Lila duduk di depan meja riasnya yang sederhana, menatap deretan botol-botol produk perawatan kecantikan yang tersisa. Hanya ada beberapa yang masih setengah, sementara sisanya hampir kosong. Tangannya terulur, meraih salah satu botol serum yang dulu selalu dia gunakan dengan rutin. Dengan senyum masam, dia menyentuh pipinya yang masih mulus, mengingat betapa dia dulu sangat memperhatikan penampilan. Dulu, perawatan kulit dan produk-produk mewah ini bukanlah masalah baginya. Setiap bulan, dia bisa mengunjungi klinik kecantikan dan membeli semua yang dibutuhkan untuk menjaga kulitnya tetap cerah dan bersinar. Namun, kini, keadaan berbeda. Lila tahu bahwa dia tidak bisa lagi menghamburkan uang untuk hal-hal semacam itu. Perawatan mahal itu kini hanya tinggal kenangan. "Selamat tinggal, kulit mulus," gumamnya pelan sambal tersenyum tipis menertawakan dirinya sendiri. Lila mencoba menyisipkan humor di tengah kesulitan yang dia rasakan. Lila sadar, tak lama lagi, wajah yang selalu dia b
Ryan berusaha tetap tenang, tetapi ada sedikit ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Dia melangkah mendekat ke meja kasir, menatap Lila dengan senyum canggung. “Jadi, kamu belanja di sini juga sekarang?” tanyanya, berusaha mengakrabkan diri seolah-olah mereka adalah teman lama yang bertemu kembali di tempat biasa. Lila tersenyum tipis, merasa sedikit tak nyaman. “Ya, begitulah,” jawabnya singkat, berusaha menghindari kontak mata. Lila meletakkan barang-barang belanjaannya di meja kasir. “Pak Ryan mau belanja apa?” tanya balik Lila yang terlihat bingung dengan keberadaan Ryan di hadapannya. Dalam kekalutan momen itu, tanpa berpikir panjang, tangannya menyentuh sebuah benda yang terletak di rak, sebungkus alat pengaman untuk pria. Lila yang menyaksikan gerakan spontan Ryan itu langsung tertegun. Mata mereka bertemu sesaat, dan suasana hening menyergap mereka berdua. Ryan yang menyadari kesalahan fatalnya, langsung menarik tangannya, wajahnya mulai memerah. “Oh, eh ... bukan itu
Lila menatap Ryan dengan alis terangkat, terkejut mendengar tawaran pekerjaan yang baru saja keluar dari mulutnya. Sebuah pekerjaan dan posisi yang dahulu sangat dia idamkan saat masih kuliah."Analis investasi?" ulang Lila, masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.Lila terdiam sesaat, meresapi kata-kata Ryan. Tawaran pekerjaan itu terdengar seperti sebuah mimpi, posisi yang menggiurkan dengan bayaran yang bisa menyelamatkannya dari krisis finansial yang selama ini menghantui.‘Saya tahu kamu sangat kompeten di bidang ini.”"Dari mana kamu tahu?"Ryan tersenyum tipis, seolah sudah mempersiapkan jawabannya. “Saya tahu banyak tentangmu daripada yang kamu kira. Kamu lulusan terbaik di kampusmu, saya juga sempat membaca skripsi tentang investasi dan kelas menengah di negeri ini. Sangat menarik.Lila hanya diam tertegun, seolah tidak percaya dengan penjelasan yang baru saja diberikan oleh Ryan. Ada perasaan seperti telah dibuntuti selama ini.“Bu Sekar sering memamerkan kehebatan
Pagi itu, Lila bangun lebih awal dari biasanya. Ada rasa gugup yang tidak bisa ia sembunyikan, tetapi di balik itu juga ada semangat baru yang membara. Dia mengenakan setelan rapi, sederhana namun elegan, pesona Nyonya Wismoyojati tampaknya tidak luntur meskipun sudah bergelar mantan. Ini adalah hari pertama Lila kembali bekerja. Setelah memeriksa tas kerjanya sekali lagi dan memastikan semuanya lengkap, Lila berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sejenak. Wajahnya tampak lebih segar, matanya menyiratkan tekad yang baru. Dia tersenyum tipis pada dirinya sendiri. “Saya bisa melakukannya,” bisik Lila pelan memberi semangat kepada dirinya sendiri. Begitu keluar dari apartemennya, Lila terkejut melihat Ryan sudah berdiri di luar, bersandar santai pada mobil mewahnya. Dengan setelan jas rapi, Ryan terlihat seperti seseorang yang telah siap menghadapi dunia. Lila tidak bisa menahan diri untuk tersenyum kecil, meskipun masih ada sedikit rasa canggung di antara mereka. “Pagi,” s
Hari-hari berlalu, dan Lila mulai terbiasa dengan bisikan-bisikan di sekitar kantornya. Setiap kali dia melewati meja-meja rekan kerjanya, dia bisa merasakan tatapan tajam yang seolah menilai setiap langkah yang dia ambil. Gunjingan tentang masa lalunya, status jandanya, dan tuduhan bahwa posisinya diperoleh karena kecantikannya, bukan kemampuannya, menjadi suara latar yang hampir selalu menemani.Namun, Lila berusaha keras untuk tidak peduli. Dia sudah memutuskan sejak awal bahwa pekerjaannya di sini bukanlah tentang orang lain, tetapi tentang dirinya sendiri. Meskipun ada saat-saat di mana dia merasa tertekan, Lila terlihat lebih tangguh dari sebelumnya. Perlahan, dia terbiasa mengabaikan bisikan itu, seolah-olah angin berlalu. Di kantornya, Lila menatap layar komputer, fokus pada laporan investasi yang tengah ia kerjakan. Setiap perhitungan dan analisis dia lakukan dengan teliti. Pekerjaan ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar wajah cantik. Dia i
Saat pikiran Sean masih bergulat dengan amarah, pintu ruangannya terbuka perlahan. Bella, sekretaris pribadinya, melangkah masuk. Hari ini, dandanan Bella terlihat lebih berani dari biasanya. Lipstik merah menyala menghiasi bibirnya, sementara gaun ketat yang dikenakannya menonjolkan lekuk tubuhnya. Senyum tipis mengembang di wajahnya saat dia mendekatkan secangkir kopi ke meja Sean."Seperti biasa, Pak Sean," ucap Bella sambil menaruh kopi di atas meja, suaranya terdengar lembut menggoda.Sean hanya meliriknya sekilas, masih tenggelam dalam kemarahannya. "Jadwal minggu ini?" tanya Sean dingin, mengabaikan penampilan Bella yang mencolok.Bella mendekati meja, membuka tablet dan mulai membacakan jadwal. "Pertemuan dengan klien utama besok pukul sembilan pagi, kemudian rapat dewan direksi jam sebelas. Kamis, ada makan siang dengan investor baru ..."Sean mendengarkan sambil menyeruput kopinya, pikirannya sesekali melayang kembali ke Lila dan Ryan. Cemburu, Sean selalu menyangkal akan ha
Sean tertidur dengan gelisah tampaknya dia sedang bermimpi. Sean melihat sosok bayi kecil yang duduk di atas selimut putih lembut, tertawa pelan dengan mata yang bersinar. Bayi itu terlihat begitu damai, dengan senyum manis yang memancar dari wajahnya. Sean berhenti di kejauhan, memperhatikan anak itu. Rasa penasaran mulai merayapi hatinya. "Hai Baby, siapa kamu?" bisiknya perlahan, namun bayi itu hanya menatapnya sambil tertawa, suara tawanya begitu jernih, seakan memenuhi ruangan yang kosong. Hati Sean meleleh seketika. Ia melangkah mendekat, perlahan, takut mengganggu ketenangan yang mengelilingi bayi itu. "Kamu cowok apa cewek?" tanya Sean lagi dengan suara lembut terlihat begitu penasaran, tetapi bayi itu tidak menjawab. Hanya tawa kecil yang kembali terdengar, membuat Sean gemas dan semakin ingin mendekat. Langkah Sean semakin cepat. Dia ingin menggendong bayi itu, merasakan kehangatan di pelukannya. Setiap langkah yang dia ambil, jarak antara mereka tampak memendek, namu
Lila duduk di kursi kerjanya, membuka laci, dan mengambil botol multivitamin yang selalu ia simpan. Dengan cepat, dia mengambil sebutir dan menelannya bersama seteguk air. Lila berharap vitamin itu akan membantunya mengatasi rasa lelah yang semakin hari terasa semakin mengganggu aktifitasnya. Pekerjaan yang menumpuk akhir-akhir ini memang menuntut banyak tenaga dan konsentrasi. Kondisi tubuh yang dirasa kurang bersahabat itu, dipupusnya hanya sebagai efek dari kelelahan biasa. “Aku harus bisa mengalahkan rasa lelah ini,” gumam Lila pelan, seolah menyemangati diri sendiri. Dia berusaha menepis semua ketakutan yang sedikit demi sedikit mengusik benaknya. Namun, hari ini sangat berbeda. Rasa lelah yang Lila rasakan terasa semakin tidak terkendali. Matanya terasa berat, kepalanya berdenyut nyeri, dan tubuhnya seakan tidak berdaya sama sekali. Sambil memijit pelipisnya, Lila memutuskan untuk ke kamar mandi sejenak. Entah apa tujuan Lila sebenarnya, mungkin dia sekedar ingin menenangkan
"Sial!" gumam Andreas pelan, tetapi tidak bisa menutupi amarah dan kebenciannya. "Apakah kau sudah melihat video yang diposting temannya Lila? Video itu benar-benar mampu menarik simpati publik dan memojokkan dirimu. Andreas berdiri gelisah, mondar-mandir di depan Miranda yang duduk di sofa. Wajah Miranda tampak lelah, dengan riasan yang mulai memudar, namun matanya masih tajam memandang sang papa yang terus meluapkan kegelisahannya. “Pelantikan tinggal hitungan hari!” seru Andreas, suaranya memantul di ruangan. “Jika dia dilantik, semua koneksi kita di pemerintahan akan musnah. Bisnis kita bisa hancur, Miranda! Hancur!” Miranda mendesah, menyandarkan punggungnya ke sofa. “Aku tahu itu, Pa. Tapi berteriak-teriak di sini tidak akan menyelesaikan masalah.” Andreas berhenti melangkah, menatap Miranda dengan wajah penuh amarah. “Kamu tidak mengerti tekanan yang sedang kita hadapi. Jika masalah hukum ini muncul ke permukaan, kita bisa kehilangan semuanya, rumah ini, perusahaan, bahkan
Rangga menjalankan perintah Sean dengan baik. Tidak butuh waktu yang lama acara tersebut sudah siap.Dengan langkah tegas, Sean melangkah menuju tempat konferensi pers yang telah dipenuhi wartawan. Cahaya lampu kamera berkedip-kedip, menyorot wajahnya yang tegas hingga mampu menutupi segala beban. Sean tidak menunjukkan keraguan, dia tahu ini adalah langkah yang harus diambil, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masa depan keluarganya.Setelah mengambil tempat yang telah dipersiapkan, Sean mengambil mikrofon. Ruangan yang semula dipenuhi suara bisik-bisik langsung hening. Sean menatap para wartawan dengan mata penuh ketegasan, lalu menghela napas panjang sebelum memulai.“Saya mengundang kalian semua ke sini hari ini untuk menjelaskan beberapa hal yang selama ini menjadi tanda tanya di publik,” Sean memulai. Suaranya mantap, meski ada sedikit getar yang tertahan.“Saya ingin dengan tegas menyatakan bahwa hubungan saya dengan Miranda Manuella telah berakhir. Hubungan tersebut
Sean memandang tangga dengan napas tertahan, perutnya seakan diikat rasa cemas. Lila, dengan perut besarnya, telah berlari menaikinya tanpa memperhatikan kondisi tubuhnya.Sean tahu jika dia harus segera menyusul untuk menyelesaikan masalah. Tetapi ada rasa takut, jika saat dia mengejar Lila menjadi panik dan terpeleset. Akhirnya Sean memutuskan tetap memperhatikan setiap langkah Lila sambil berdoa untuk keselamatan anak dan istrinya.Setelah beberapa saat, ketika rumah kembali sunyi dan yakin Lila sudah masuk ke kamar, Sean akhirnya melangkah naik. Tangannya gemetar saat menyentuh kenop pintu kamar mereka yang terkunci. Ia mengetuk perlahan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski hatinya sedang kacau.“Lila,” panggil Sean pelan. “Boleh aku masuk? Kita harus bicara.”Tidak ada jawaban dari dalam kamar, hanya keheningan yang terasa menyesakkan. Sean mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. “Lila, aku tahu aku salah. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Tolong buka pintunya.”
Lila masih terpaku di posisinya, air mata mengalir tanpa bisa dia kontrol. Rasanya, seluruh tubuhnya lumpuh, tidak sanggup melangkah pergi dari kenyataan yang baru saja dia temukan.Suara gemericik air di kamar mandi berhenti. Lalu, pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan Sean yang melangkah keluar sambil mengeringkan tangannya.“Lila?” Suara Sean terdengar terkejut.Sean berhenti di ambang pintu, melihat istrinya berdiri kaku di depan meja kerjanya, dengan mata sembab dan pipi basah. Pandangan Sean beralih ke laptopnya yang masih terbuka, lalu kembali ke wajah Lila. Wajah Sean seketika berubah tegang, menyadari telah melakukan sebuah keteledoran.“Kenapa kamu di sini?” tanya Sean dengan suara yang terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang bercampur dengan kegugupan.Lila mendongak perlahan, matanya yang memerah menatap Sean dengan luka yang begitu nyata. “Apa maksud semua ini, Sean?” tanya Lila dengan suara parau, tangannya menunjuk layar laptop yang masih menyala.Sean tidak me
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Nadya. Selama Sean memperlakukan dirinya dengan baik, Lila harus bersyukur dan menikmati segala yang dia miliki saat ini. Dia harus fokus pada kehamilan dan proses persalinan yang semakin dekat.Perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Sean akhir-akhir ini, membuat Lila merasa jika hubungannya dengan sang suami semakin membaik. Tak ayal hal tersebut membuat Lila merasa bahagia menantikan kelahiran putra pertamanya.Saat Lila sedang merapikan tempat tidurnya, dia dikejutkan oleh tangan kekar yang melingkar di perutnya. Tetapi keterkejutan itu berganti senyum, saat Lila mengenali aroma parfum yang akhir-akhir ini terasa begitu menenangkan baginya. Dan senyum itu semakin lebar, saat Lila menoleh ke belakang dan memastikan jika sang suami adalah pelakunya.“Sudah pulang?” tanyanya lembut.Sean tidak menjawab pertanyaan Lila, dia segera membalikkan tubuh Lila hingga membuat mereka dalam posisi yang saling berhadapan. Sean melabuhkan kecupan hangat di pucu
Di ruang kerja yang sunyi, Sean duduk di depan laptopnya. Video lama yang pernah diunggah Lila sedang diputar, menampilkan istrinya dengan ekspresi tenang namun penuh keyakinan. Suaranya yang lembut namun tegas mengisi ruangan, menjelaskan isu ekonomi yang rumit dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami.“Kita tidak bisa menghindari deflasi, tetapi kita bisa belajar untuk menghadapinya,” ujar Lila di video. “Bagi keluarga dari kalangan menengah, penting untuk memahami bagaimana prioritas keuangan harus disesuaikan. Fokus pada kebutuhan primer, kurangi pengeluaran yang tidak perlu, dan jika memungkinkan, cobalah mencari sumber penghasilan tambahan.”Sean menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari layar. Kata demi yang terlontar dari mulut Lila terasa begitu mengalir seperti angin segar, membangkitkan semangat dan memberikan perspektif baru.Sean memperhatikan setiap gerakan kecil Lila, caranya menjelaskan dengan tangan, senyum yang sesekali muncul saat dia memberikan
Ryan duduk terpaku di kursi ruangannya, memo dari bagian HRD masih berada di tangannya. Surat pengunduran diri Nadya yang baru saja diserahkan pagi itu menjadi pukulan berat yang tidak dia duga. Wajahnya memerah, dan rahangnya mengeras. Dalam hitungan minggu, tiga karyawan terbaik yang selama ini menjadi andalannya, Lila, Rina, dan sekarang Nadya, telah meninggalkan perusahaan.“Mengapa jadi seperti ini?” gumam Ryan sambil meremas memo tersebut.Matanya menatap lurus ke meja, pikirannya berputar dengan berbagai spekulasi. Untuk Lila dan Rina, Ryan tidak bisa menghalangi mereka karena dia sadar itu semua adalah kesalahannya sendiri.Tetapi Nadya? Mengapa dia ikut-ikutan mengundurkan diri seperti dua rekannya?Ryan menyadari kedekatan mereka bertiga, tetapi tidak pernah menduga saat dia mengusik salah satunya, ketiganya akan memilih untuk meninggalkan perusahaannya.Ryan berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangannya yang sepi. Tidak bisa dipungkiri, kepergian mereka satu p
Pintu rumah terbuka perlahan, dan Sean melangkah masuk dengan langkah berat. Penampilannya jauh dari kesan rapi seperti biasanya. Jas hitamnya terlipat asal di lengan, dasinya sudah dilepas dan tergantung di saku celana, dan kemeja putihnya penuh kerutan.Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, seolah tangannya terlalu sering meraup kepala dalam frustrasi. Wajahnya kusut, lingkar hitam di bawah matanya semakin dalam, mencerminkan kelelahan yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional.Dia menghela napas panjang, membiarkan pintu tertutup di belakangnya. Sean melepaskan sepatu dengan gerakan asal sebelum melangkah ke ruang tengah. Di sana, dia dikejutkan oleh pemandangan yang tidak dia duga."Lila?" Sean setengah tidak percaya melihat.Di sofa ruang tengah, Lila duduk dengan laptop di pangkuannya, matanya terfokus pada layar yang memancarkan cahaya biru samar. Tumpukan buku dan catatan berserakan di sekitarnya.Sean segera menghampiri, raut wajah lelahnya berganti dengan
“Lil, terima kasih banyak karena kamu sudah membebaskan Rina,” ucap Nadya dengan nada penuh rasa syukur. “Dia pasti sangat berterima kasih atas kebaikan kamu.”“Dia baik-baik saja?” tanya Lila, mencoba menyembunyikan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran.“Iya, tadi dia sempat datang ke Mahendra Securitas, tapi hanya untuk menyerahkan surat pengunduran diri,” jawab Nadya.Lila mengernyit. “Rina resign? Kenapa?”Nadya menghela napas. “Aku nggak sempat banyak bicara dengannya. Rina kelihatan sangat terburu-buru. Mungkin dia merasa sudah tidak nyaman punya bos seperti Pak Ryan.”“Dia akan kerja di mana setelah ini?” Lila bertanya lagi, merasa bersalah meskipun dia tahu masalah ini bukan sepenuhnya tanggung jawabnya.“Aku nggak tahu pasti. Tapi dengan skill seperti Rina, dia pasti cepat dapat pekerjaan,” jawab Nadya, mencoba menenangkan Lila.Lila terdiam sejenak. “Aku harap dia baik-baik saja.”“Bagaimana keadaanmu sekarang?” Nadya mengganti topik, mencoba mengalihkan perhatian Lila ya