Sean memasuki rumah besar milik keluarganya dengan langkah berat. Pikirannya masih dipenuhi oleh banyak hal, terutama percakapannya dengan Miranda beberapa hari yang lalu. Setiap kali ia berusaha melupakan, percakapan tentang pernikahan dan anak selalu kembali menghantuinya. Memasuki ruang tamu, Sekar sudah menunggunya dengan anggun, seperti biasa. Wanita paruh baya itu tersenyum tipis ketika melihat putranya masuk. “Akhirnya kau datang juga,” ucap Sekar sambil menepuk sofa di sebelahnya, seolah memberi kode kepada Sean untuk duduk di sampingnya. “Kita harus bicara,” sambung Sekar dengan seulas senyum untuk merayu putranya. Sean tahu apa yang akan dibicarakan oleh sang mama. Sekar tidak pernah setengah-setengah jika sudah berbicara tentang masa depan keluarganya, dan dalam hal ini, tentang hubungannya dengan Miranda. “Kapan kamu akan mengumumkan hubunganmu dengan Miranda di depan publik?” Sekar memulai dengan nada lembut, namun penuh tekanan. “Sudah waktunya, Sean. Semua orang su
“Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Sean?” tanya Andreas, papa Miranda, dengan wajah yang terlihat penuh kecemasan. Apalagi setelah putrinya menggelengkan kepala. Ruang kerja yang menjadi tempat pembicaraan yang sangat pribadi antara ayah dan anak itu terasa begitu menegangkan. Sedari tadi Miranda duduk dengan tatap mata cemas ke arah sang papa yang berjalan mondar-mandir di hadapannya. Andreas adalah seorang pengusaha tambang yang sepertinya saat ini sedang menghadapi masalah serius. Gurat kecemasan terlihat jelas di wajahnya yang sudah dipenuhi kerutan itu. "Masalah ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut lagi," ucap Andreas yang tidak bisa menutupi ketegangan dan kecemasan yang akhir-akhir menderanya. "Perusahaan kita sedang dalam masalah besar. Papa berharap, pernikahanmu dengan Sean akan membantu kita keluar dari masalah ini." Miranda menghela napas dalam-dalam. "Hubungan kami sebenarnya sudah banyak kemajuan, apalagi dengan dukungan Tante Sekar. Tetapi ... kalau untuk
Rasa penasaran menuntun Ryan sampai di poli tempat praktek Dokter Arman. Ryan duduk dengan gelisah di ruang tunggu. Jemarinya saling bertautan dengan erat, menunjukkan rasa khawatir yang tidak bisa lenyap dari benaknya begitu saja. Dia harus memastikan jika Lila dalam keadaan baik-baik saja. Dokter Arman baru saja selesai dengan pasien terakhirnya hari itu. Dan kini, mereka bisa duduk berhadapan, berbicara secara pribadi. "Saya ingin tahu keadaan Lila yang sebenarnya," ujar Ryan dengan suara rendah yang menyiratkan rasa penasaran. "Saya merasa ada yang lebih dari sekadar kelelahan. Saya khawatir kalau ini ... penyakit yang serius. Mungkin mematikan." Dokter Arman mengangkat alisnya sedikit, menatap Ryan dengan tatap mata tajam penuh tanya. Sebagai dokter keluarga yang sudah lama saling mengenal, Dokter Arman merasa pernah melihat tatap mata penuh kekhawatiran di mata Ryan, dan itu terjadi hanya saat menyangkut keadaan ibu kandungnya. “Ryan, sebelum kita membicarakan hal ini le
Sebagai seorang model sebenarnya Miranda cukup mahir memoles wajahnya sendiri, tetapi untuk acara gala dinner malam ini dia ingin tampil sempurna di hadapan Sean. Sehingga dia rela mengeluarkan budget lebih dengan memanggil perias professional. Tangan lincah perias professional itu mempertegas garis wajah Miranda yang sudah cantik alami. Gaun warna merah anggunnya tergantung rapi di dekat ranjang, menanti dikenakan untuk gala dinner yang akan segera dimulai. Miranda menatap cermin, mengamati setiap sentuhan pada wajahnya. Ketika dandanan hampir selesai, pintu kamar terbuka perlahan. Andreas melangkah masuk dengan tatap mata langsung tertuju kepada putrinya yang tengah berdandan. "Kau terlihat luar biasa, Miranda," puji Andreas sambil berjalan mendekat. "Papa harap kau tidak gagal malam ini.” Miranda menatap perias yang baru saja melakukan sapuan terakhir di wajahnya, dia memberi kode agar perias itu keluar sebentar karena ada hal penting yang harus dia bicarakan dengan sang papa.
Untuk kali ini tampaknya Lila tidak bisa menolak semua kebaikan yang berikan oleh Ryan. Dari membayar semua belanjaan, membawakannya sampai ke apartemen, hingga membuat Lila akhirnya membalasnya dengan memasak makan malam untuk mereka berdua.Sambil menikmati makan malam, Lila dan Ryan terlibat obrolan ringan penuh basa basi tentang pekerjaan. Setelah sendok diletakkan menyilang di atas piring obrolan berubah menjadi serius dan begitu pribadi.“Apa rencanamu dengan bayi itu?” tanya Ryan tiba-tiba. Suaranya lembut, tetapi bernada menginterogasi seolah ingin mengetahui lebih jauh apa yang akan Lila lakukan. “Aku sudah tahu soal kehamilanmu dari Dokter Arman.”Lila terdiam sejenak, menatap Ryan dengan tatapan penuh keraguan. Dia sudah tahu? Lalu, mengapa tidak mengatakannya lebih awal?Lila menghela napas dalam sebelum menjawab, “Saya akan melahirkannya, merawatnya, dan mendidiknya.”Ryan menatap Lila dalam-dalam. "Meski tanpa ayah?"Lila tersenyum getir, terasa seperti sebuah kepahitan
Detik demi detik berlalu, dan untuk sesaat, Sean merasa dia bisa melepaskan semua kekhawatirannya. Bibir yang bersatu itu saling berbalas kuluman penuh Hasrat, bahkan tangan Sean mulai bergerilya menapaki inci demi inci lekuk tubuh Miranda.Sejenak keduanya hanyut dalam sentuhan yang memabukkan. Sean yang sudah lama puasa sejak perceraiannya dengan Lila, dan Miranda yang sejak dahulu begitu mendambakan Sean, seolah mencapai titik temu yang penuh gairah.Namun semua tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, ingatan tentang mimpi itu melintas di benak Sean. Bayi kecil yang tersenyum kepadanya kembali mengganggu pikirannya.Sean terhuyung mundur dari ciuman itu, napasnya tersengal-sengal. Dia memejamkan matanya, menyadari bahwa dia sedang berada di ambang batas yang berbahaya. Jika dia tidak bisa mengendalikan dirinya, segalanya bisa berakhir dengan konsekuensi yang tidak dia inginkan."Maaf." Sean membuka matanya, menatap Miranda dengan rasa bersalah yang mendalam. "Seharusnya kita tidak melak
Miranda berdiri di depan wastafel dengan tangan yang bergetar. Butiran serbuk yang seharusnya menjadi alat untuk menjalankan rencana Andreas perlahan menghilang di bawah aliran air. Miranda ingin menghapus semua bukti pembangkangannya, menghindari murka dari sang papa.Tetapi detak jantungnya semakin cepat saat suara gedoran keras terdengar dari arah pintu. Suara itu membuatnya semakin gugup, karena dia tahu siapa yang ada di balik pintu itu.“Miranda!” suara Andreas menggema di seluruh ruangan.Pintu terbuka dengan keras, dan Andreas muncul di ambang pintu dengan wajah penuh amarah. Miranda hanya bisa menundukkan kepala, tahu bahwa apa pun yang dia katakan tidak akan meredakan amarah sang papa.“Mengapa kau tidak menjalankan rencana kita?” tanya Andreas dengan suara bergetar menahan amarah. “Acara gala dinner itu kesempatan besar! Seharusnya kau bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Sean, menjeratnya seperti yang sudah kita rencanakan!”Tampaknya tanpa menunggu penjelasan, And
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, suasana di dalam mobil terasa hening namun tidak canggung. Lila duduk tepat di samping Ryan dengan tatapan mata kosong, menatap jalan yang terbentang di depan mereka. Di sisi lain, Ryan menyetir dengan tenang, sesekali melirik Lila yang tampak tenggelam dalam pikirannya. “Ada masalah?” tanya Ryan kala menatap wajah sendu Lila. Lila hanya menggeleng lalu melempar senyum ke arah Ryan. Apa pun beban dalam hidupnya, Ryan bukanlah tempat penampungan keluh kesahnya. Ada hal-hal pribadi yang tetap harus dia jaga. Terutama tentang beban pikiran yang berhubungan dengan kahamilannya. “Semua akan baik-baik saja,” ucap Ryan beusaha meyakinkan hati Lila. “Aku berharap begitu,” jawab Lila pelan, terdengar adanya nada penuh keraguan. Ryan mengangguk, tidak banyak berucap lagi. Dia memahami bahwa Lila membutuhkan ruang untuk merenung. Setibanya di rumah sakit, Ryan turun terlebih dahulu. Layaknya seorang lelaki sejati dia membukakan pintu untuk Lila. Mereka
Begitu melihat Ryan, mata Renasya langsung berbinar. Tanpa ragu, bocah itu berlari ke arahnya dan melompat ke dalam pelukannya.“Papa!” serunya, memeluk erat seolah takut kehilangan lagi. Ryan membalas pelukan itu, mencium puncak kepala putrinya, merasakan kehangatan yang lama ia abaikan.Renasya menatap wajah papanya dengan polos. “Papa sudah nggak pusing lagi?” tanya Renasya, karena setiap kali dia bertanya kenapa harus tinggal bersama Brilian, orang dewasa di rumah itu mengatakan jika papanya sedang pusing.“Kayak Papa Brilian yang selalu pusing, terus minta dimanja sama Mama Lila?” sambung Renasya yang pernah tanpa sengaja melihat Sean yang mengatakan pusing dan langsung mendepat pelukan dari Lila sebelum akhirnya keduanya menuju ke kamar.Ryan mengerutkan kening, sedikit bingung. Ia melirik Sekar, yang hanya menatapnya dengan ekspresi datar.“Papa Brilian kalau pusing, katanya Mama harus peluk dia, harus elus kepalanya, biar cepet sembuh.” Renasya melanjutkan dengan nada serius.
Setiap orang memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyingkirkan rasa sedihnya. Ryan lebih memilih diam menyendiri mengasingkan diri dari orang lain. Sepulang kerja, dia akan menyendiri di ruang kerja atau di kamar Risda.Seperti saat ini, Ryan duduk sendiri di ruang kerjanya ditemani secangkir kopi yang sudah dingin dibiarkan begitu saja. Hatinya masih terasa berat. Kepergian Andika meninggalkan lubang besar dalam dirinya, begitu pula kepergian Risda yang masih menyisakan luka.Sungguh jauh berbeda dengan Sean yang memilih untuk sibuk, Ryan justru semakin tenggelam dalam kesedihan. Ia butuh waktu untuk menerima semuanya.Di sisi lain, Sean sibuk membenamkan diri dalam pekerjaan. Setiap harinya ia pulang lebih larut, mencari cara agar pikirannya tidak terlalu banyak melayang pada kehilangan yang ia rasakan.Menjalani biduk rumah tangga hampir delapan tahun, membuat Lila bisa memahami suasana kebatinan suaminya. Termasuk bagaimana dia harus mempersiapkan diri di hadapan Sean dan menuruti
Malika duduk di sudut ruangan, memeluk boneka kelinci kesayangannya sambil memperhatikan Brilian dan Renasya. Matanya menyipit sedikit, menunjukkan perasaan yang tidak bisa ia sembunyikan, cemburu.Brilian tampak begitu bersemangat memperkenalkan Renasya kepada Malika. “Ini Renasya! Dia adikku!” ucap Brlian dengan bangga, tangannya menggandeng Renasya seolah ingin melindungi adik sepupunya tersebut.Malika menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang berubah. Selama ini, Brilian selalu dekat dengannya, selalu melindungi dan menjaganya seperti kakak sendiri. Tapi sekarang, perhatian Brilian sepenuhnya tertuju pada Renasya.“Kamu kenapa diam saja, Malika?”Malika menggeleng pelan, tapi matanya masih terpaku pada Brilian dan Renasya. Lalu dengan berat hati akhirnya menerima uluran tangan Renasya.Renasya tersenyum saat Malika menggenggam tangannya. “Namaku Rena, aku adiknya Kak Brili. Kita bisa main bersama.”Suasana hati Malika tampaknya sedang tidak baik. Dia tidak seantusias biasanya s
Suasana duka menyelimuti rumah Andika. Cahaya lampu yang temaram dan lantunan doa-doa menciptakan keheningan yang mencekam. Sekar berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Sean dan Ryan, tampak keduanya sama-sama dirundung kesedihan.Dalam hati Sekar bertanya, kebaikan apa yang membuat Andika begitu dicintai oleh kedua anaknya. Meski sebagai seorang ayah, Andika telah melakukan sebuah kesalahan fatal yang meninggalkan luka mendalam, baik itu kepada Sean maupun Ryan.Sean, meskipun wajahnya tidak berhiaskan senyum, tetapi dia tetap terlihat tegar. Ia menyapa tamu yang datang, memberi arahan kepada para pelayan agar memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik. Namun, sesekali, tatapannya melayang ke arah jenazah sang papa, seolah masih berusaha menerima kenyataan pahit ini.Sementara itu, Ryan duduk diam di samping jenazah Andika, wajahnya kaku tanpa ekspresi. Tidak ada air mata yang jatuh, tetapi kesedihan terpancar jelas di matanya. Ryan seperti sedang menunggu sang papa tertidur, be
Sekar menguatkan hatinya melangkah mendekati ranjang perawatan Andika dengan perasaan yang tak menentu. Napas pria itu tersengal, dengan mata yang setengah terbuka, seolah ingin menangkap sosok Sekar untuk terakhir kalinya. Di sekeliling mereka, suara alat medis terus berbunyi, menjadi latar yang tak bisa diabaikan.Sekar menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam tangan Andika yang terasa semakin dingin. Perasaan bersalah dan kepedihan bersarang dalam hati perempuan paruh baya itu. Bagaimana mungkin cinta mereka yang pernah menggebu-gebu kini berakhir di sini?Sekar mendekatkan mulutnya tepat di telinga Andika. Dengan suara pelan dan bergetar, perempuan paruh baya itu membisikkan sebuah doa, seperti yang pernah ia ucapkan kala melepas kepergian sang papa beberapa tahun yang lalu.Bayangan kebersamaan mereka yang dulu kembali menghampiri pikirannya, berputar-putar tanpa henti.Andika dengan tatap mata kosong yang menerawang, mencoba
Sekar melangkah keluar dari ruang perawatan Andika dengan gurat wajah penuh kekesalan. Ia tidak ingin berlama-lama di tempat itu, karena hanya akan mengingatkan kembali pada luka lama yang sampai saat ini belum bisa sembuh sepenuhnya.Seandainya bukan untuk memberi kejelasan tentang hubungan mereka, bagi Sekar pertemuan ini hanya membuang waktunya. Andika sudah menjadi bagian dari masa lalu yang tak perlu diungkit lagi.Namun, baru beberapa langkah dari pintu, suara langkah kaki yang tergesa-gesa membuatnya berhenti. Sekar menoleh dan melihat seorang dokter bersama beberapa perawat bergegas masuk ke ruang perawatan Andika. Wajah mereka tegang, gerakan mereka cepat dan menunjukkan suasana darurat.Hatinya mendadak berdebar kencang. Sekar bisa saja mengabaikan, dan terus berjalan seperti yang ia rencanakan sejak awal. Namun, tanpa sadar, kaki perempuan paruh baya itu justru melangkah kembali ke arah pintu.Sekar berdiri di ambang pintu, menyaksikan dokter dan perawat mengelilingi Andika
Brilian dengan antusias menceritakan pertemuannya dengan Renasya kepada Sekar. Bocah itu duduk di sofa sambil mengayunkan kakinya, wajahnya bersinar penuh semangat.“Oma, ternyata aku sudah punya adik.”Sekar menatap cucunya. Biasanya yang dia sebut adik adalah Malika dan Mikaila anak dari Rangga dan Nadya.“Namanya Renasya, Oma. Dia cantik sekali! Rambutnya panjang wangi, dia juga lucu, suka tertawa. Tidak cengeng seperti Malika,” cerita Brilian dengan penuh semangat.Sekar, yang sedang membaca majalah di sebelahnya, hanya menanggapi dengan anggukan kecil. “Oh ya?”Brilian mengangguk cepat. “Iya! Aku suka main sama dia. Kalau nanti dia main ke sini, aku mau ngajarin dia main basket.”Sekar tersenyum kecil, tapi tak ada antusiasme di matanya. Ia mendengar cerita cucunya, tapi hatinya tetap dingin. Meski dia sadar jika Renasya tidak berdosa, tetapi Sekar belum bisa menerima Renasya ataupun Ryan sepenuhnya.Bagi Sekar, meski Risda sudah tiada, jejak kesalahan wanita itu masih terasa dal
Suasana di ruang perawatan Andika dipenuhi kebahagiaan. Sean dan Ryan datang bersama keluarga mereka, membawa serta anak dan istri masing-masing. Andika tersenyum melihat dua putranya berdiri berdampingan, membawa keluarga kecil mereka ke hadapannya."Papa, ini Renasya," ujar Ryan sambil menggendong putrinya yang masih malu-malu.Andika menatap gadis kecil itu dengan penuh kasih. "Renasya, ke mari, Nak."Renasya menoleh ke Ryan, memastikan bahwa dia boleh mendekat, lalu dengan ragu melangkah ke tempat tidur Andika. Saat Andika mengulurkan tangannya, Renasya tersenyum dan menggenggam jemari rentanya."Opaaaa!" serunya girang.Andika melihat Brilian yang masih berada di samping Sean. Mereka sudah beberapa kali bertemu, pertemuan yang dirahasiakan dari Sekar tentunya.“Brili tidak kangen opa?” tanya Andika sambil mengulurkan tangannya. “Sini dekat dengan adikmu.”“Dia kakakku?” tanya Renasya dengan polosnya.Bocah yang baru berusia tiga tahun kembali melihat ke arah kedua orang tuanya se
Sean setengah berlari menuju ruang perawatan Andika. Napasnya memburu, tapi hatinya penuh harapan. Begitu membuka pintu, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuatnya terdiam sesaat.Andika terbaring di atas brankar dengan mata terbuka, menatap ke arahnya dengan senyum tipis. Di sampingnya, Ryan duduk dengan ekspresi penuh kebahagiaan.“Papa sudah sadar!” seru Ryan, suaranya terdengar lega.Sean nyaris tidak percaya. Ia segera mendekat, meraih tangan sang papa dengan erat. “Papa…” suaranya bergetar. “Akhirnya…”Andika menatap kedua putranya dengan mata berkaca-kaca. “Kalian di sini…” suaranya lemah, tapi penuh kehangatan.Untuk pertama kalinya Andika menyaksikan kedua putranya berada dalam satu tempat dalam keadaan kompak dan rukun.“Papa sudah lama tertidur,” ujar Ryan, mencoba menahan emosinya. “Kami menunggu Papa sadar.”Sean mengangguk cepat. “Kami pikir… Papa tidak akan bangun lagi.”Andika tersenyum samar, menatap mereka satu per satu. “Tuhan masih memberiku waktu… untu