Lila menggelengkan kepala, yang dia inginkan saat ini hanya kebebasan, mencari kebahagiaannya sendiri, lepas dari sangkar emas keluarga Wismoyojati. Anggap saja Lila egois, tetapi dia hanya ingin menjaga kewarasannya, baik jiwa maupun raga. Sudah cukup hinaan dari Sekar dan pengabaian dari Sean, sudah cukup selama dua tahun, tubuhnya disentuh tanpa cinta.
“Sudah banyak yang saya dapatkan dari keluarga ini, bukan hanya harta benda, tetapi juga ilmu dan kesehatan ayah saya. Saya tidak memiliki apa pun untuk memberi balasan yang sepadan, jadi saya tidak akan mempersulit keinginan mama dan Sean untuk segera memiliki penerus bagi keluarga ini.” Sekar tersenyum lega mendengar ucapan Lila. Permintaan Lila adalah harapannya selama ini. Jika Lila tidak ingin mempersulit, Sekar akan semakin mempermudah perceraian itu terjadi. Apa pun akan dia lakukan untuk bisa segera memiliki cucu, dan perceraian Lila dengan Sean adalah langkah awal. Saat ini di kepala Sekar sudah dipenuhi perempuan-perempuan cantik dan pintar yang akan dia seleksi untuk menjadi menantu. Dan tentu Miranda masuk dalam salah satu nominasinya. “Baik, semua sudah jelas, Kita tinggal menjalankan bagian masing-masing. Aku pastikan sebentar lagi kau akan mendapat akta cerai yang kau inginkan.” Ucapan Sekar adalah harapan nyata bagi Lila. Dia tahu suaminya itu sangat patuh dan penurut kepada sang mama. Lila sangat yakin langkahnya akan mudah setelah ini. Setelah merasa urusannya dengan Sekar berakhir, Lila undur diri. Sebelum pulang dan mulai mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk proses perceraiannya nanti, Lila mencoba menikmati sejenak kemewahan hidup sebagai menantu di keluarga Wismoyojati. Lila duduk sendiri di restoran mewah, menikmati hidangan favoritnya. Dia meresapi setiap suapan, ini mungkin menjadi yang terakhir kali, karena setelah tidak menjadi istri Sean, dia harus berhati-hati dalam menggunakan uangnya. Ketenangan Lila harus berakhir, kala seseorang tiba-tiba menarik kursi di hadapannya. Lila mendongak dan mendapati Ryan, berdiri dengan senyuman ramah. “Senang bertemu dengan Anda lagi.” Terdengar begitu akrab, tanpa menunggu persetujuan, Ryan langsung duduk di hadapan Lila, seolah mereka sudah janji untuk makan siang bersama. Lila terdiam sejenak ingin menolak kehadiran Ryan, tetapi tidak tahu cara tepat tanpa menimbulkan kesan buruk. Restoran itu cukup ramai, dan Lila tidak ingin menarik perhatian lebih banyak orang. Saat berusaha mencari alasan mengakhiri pertemuan yang tidak diinginkan ini, tanpa sengaja Lila melihat Sean dan Bella, sekretarisnya, memasuki restoran. Keduanya berjalan berdampingan, tampak akrab dan harmonis. Lila bisa melihat senyum hangat di wajah Sean, sebuah senyum yang tidak pernah dia lihat ketika bersama dirinya. Ryan tidak menyadari kegelisahan Lila, berbicara dengan santai menarik perhatian Lila dengan cerita-cerita ringan tentang bisnis dan kehidupan sosial mereka. Lila hanya mendengarkan setengah hati, pikirannya terfokus pada Sean dan Bella yang kini semakin mendekat ke arahnya. “Anda baik-baik saja?” tanya Ryan, tampak khawatir dengan kebisuan Lila. Lila tersentak dari lamunannya, mencoba tersenyum menyembunyikan perasaannya. “Ya, saya baik-baik saja,” jawab Lila dengan tergagap. Ryan mengangguk, meskipun tidak sepenuhnya percaya, dia memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh. Lila merasakan oksigen di sekitarnya semakin menipis kala Sean mendekat. Wajah suaminya terlihat tegang, dan senyum yang sebelumnya menghiasi bibirnya saat bersama Bella kini menghilang. Mata Sean menyipit saat melihat Ryan duduk di hadapan Lila, seperti ada bara api membara di dalamnya. Lila bisa merasakan ketegangan itu, dan tahu bahwa Sean sedang berusaha menahan diri agar tidak menunjukkan yang sebenarnya dia rasakan. “Lila,” sapa Sean dengan suara yang terdengar datar, hampir dingin. Sean berhenti tepat di samping meja, menatap Lila, memperhatikan dengan saksama setiap gerak-geriknya. "Kau sepertinya menikmati makan siangmu." “Saya hanya ingin menikmati makan siang sendiri,” jawab Lila dengan tenang, berusaha tidak terpengaruh oleh sikap Sean. Lila melirik sekilas ke arah Bella yang berdiri sedikit di belakang Sean, tampak ragu apakah harus mendekat atau tetap berada di tempatnya. “Saya kebetulan bertemu dengan Bu Lila di sini, Sean. Saya pikir tidak ada salahnya jika kami makan siang bersama.” Akhirnya Ryan angkat bicara. Sean mengalihkan pandangannya ke Ryan. Sekilas, Lila melihat rahang Sean mengencang. “Tentu saja,” jawab Sean, suaranya terdengar lebih tajam. "Tapi Lila adalah istriku. Kami akan membicarakan sesuatu yang pribadi, jadi mungkin kau bisa memberikan kami sedikit privasi?" Lila terkejut mendengar kata-kata Sean yang terdengar seperti peringatan. Ryan juga tampak terkejut, namun dia tetap tenang dan tidak ingin menimbulkan masalah. “Tentu, aku mengerti,” ujar Ryan sambil berdiri dari kursinya. "Senang bertemu dengan Anda, Bu Lila." Setelah Ryan pergi, Lila pun mengakhiri makan siangnya. Selera dan rasa laparnya menguap begitu saja, hidangan yang selama ini begitu nikmat di lidahnya, menjadi terasa hambar. Sean duduk di kursi yang ditinggalkan Ryan, lalu dia menatap Bella. Seolah sudah tahu apa yang diinginkan oleh atasannya, Bella bergegas melangkah menjauh, mencari meja yang kosong. “Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku? Jadi benar karena dia kau ingin bercerai?” Lila sadar Ryan bisa menjadi alasan perceraiannya dengan Sean. Tetapi akal sehat Lila mengatakan, cukup alasan dirinya yang belum bisa memberikan keturunan bagi keluarga Wismoyojati, bukan masalah perselingkuhan. Sebab hal itu akan menyakiti banyak pihak terutama kedua orang tuanya. “Kami tidak sengaja bertemu. Kau lihat sendiri, di meja ini hanya ada satu pesanan.” Lila berusaha membela diri. Sean mengalihkan pandangannya ke arah piring yang ada di hadapan Lila, lalu kembali menatap mata istrinya. Tatap mata yang merendahkan, dibarengi dengan senyum tipis yang terlihat mengejek. “Tetaplah jadi Nyonya Wismoyojati, setidaknya kau masih bisa makan enak dan kenyang di restoran mewah seperti sekarang.” Lila tersenyum masam mendengar ucapan Sean, kebebasan ditukar dengan seporsi makanan, tentu tidak sepadan. Belum sempat Lila menjawab, terdengar suara dering posel milik Sean. Setelah mengetahui siapa yang menghubunginya, Sean segera menjawab panggilan itu. “Halo, Ma!” Sean diam sejenak mendengarkan dengan saksama. “Baik, aku akan segera ke sana.” Segera menyimpan kembali ponselnya setelah mengakhiri pembicaraan singkat tersebut. “Mama?” tanya Lila sekedar memastikan. Sean bangkit dari duduknya tanpa memberi jawaban, lalu melangkah mendekati Lila. Dia sedikit membungkukkan tubuhnya “Duduk manis di rumah dan tunggu aku pulang!” bisik Sean dengan suara yang terdengar sangat dingin dan bernada ancaman. “Kau harus memberi penjelasan tentang Ryan Mahendra kepadaku!” Sean bergegas melangkah meninggalkan Lila sendiri. Bella yang sedari tadi duduk terpisah segera bangkit dan mengikuti langkah Sean. Lila hanya bisa menatap punggung Sean yang semakin menjauh. Berharap pertemuan Sean dan Sekar akan memberikan kabar bahagia untuknya. *** Sean tiba di apartemennya dengan langkah cepat dan hati yang dipenuhi amarah. Memasuki apartemen, Sean langsung mencari Lila. Di sudut ruangan, ia melihat Lila duduk di sofa, tangannya masih menggenggam sebuah amplop, hasil pemeriksaan kandungan yang tadi diserahkan kepada Sekar. “Lila,” panggil Sean dengan nada dingin. Lila menoleh, matanya membesar saat melihat Sean yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi penuh amarah. “Sean …” “Kau benar-benar sudah lancang,” sergah Sean, suaranya penuh dengan kemarahan yang telah dipendam terlalu lama. “Aku sudah memberimu peringatan untuk tidak melibatkan mama dalam masalah rumah tangga kita. Tapi mengapa kau melanggarnya? Kau pikir dengan menyerahkan hasil pemeriksaan itu, semuanya akan berakhir begitu saja?” Lila terdiam, bibirnya bergetar. “Aku hanya ingin kita bercerai, Sean. Aku ingin kita berdua bisa menemukan kebahagiaan kita masing-masing.” “Kebahagiaan?” Sean tertawa mengejek, matanya menyipit. “Kebahagiaan siapa yang kau maksud? Dirimu? Ryan? Atau kau ingin menguji kesabaranku?” “Bukan itu maksudku, Sean …” Lila mencoba menjelaskan, tapi Sean tidak memberinya kesempatan. “Kau pikir dengan menyerahkan hasil pemeriksaan itu kepada mama, kau bisa mempengaruhinya? Kau pikir dengan menunjukkan bahwa kau mandul, aku akan langsung menceraikanmu?” Lila terdiam dengan air mata mengalir pelan. Sorot mata tajam dan suara yang keras dari Sean berhasil menciutkan nyalinya. “Tidak Lila, tidak akan pernah. Bahkan jika kau benar-benar mandul, itu adalah keuntungan bagiku.” Lila menggelengkan kepala, tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi suaminya. “Aku hanya ingin kita berpisah dengan baik-baik. Aku sudah lelah menjalani semua ini. Aku yakin kau pun merasakan hal yang sama.” “Lelah?” Sean mendekat, menatap Lila tajam. “Kau tidak tahu apa-apa tentang lelah. Kau tidak tahu apa-apa tentang penderitaan. Kau hidup dalam kemewahan karena aku, Lila. Dan sekarang kau ingin membuang semua itu begitu saja? Demi apa?” “Demi kebebasanku, Sean,” jawab Lila dengan suara gemetar namun penuh ketegasan. “Demi kesempatan untuk hidup tanpa tekanan, setiap saat selalu ditanya kapan hamil? Sedangkan aku tahu itu tidak mungkin terjadi, karena kamu tidak menginginkannya. Kamu hanya menganggapku sebagai pelampiasan nafsu semata.” “Jangan munafik seolah kau tidak menikmati kebersamaan kita,” ucap Sean dengan tatap mata merendahkan. “Kau lupa saat bergerak liar di atas, atau saat kau mengelinjang, mendesah, memekik penuh kenikmatan.” Malu? Ya, kalimat yang terlontar dari bibir Sean membuat Lila semakin terhina. Menyesali setiap desah yang keluar dari mulutnya, menyesali tubuhnya yang selalu memberi reaksi balik setiap sentuhan yang diberikan oleh Sean. Sean melangkah mendekat dengan sorot mata yang sulit Lila artikan. Rasa takut menyusupi hati membuat Lila bergerak mundur, hingga akhirnya dia tersudut membentur dinding. Dengan mudah Sean sudah mengungkung tubuh Lila dengan kedua tangannya “Atau jangan-jangan kau mencari pria yang lebih perkasa daripada aku?” bisik Sean lirih, dengan bibir menyentuh telinga Lila.Lila merasakan napas panas Sean yang mengalir di telinganya, membuat tubuhnya semakin tegang. Posisinya yang terjepit di antara dinding dan tubuh Sean membuatnya merasa tidak berdaya. Segala ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini ia coba pendam kini muncul ke permukaan.Di tengah segala kepedihan dan rasa terhina, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melawan. Ini bukan hanya tentang keinginan untuk bebas, tapi tentang menjaga sisa-sisa harga dirinya yang hampir terkikis habis oleh pernikahan yang hambar dan tidak memiliki masa depan.“Aku tidak mencari pria lain, Sean,” jawab Lila dengan suara yang hampir tidak terdengar, tetapi ada ketegasan di balik kata-katanya. “Aku hanya ingin keluar dari hubungan yang sudah tidak sehat ini. Kita berdua tahu bahwa ini tidak bisa dilanjutkan. Kau tidak mencintaiku, dan aku membebaskanmu mencari cinta dan kebahagiaan dengan wanita lain.”Sean menyipitkan matanya, tatapan mata yang merendahkan Lila, mencoba mencari celah untuk menyerang. “Kau t
Puncak kenikmatan itu tidak berlangsung lama, suara desah yang sempat terdengar di telinga Sean kini berubah menjadi isak tangis yang memilukan hati. Sean baru menyadari jika dirinya baru saja melakukan sebuah kesalahan besar. Amarah dan gairah yang menjadi satu membuatnya lupa dengan kebiasaannya selama ini.Sean duduk di sudut sofa dengan penampilan yang berantakan sambil mengatur napasnya. Dia yang belum sempat merapikan diri hanya menutupi tubuh bagian bawahnya dengan kemeja. Sekejab matanya menangkap gerakan Lila yang melangkah tertatih menuju kamar. Suara pintu tertutup yang diikuti tangis menyayat hati membuat Sean semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Setelah berhasil menenangkan diri, Sean berdiri hendak menuju ke kamar Lila dan meminta maaf. Tetapi langkahnya terhenti saat melihat surat keterangan medis milik Lila di atas meja. Sean memunggut surat itu dan bergegas membukanya.“Sialan!” gumam Sean, melampiaskan rasa kesalnya.Dengan penuh amarah Sean langsung mer
Sekar tiba di apartemen putranya dengan perasaan campur aduk. Lila menghubunginya meminta tolong sambil menangis hingga. Firasatnya mengatakan ada sesuatu hal genting sedang terjadi.Benar saja, saat membuka pintu apartemen, Sekar langsung disambut oleh pemandangan yang memprihatinkan. Lila duduk di sofa dengan wajah pucat, bekas lebam menghiasi wajahnya, membuat Sekar tercekat."Lila, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Sekar dengan suara pelan tapi penuh emosi. “Apa Sean yang melakukan ini semua?”Lila mengangguk lemah. "Ya Ma. Sean yang melakukannya." Lila menunduk menyeka air matanya.Sekar terdiam, hatinya bergetar. Ia tidak bisa langsung percaya bahwa putranya, yang selalu dia banggakan, bisa memperlakukan istrinya seperti ini. Tapi apartemen mereka memiliki sistem keamanan yang sangat ketat. Tak mungkin ada orang lain yang masuk tanpa izin Sean."Apa maksudmu, Lila?" Sekar bertanya, setengah berharap ada penjelasan lain yang masuk akal.Lila menghela napas
Waktu tidak bisa mengikis amarah di hati Sean. Mengawali hari dengan buruk membuat Sean tidak bisa bekerja dengan baik. Kepalanya masih dipenuhi dengan peristiwa tadi malam, sehingga tidak bisa maksimal dalam bekerja.Sean tidak pernah menduga istrinya yang selama ini selalu patuh dan penurut tiba-tiba meminta cerai darinya. Dan itu terjadi setelah pertemuan Lila dengan pria lain. Hingga dia sampai melakukan sesuatu yang diluar batas. Meskipun tumbuh dalam didikan yang keras, tetapi Sean tidak pernah diajarkan untuk ringan tangan terhadap perempuan.Apakah ini semua karena cemburu? Hati Sean menyangkalnya. Tetapi sebagai seorang pria, Sean merasa harga dirinya diinjak-injak saat Lila dengan begitu enteng meminta cerai, seolah dirinya adalah pria yang tidak berguna.Keinginan pulang lebih awal agar bisa melihat keadaan Lila tampaknya harus tertunda sementara waktu. Sekar memintanya untuk datang, ada urusan penting katanya.“Apa yang ingin mama bicarakan?” tanya Sean tanpa basa-basi, se
Setelah berbicara panjang dengan sang mama, kini Sean menuju ke rumah sakit tempat Lila di rawat. Berulang kali Sean memukul kemudi untuk meluapkan rasa kesal di hatinya. Pikiran tentang Lila memenuhi kepalanya, membuat jantungnya berdetak kencang. Setiap meter yang dilalui terasa seperti beban yang semakin berat di dadanya."Aku harus menyelesaikan ini," gumamnya, berulang kali. Kecepatan mobilnya bertambah, seolah waktu tak memberinya pilihan untuk menunggu lebih lama.Setibanya di rumah sakit, Sean bergegas menuju ke ruang perawatan Lila sesuai yang diiformasikan oleh Sekar. Kepala Sean terasa penuh oleh berbagai beban, mulai dari ancaman perceraian hingga ancaman skandal yang bisa menghancurkan reputasinya. Tetapi, di balik semua itu, ada satu hal yang tetap menjadi prioritas di benaknya, Lila. Sean bertekad untuk berbicara dengan istrinya, mencari solusi atas kekacauan ini. Sean tidak ingin pernikahan mereka berakhir dengan cara seperti ini.Namun, kala Sean tiba di depan ruang p
Sean duduk di ruang tamu rumah sederhana itu, tangannya berkeringat meski udara dingin terasa di kulitnya. Di depannya, Waluya Sidig dan Inayah, kedua orang tua Lila, menatapnya dengan raut wajah yang berbeda. Waluya terlihat tenang, berusaha memahami situasi, sementara Inayah tampak marah dan bingung, seperti tidak percaya apa yang baru saja didengarnya dari menantunya.“Saya sadar kalau saya salah,” ulang Sean dengan suara bergetar, mencoba menahan emosi yang terus bergejolak di dalam dirinya. “Tapi saya melakukan itu karena marah. Lila berkali-kali meminta cerai tanpa alasan yang jelas, dan saya hanya ingin mempertahankan pernikahan kami.”Inayah mengerutkan dahi, matanya menyorot penuh kekecewaan. "Apa lagi yang diinginkan anak itu? Apakah semua yang dia dapatkan masih kurang? Sampai-sampai minta cerai.” Suara Inayah terdengar meninggi penuh emosi.Sean melihat kesempatan ini. Dia tahu bahwa Inayah sangat menghargai status dan kekayaan yang datang dengan pernikahan putrinya. Kehid
“Kau tahu, kecerdasan itu diturunkan dari ibunya?”Lila mengangguk mengiyakan ucapan Sekar, ibu mertuanya.“Itu sebabnya mama memilihmu untuk menjadi istri Sean, untuk melahirkan keturunan-keturunan yang bagi keluarga Wismoyojati.”Dahulu Lila adalah salah satu mahasiswa pintar yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan Wismoyojati. Saat magang di perusahaan itu, Lila menunjukkan kinerja yang sangat baik, hingga membuat Sekar begitu tertarik kepada dirinya. Bahkan untuk bisa mendapatkan dirinya saat itu, Sekar membanjiri keluarga Lila dengan begitu banyak hadiah, agar Lila bersedia menikah dengan Sean, putra tunggalnya.“Tapi setelah mama pikir-pikir, setelah dua tahun pernikahan kalian, apa gunanya memiliki menantu yang cerdas kalau ternyata mandul?”Lila menunduk menyembunyikan kegetiran hatinya. Setelah dilambungkan setinggi langit, lalu dijatuhkan hingga hancur berantakan.“Sean adalah pewaris tunggal di keluarga Wismoyojati, apa jadinya jika dia tidak memiliki keturunan?” tanya Se
Seburuk inilah komunikasi antara Lila dan dan Sean. Sampai Sean lupa memberi tahu tentang pengumuman brand ambassador produk baru perusahaan mereka. Hati Lila merasa tercubit, keberadaanya sama sekali tidak dianggap, bahkan untuk acara sebesar ini dirinya tidak dilibatkan sama sekali. Jangankan dilibatkan, diberi tahu pun secara mendadak.Lila membuka lemari pakaiannya, tampak kebingungan karena tidak ada satu pun pakaian yang sesuai dengan dress code dalam undangan yang baru saja Sean kirim memalui aplikasi perpesanan. Satu jam lagi acara dimulai, sudah tidak ada waktu untuk ke butik atau memesan secara online. Lila harus bisa memaksimalkan pakaian yang ada.Seperti apa yang sudah Lila duga, penampilannya akan menjadi pusat perhatian. Bukan karena penampilannya yang penuh pesona, tetapi karena dia mengenakan pakaian yang sudah pernah dia gunakan di acara sebelumnya."Lihat, bukankah itu gaun yang sama dengan yang dia pakai di acara amal bulan lalu?" bisik seorang perempuan kepada tem