Di kantor, Lila tampak gelisah. Tatapannya kosong meski layar laptop di depannya penuh dengan angka dan laporan. Pikirannya melayang, tak bisa fokus pada pekerjaan.Tadi, sebelum pulang, Inayah menemuinya dengan wajah sedih. Kata demi kata yang diucapkan sang ibu seolah sulit untuk Lila abaikan begitu saja."Kau tahu apa yang dilakukan ibu mertuamu saat kami mengantar Brili tadi? Tadi dia melabrak Ibu."Lila mengerutkan kening. "Melabrak? Kenapa?" Tentu Lila sangat terkejut, karena keduanya berangkat terlihat rukun dan akrab."Ibu juga kaget. Dia menuduh Delisa merayu Sean." Inayah menatap Lila, suaranya mengandung kemarahan yang tertahan. "Tapi coba pikir, Li … apa masuk akal? Bisa saja justru Sean yang menggoda adikmu."Lila terdiam, dadanya sesak. Kata-kata Inayah menancap tajam di pikirannya, memunculkan keraguan yang berusaha dia tepis."Sean nggak mungkin begitu, Bu," bisiknya, tapi suaranya terdengar ragu.Inayah menepuk tangan Lila lembut. "Ibu cuma ingin kamu waspada. Jangan
Sore itu, sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat di depan gedung Mahendra Securitas. Pintu mobil terbuka, dan Sean melangkah keluar dengan langkah mantap. Setelan jasnya rapi, kemeja putih tanpa cela berpadu dengan dasi berwarna gelap yang menambah aura kharismanya. Tatapan matanya tenang, penuh percaya diri, memancarkan pesona yang sulit diabaikan.Saat Sean memasuki lobi kantor, beberapa karyawan wanita tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Bisikan pelan terdengar di sudut-sudut ruangan.“Itu suaminya Bu Lila, kan?” bisik salah satu staf.“Iya, ya ampun, ganteng banget. Mereka pasangan serasi banget,” sahut yang lain sambil tersenyum kagum.Sean melangkah melewati mereka tanpa banyak bicara, hanya memberikan anggukan singkat yang membuat beberapa orang semakin terpesona. Aura dingin dan tenangnya justru menambah daya tariknya.Delisa, yang kebetulan sedang berada di salah satu sudut ruangan, melihat semua pemandangan itu dengan tatapan sulit diartikan. Senyum tipis menghiasi wa
Di klinik yang bernuansa hangat dan tenang, Lila dan Sean duduk berdampingan di ruang tunggu. Tak butuh waktu lama, setelah seorang pasien keluar dari ruang praktik, nama Lila segera dipanggil.Sean berdiri lebih dulu, lalu meraih tangan Lila dengan lembut, seolah-olah menggandeng harta paling berharga dalam hidupnya.Saat mereka memasuki ruangan, Dokter Amira yang duduk di balik mejanya tersenyum lebar. Matanya berbinar begitu melihat Lila.“Wah, Lila! Aku hampir nggak mengenalimu. Semakin cantik saja,” seru Dokter Amira, berdiri untuk menyambut mereka.Lila tersipu, sementara Sean melemparkan pandangan penuh kebanggaan ke arah istrinya.“Tubuhmu tetap terjaga dengan baik. Pasti karena pengorbanan Sean, ya? Aku dengar dia yang memutuskan untuk KB, bukan kamu. Itu tandanya dia benar-benar sayang sama kamu.”Ucapan itu membuat Sean tertawa kecil, lalu meremas pelan tangan Lila. Bagi Sean apa yang dia lakukan bukanlah pengorbanan yang layak dibanggakan. Toh dia masih bisa menikmatinya,
Dokter Amira menutup alat pemeriksaannya dengan hati-hati, lalu mengambil catatan medis Lila. Ia tersenyum tipis, mencoba meredakan kecemasan yang tergambar jelas di wajah Lila dan Sean.“Tenang, tidak ada masalah serius,” ujar Dokter Amira pelan. “Hanya saja, Lila mengalami anemia ringan. Ini cukup umum terjadi, terutama setelah persalinan caesar sebelumnya.”Sean menghela napas lega, tetapi tetap menatap dokter dengan penuh perhatian. “Apa yang harus kami lakukan, Dok?”“Yang terpenting adalah mengatur pola makan. Lila perlu mengonsumsi lebih banyak makanan yang kaya zat besi seperti daging merah tanpa lemak, hati ayam, sayuran hijau seperti bayam dan brokoli, serta kacang-kacangan. Lengkapi dengan vitamin C agar penyerapan zat besi lebih optimal.” Dokter Amira menuliskan beberapa catatan di kertas resep.“Apakah ini akan memengaruhi program hamil nanti?” tanya Lila, suaranya pelan.“Tidak, asalkan anemia ini teratasi sebelum kehamilan. Jika dibiarkan, bisa membuat Lila cepat lelah
Tampaknya Lila harus bersabar untuk mendapat jawaban dari Sean, karena suaminya itu mengatakan akan membicarakan hal tersebut di rumah. Lila tidak memaksa karena mereka sedang dalam perjalanan.Setibanya di rumah, Sean dan Lila harus menghadapi Sekar yang terlihat sangat antusias untuk mengetahui hasil pemeriksaan Lila. Perempuan paruh baya itu sudah tidak sabar untuk menimang cucu keduanya.“Bagaimana hasil pemeriksaannya tadi?” tanya Sekar sambil menuntun Lila menuju ke ruang keluarga. Dia mengabaikan Sean yang berjalan di belakang mereka.Lila menoleh ke belakang, seolah meminta bantuan sang suami untuk memberikan penjelasan. Meskipun bukan masalah yang sulit diatasi, tetapi Lila tidak ingin membuat ibu mertuanya kecewa jika mengetahui dirinya mengalami anemia dan harus menunda program kehamilannya sementara waktu.“Semua baik-baik saja, Ma. Hanya mungkin karena saat ini Lila masih banyak pekerjaan yang menumpuk, karena Nadya sebentar lagi akan cuti melahirkan, jadi kami memutuskan
Setelah Brilian tertidur pulas, napasnya teratur dan wajah kecilnya terlihat damai, Lila tetap duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah dinding. Tanpa sadar, air matanya menetes, mengalir perlahan di pipinya. Ia mengusap cepat, seolah ingin menghapus rasa sakit yang tak bisa dihindari.Dengan langkah pelan, Lila meninggalkan kamar Brilian, hatinya penuh sesak. Ia berdiri di sudut ruang keluarga, menahan isak yang ingin pecah.Sean merapikan selimut Brilian, memastikan anaknya tidur dengan nyaman. Lalu dia menyusul Lila, menemukan istrinya berdiri membelakangi pintu. Tanpa berkata apa pun, Sean mendekat dan memeluk Lila dari belakang, merapatkan tubuhnya, mencoba menjadi pelindung dari rasa sakit yang tak terlihat.Lila menggigil pelan, lalu perlahan membalikkan tubuhnya. Wajahnya basah oleh air mata. Ia menatap mata Sean, penuh luka yang tak bisa diucapkan. Tanpa bisa ditahan lagi, Lila menumpahkan seluruh kesedihannya dalam pelukan Sean, menangis sesenggukan.Sean memeluk erat,
Di kamar kosnya, Delisa mondar-mandir dengan gelisah. Tangannya terus menggenggam ponselnya, Delisa ingin menghubungi ibunya tetapi ternyata beberapa hari terakhir ponsel selalu dibawa bapaknya, sehingga dia tidak bisa berkeluh kesah atas masalah yang sedang dia hadapi saat ini.Hati Delisa berdebar kencang, bukan karena antusiasme, tetapi karena rasa panik yang mulai merayap."Bodoh... Kenapa aku tadi begitu ceroboh?" gumamnya sambil menjatuhkan diri ke tempat tidur.Matanya menatap langit-langit dengan kosong, sementara pikirannya terus berputar pada kejadian sore tadi.Ia tidak berpikir panjang ketika ingin ikut serta saat Lila dan Sean pergi bersama. Rasa cemburu dan iri yang selama ini ia pendam membuatnya kehilangan akal. Selama ini, ia bisa bertindak mendekati Sean tanpa sepengetahuan Lila, dan Sean pun memilih diam.Tetapi tadi … tadi ia hampir merusak semuanya.Delisa mengepalkan tangannya. Selama ini, ia selalu merasa bahwa ia lebih pantas berada di sisi Sean dibandingkan Li
Delisa merasa tidak nyaman saat Nadya menghampiri kubikelnya. Perut besar wanita itu tak mengurangi langkahnya yang mantap, penuh percaya diri.Senyum lebar terpasang di wajah Nadya, tapi Delisa tahu itu bukan senyum ramah. Itu senyum yang dibuat-buat.“Hai, Delisa,” sapa Nadya dengan nada ringan, terlalu ringan.Delisa menatapnya dengan waspada. Nadya bukan hanya sahabat kakaknya, tetapi juga orang kepercayaannya. Jika Nadya mendatanginya secara langsung seperti ini, pasti ada sesuatu.Sebelum Delisa sempat menjawab, ponselnya bergetar berkali-kali. Notifikasi beruntun memenuhi layar. Ia melirik Nadya sekilas, lalu menurunkan pandangannya ke ponsel.Pesan dari Nadya.Delisa menatap Nadya dengan ekspresi bingung. Untuk apa Nadya mengirim pesan jika mereka sedang berhadapan?Rasa penasaran mengalahkan kewaspadaannya. Dengan sedikit ragu, Delisa membuka pesan itu. Matanya membeliak lebar menatap isi pesan.Beberapa foto wajah seorang perempuan penuh luka, lebam di pipi, bibir pecah, dan
Delisa merasa tidak nyaman saat Nadya menghampiri kubikelnya. Perut besar wanita itu tak mengurangi langkahnya yang mantap, penuh percaya diri.Senyum lebar terpasang di wajah Nadya, tapi Delisa tahu itu bukan senyum ramah. Itu senyum yang dibuat-buat.“Hai, Delisa,” sapa Nadya dengan nada ringan, terlalu ringan.Delisa menatapnya dengan waspada. Nadya bukan hanya sahabat kakaknya, tetapi juga orang kepercayaannya. Jika Nadya mendatanginya secara langsung seperti ini, pasti ada sesuatu.Sebelum Delisa sempat menjawab, ponselnya bergetar berkali-kali. Notifikasi beruntun memenuhi layar. Ia melirik Nadya sekilas, lalu menurunkan pandangannya ke ponsel.Pesan dari Nadya.Delisa menatap Nadya dengan ekspresi bingung. Untuk apa Nadya mengirim pesan jika mereka sedang berhadapan?Rasa penasaran mengalahkan kewaspadaannya. Dengan sedikit ragu, Delisa membuka pesan itu. Matanya membeliak lebar menatap isi pesan.Beberapa foto wajah seorang perempuan penuh luka, lebam di pipi, bibir pecah, dan
Di kamar kosnya, Delisa mondar-mandir dengan gelisah. Tangannya terus menggenggam ponselnya, Delisa ingin menghubungi ibunya tetapi ternyata beberapa hari terakhir ponsel selalu dibawa bapaknya, sehingga dia tidak bisa berkeluh kesah atas masalah yang sedang dia hadapi saat ini.Hati Delisa berdebar kencang, bukan karena antusiasme, tetapi karena rasa panik yang mulai merayap."Bodoh... Kenapa aku tadi begitu ceroboh?" gumamnya sambil menjatuhkan diri ke tempat tidur.Matanya menatap langit-langit dengan kosong, sementara pikirannya terus berputar pada kejadian sore tadi.Ia tidak berpikir panjang ketika ingin ikut serta saat Lila dan Sean pergi bersama. Rasa cemburu dan iri yang selama ini ia pendam membuatnya kehilangan akal. Selama ini, ia bisa bertindak mendekati Sean tanpa sepengetahuan Lila, dan Sean pun memilih diam.Tetapi tadi … tadi ia hampir merusak semuanya.Delisa mengepalkan tangannya. Selama ini, ia selalu merasa bahwa ia lebih pantas berada di sisi Sean dibandingkan Li
Setelah Brilian tertidur pulas, napasnya teratur dan wajah kecilnya terlihat damai, Lila tetap duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah dinding. Tanpa sadar, air matanya menetes, mengalir perlahan di pipinya. Ia mengusap cepat, seolah ingin menghapus rasa sakit yang tak bisa dihindari.Dengan langkah pelan, Lila meninggalkan kamar Brilian, hatinya penuh sesak. Ia berdiri di sudut ruang keluarga, menahan isak yang ingin pecah.Sean merapikan selimut Brilian, memastikan anaknya tidur dengan nyaman. Lalu dia menyusul Lila, menemukan istrinya berdiri membelakangi pintu. Tanpa berkata apa pun, Sean mendekat dan memeluk Lila dari belakang, merapatkan tubuhnya, mencoba menjadi pelindung dari rasa sakit yang tak terlihat.Lila menggigil pelan, lalu perlahan membalikkan tubuhnya. Wajahnya basah oleh air mata. Ia menatap mata Sean, penuh luka yang tak bisa diucapkan. Tanpa bisa ditahan lagi, Lila menumpahkan seluruh kesedihannya dalam pelukan Sean, menangis sesenggukan.Sean memeluk erat,
Tampaknya Lila harus bersabar untuk mendapat jawaban dari Sean, karena suaminya itu mengatakan akan membicarakan hal tersebut di rumah. Lila tidak memaksa karena mereka sedang dalam perjalanan.Setibanya di rumah, Sean dan Lila harus menghadapi Sekar yang terlihat sangat antusias untuk mengetahui hasil pemeriksaan Lila. Perempuan paruh baya itu sudah tidak sabar untuk menimang cucu keduanya.“Bagaimana hasil pemeriksaannya tadi?” tanya Sekar sambil menuntun Lila menuju ke ruang keluarga. Dia mengabaikan Sean yang berjalan di belakang mereka.Lila menoleh ke belakang, seolah meminta bantuan sang suami untuk memberikan penjelasan. Meskipun bukan masalah yang sulit diatasi, tetapi Lila tidak ingin membuat ibu mertuanya kecewa jika mengetahui dirinya mengalami anemia dan harus menunda program kehamilannya sementara waktu.“Semua baik-baik saja, Ma. Hanya mungkin karena saat ini Lila masih banyak pekerjaan yang menumpuk, karena Nadya sebentar lagi akan cuti melahirkan, jadi kami memutuskan
Dokter Amira menutup alat pemeriksaannya dengan hati-hati, lalu mengambil catatan medis Lila. Ia tersenyum tipis, mencoba meredakan kecemasan yang tergambar jelas di wajah Lila dan Sean.“Tenang, tidak ada masalah serius,” ujar Dokter Amira pelan. “Hanya saja, Lila mengalami anemia ringan. Ini cukup umum terjadi, terutama setelah persalinan caesar sebelumnya.”Sean menghela napas lega, tetapi tetap menatap dokter dengan penuh perhatian. “Apa yang harus kami lakukan, Dok?”“Yang terpenting adalah mengatur pola makan. Lila perlu mengonsumsi lebih banyak makanan yang kaya zat besi seperti daging merah tanpa lemak, hati ayam, sayuran hijau seperti bayam dan brokoli, serta kacang-kacangan. Lengkapi dengan vitamin C agar penyerapan zat besi lebih optimal.” Dokter Amira menuliskan beberapa catatan di kertas resep.“Apakah ini akan memengaruhi program hamil nanti?” tanya Lila, suaranya pelan.“Tidak, asalkan anemia ini teratasi sebelum kehamilan. Jika dibiarkan, bisa membuat Lila cepat lelah
Di klinik yang bernuansa hangat dan tenang, Lila dan Sean duduk berdampingan di ruang tunggu. Tak butuh waktu lama, setelah seorang pasien keluar dari ruang praktik, nama Lila segera dipanggil.Sean berdiri lebih dulu, lalu meraih tangan Lila dengan lembut, seolah-olah menggandeng harta paling berharga dalam hidupnya.Saat mereka memasuki ruangan, Dokter Amira yang duduk di balik mejanya tersenyum lebar. Matanya berbinar begitu melihat Lila.“Wah, Lila! Aku hampir nggak mengenalimu. Semakin cantik saja,” seru Dokter Amira, berdiri untuk menyambut mereka.Lila tersipu, sementara Sean melemparkan pandangan penuh kebanggaan ke arah istrinya.“Tubuhmu tetap terjaga dengan baik. Pasti karena pengorbanan Sean, ya? Aku dengar dia yang memutuskan untuk KB, bukan kamu. Itu tandanya dia benar-benar sayang sama kamu.”Ucapan itu membuat Sean tertawa kecil, lalu meremas pelan tangan Lila. Bagi Sean apa yang dia lakukan bukanlah pengorbanan yang layak dibanggakan. Toh dia masih bisa menikmatinya,
Sore itu, sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat di depan gedung Mahendra Securitas. Pintu mobil terbuka, dan Sean melangkah keluar dengan langkah mantap. Setelan jasnya rapi, kemeja putih tanpa cela berpadu dengan dasi berwarna gelap yang menambah aura kharismanya. Tatapan matanya tenang, penuh percaya diri, memancarkan pesona yang sulit diabaikan.Saat Sean memasuki lobi kantor, beberapa karyawan wanita tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Bisikan pelan terdengar di sudut-sudut ruangan.“Itu suaminya Bu Lila, kan?” bisik salah satu staf.“Iya, ya ampun, ganteng banget. Mereka pasangan serasi banget,” sahut yang lain sambil tersenyum kagum.Sean melangkah melewati mereka tanpa banyak bicara, hanya memberikan anggukan singkat yang membuat beberapa orang semakin terpesona. Aura dingin dan tenangnya justru menambah daya tariknya.Delisa, yang kebetulan sedang berada di salah satu sudut ruangan, melihat semua pemandangan itu dengan tatapan sulit diartikan. Senyum tipis menghiasi wa
Di kantor, Lila tampak gelisah. Tatapannya kosong meski layar laptop di depannya penuh dengan angka dan laporan. Pikirannya melayang, tak bisa fokus pada pekerjaan.Tadi, sebelum pulang, Inayah menemuinya dengan wajah sedih. Kata demi kata yang diucapkan sang ibu seolah sulit untuk Lila abaikan begitu saja."Kau tahu apa yang dilakukan ibu mertuamu saat kami mengantar Brili tadi? Tadi dia melabrak Ibu."Lila mengerutkan kening. "Melabrak? Kenapa?" Tentu Lila sangat terkejut, karena keduanya berangkat terlihat rukun dan akrab."Ibu juga kaget. Dia menuduh Delisa merayu Sean." Inayah menatap Lila, suaranya mengandung kemarahan yang tertahan. "Tapi coba pikir, Li … apa masuk akal? Bisa saja justru Sean yang menggoda adikmu."Lila terdiam, dadanya sesak. Kata-kata Inayah menancap tajam di pikirannya, memunculkan keraguan yang berusaha dia tepis."Sean nggak mungkin begitu, Bu," bisiknya, tapi suaranya terdengar ragu.Inayah menepuk tangan Lila lembut. "Ibu cuma ingin kamu waspada. Jangan
Lila berdiri di depan pintu, matanya sedikit berkaca-kaca saat memelik tubuh sang ayah."Jaga dirimu baik-baik, Nak," ucap Waluya membisikkan doa serta nasihat yang selalu ia berikan sejak Lila kecil. "Jangan lupa berdoa. Tetap rendah hati, jadilah ibu dan istri yang baik. Jangan lupa tetap hormati ibu mertuamu!”“Ya, Pak,” jawab Lila lirih sambil menahan air mata.Lila mengangguk, menggenggam tangan ayahnya untuk terakhir kali sebelum memasuki mobil. Waluya menurunkan kaca jendela, lalu melambaikan tangan sambil tersenyum hangat.Sementara itu, Inayah hanya diam. Wajahnya muram, pikirannya masih dipenuhi dengan ancaman Sekar di kafe tadi. Ia bahkan tak memberikan pesan apa pun untuk Lila, sesuatu yang membuat putrinya sedikit heran.Setelah mobil mereka tak terlihat lagi, Lila menghela napas dan berbalik menuju rumah. "Aku ke kamar dulu, bersiap ke kantor," ucap Lila kepada Sean dan Sekar sebelum melangkah menaiki tangga.Sean hanya mengangguk sambil melirik jam tangannya. "Aku juga