"Selama ini Delisa tidak bekerja dengan baik di kantor. Mungkin karena dia menganggap bekerja sama keluarga sendiri maka dia sering bertindak sesuka hatinya," ucap Lila akhirnya. "Saya sudah berulang kali menasihatinya, memperingatkan agar dia lebih profesional. Tapi dia selalu mengabaikannya."Inayah menatap Lila dengan tidak percaya. "Maksudmu apa, Lil? Bukannya Delisa bekerja dengan baik?"Lila tersenyum kecil, tetapi ada kelelahan di matanya. "Tidak seperti itu sebenarnya, Bu. Dia sering terlambat, sering membolos dengan alasan yang tidak jelas. Bahkan, beberapa kali aku mendengar keluhan dari rekan-rekannya karena sikapnya yang tidak menghargai orang lain. Laporan yang harusnya dia kerjakan tidak pernah beres, dan ini mengganggu kinerja perusahaan."Waluya mengerutkan kening. "Kenapa kamu tidak pernah bilang?"“Saya pikir, Lisa akan memperbaiki dirinya. Pak. Tetapi ternyata semakin ke sini, dia semakin sulit di atur. Bahkan sampai sekarang dia tidak punya tabungan, uangnya habis
Delisa menggigit bibirnya, kepalanya semakin tertunduk. Inayah menatap putrinya dengan penuh kebingungan. “Delisa, jawab Ibu. Memangnya benar kamu mengganggu suaminya Nadya sampai dia marah dan merendahkanmu?”Delisa menggeleng lemah, tetapi tak berani menatap ibunya. “Bukan begitu, Bu ... Bu Nadya cuma salah paham ...”Inayah menghela napas panjang, lalu menoleh ke Lila dengan penuh harap. “Lila, tolong adikmu. Aku yakin dia bukan perempuan seperti itu. Nadya mungkin saja hanya cari masalah saja, dia sengaja ingin mempermalukan Delisa.”Lila menatap ibunya tanpa ekspresi, lalu beralih ke Delisa. Suaranya terdengar tajam saat ia bertanya, “Siapa lelaki yang kau goda itu? Apakah dia suami orang sampai Nadya repot-repot mengingatkanmu?”Delisa sontak mendongak, wajahnya berubah pucat. Ia gugup, tangannya gemetar, dan matanya bergerak gelisah seolah mencari jalan keluar dari situasi ini. “Mbak ... aku ... aku tidak pernah ...”“Jadi benar?” Lila menyela dengan nada dingin. “Kamu memang m
Setelah selesai makan siang, Lila, Sean, Waluya, dan Inayah keluar dari restoran. Di depan, sebuah minibus hitam milik keluarga Wismoyojati sudah terparkir rapi, siap mengantar kedua orang tua Lila pulang.Waluya masih tampak ragu, sementara Inayah menatap Lila dengan penuh harap. “Kalian benar-benar akan mengurus masalah Delisa, kan?” tanya Waluya berusaha memastikan.Lila mengangguk, menggenggam tangan ibunya sebentar. “Aku dan Sean akan melakukan yang terbaik, Bu. Tapi Ayah dan Ibu juga harus tenang. Percayalah padaku.”Sean menambahkan, “Kami akan mencari solusi terbaik. Jadi, Ayah dan Ibu pulanglah dulu, jangan terlalu khawatir.”Meski belum sepenuhnya lega, akhirnya Waluya dan Inayah menaiki mobil. Sopir segera menutup pintu dan menjalankan kendaraan, membawa mereka menjauh dari restoran.Lila masih menatap mobil itu hingga menghilang di tikungan. Ia lalu menoleh ke Sean. “Kamu mau kembali ke kantor?” tanyanya.Sean tidak langsung menjawab. Sebuah senyum menggoda muncul di wajah
Sore itu, matahari bersinar cerah, menerangi halaman belakang rumah tempat Sean dan Brilian bermain basket. Brilian yang masih berusia lima tahun tampak bersemangat, meskipun tubuhnya yang kecil jelas tidak bisa menandingi postur tinggi ayahnya.“Ayo, Nak, coba rebut bolanya dari Papa,” tantang Sean sambil memantulkan bola ke lantai dengan lincah.Brilian mengerutkan dahi, berusaha fokus. Ia mencoba merebut bola dengan lompatan kecil, tetapi Sean dengan mudah menghindar sambil tertawa.“Kamu harus lebih cepat dari itu,” ujar Sean sambil menepuk kepala putranya pelan.Brilian cemberut sejenak, lalu kembali bersiap. Kali ini, Sean membiarkannya sedikit unggul. Brilian berhasil menepuk bola dari tangan ayahnya, dan dengan tawa bahagia, ia berlari ke arah ring kecil yang dipasang khusus untuknya.“Dunk, dunk!” serunya sambil melompat dan memasukkan bola.Lila yang duduk di teras bersama Sekar tersenyum melihat kebahagiaan anak dan suaminya. “Dia makin jago,” ucap Lila bangga.Dia tidak he
Sean menatap Lila tanpa ada keinginan menekan. Tatapannya tenang, seolah memberi ruang kepada istrinya untuk mengambil keputusan sendiri. Lila menahan napas sejenak, lalu menghembuskannya dengan kasar.Lila sadar, cepat atau lambat, semua ini akan terbuka. Tidak mungkin selamanya ia menyembunyikan perbuatan Delisa dari kedua orang tuanya.Jika mereka tahu sejak awal, mungkin adiknya tidak akan terus melangkah sejauh ini. Mungkin, mereka bisa menasihatinya sebelum semuanya menjadi lebih buruk.“Baiklah,” ujar Lila akhirnya. Suaranya datar, tetapi ada ketegasan di dalamnya. “Jika ini memang yang terbaik, aku tidak akan menghalangi.”Rangga mengangguk pelan. Ia menatap Lila dengan penuh pengertian sebelum kembali berbicara.“Masalahnya, jika ini tidak diungkap, Nadya justru akan berada di posisi yang lemah.”Rangga melirik ke arah Sean sejenak sebelum melanjutkan. “Delisa bisa membalik keadaan. Nadya akan terlihat seperti seseorang yang julid, iri, dan suka mengganggu kehidupan orang lai
Sidang demi sidang telah dilalui. Setiap persidangan membawa bukti-bukti baru yang semakin menguatkan dakwaan terhadap Delisa. Hari ini, jaksa bersiap untuk menunjukkan bukti-bukti yang dianggap memberatkan.Layar di ruang sidang menyala, memperlihatkan rekaman CCTV dari kantor Sean. Dalam video itu, terlihat jelas bagaimana Delisa mendorong Nadya yang sedang berbicara kepadanya. Lalu, suara dari rekaman audio diputar, memperdengarkan pertengkaran sengit antara Delisa dan Nadya.Ruangan menjadi hening. Semua orang menatap ke arah Delisa, yang kini menundukkan kepala.Jaksa melanjutkan dengan memperlihatkan bukti lain. Beberapa foto dari Alex, sekretaris Sean yang tidak sengaja mendokumentasikan jalannya rapat, ditampilkan di layar. Dalam foto itu, Delisa yang tidak ada hubungan apa pun dengan perusahaan Sean tampak selalu mengekori Sean, saat rapat. Ada juga gambar yang menunjukkan Delisa berusaha menyentuh tangan Sean saat mereka akan menemui klien di sebuah hotel.Waluya dan Inayah
Siang itu, Sean dan Lila membawa Brilian ke rumah Rangga dan Nadya untuk melihat bayi kedua mereka yang baru lahir. Bayi mungil itu diberi nama Mikhaila, dan wajahnya yang cantik membuat Brilian terpikat sejak pertama kali melihatnya.Brilian mendekat, tangannya pelan-pelan menyentuh selimut putih yang membungkus tubuh Mikhaila. Matanya berbinar.“Mama, aku mau adik seperti ini. Yang cantik.”Lila terkesiap sejenak, lalu tersenyum kecil. “Doakan saja, Nak.”Di sudut ruangan, Malika, kakak Mikhaila yang berusia empat tahun, memperhatikan Brilian dengan tatapan kesal. Sejak tadi, Brilian terlalu sibuk dengan adiknya, seolah keberadaannya tidak penting.“Mikhaila adikku!” kata Malika tiba-tiba, melipat tangan di dadanya.Brilian menoleh, bingung. “Iya, aku tahu.”“Jangan dekat-dekat, nanti dia lebih suka sama kamu daripada aku.”Nadya tertawa kecil sambil mengelus kepala putrinya. “Malika, adikmu tidak akan ke mana-mana. Brilian cuma mau melihatnya.”Tapi Malika tetap cemberut, lalu mend
Sidang putusan Delisa akhirnya tiba.Ruang sidang dipenuhi suasana tegang. Delisa duduk di kursi terdakwa dengan kepala tertunduk. Waluya dan Inayah duduk di barisan depan, tatapan mereka penuh harap.Sementara itu, Lila, Sean, dan Rangga duduk agak jauh, mengamati jalannya persidangan dengan ekspresi tenang.Hakim mengetukkan palu, lalu mulai membacakan putusan."Setelah mempertimbangkan seluruh fakta persidangan, bukti-bukti yang diajukan, serta keterangan saksi-saksi, majelis hakim memutuskan bahwa terdakwa, Delisa Aruna Fahira, terbukti bersalah atas tindak penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 KUHP."Delisa menggigit bibirnya, tubuhnya menegang. Inayah menutup mulut dengan tangan, sementara Waluya menghela napas panjang."Dengan ini, majelis hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan hukuman tiga bulan penjara dan denda sebesar empat juta lima ratus ribu rupiah. Namun, dengan mempertimbangkan masa tahanan yang telah dijalani, terdakwa dapat langsung dibebask
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P