Hari-hari berlalu, dan Lila mulai terbiasa dengan bisikan-bisikan di sekitar kantornya. Setiap kali dia melewati meja-meja rekan kerjanya, dia bisa merasakan tatapan tajam yang seolah menilai setiap langkah yang dia ambil. Gunjingan tentang masa lalunya, status jandanya, dan tuduhan bahwa posisinya diperoleh karena kecantikannya, bukan kemampuannya, menjadi suara latar yang hampir selalu menemani.Namun, Lila berusaha keras untuk tidak peduli. Dia sudah memutuskan sejak awal bahwa pekerjaannya di sini bukanlah tentang orang lain, tetapi tentang dirinya sendiri. Meskipun ada saat-saat di mana dia merasa tertekan, Lila terlihat lebih tangguh dari sebelumnya. Perlahan, dia terbiasa mengabaikan bisikan itu, seolah-olah angin berlalu. Di kantornya, Lila menatap layar komputer, fokus pada laporan investasi yang tengah ia kerjakan. Setiap perhitungan dan analisis dia lakukan dengan teliti. Pekerjaan ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar wajah cantik. Dia i
Saat pikiran Sean masih bergulat dengan amarah, pintu ruangannya terbuka perlahan. Bella, sekretaris pribadinya, melangkah masuk. Hari ini, dandanan Bella terlihat lebih berani dari biasanya. Lipstik merah menyala menghiasi bibirnya, sementara gaun ketat yang dikenakannya menonjolkan lekuk tubuhnya. Senyum tipis mengembang di wajahnya saat dia mendekatkan secangkir kopi ke meja Sean."Seperti biasa, Pak Sean," ucap Bella sambil menaruh kopi di atas meja, suaranya terdengar lembut menggoda.Sean hanya meliriknya sekilas, masih tenggelam dalam kemarahannya. "Jadwal minggu ini?" tanya Sean dingin, mengabaikan penampilan Bella yang mencolok.Bella mendekati meja, membuka tablet dan mulai membacakan jadwal. "Pertemuan dengan klien utama besok pukul sembilan pagi, kemudian rapat dewan direksi jam sebelas. Kamis, ada makan siang dengan investor baru ..."Sean mendengarkan sambil menyeruput kopinya, pikirannya sesekali melayang kembali ke Lila dan Ryan. Cemburu, Sean selalu menyangkal akan ha
Sean tertidur dengan gelisah tampaknya dia sedang bermimpi. Sean melihat sosok bayi kecil yang duduk di atas selimut putih lembut, tertawa pelan dengan mata yang bersinar. Bayi itu terlihat begitu damai, dengan senyum manis yang memancar dari wajahnya. Sean berhenti di kejauhan, memperhatikan anak itu. Rasa penasaran mulai merayapi hatinya. "Hai Baby, siapa kamu?" bisiknya perlahan, namun bayi itu hanya menatapnya sambil tertawa, suara tawanya begitu jernih, seakan memenuhi ruangan yang kosong. Hati Sean meleleh seketika. Ia melangkah mendekat, perlahan, takut mengganggu ketenangan yang mengelilingi bayi itu. "Kamu cowok apa cewek?" tanya Sean lagi dengan suara lembut terlihat begitu penasaran, tetapi bayi itu tidak menjawab. Hanya tawa kecil yang kembali terdengar, membuat Sean gemas dan semakin ingin mendekat. Langkah Sean semakin cepat. Dia ingin menggendong bayi itu, merasakan kehangatan di pelukannya. Setiap langkah yang dia ambil, jarak antara mereka tampak memendek, namu
Lila duduk di kursi kerjanya, membuka laci, dan mengambil botol multivitamin yang selalu ia simpan. Dengan cepat, dia mengambil sebutir dan menelannya bersama seteguk air. Lila berharap vitamin itu akan membantunya mengatasi rasa lelah yang semakin hari terasa semakin mengganggu aktifitasnya. Pekerjaan yang menumpuk akhir-akhir ini memang menuntut banyak tenaga dan konsentrasi. Kondisi tubuh yang dirasa kurang bersahabat itu, dipupusnya hanya sebagai efek dari kelelahan biasa. “Aku harus bisa mengalahkan rasa lelah ini,” gumam Lila pelan, seolah menyemangati diri sendiri. Dia berusaha menepis semua ketakutan yang sedikit demi sedikit mengusik benaknya. Namun, hari ini sangat berbeda. Rasa lelah yang Lila rasakan terasa semakin tidak terkendali. Matanya terasa berat, kepalanya berdenyut nyeri, dan tubuhnya seakan tidak berdaya sama sekali. Sambil memijit pelipisnya, Lila memutuskan untuk ke kamar mandi sejenak. Entah apa tujuan Lila sebenarnya, mungkin dia sekedar ingin menenangkan
Dokter Arman berdiri di dekat sofa tempat Lila berada, mengamati pasiennya yang masih terbaring lemah. Ryan duduk di sisi lain, menunggu dengan gelisah. Dokter Arman terdiam sejenak menatap Ryan yang menunjukkan kekhawatirannya terhadap Lila. Sesuatu yang selama ini hanya Dokter Arman lihat saat Ryan Bersama ibunya. Dokter Arman bersiap menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi pada Lila. Namun, ada sedikit keraguan yang tampaknya menyergap hatinya. Sebelum dia membuka mulut, terdengar suara lembut Lila yang tampaknya mulai tersadar. Dengan perlahan Lila membuka matanya dan memandang sekeliling dengan bingung, tetapi setelah beberapa saat dia mulai mengenali tempatnya berada saat ini. Rina yang sejak tadi sudah berada di dekat Lila, segera mendekat ke arah Lila untuk membantunya duduk. “Syukurlah, kamu sudah sadar,” ucap Rina terdengar tulus, suaranya penuh rasa lega. Lila mengernyitkan dahi, mencoba mengingat apa yang terjadi. “Apa yang terjadi kepadaku? Kenapa aku merasa sangat
Sean memasuki rumah besar milik keluarganya dengan langkah berat. Pikirannya masih dipenuhi oleh banyak hal, terutama percakapannya dengan Miranda beberapa hari yang lalu. Setiap kali ia berusaha melupakan, percakapan tentang pernikahan dan anak selalu kembali menghantuinya. Memasuki ruang tamu, Sekar sudah menunggunya dengan anggun, seperti biasa. Wanita paruh baya itu tersenyum tipis ketika melihat putranya masuk. “Akhirnya kau datang juga,” ucap Sekar sambil menepuk sofa di sebelahnya, seolah memberi kode kepada Sean untuk duduk di sampingnya. “Kita harus bicara,” sambung Sekar dengan seulas senyum untuk merayu putranya. Sean tahu apa yang akan dibicarakan oleh sang mama. Sekar tidak pernah setengah-setengah jika sudah berbicara tentang masa depan keluarganya, dan dalam hal ini, tentang hubungannya dengan Miranda. “Kapan kamu akan mengumumkan hubunganmu dengan Miranda di depan publik?” Sekar memulai dengan nada lembut, namun penuh tekanan. “Sudah waktunya, Sean. Semua orang su
“Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Sean?” tanya Andreas, papa Miranda, dengan wajah yang terlihat penuh kecemasan. Apalagi setelah putrinya menggelengkan kepala. Ruang kerja yang menjadi tempat pembicaraan yang sangat pribadi antara ayah dan anak itu terasa begitu menegangkan. Sedari tadi Miranda duduk dengan tatap mata cemas ke arah sang papa yang berjalan mondar-mandir di hadapannya. Andreas adalah seorang pengusaha tambang yang sepertinya saat ini sedang menghadapi masalah serius. Gurat kecemasan terlihat jelas di wajahnya yang sudah dipenuhi kerutan itu. "Masalah ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut lagi," ucap Andreas yang tidak bisa menutupi ketegangan dan kecemasan yang akhir-akhir menderanya. "Perusahaan kita sedang dalam masalah besar. Papa berharap, pernikahanmu dengan Sean akan membantu kita keluar dari masalah ini." Miranda menghela napas dalam-dalam. "Hubungan kami sebenarnya sudah banyak kemajuan, apalagi dengan dukungan Tante Sekar. Tetapi ... kalau untuk
Rasa penasaran menuntun Ryan sampai di poli tempat praktek Dokter Arman. Ryan duduk dengan gelisah di ruang tunggu. Jemarinya saling bertautan dengan erat, menunjukkan rasa khawatir yang tidak bisa lenyap dari benaknya begitu saja. Dia harus memastikan jika Lila dalam keadaan baik-baik saja. Dokter Arman baru saja selesai dengan pasien terakhirnya hari itu. Dan kini, mereka bisa duduk berhadapan, berbicara secara pribadi. "Saya ingin tahu keadaan Lila yang sebenarnya," ujar Ryan dengan suara rendah yang menyiratkan rasa penasaran. "Saya merasa ada yang lebih dari sekadar kelelahan. Saya khawatir kalau ini ... penyakit yang serius. Mungkin mematikan." Dokter Arman mengangkat alisnya sedikit, menatap Ryan dengan tatap mata tajam penuh tanya. Sebagai dokter keluarga yang sudah lama saling mengenal, Dokter Arman merasa pernah melihat tatap mata penuh kekhawatiran di mata Ryan, dan itu terjadi hanya saat menyangkut keadaan ibu kandungnya. “Ryan, sebelum kita membicarakan hal ini le
Lila menatap Sean dengan sorot mata yang penuh tanya, tetapi juga lelah. Pertanyaan itu menggelitik pikirannya, membawanya pada labirin yang penuh dengan misteri keluarga Sean."Kenapa kau menanyakan itu padaku? Aku hanya menantu, Sean. Aku bahkan tidak tahu banyak tentang masa lalu keluargamu. Itu urusan kalian. Aku merasa tidak punya hak untuk ikut campur terlalu dalam."Sean menggeleng pelan. "Karena mama membutuhkan dirimu untuk bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.”Lila mengusap perutnya yang mulai membuncit. Gerakannya lembut, seperti sedang melindungi sesuatu yang paling berharga di dunia. Sean menyusul, meletakkan tangannya di atas tangan istrinya. Sentuhan itu hangat, tapi juga penuh dengan kekhawatiran.Bayi kecil mereka, yang bahkan belum sempat melihat dunia, sudah harus terlibat dalam pusaran ambisi dan perebutan harta.Pikiran Lila berputar pada Mahendra Securitas, perusahaan yang dulu ia kenal dengan baik. Sebagai mantan karyawan, ia tahu betul betapa besar nilai as
Selo Ardi menatap Sean dengan alis terangkat, senyum tipis menghiasi wajahnya.“Biro jasaku tidak menyediakan sekretaris. Adanya tukang pukul,” ujar Selo Ardi sembari tertawa kecil. Tetapi, matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang tak bisa dia sembunyikan.Sean menghela napas panjang. Wajahnya terlihat sangat serius. "Saya tahu itu, tapi aku tidak butuh seorang sekretaris secara spesifik. Tapi lebih kepada orang yang bisa mengawasi gerak-gerik sekretarisku saat ini.”Selo menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya tak lepas dari Sean. “Ada apa dengan sekretarismu? Jangan bilang dia mencoba mengambil alih perusahaanmu?” candanya, meski nada suaranya mengandung keseriusan.Sean menggeleng pelan. “Tidak sejauh itu. Tapi ...”Sean menggantungkan kalimatnya, menatap jauh ke jendela ruangan. “Entah ini kecurigaan atau hanya kecemburuan. Lila, istriku, merasa sekretarisku sedang mencoba menjebakku dalam sebuah skandal.”Selo menyipitkan mata, mencoba membaca situasi. “Skandal seperti apa?”S
Di hari biasa, Bi Siti akan langsung mengarahkan Vicky untuk langsung menuju ke ruang gym, tetapi kali ini karena Lila tidak berpesan apa pun, Vicky harus menunggu di ruang tamu. Vicky langsung berdiri saat melihat Lila memasuki ruang tamu dengan Sean yang mengekor di belakangnya. Tidak bisa dipungkiri, bertemu Sean adalah niat utama Vicky mendatangi rumah tersebut, setelah mendapat informasi jika Sean tidak bekerja akhir pekan ini. “Hai Vicky!” Lila berusaha tetap ramah, meskipun kedatangan Vicky yang tiba-tiba sangat mengganggunya. “Apa ada masalah?” Sebenarnya Lila hendak duduk, tetapi tangan Sean tiba-tiba melingkar di pinggangnya seolah tidak mengizinkannya duduk. Karena Lila dan Sean yang tetap berdiri, bahkan tidak ada tanda jika dirinya akan dipersilahkan duduk, Vicky pun langsung mengungkap maksud kedatangannya. “Karena jadwal senam yang kemarin tertunda, jadi saya bermaksud untuk menggantinya hari ini,” ucap Vicky dengan seulas senyum di bibirnya. Vicky berusaha untuk
Akhirnya Sean bisa bernapas lega, semua pekerjaan dan urusan yang menumpuk berhasil diselesaikan. Sehingga di akhir pekan ini dia bisa menghabiskan waktu bersama Lila.Mereka memutuskan untuk tinggal di rumah saja, menikmati momen tenang sambil menyiapkan kamar putra pertama mereka yang sebentar lagi akan lahir.Kamar bayi mereka terlihat rapi dengan nuansa biru yang lembut. Dindingnya dihiasi mural bertema luar angkasa, gambar planet-planet yang berwarna pastel, bintang-bintang kecil yang bersinar lembut, dan sebuah roket mungil yang tampak terbang menuju galaksi jauh.Langit-langitnya dicat dengan warna biru gelap, dihiasi bintang-bintang fosfor yang akan bersinar dalam gelap, memberikan kesan magis saat malam tiba.Sean tersenyum puas saat menata tempat tidur bayi berbentuk bulat yang sudah dikelilingi oleh pelindung lembut bergambar awan. Di sudut kamar, ada rak kecil yang sudah diisi buku-buku cerita bertema angkasa, mainan edukatif, dan boneka berbentuk astronaut.“Bagaimana, ka
Hari masih pagi, tetapi energi Sean rasanya sudah hampir terkuras habis. Sean tidak bisa membiarkan sang mama berbuat semena-mena terhadap orang lain, tetapi dia pun tidak mungkin mengabaikan luka hatinya. Sebagai seorang anak, ingin rasanya Sean bisa menjadi penengah yang akan menjembatani perdamaian kedua orang tuanya. Dia ingin papa dan mamanya menikmati masa tua dengan bahagia, meski tidak harus bersama. Kesibukannya pagi ini membuat Sean terpaksa terlambat tiba di kantornya. Sean melangkah cepat melewati meja resepsionis hingga tiba di ruang sekretaris pribadinya. Sekilas dia melirik Bella yang sedang sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Tanpa memperlambat langkah, Sean memberi isyarat dengan tangan dan berkata singkat, "Bella, ke ruangan saya sekarang!" Bella mendongak, matanya berbinar. Ada senyum kecil yang terlukis di wajahnya, seolah-olah perintah Sean adalah penghargaan yang menegaskan posisinya. Betapa Sean sangat membutuhkan dan bergantung kepadanya. Bella seger
Sekar menatap Sean dengan sorot mata yang penuh luka dan kemarahan. Wajahnya yang cantik kini memucat, garis-garis usia tampak jelas ketika dia mencoba menahan amarah yang menggelegak dalam dada. Amarah yang selama ini dia pendam, akhirnya meledak juga. “Mama sudah banyak mengalah. Mama tidak memenjarakan papamu dan gundiknya. Mama tetap membiarkan papamu hidup sejahtera dari perusahaan yang modalnya dari uang mama. Kurang mengalah apa lagi, Sean?” Suara Sekar bergetar, tidak bisa menutupi rasa sakit yang mengendap bertahun-tahun di dalam dirinya. Sepertinya Sekar sudah tidak bisa menahan lagi amarah yang sudah lama dia pendam selama ini. Tidak mudah baginya untuk melupakan perselingkuhan yang telah dilakukan oleh suami yang sangat dia cintai. Dari bukan siapa-siapa, dia angkat derajatnya, tetapi setelah di atas, Andika justru meninggalkannya demi perempuan lain. “Papamu sudah merampas semua milik mama,” tambahnya dengan suara parau, mencoba menekan emosi. Sean menarik napas panj
Sean menatap Rangga dengan sorot mata tegas, namun tetap hangat. Di antara mereka, udara terasa berat oleh kebimbangan yang tergambar jelas di wajah Rangga. Sean menghela napas dalam-dalam. “Kamu fokus saja pada kesehatanmu. Masalah biaya pernikahan biar aku yang urus,” ucap Sean terdengar penuh ketulusan Rangga menggeleng pelan, wajahnya dipenuhi rasa bersalah. “Tapi itu banyak banget, Mas. Belum lagi biaya ….” Sean tersenyum tipis, mencoba meredakan keresahan adiknya. “Selamat mewujudkan pernikahan impian untuk Nadya. Urusan ini biar jadi tanggung jawabku.” Tetapi, Rangga berusaha bertahan dengan keputusannya. “Aku bisa mencicil. Potong saja gajiku setiap bulan sampai lunas. Aku sudah menerima banyak dari Ibu dan Mas Sean. Untuk hal-hal yang sangat mendesak aku bisa terima, tapi untuk pesta pernikahan … sepertinya terlalu berlebihan.” Sean terdiam sejenak, pikirannya melayang pada sang mama, yang selalu menggunakan uang sebagai alat untuk mendapatkan kendali. Kala itu Sekar me
Sean melangkah masuk ke kamar rawat Rangga dengan langkah ringan. Di tangan kirinya, ia membawa sekantong buah segar yang sempat dia beli di perjalanan. Wajah Sean memancarkan kelegaan ketika melihat Rangga duduk santai di atas ranjang, tersenyum menyambut kedatangannya. “Bagaimana keadaanmu, Ngga?” tanya Sean sambil meletakkan buah di meja samping ranjang. “Sudah jauh lebih baik, Mas. Dokter bilang kalau semuanya berjalan lancar, beberapa hari lagi aku sudah boleh pulang,” jawab Rangga dengan senyum kecil. Sean menghela napas panjang, matanya sedikit menatap langit-langit seakan mengucap syukur dalam hati. “Syukurlah. Sudah diperiksa semua? Aku khawatir kalau harus ada komplikasi lain.” Rangga mengangguk pelan. “Semua sudah diperiksa, dan terkendali. Organ-organ dalam semua bagus, termasuk organ reproduksi.” Sean tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. “Itu yang paling penting,” ucap Sean dengan nada bercanda. Sean menarik kursi lalu duduk di samping brankar Rangga. Merek
Di sebuah kafe remang yang penuh atmosfer santai, Bella duduk bersama Vicky. Di meja kecil mereka, hidangan telah terhidang, tapi hanya sedikit yang disentuh. Vicky menyeruput kopinya perlahan, pandangannya tertuju pada Bella yang terlihat begitu bersemangat bercerita tentang masa lalunya.“Awal aku kerja di perusahaan itu, aku sebenarnya sekretarisnya Bu Sekar,” ujar Bella sambil menatap Vicky dengan mata berbinar. Senyumnya lebar, seakan sedang menghidupkan kembali kenangan yang manis.“Bu Sekar itu keras, tapi dia pemimpin yang baik. Dia sering memuji kerja kerasku. Bahkan, pernah suatu kali dia bilang, ‘Bella, kalau kamu jadi menantuku, aku pasti sangat beruntung.’”Vicky tersenyum kecil, tertarik mendengar cerita itu. "Serius dia ngomong kaya gitu?"Bella mengangguk. "Iya. Waktu itu Sean masih kuliah di luar negeri. Setelah dia lulus dan Bu Sekar memutuskan mundur, Sean langung menggantikan posisi mamanya. Dan dia tetap mempertahankan aku sebagai sekretarisnya."Bella terdiam sej