Delisa merasa tidak nyaman saat Nadya menghampiri kubikelnya. Perut besar wanita itu tak mengurangi langkahnya yang mantap, penuh percaya diri.Senyum lebar terpasang di wajah Nadya, tapi Delisa tahu itu bukan senyum ramah. Itu senyum yang dibuat-buat.“Hai, Delisa,” sapa Nadya dengan nada ringan, terlalu ringan.Delisa menatapnya dengan waspada. Nadya bukan hanya sahabat kakaknya, tetapi juga orang kepercayaannya. Jika Nadya mendatanginya secara langsung seperti ini, pasti ada sesuatu.Sebelum Delisa sempat menjawab, ponselnya bergetar berkali-kali. Notifikasi beruntun memenuhi layar. Ia melirik Nadya sekilas, lalu menurunkan pandangannya ke ponsel.Pesan dari Nadya.Delisa menatap Nadya dengan ekspresi bingung. Untuk apa Nadya mengirim pesan jika mereka sedang berhadapan?Rasa penasaran mengalahkan kewaspadaannya. Dengan sedikit ragu, Delisa membuka pesan itu. Matanya membeliak lebar menatap isi pesan.Beberapa foto wajah seorang perempuan penuh luka, lebam di pipi, bibir pecah, dan
Rangga menekan pulpen di atas kertas, menandatangani pernyataan medis dengan tangan gemetar. Ia memberi izin rumah sakit untuk melakukan tindakan operasi caesar pada Nadya.Napas Rangga terlihat berat, dadanya naik turun menahan emosi yang berkecamuk. Bukan hanya marah tetapi ada rasa khawatir yang mendalam. Di ruang operasi istri dan anaknya sedang berjuang hidup.Di hadapannya, Sean dan Lila berdiri dalam diam. Sean memasukkan tangan ke dalam saku, sementara Lila menatap kosong ke lantai.“Aku akan menempuh jalur hukum,” suara Rangga terdengar tegas, nyaris bergetar menahan amarah. “Delisa harus bertanggung jawab atas semua ini.”Sean mengalihkan pandangannya ke Lila, menunggu reaksi istrinya. Lila mengangkat wajahnya, matanya terlihat basah. Namun, ia tidak menangis.Perlahan, ia mengangguk. “Aku tidak akan menghalangi,” katanya pelan, hampir berbisik. “Lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan.”Wajah Rangga tetap tegang, tetapi ia mengangguk kecil, menerima jawaban itu.Suasana di
Lila duduk di kursi tunggu rumah sakit, ponselnya masih di tangan. Berulang kali ia mencoba menghubungi Delisa, tapi tidak ada jawaban. Ia kembali menekan nomor adiknya, menunggu nada sambung yang semakin lama semakin membuatnya frustrasi.Sean yang duduk di sampingnya memperhatikannya dengan cermat. “Mungkin saat ini dia sedang ketakutan,” ucap Sean pelan. “Dia pasti tahu kalau kita mencarinya.”Lila mendesah, menekan dahinya dengan ujung jari. “Aku hanya ingin dia menyerahkan diri, Sean. Menghindar seperti ini hanya akan memperburuk segalanya. Jika dia menyerahkan diri dan mempertanggungjawabkan perbuatannya, mungkin itu bisa meringankan hukumannya di pengadilan nanti.”Sean mengangguk. “Aku sudah bicara dengan Cyrus. Dia sudah membuat laporan ke polisi. Saat ini, status Delisa masih dalam tahap pencarian, tapi mengingat kondisi Nadya yang harus melahirkan lebih cepat akibat kejadian ini, kemungkinan polisi akan segera mengeluarkan surat perintah penangkapan.”Lila menatap suaminya,
Delisa terisak, tubuhnya gemetar saat salah satu polisi mendekat untuk membacakan kasus yang membelitnya hingga harus berurusan dengan hukum.“Ini tidak benar! Dia dulu yang mulai, aku tidak bermaksud melukai siapa pun!” Suara Delisa bergetar, terdengar penuh kepanikan.Inayah yang berdiri di sampingnya tampak pucat, matanya membelalak tidak percaya. “Kalian pasti salah paham! Lisa anak baik, dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu,” ucap Inayah mencoba membela putri bungsunya.“Bu, Pak, tolong katakan pada mereka! Aku tidak bersalah!” Delisa memohon, wajahnya basah oleh air mata.Inayah segera berbalik menatap Waluya. “Pak, cepat telepon Lila! Suruh dia bicara dengan suaminya. Mereka pasti bisa menyelesaikan ini!” desak Inayah panik.Waluya menghela napas berat. Matanya menatap polisi-polisi yang berdiri tegap di depan rumah mereka, lalu kembali menatap istrinya. “Sudah malam, Bu. Aku nggak mau ganggu waktu istirahat Lila dan Sean. Besok pagi saja.”“Bak!” Inayah berseru frustras
Pagi itu, Waluya dan Inayah tiba di rumah Sean dan Lila dengan wajah penuh harap. Waluya dan Inayah sudah dipersilakan masuk oleh pelayan. Dan kini keduanya duduk manis di ruang tamu menantikan kedatangan anak dan menantunya.Waluya berusaha tetap tenang, meski hatinya dipenuhi gemuruh memikirkan nasib putri bungsunya. Sementara itu, Inayah menggenggam tangannya erat erat, menyalurkan rasa cemas yang sejak tadi malam enggan sirna.Setelah menunggu beberapa saat, tampak Sean dan Lila datang beriringan. Sean tampak sudah rapi dengan setelan jasnya dan juga tas kerja yang dibawakan oleh Lila,Sebelum Waluya sempat berbicara, Lila menoleh ke Sean. "Sayang, bukankah kamu harus segera ke kantor. Semalam kau bilang ada rapat penting dengan klien yang nggak bisa ditunda."Sean tampak ragu. Dia tahu kedatangan Waluya dan Inayah pasti berhubungan dengan Delisa. Namun, tatapan tegas Lila membuatnya menghela napas pelan. Sean tahu, Lila ingin menyelesaikan masalah Delisa tanpa melibatkan dirinya.
"Selama ini Delisa tidak bekerja dengan baik di kantor. Mungkin karena dia menganggap bekerja sama keluarga sendiri maka dia sering bertindak sesuka hatinya," ucap Lila akhirnya. "Saya sudah berulang kali menasihatinya, memperingatkan agar dia lebih profesional. Tapi dia selalu mengabaikannya."Inayah menatap Lila dengan tidak percaya. "Maksudmu apa, Lil? Bukannya Delisa bekerja dengan baik?"Lila tersenyum kecil, tetapi ada kelelahan di matanya. "Tidak seperti itu sebenarnya, Bu. Dia sering terlambat, sering membolos dengan alasan yang tidak jelas. Bahkan, beberapa kali aku mendengar keluhan dari rekan-rekannya karena sikapnya yang tidak menghargai orang lain. Laporan yang harusnya dia kerjakan tidak pernah beres, dan ini mengganggu kinerja perusahaan."Waluya mengerutkan kening. "Kenapa kamu tidak pernah bilang?"“Saya pikir, Lisa akan memperbaiki dirinya. Pak. Tetapi ternyata semakin ke sini, dia semakin sulit di atur. Bahkan sampai sekarang dia tidak punya tabungan, uangnya habis
Delisa menggigit bibirnya, kepalanya semakin tertunduk. Inayah menatap putrinya dengan penuh kebingungan. “Delisa, jawab Ibu. Memangnya benar kamu mengganggu suaminya Nadya sampai dia marah dan merendahkanmu?”Delisa menggeleng lemah, tetapi tak berani menatap ibunya. “Bukan begitu, Bu ... Bu Nadya cuma salah paham ...”Inayah menghela napas panjang, lalu menoleh ke Lila dengan penuh harap. “Lila, tolong adikmu. Aku yakin dia bukan perempuan seperti itu. Nadya mungkin saja hanya cari masalah saja, dia sengaja ingin mempermalukan Delisa.”Lila menatap ibunya tanpa ekspresi, lalu beralih ke Delisa. Suaranya terdengar tajam saat ia bertanya, “Siapa lelaki yang kau goda itu? Apakah dia suami orang sampai Nadya repot-repot mengingatkanmu?”Delisa sontak mendongak, wajahnya berubah pucat. Ia gugup, tangannya gemetar, dan matanya bergerak gelisah seolah mencari jalan keluar dari situasi ini. “Mbak ... aku ... aku tidak pernah ...”“Jadi benar?” Lila menyela dengan nada dingin. “Kamu memang m
Setelah selesai makan siang, Lila, Sean, Waluya, dan Inayah keluar dari restoran. Di depan, sebuah minibus hitam milik keluarga Wismoyojati sudah terparkir rapi, siap mengantar kedua orang tua Lila pulang.Waluya masih tampak ragu, sementara Inayah menatap Lila dengan penuh harap. “Kalian benar-benar akan mengurus masalah Delisa, kan?” tanya Waluya berusaha memastikan.Lila mengangguk, menggenggam tangan ibunya sebentar. “Aku dan Sean akan melakukan yang terbaik, Bu. Tapi Ayah dan Ibu juga harus tenang. Percayalah padaku.”Sean menambahkan, “Kami akan mencari solusi terbaik. Jadi, Ayah dan Ibu pulanglah dulu, jangan terlalu khawatir.”Meski belum sepenuhnya lega, akhirnya Waluya dan Inayah menaiki mobil. Sopir segera menutup pintu dan menjalankan kendaraan, membawa mereka menjauh dari restoran.Lila masih menatap mobil itu hingga menghilang di tikungan. Ia lalu menoleh ke Sean. “Kamu mau kembali ke kantor?” tanyanya.Sean tidak langsung menjawab. Sebuah senyum menggoda muncul di wajah
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P