Miranda berdiri di depan wastafel dengan tangan yang bergetar. Butiran serbuk yang seharusnya menjadi alat untuk menjalankan rencana Andreas perlahan menghilang di bawah aliran air. Miranda ingin menghapus semua bukti pembangkangannya, menghindari murka dari sang papa.Tetapi detak jantungnya semakin cepat saat suara gedoran keras terdengar dari arah pintu. Suara itu membuatnya semakin gugup, karena dia tahu siapa yang ada di balik pintu itu.“Miranda!” suara Andreas menggema di seluruh ruangan.Pintu terbuka dengan keras, dan Andreas muncul di ambang pintu dengan wajah penuh amarah. Miranda hanya bisa menundukkan kepala, tahu bahwa apa pun yang dia katakan tidak akan meredakan amarah sang papa.“Mengapa kau tidak menjalankan rencana kita?” tanya Andreas dengan suara bergetar menahan amarah. “Acara gala dinner itu kesempatan besar! Seharusnya kau bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Sean, menjeratnya seperti yang sudah kita rencanakan!”Tampaknya tanpa menunggu penjelasan, And
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, suasana di dalam mobil terasa hening namun tidak canggung. Lila duduk tepat di samping Ryan dengan tatapan mata kosong, menatap jalan yang terbentang di depan mereka. Di sisi lain, Ryan menyetir dengan tenang, sesekali melirik Lila yang tampak tenggelam dalam pikirannya. “Ada masalah?” tanya Ryan kala menatap wajah sendu Lila. Lila hanya menggeleng lalu melempar senyum ke arah Ryan. Apa pun beban dalam hidupnya, Ryan bukanlah tempat penampungan keluh kesahnya. Ada hal-hal pribadi yang tetap harus dia jaga. Terutama tentang beban pikiran yang berhubungan dengan kahamilannya. “Semua akan baik-baik saja,” ucap Ryan beusaha meyakinkan hati Lila. “Aku berharap begitu,” jawab Lila pelan, terdengar adanya nada penuh keraguan. Ryan mengangguk, tidak banyak berucap lagi. Dia memahami bahwa Lila membutuhkan ruang untuk merenung. Setibanya di rumah sakit, Ryan turun terlebih dahulu. Layaknya seorang lelaki sejati dia membukakan pintu untuk Lila. Mereka
Setelah menjalani istirahat beberapa hari, kini Lila sudah kembali bekerja. Tidak ada yang harus dia tutupi, termasuk dengan kahamilannya. Toh dengan berjalannya waktu rekan-rekan kerjanya akan tahu juga. Bayi ini bukan aib, bukan pula dosa yang harus dia sembunyikan, dia adalah anugerah yang harus disyukuri kehadirannya.Ketika Lila melewati meja-meja rekan kerjanya, beberapa dari mereka terlihat berbisik-bisik, meski tetap menatapnya dengan senyum ramah. Mereka sepertinya memperhatikan perubahan gaya berpakaian Lila yang terlihat lebih longar, lebih nyaman, lebih feminim. Lila menyadari tatap mata mereka, tetapi dia tidak memedulikannya. Dia fokus pada tugas-tugas yang menanti di meja kerjanya.Namun, di antara bisikan-bisikan itu, satu hal yang jelas sering didengar Lila adalah tentang Ryan. Perhatian yang sering ditunjukkan oleh Ryan kepada Lila, mulai dikaitkan dengan hubungan mereka dan kehamilannya. Beberapa bahkan menduga bahwa bayi yang dikandung Lila adalah anak Ryan, sang p
Setumpuk data yang harus dianalisa adalah karib sehari-hari Lila yang membantunya melupakan semua beban dan masalah. Bukan hanya bekerja keras untuk keluarga dan calon anaknya, tetapi Lila juga ingin membuktikan kemampuannya di hadapan semua orang yang meragukannya selama ini.Kerja keras Lila tampaknya mulai menunjukkan pencapaian yang memuaskan. Hari ini, di sebuah pertemuan tim Mahendra Securitas, suasana penuh dengan antusiasme. Ryan berdiri di depan, dengan senyum bangga terukir di wajahnya. Dia baru saja menerima laporan kinerja kuartalan perusahaan, dan hasilnya melebihi ekspektasi.Semua mata tertuju pada Ryan saat dia mulai berbicara. Kharisma dan wibawanya sebagai seorang pemimpin terlihat jelas."Saya ingin mengucapkan terima kasih atas kerja keras kalian semua. Kinerja investasi kita tahun ini sangat luar biasa, terutama dalam beberapa bulan terakhir," ucap Ryan dengan penuh semangat.Ryan kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Lila, yang duduk di salah satu sudut ruang
Andika Mahendra duduk di ruangannya, menatap serius pada pria yang berdiri di depannya. Pria itu adalah informannya, seseorang yang telah lama bekerja dalam bayang-bayang untuk memastikan bahwa tidak ada informasi penting yang terlewatkan oleh Andika, terutama yang terkait dengan perusahaan dan keluarganya. "Jadi, apa yang kau temukan tentang perempuan itu?" tanya Andika, suaranya rendah tapi tegas. Dia masih belum bisa sepenuhnya yakin dengan apa yang dia lihat sebelumnya, dan kini dia ingin mendapatkan gambaran pasti yang lebih jelas. Pria itu menarik napas sebelum mulai berbicara. "Perempuan yang Anda tanyakan adalah Delilah Aurora Fatma. Dia adalah mantan istri Sean Mahendra Wismoyojati, putra dari keluarga Wismoyojati. Mereka bercerai beberapa bulan yang lalu." Andika menatap pria itu dengan alis terangkat. "Mantan istri Sean?" ucapnya setengah bergumam, ada perasaan yang sulit digambarkan setelah mendengar informasi tersebut. "Betul, Pak," sahut sang informan. “Untuk penyeb
Lila mengangkat telepon dengan cepat, mendengar suara lembut penuh kecemasan dari Inayah, di seberang sana."Lila, bapakmu Lil ….” Kalimat itu harus terjeda oleh suara tangis “Bapakmu sekarang harus kembali ke rumah sakit. Kondisinya memburuk sejak semalam," sambung Inayah terputus-putus karena dibarengi oleh tangisan.Dunia Lila seakan berhenti sejenak. Dia merasa detak jantungnya mengalami percepatan berulang kali lipat, hingga membuat pandangannya kabur sesaat.“Bu … apa yang terjadi? Kenapa nggak bilang dari tadi?” Suara Lila gemetar tidak bisa menutupi rasa khawatir di hatinya."Kami nggak mau bikin kamu panik, tapi sekarang sudah nggak bisa lagi ditunda. Dokter bilang bapakmu harus segera mendapat perawatan. Kamu bisa pulang, kan?"Lila terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Rasa panik yang mendesak membuat dadanya terasa sesak. "Iya, Bu. Aku akan segera pulang."Lila menghela napas dalam-dalam, masalah seolah enggan beranjak dari hidupnya. Selalu ada yang menjadi penghalang untuk
Rasa lelah yang mendera setelah perjalanan jauh tidak Lila hiraukan. Yang penting saat ini dia bisa melihat keadaan sang ayah. Lila mendekati brankar ayahnya, ingin melihat keadaan Waluya sambil mengistirahatkan tubuh dengan duduk di kursi yang ada di samping brankar.Suara napas Waluya yang berat terdengar samar di balik suara monitor medis, membuat suasana semakin mencekam. Inayah duduk di sebelahnya, memandang Lila dengan tatapan penuh emosi yang selama ini terpendam. Bahkan terlihat tidak peduli dengan, keadaan Lila yang tampak kelelahan.“Apa karena lelaki itu kau minta cerai dari Sean?” Tampaknya Inayah masih penasaran dengan sosok Ryan.“Tidak Bu,” sangkal Lila yang merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang lebih condong pada tuduhan. “Hubungan kami murni urusan pekerjaan, kalau sampai dia mengantarku pulang, itu semua karena alasan kemanusiaan.”Inayah mendengus kasar, meski tidak percaya begitu saja, tetapi tampak mulai mengabaikannya. Pandangannya kini tertuju ke arah sang
Lila tersentak, tubuhnya seketika menegang. Pertanyaan itu menghentikan langkahnya, membuatnya tak mampu berkata-kata. Dia menatap ayahnya, matanya dipenuhi rasa cemas dan ketidakpastian. Selama ini, dia mencoba menyembunyikan kehamilannya, terutama dari ayahnya yang sedang sakit. Dia tak ingin menambah beban pikiran di tengah kondisinya yang masih belum stabil."Bapak …" Lila berusaha mencari kata-kata yang tepat, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Matanya bertemu dengan tatapan tajam sang ayah yang begitu penuh perhatian."Jawab, Nak. Kamu hamil?" Suara Waluya terdengar lebih lembut, tetapi menuntut jawaban pasti.Waluya tidak bisa mengabaikan apa yang baru saja dilihatnya. Wajah Lila, sikap tubuhnya, dan suara muntah itu adalah tanda-tanda yang sulit untuk disangkal.Lila mengangguk perlahan, mengakui kenyataan yang selama ini coba dia sembunyikan."Iya, Pak …" jawab Lila lirih, nyaris tidak terdengar. "Aku hamil."Waluya menarik napas panjang, seolah berpikir sejenak. Tatap ma
“Ma, sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah harta. Bagiku Lila dan putranya jauh lebih berharga dari itu semua.”“Kau mengatakan mereka lebih berharga, tapi nyatakan keselamatan mereka yang kau abaikan. Apa yang menimpa Lila dan anakmu itu semua karena kebodohanmu, dan sampai sekarang tampaknya kau belum menyadarinya.” Sekar menggelengkan kepala menunjukkan rasa kecewa yang mendalam kepada Sean. “Sampai saat ini kau masih mempertahankan pendirianmu untuk menjadi penjaga bagi tukang selingkuh itu dan anak haramnya.”“Bukan begitu, Ma. Aku hanya ingin ….”“Jika tidak seperti itu, seharusnya sejak mengetahui Lila hamil, kau sudah menandatangi surat-surat pengalihan perusahaan, dan juga kau bisa membuat Lila melakukah hal sama. Bukan malah menjauhkan dia dari aku.”Sean hanya diam, saat ini otaknya sedang dipenuhi oleh Lila dan anaknya yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Tetapi di sini dia justru sibuk membicarakan harta yang tidak aka nada harganya lagi jika sa
Ryan duduk diam di hadapan ayahnya, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja disampaikan. Dia yang mendampingi masa-masa awal kehamilan Lila masih ingat kapan seharusnya persalinan itu terjadi.“Bukankah ini belum waktunya?” tanya Ryan mencoba memastikan.“Ya, bayi itu lahir prematur. Dan sekarang harus mendapat perawat intensif di inkubator.” Andika tidak bisa menutupi kesedihannya, meskipun kelahiran bayi itu akan membuatnya kehilangan kekayaan tetapi dia tetap menyayangi cucunya.“Apa ini ada hubungannya dengan penculikan itu? Papa tahu siapa yang melakukannya?”Andika mengangguk pelan lalu menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. “Sekretaris Sean,” jawab Andika singkat.“Sekar berhasil melacaknya dan menyelamatkan Lila. Tapi Lila harus melahirkan sebelum waktunya, karena sekretaris Sean memberikan obat yang memacu kontraksi.”Ryan mengangguk, merasakan ketegangan menggumpal di dadanya. “Bagaimana keadaan bayinya?” tanyanya pelan.“Bayinya di NICU,” Andika menjawab, w
Sean berdiri mematung di depan pintu ruang perawatan Lila. Dari tempatnya, dia bisa melihat penjagaan ketat yang diatur oleh Sekar. Meski tidak mencolok, keberadaan beberapa pria bertubuh kekar di sekitar area itu sudah cukup memberi peringatan bahwa Sekar tak main-main. Perempuan itu bersikeras melindungi Lila dan tidak akan membiarkan Sean mendekat begitu saja.Perasaan bersalah dan amarah bercampur dalam dada Sean. Dia tahu situasinya rumit, tapi hati kecilnya tetap berbisik bahwa sebagai suami dan ayah, dirinya punya hak.Dengan berat Sean bergerak menjauh dari pintu itu. Dia mengayunkan langkahnya menuju arah yang lain, ruang NICU. Di sana, dua anak buah Theo berjaga dengan postur kaku dan wajah tanpa ekspresi. Mereka mencoba menghalangi Sean untuk memasuki ruang tersebut.“Aku hanya ingin melihat keadaan anakku,” ucap Sean terdengar memohon.“Kami hanya menjalankan perintah, hanya Bu Sekar yang boleh melihat cucunya.” Salah satu dari anak buah Theo memberanikan diri untuk mengha
Sean berdiri membeku di depan Sekar. Wajahnya tertunduk, tangan menggenggam erat di sisinya. Tamparan di pipinya masih terasa panas, namun itu tak seberapa dibandingkan kata-kata tajam yang baru saja dilontarkan ibunya, Sekar. Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti belati yang terus-menerus menorehkan luka baru di hatinya.“Ini semua salahmu, Sean!” Suara Sekar meledak, penuh amarah yang sudah lama dipendam. Sekar menatap putranya dengan api kemarahan di matanya. Suaranya naik turun, penuh emosi.“Apa kau tahu betapa menderitanya Lila? Apa kau tahu betapa dekatnya dia dengan bahaya? Tidak, tentu saja kau tidak tahu! Kau terlalu sibuk melindungi Andika dan Ryan, orang-orang yang bahkan tidak layak untuk kau bela!”Sean hanya bisa menunduk mendengar segala ucapan Sekar. Dia tahu apa yang dikatakan sang mama benar, meskipun terdengar begitu menyakitkan. Ia tidak bisa membela diri, tidak bisa menyangkal. Sekar melangkah mendekat, menatap putranya dengan pandangan penuh amarah yang me
Mobil berhenti mendadak tepat di depan pintu unit gawat darurat. Theo keluar dengan langkah cepat, menghampiri petugas medis yang berjaga di depan pintu. Wajahnya tegang, napasnya memburu."Saya butuh bantuan segera! Pasien dalam kondisi kritis!" suara Theo terdengar keras dan tegas, hampir seperti perintah.Petugas medis yang berjaga tidak membuang waktu. Dalam hitungan detik, mereka memanggil tim perawat dengan brankar. Theo membuka pintu belakang mobil, menunjuk ke arah Lila yang terbaring pucat, matanya terpejam, tubuhnya terlihat tak berdaya.“Hati-hati,” ucap Sekar dengan nada rendah namun mendesak saat para perawat memindahkan tubuh Lila ke atas brankar.Sekar turun dari mobil, mengikuti di belakang dengan langkah cepat. Wajah perempuan paruh baya itu dipenuhi kecemasan, namun dia berusaha keras untuk tetap terlihat tenang. Tatapan matanya tidak lepas dari tubuh Lila.Brankar meluncur dengan cepat melewati pintu unit gawat darurat menuju ruang pemeriksaan. Di ujung lorong, Dokt
Bella menggertakkan giginya, berusaha menarik tubuh Lila yang lunglai untuk kembali ke kamarnya. Tubuh perempuan hamil itu berat, terlalu berat untuk dipindahkan oleh Bella seorang diri. Matanya berkilat jijik saat melihat cairan yang membasahi pakaian Lila.“Benar-benar manusia tidak berguna, bisanya hanya nyusahin saja,” ucap Bella yang terlihap putus asa karena tubuh Lila yang berat.Bella hampir menyerah ketika suara ketukan pintu menggetarkan udara. Dia berhenti sejenak, menarik napas panjang. Harapan melintas di wajahnya. Pasti Vicky, pikirnya, satu-satunya orang yang tahu bahwa dia ada di sini. Tanpa berpikir panjang, Bella berjalan tergesa ke pintu.Namun, saat pintu terbuka, harapannya langsung berubah menjadi mimpi buruk. Bukan Vicky yang berdiri di sana, melainkan Sekar, Theo, dan beberapa pria berbadan besar yang menatapnya seperti singa lapar. Tatapan dingin Sekar menembus seperti pisau, memaku Bella di tempat. Bibirnya melengkung tipis, seperti menyimpan amarah yang siap
Sean menatap Selo Ardi dengan tatapan tajam, seperti bara api yang tak kunjung padam. Tetapi tak ada perlawanan dari Sean. Amarah Sean mulai surut, meski dadanya masih naik turun, menunjukkan jika dia berusaha untuk mengendalikan dirinya."Dia tahu di mana Lila," gumam Sean dengan suara serak. “Tapi dia mencoba mempermainkan aku," sambung Sean, suaranya lebih lirih namun tetap penuh bara dan luka.Selo Ardi, yang berdiri dengan punggung tegap, melirik sekilas ke arah Vicky. Sebuah pemandangan yang sangat mengenaskan."Kalian urus perempuan ini," perintah Selo Ardi kepada dua anak buahnya yang berdiri di sudut ruangan. "Pastikan dia mendapat perawatan yang layak. Dan jangan ada yang melaporkan hal ini ke polisi. Kita tidak butuh masalah tambahan."Vicky hanya bisa menangis pelan di lantai, tubuhnya menggigil. Hatinya penuh penyesalan, tetapi juga ketakutan. Wajah garang Sean masih terbayang di benaknya, seperti bayangan buruk yang sulit dihapus. Dahulu Vicky pernah mendengar cerita d
Vicky merasakan impiannya menjadi nyata, dia bisa begitu dekat dengan Sean. Bahkan, saat ini dia bisa dengan liar melabuhkan bibirnya di dada bidang Sean yang selama ini hanya bisa dia bayangkan.Suara desahan penuh frustasi dari Sean dianggap lampu hijau bagi Vicky. Hingga instruktur senam bertubuh aduhai itu, menggerakkan tangan mencoba membuka gesper sabuk yang melingkar di pinggang Sean.“Oh ... Sean!” teriak Vicky dengan keras.Belum sempat terbuka, Vicky dikejutkan oleh Sean yang tiba-tiba menarik rambutnya dengan sekuat tenaga. Bukan hanya rambutnya yang terasa hampir tercerabut, tetapi Vicky merasakan sakit di kulit kepala hingga lehernya.“Katakan di mana Lila berada?” Sean berteriak dengan keras sambil menarik rambut Vicky.Tidak peduli dengan Vicky yang mengaduh kesakitan, Sean menarik rambut semakin keras saat jawaban tidak juga dia dapatkan.“Katakan di mana Lila berada?” tanya Sean sekali lagi, dengan gigi yang beradu dan rahang yang mengeras.“Aku akan mengatakan padamu
Sean berdiri tegak, menatap Vicky dengan tatapan penuh kewaspadaan. Tubuhnya menegang, instingnya mengatakan bahwa ini bukan pertemuan biasa.“Di mana Lila?” tanya Sean sekali lagi, nadanya lebih tajam kali ini.Vicky tersenyum, berjalan perlahan mendekati Sean. Setiap langkahnya terasa seperti ancaman, meskipun ia tetap menjaga senyumnya yang memikat.“Saya tahu di mana dia,” ucap Vicky lembut, tetapi penuh kepastian. “Tapi, ada syaratnya.”Sean mengerutkan kening. “Syarat apa?”Vicky berhenti tepat di depannya, matanya menatap langsung ke dalam mata Sean. “Setelah kau menemukan Lila, kau harus menikahiku. Lila tak perlu tahu, Sean. Dia hanya masalah kecil. Kau dan aku ... kita bisa menjadi sesuatu yang lebih.”Sean menggelengkan kepala, ekspresinya berubah menjadi jijik. “Kau gila, Vicky. Permintaanmu tidak masuk akal.”Namun, Vicky tidak mundur. Senyumnya menghilang, digantikan oleh tatapan yang lebih serius. “Pikirkan baik-baik, Sean. Kau mencintainya, bukan? Jika kau ingin anak d