Share

5. Pelampiasan Nafsu Semata

Lila menggelengkan kepala, yang dia inginkan saat ini hanya kebebasan, mencari kebahagiaannya sendiri, lepas dari sangkar emas keluarga Wismoyojati. Anggap saja Lila egois, tetapi dia hanya ingin menjaga kewarasannya, baik jiwa maupun raga. Sudah cukup hinaan dari Sekar dan pengabaian dari Sean, sudah cukup selama dua tahun, tubuhnya disentuh tanpa cinta.

“Sudah banyak yang saya dapatkan dari keluarga ini, bukan hanya harta benda, tetapi juga ilmu dan kesehatan ayah saya. Saya tidak memiliki apa pun untuk memberi balasan yang sepadan, jadi saya tidak akan mempersulit keinginan mama dan Sean untuk segera memiliki penerus bagi keluarga ini.”

Sekar tersenyum lega mendengar ucapan Lila. Permintaan Lila adalah harapannya selama ini. Jika Lila tidak ingin mempersulit, Sekar akan semakin mempermudah perceraian itu terjadi. Apa pun akan dia lakukan untuk bisa segera memiliki cucu, dan perceraian Lila dengan Sean adalah langkah awal.

Saat ini di kepala Sekar sudah dipenuhi perempuan-perempuan cantik dan pintar yang akan dia seleksi untuk menjadi menantu. Dan tentu Miranda masuk dalam salah satu nominasinya.

“Baik, semua sudah jelas, Kita tinggal menjalankan bagian masing-masing. Aku pastikan sebentar lagi kau akan mendapat akta cerai yang kau inginkan.”

Ucapan Sekar adalah harapan nyata bagi Lila. Dia tahu suaminya itu sangat patuh dan penurut kepada sang mama. Lila sangat yakin langkahnya akan mudah setelah ini.

Setelah merasa urusannya dengan Sekar berakhir, Lila undur diri. Sebelum pulang dan mulai mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk proses perceraiannya nanti, Lila mencoba menikmati sejenak kemewahan hidup sebagai menantu di keluarga Wismoyojati.

Lila duduk sendiri di restoran mewah, menikmati hidangan favoritnya. Dia meresapi setiap suapan, ini mungkin menjadi yang terakhir kali, karena setelah tidak menjadi istri Sean, dia harus berhati-hati dalam menggunakan uangnya.

Ketenangan Lila harus berakhir, kala seseorang tiba-tiba menarik kursi di hadapannya. Lila mendongak dan mendapati Ryan, berdiri dengan senyuman ramah.

“Senang bertemu dengan Anda lagi.” Terdengar begitu akrab, tanpa menunggu persetujuan, Ryan langsung duduk di hadapan Lila, seolah mereka sudah janji untuk makan siang bersama.

Lila terdiam sejenak ingin menolak kehadiran Ryan, tetapi tidak tahu cara tepat tanpa menimbulkan kesan buruk. Restoran itu cukup ramai, dan Lila tidak ingin menarik perhatian lebih banyak orang.

Saat berusaha mencari alasan mengakhiri pertemuan yang tidak diinginkan ini, tanpa sengaja Lila melihat Sean dan Bella, sekretarisnya, memasuki restoran. Keduanya berjalan berdampingan, tampak akrab dan harmonis. Lila bisa melihat senyum hangat di wajah Sean, sebuah senyum yang tidak pernah dia lihat ketika bersama dirinya.

Ryan tidak menyadari kegelisahan Lila, berbicara dengan santai menarik perhatian Lila dengan cerita-cerita ringan tentang bisnis dan kehidupan sosial mereka. Lila hanya mendengarkan setengah hati, pikirannya terfokus pada Sean dan Bella yang kini semakin mendekat ke arahnya.

“Anda baik-baik saja?” tanya Ryan, tampak khawatir dengan kebisuan Lila.

Lila tersentak dari lamunannya, mencoba tersenyum menyembunyikan perasaannya. “Ya, saya baik-baik saja,” jawab Lila dengan tergagap.

Ryan mengangguk, meskipun tidak sepenuhnya percaya, dia memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh.

Lila merasakan oksigen di sekitarnya semakin menipis kala Sean mendekat. Wajah suaminya terlihat tegang, dan senyum yang sebelumnya menghiasi bibirnya saat bersama Bella kini menghilang.

Mata Sean menyipit saat melihat Ryan duduk di hadapan Lila, seperti ada bara api membara di dalamnya. Lila bisa merasakan ketegangan itu, dan tahu bahwa Sean sedang berusaha menahan diri agar tidak menunjukkan yang sebenarnya dia rasakan.

“Lila,” sapa Sean dengan suara yang terdengar datar, hampir dingin. Sean berhenti tepat di samping meja, menatap Lila, memperhatikan dengan saksama setiap gerak-geriknya. "Kau sepertinya menikmati makan siangmu."

“Saya hanya ingin menikmati makan siang sendiri,” jawab Lila dengan tenang, berusaha tidak terpengaruh oleh sikap Sean. Lila melirik sekilas ke arah Bella yang berdiri sedikit di belakang Sean, tampak ragu apakah harus mendekat atau tetap berada di tempatnya.

“Saya kebetulan bertemu dengan Bu Lila di sini, Sean. Saya pikir tidak ada salahnya jika kami makan siang bersama.” Akhirnya Ryan angkat bicara.

Sean mengalihkan pandangannya ke Ryan. Sekilas, Lila melihat rahang Sean mengencang.

“Tentu saja,” jawab Sean, suaranya terdengar lebih tajam. "Tapi Lila adalah istriku. Kami akan membicarakan sesuatu yang pribadi, jadi mungkin kau bisa memberikan kami sedikit privasi?"

Lila terkejut mendengar kata-kata Sean yang terdengar seperti peringatan. Ryan juga tampak terkejut, namun dia tetap tenang dan tidak ingin menimbulkan masalah.

“Tentu, aku mengerti,” ujar Ryan sambil berdiri dari kursinya. "Senang bertemu dengan Anda, Bu Lila."

Setelah Ryan pergi, Lila pun mengakhiri makan siangnya. Selera dan rasa laparnya menguap begitu saja, hidangan yang selama ini begitu nikmat di lidahnya, menjadi terasa hambar.

Sean duduk di kursi yang ditinggalkan Ryan, lalu dia menatap Bella. Seolah sudah tahu apa yang diinginkan oleh atasannya, Bella bergegas melangkah menjauh, mencari meja yang kosong.

“Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku? Jadi benar karena dia kau ingin bercerai?”

Lila sadar Ryan bisa menjadi alasan perceraiannya dengan Sean. Tetapi akal sehat Lila mengatakan, cukup alasan dirinya yang belum bisa memberikan keturunan bagi keluarga Wismoyojati, bukan masalah perselingkuhan. Sebab hal itu akan menyakiti banyak pihak terutama kedua orang tuanya.

“Kami tidak sengaja bertemu. Kau lihat sendiri, di meja ini hanya ada satu pesanan.” Lila berusaha membela diri.

Sean mengalihkan pandangannya ke arah piring yang ada di hadapan Lila, lalu kembali menatap mata istrinya. Tatap mata yang merendahkan, dibarengi dengan senyum tipis yang terlihat mengejek.

“Tetaplah jadi Nyonya Wismoyojati, setidaknya kau masih bisa makan enak dan kenyang di restoran mewah seperti sekarang.”

Lila tersenyum masam mendengar ucapan Sean, kebebasan ditukar dengan seporsi makanan, tentu tidak sepadan. Belum sempat Lila menjawab, terdengar suara dering posel milik Sean. Setelah mengetahui siapa yang menghubunginya, Sean segera menjawab panggilan itu.

“Halo, Ma!” Sean diam sejenak mendengarkan dengan saksama. “Baik, aku akan segera ke sana.”

Segera menyimpan kembali ponselnya setelah mengakhiri pembicaraan singkat tersebut.

“Mama?” tanya Lila sekedar memastikan.

Sean bangkit dari duduknya tanpa memberi jawaban, lalu melangkah mendekati Lila. Dia sedikit membungkukkan tubuhnya

“Duduk manis di rumah dan tunggu aku pulang!” bisik Sean dengan suara yang terdengar sangat dingin dan bernada ancaman. “Kau harus memberi penjelasan tentang Ryan Mahendra kepadaku!”

Sean bergegas melangkah meninggalkan Lila sendiri. Bella yang sedari tadi duduk terpisah segera bangkit dan mengikuti langkah Sean.

Lila hanya bisa menatap punggung Sean yang semakin menjauh. Berharap pertemuan Sean dan Sekar akan memberikan kabar bahagia untuknya.

***

Sean tiba di apartemennya dengan langkah cepat dan hati yang dipenuhi amarah. Memasuki apartemen, Sean langsung mencari Lila. Di sudut ruangan, ia melihat Lila duduk di sofa, tangannya masih menggenggam sebuah amplop, hasil pemeriksaan kandungan yang tadi diserahkan kepada Sekar.

“Lila,” panggil Sean dengan nada dingin.

Lila menoleh, matanya membesar saat melihat Sean yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi penuh amarah. “Sean …”

“Kau benar-benar sudah lancang,” sergah Sean, suaranya penuh dengan kemarahan yang telah dipendam terlalu lama. “Aku sudah memberimu peringatan untuk tidak melibatkan mama dalam masalah rumah tangga kita. Tapi mengapa kau melanggarnya? Kau pikir dengan menyerahkan hasil pemeriksaan itu, semuanya akan berakhir begitu saja?”

Lila terdiam, bibirnya bergetar. “Aku hanya ingin kita bercerai, Sean. Aku ingin kita berdua bisa menemukan kebahagiaan kita masing-masing.”

“Kebahagiaan?” Sean tertawa mengejek, matanya menyipit. “Kebahagiaan siapa yang kau maksud? Dirimu? Ryan? Atau kau ingin menguji kesabaranku?”

“Bukan itu maksudku, Sean …” Lila mencoba menjelaskan, tapi Sean tidak memberinya kesempatan.

“Kau pikir dengan menyerahkan hasil pemeriksaan itu kepada mama, kau bisa mempengaruhinya? Kau pikir dengan menunjukkan bahwa kau mandul, aku akan langsung menceraikanmu?”

Lila terdiam dengan air mata mengalir pelan. Sorot mata tajam dan suara yang keras dari Sean berhasil menciutkan nyalinya.

“Tidak Lila, tidak akan pernah. Bahkan jika kau benar-benar mandul, itu adalah keuntungan bagiku.”

Lila menggelengkan kepala, tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi suaminya. “Aku hanya ingin kita berpisah dengan baik-baik. Aku sudah lelah menjalani semua ini. Aku yakin kau pun merasakan hal yang sama.”

“Lelah?” Sean mendekat, menatap Lila tajam. “Kau tidak tahu apa-apa tentang lelah. Kau tidak tahu apa-apa tentang penderitaan. Kau hidup dalam kemewahan karena aku, Lila. Dan sekarang kau ingin membuang semua itu begitu saja? Demi apa?”

“Demi kebebasanku, Sean,” jawab Lila dengan suara gemetar namun penuh ketegasan. “Demi kesempatan untuk hidup tanpa tekanan, setiap saat selalu ditanya kapan hamil? Sedangkan aku tahu itu tidak mungkin terjadi, karena kamu tidak menginginkannya. Kamu hanya menganggapku sebagai pelampiasan nafsu semata.”

“Jangan munafik seolah kau tidak menikmati kebersamaan kita,” ucap Sean dengan tatap mata merendahkan. “Kau lupa saat bergerak liar di atas, atau saat kau mengelinjang, mendesah, memekik penuh kenikmatan.”

Malu? Ya, kalimat yang terlontar dari bibir Sean membuat Lila semakin terhina. Menyesali setiap desah yang keluar dari mulutnya, menyesali tubuhnya yang selalu memberi reaksi balik setiap sentuhan yang diberikan oleh Sean.

Sean melangkah mendekat dengan sorot mata yang sulit Lila artikan. Rasa takut menyusupi hati membuat Lila bergerak mundur, hingga akhirnya dia tersudut membentur dinding. Dengan mudah Sean sudah mengungkung tubuh Lila dengan kedua tangannya

“Atau jangan-jangan kau mencari pria yang lebih perkasa daripada aku?” bisik Sean lirih, dengan bibir menyentuh telinga Lila.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status