erangan dan desahan, akhirnya Sean dan Lila bisa mencapai puncak bersama. Sean melabuhkan kecupan lembut di bibir Lila sebelum menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Lila dan memeluknya dengan erat. Sementara itu Lila berusaha menormalkan kembali deru napasnya yang tidak beraturan.“Apa motif mama melakukan ini semua?” Lirih suara
Sean mendekati mamanya dengan hati-hati. Ia tahu Sekar tidak suka ditentang, tetapi ia juga tidak bisa diam melihat istrinya terluka.Dengan nada lembut berharap tidak menyinggung perasaan sang mama, Sean melontarkan pertanyaan, “Ma, kenapa Lila menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi?”Sekar menoleh ke arah Sean, dia terlihat santai sambil tetap bermain dengan Brilian.“Ah, cuma masalah kecil, Sean. Aku hanya bilang ingin tidur dengan Brilian malam ini. Sepertinya Lila tidak terima.”Sean menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Ma, aku tahu Mama sangat menyayangi Brili. Tapi Lila sudah seharian di kantor. Dia hanya ingin memeluk anaknya malam ini. Tidak bisakah Mama memberikan waktu untuk Lila dan Brili bersama? Besok, Mama bisa bermain sepuasnya dengan Brili saat kami bekerja.”Sekar menatap tajam ke arah Sean, matanya seolah ingin menembus akal sehat putra semata wayangnya.“Mama tidak ingin mengajakmu hitung-hitungan. Mama tidak pernah meminta imbalan untuk merawat Brili,
Inayah memijit pelipisnya dengan kesal setelah mendengar keluh kesah Delisa melalui telepon. Kata demi kata yang terlontar dari bibir putri bungsunya masih terngiang-ngiang di telinganya."Bu, Mbak Lila sekarang sombong. Dia nggak peduli lagi sama aku setelah jadi bos. Apa dia lupa kalau aku adiknya?" Nada bicara Delisa terdengar penuh keluhan, membuat hati Inayah ingin segera bertindak.Yang ada dalam benak Inayah, saudara itu harus selalu rukun dan saling menolong. Tidak ada salahnya Lila yang sudah memiliki kehidupan yang baik menolong adiknya yang sedang merintis karir.Tanpa berpikir panjang, Inayah meraih ponselnya dan bersiap menghubungi Lila. Namun, sebelum ia sempat menekan nomor, Waluya menghentikannya."Tunggu dulu, Bu. Jangan bertindak gegabah. Masalah Lila dan Lisa kali ini tentang pekerjaan, bukan urusan keluarga," ucap Waluya dengan tenang."Tapi, Pak, masa Lila begitu sama Lisa? Mereka kan saudara! Lila harusnya lebih perhatian sama adiknya," sahut Inayah dengan nada t
Setelah acara pengumuman berakhir, suasana di Mahendra Securitas mulai kembali tenang. Sekar terlihat tenang tetapi penuh perhatian ketika menggendong Brilian yang tertidur pulas di pelukannya.Langkahnya mantap menuju mobil, sementara Lila berjalan di sampingnya dengan raut wajah yang terlihat berat melepas kepergian putranya. Untuk pertama kalinya dia akan terpisah dalam waktu yang lama dengan putranya.Sekar tersenyum lembut, menatap menantunya dengan penuh pengertian. “Lila, Brilian akan baik-baik saja. Aku akan merawatnya dengan baik, seperti dulu waktu merawat Sean. Kamu fokus saja pada tugasmu di sini. Percayalah, ini juga untuk kebaikan Brilian.”Meskipun hatinya masih ragu, Lila akhirnya mengangguk. Dia tahu Sekar memiliki pengalaman dan kasih sayang yang luar biasa. Saat Sekar bersiap memasuki mobil bersama Brilian, Lila dan Sean mendekat untuk memberikan kecupan perpisahan kepada putra kecil mereka.Lila mencium kening Brilian dengan lembut, air mata hampir jatuh dari sudut
Mahendra Securitas sedang dipenuhi kasak-kusuk. Di sudut-sudut kantor, pembicaraan tentang pengganti Sekar menjadi topik utama.Beberapa karyawan menduga Andika dan Ryan, dua nama lama yang pernah menjadi bagian perusahaan, akan kembali memimpin. Namun, Nadya, yang dikenal sebagai tangan kanan Sekar, menepis rumor tersebut.Dengan senyuman penuh rahasia, Nadya hanya berkata, “Tunggu saja, kalian akan tercengang.”Di salah satu ruangan, Delisa mendengar percakapan itu. Rasa ingin tahunya memuncak, dan dengan hati-hati, ia mendekati Nadya. Dalam hati Delisa merasa senang saat mendengar jika Sekar akan digantikan. Gadis mud aitu sudah merasa tidak betah dengan sikap keras Sekar kepadanya.“Kak Nadya,” katanya dengan nada penuh harap, “apa benar akan ada pemimpin baru? Siapa dia?”Nadya menatap Delisa, senyumnya penuh teka-teki. “Kamu akan tahu nanti, Delisa. Ini kejutan besar,” jawabnya singkat, meninggalkan Delisa semakin penasaran.Semua karyawan diminta berkumpul di aula perusahaan se
Akhir pekan itu, suasana cerah menyambut kedatangan Sean dan Lila di rumah Sekar. Mobil berhenti perlahan di depan rumah dengan halaman luas yang dikelilingi pohon-pohon rindang.Sekar yang sejak tadi menunggu di teras langsung bangkit dengan senyum mengembang, begitu melihat Lila turun dari mobil sambil menggendong Brilian, cucunya yang baru berusia enam bulan.“Cucu oma sudah datang!” seru Sekar dengan penuh semangat.Lila menyerahkan Brilian pada ibu mertuanya, dan Sekar langsung memeluk bayi itu erat, mengajak bicara dengan nada lembut penuh kasih sayang.“Gantengnya oma. Sudah besar ya sekarang? Lihat, kamu makin gemuk!” ucapnya sambil mencium pipi Brilian yang montok.Meski Brilian belum mampu memberi jawaban, tetapi Sekar terus berbicara sendiri dengan penuh antusias. Sean dan Lila hanya tersenyum, mengikuti di belakangnya sambil membawa tas perlengkapan bayi.Kebahagiaan terpancar jelas di wajah mereka saat melihat Sekar begitu ceria bersama cucunya.Dan kini, mereka duduk di
Motor Ryan berhenti perlahan di depan tempat kos Rina. Udara dingin menusuk kulit, aroma aspal basah tercium kuat. Rina turun dengan hati-hati, melepas helm yang masih melekat di kepalanya, dan menyerahkannya kembali pada Ryan.“Terima kasih,” ucap Rina pelan dan terdengar tulus.Ryan mengangguk kecil, tapi sebelum sempat menjawab, hujan tiba-tiba kembali turun dengan deras, menampar jalanan tanpa ampun.“Sh*t!” Tanpa sadar Ryan mengeluarkan umpatan kasar yang langsung membuatnya tampak sedikit kikuk.Rina cukup terkejut mendengar Ryan mengumpat. Selama bekerja bersama di Mahendra Securitas mantan atasannya itu selalu terlihat kalem dengan gaya bahasa yang santun, tetapi mungkin situasi hari ini cukup membuatnya tidak nyaman.Tetapi Rina mencoba mengabaikannya, dia segera membuka gerbang kos memberi jalan masuk untuk Ryan.“Masuk saja, berteduh dulu. Hujannya deras banget,” katanya, suaranya sedikit mengalahkan suara hujan.Ryan menatapnya ragu, tapi akhirnya memarkirkan motor di depa
Suara rintik hujan menenggelamkan desah dan erang di dalam kamar mewah. Di atas ranjang king size Sean dan Lila memburu kenikmatan bersama, sebelum putra mereka terbangun nanti.Setelah hampir satu jam, akhirnya keduanya terkapar setelah mencapai puncak bersama. Sean dan Lila tidak langsung tidur, tapi melanjutkan dengan berbincang ringan tentang rencana ke depan untuk rumah tangga mereka.Lila bersandar di dada Sean, tubuh polos mereka terbungkus selimut hangat. Aroma hujan yang samar tercium dari jendela yang sedikit terbuka.“Lila.” Sean memulai dengan suara pelan, nyaris berbisik, seolah takut mengganggu keheningan. “Aku tahu, mungkin kamu kadang tidak setuju dengan keinginanku supaya kamu lebih banyak di rumah, fokus sama anak-anak.”Lila mengangkat wajahnya sedikit, menatap Sean yang terlihat menerawang ke langit-langit. “Aku hanya ingin memastikan Brilian tumbuh dalam keluarga yang utuh, tidak seperti aku dulu.”Sean mengeratkan pelukannya, menghela napas panjang sebelum melanj