Sidang demi sidang telah dilalui. Setiap persidangan membawa bukti-bukti baru yang semakin menguatkan dakwaan terhadap Delisa. Hari ini, jaksa bersiap untuk menunjukkan bukti-bukti yang dianggap memberatkan.Layar di ruang sidang menyala, memperlihatkan rekaman CCTV dari kantor Sean. Dalam video itu, terlihat jelas bagaimana Delisa mendorong Nadya yang sedang berbicara kepadanya. Lalu, suara dari rekaman audio diputar, memperdengarkan pertengkaran sengit antara Delisa dan Nadya.Ruangan menjadi hening. Semua orang menatap ke arah Delisa, yang kini menundukkan kepala.Jaksa melanjutkan dengan memperlihatkan bukti lain. Beberapa foto dari Alex, sekretaris Sean yang tidak sengaja mendokumentasikan jalannya rapat, ditampilkan di layar. Dalam foto itu, Delisa yang tidak ada hubungan apa pun dengan perusahaan Sean tampak selalu mengekori Sean, saat rapat. Ada juga gambar yang menunjukkan Delisa berusaha menyentuh tangan Sean saat mereka akan menemui klien di sebuah hotel.Waluya dan Inayah
Siang itu, Sean dan Lila membawa Brilian ke rumah Rangga dan Nadya untuk melihat bayi kedua mereka yang baru lahir. Bayi mungil itu diberi nama Mikhaila, dan wajahnya yang cantik membuat Brilian terpikat sejak pertama kali melihatnya.Brilian mendekat, tangannya pelan-pelan menyentuh selimut putih yang membungkus tubuh Mikhaila. Matanya berbinar.“Mama, aku mau adik seperti ini. Yang cantik.”Lila terkesiap sejenak, lalu tersenyum kecil. “Doakan saja, Nak.”Di sudut ruangan, Malika, kakak Mikhaila yang berusia empat tahun, memperhatikan Brilian dengan tatapan kesal. Sejak tadi, Brilian terlalu sibuk dengan adiknya, seolah keberadaannya tidak penting.“Mikhaila adikku!” kata Malika tiba-tiba, melipat tangan di dadanya.Brilian menoleh, bingung. “Iya, aku tahu.”“Jangan dekat-dekat, nanti dia lebih suka sama kamu daripada aku.”Nadya tertawa kecil sambil mengelus kepala putrinya. “Malika, adikmu tidak akan ke mana-mana. Brilian cuma mau melihatnya.”Tapi Malika tetap cemberut, lalu mend
Sidang putusan Delisa akhirnya tiba.Ruang sidang dipenuhi suasana tegang. Delisa duduk di kursi terdakwa dengan kepala tertunduk. Waluya dan Inayah duduk di barisan depan, tatapan mereka penuh harap.Sementara itu, Lila, Sean, dan Rangga duduk agak jauh, mengamati jalannya persidangan dengan ekspresi tenang.Hakim mengetukkan palu, lalu mulai membacakan putusan."Setelah mempertimbangkan seluruh fakta persidangan, bukti-bukti yang diajukan, serta keterangan saksi-saksi, majelis hakim memutuskan bahwa terdakwa, Delisa Aruna Fahira, terbukti bersalah atas tindak penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 KUHP."Delisa menggigit bibirnya, tubuhnya menegang. Inayah menutup mulut dengan tangan, sementara Waluya menghela napas panjang."Dengan ini, majelis hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan hukuman tiga bulan penjara dan denda sebesar empat juta lima ratus ribu rupiah. Namun, dengan mempertimbangkan masa tahanan yang telah dijalani, terdakwa dapat langsung dibebask
Lila membuka aplikasi perpesanan di ponselnya. Matanya menelusuri pesan dari ayahnya yang singkat dan terasa tanpa basa-basi."Kami sudah dalam perjalanan pulang bersama Lisa. Jaga dirimu."Tidak ada pertanyaan apakah dia baik-baik saja. Tidak ada ajakan untuk bertemu sebelum mereka pergi. Untuk pertama kalinya, kedua orang tuanya datang ke kota ini dan pergi tanpa menemuinya terlebih dahulu.Lila meletakkan ponselnya di meja dengan pelan. Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa kosong. Hingga tanpa Lila sadari air matanya mulai menetes, kala menyadari hubungan dalam keluarganya telah terjadi kerenggangan.Sean mendekatinya tanpa suara, lalu melingkarkan lengannya di pinggang Lila dari belakang. Dia menyandarkan dagunya di bahu istrinya, merasakan ketegangan di tubuhnya.“Percayalah, semua akan baik-baik saja.”“Ini yang aku takutkan, Sean.”Sean menghela napas dalam-dalam, lalu melabuhkan kecupan di punggung Lila. “Setiap hubungan akan menemukan ujian masing-masing. Tentu buka
Waktu terus berlalu, bulan demi bulan berganti, tetapi hubungan Lila dengan keluarganya masih terasa hambar. Tidak ada lagi pesan-pesan singkat dari Waluya yang biasanya memberi kabar tentang perkembangan peternakan mereka.Jika dulu ayahnya selalu antusias bercerita tentang ayam-ayamnya atau panen yang melimpah, kini ponselnya lebih sering sepi dari kabar kedua orang tuanya.Bahkan Brilian yang biasanya hanya menunggu panggilan dari kakeknya, kini harus lebih dulu menghubungi Waluya setiap kali rindu. Bocah itu masih ceria seperti biasa, tidak menyadari dinginnya hubungan antara ibunya dan kakeknya.Lila hanya bisa tersenyum pahit setiap kali mendengar suara ayahnya di telepon yang diloudspeaker, terdengar hangat untuk cucunya, tetapi terasa jauh darinya.Suatu sore, saat Lila sedang duduk di sofa dengan pikiran yang terus melayang, Brilian tiba-tiba berlari menghampiri dengan ponsel di tangannya.“Mama, akum au telepon Kakek,” ucap Brilian penuh semangat.Lila mengusap kepala putran
Waluya terdiam beberapa saat setelah mendengar kabar yang datang begitu mendadak. Matanya yang tajam, biasanya penuh wibawa, kini tampak redup, seperti ada beban besar yang menekan. Delisa, dengan sikap tegas namun sedikit gugup, melanjutkan penjelasannya.“Saya diterima di sebuah perusahaan di Australia, Pa. Saya akan bekerja di sana dengan visa Working Holiday. Masa berlaku paspor saya masih lima tahun, dan visa ini bisa dipakai selama satu tahun, dengan kemungkinan perpanjangan jika saya memenuhi persyaratan mereka.”Inayah yang sejak tadi hanya mendengarkan, tak dapat menahan air mata yang mulai mengalir. Dia memegangi dada, merasa sesak. “Jadi, kamu mau pergi begitu saja? Tanpa ada penyesalan? Tanpa merasa salah?” tangannya menggenggam erat.Delisa menunduk, sedikit terkejut dengan reaksi ibunya. "Bu, saya hanya ingin mencari pengalaman, mencari pekerjaan yang benar-benar bisa saya banggakan. Selama ini, saya terlalu sering bermain-main, terutama saat bekerja bersama Lila. Saya t
Lila menatap layar laptopnya dengan fokus, jari-jarinya lincah mengetik di atas keyboard. Tumpukan dokumen yang perlu ia periksa semakin menggunung, tapi pikirannya terusik oleh sesuatu yang tak biasa.Biasanya, mendekati jam makan siang, Delisa akan datang ke ruang kerjanya. Kadang mengajak makan siang bersama, kadang hanya sekadar meminta uang jajan.Tetapi sejak Delisa tidak lagi bekerja di Mahendra Securitas, kebiasaan itu tidak ada lagi. Tidak ada ketukan di pintu, tidak ada suara Delisa yang selalu ceria mengganggunya.Lila menghela napas dalam-dalam. Mungkin saat ini Delisa sedang sibuk dengan urusannya sendiri.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka dengan tergesa-gesa. Nadya masuk dengan ekspresi panik sambil membawa ponselnya."Lila, kamu lihat ini?" Nadya bertanya tanpa basa-basi, lalu menyodorkan layar ponselnya.Lila mengernyit. "Apa?"Ia mengambil ponsel itu dan melihat sebuah unggahan di media sosial. Matanya membelalak saat melihat foto yang terpampang di layar.Delisa be
Sean menggenggam tangan Lila dengan lembut, menuntunnya ke sofa. Ia membiarkan istrinya duduk terlebih dahulu sebelum duduk di sampingnya.“Tarik napas dulu,” ucap Sean pelan, mengusap punggung Lila dengan lembut.Lila menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.“Sekarang, ceritakan padaku,” Sean berkata dengan nada tenang, menatap wajah istrinya yang masih basah oleh air mata.Lila menelan ludah sebelum membuka suara. “Lisa pergi ke Australia, Sean,” ucap Lila dengan suara bergetar. “Dia pergi tanpa memberitahuku. Aku baru tahu dari media sosialnya! Bahkan, Ayah dan Ibu tidak memberi tahuku apa pun.”Sean terdiam sejenak, membiarkan Lila mengeluarkan isi hatinya.“Aku tidak mengerti, Sean. Selama ini aku yang selalu membantu mereka. Aku yang selalu ada untuk mereka. Tapi kenapa aku yang terakhir tahu tentang kepergian Delisa? Apa aku benar-benar tidak dianggap di keluarga sendiri? Bahkan aku tahunya juga secara tidak sengaja. Aku lihat di status me
Sean masih berdiri mematung, menatap sosok mungil yang baru saja lahir. Tangisan bayi perempuan itu memenuhi ruangan, melengkapi kebahagiaan yang sudah membuncah di dadanya."Perempuan...?" suaranya bergetar, hampir tidak percaya.Dokter Amira mengangguk, tersenyum hangat di balik maskernya. "Ya, Sean. Sejak awal USG menunjukkan dua bayi laki-laki. Kami meyakini itu, tapi hari ini kita semua diingatkan bahwa manusia dan teknologi bisa salah. Tuhanlah Sang Penentu Takdir."Sean menoleh ke arah Lila. Meski masih terbaring lemah, istrinya tersenyum tipis. Matanya berbinar dengan air mata yang menggantung di sudutnya. "Kita punya putri, Sean..." Lila merasa bahagia bisa memenuhi keinginan suami dan anaknya.Sean merasakan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Rasa haru, syukur, dan kebahagiaan yang begitu besar hingga dadanya terasa sesak.Seorang perawat membawa bayi perempuan mereka yang telah dibersihkan dan dibungkus kain lembut. Dengan hati-hati, perawat itu menyerahkannya ke pelukan Se
Pagi itu, suasana di rumah sakit terasa penuh ketegangan namun juga harapan. Sekar, Prabu, Ryan, Rina, dan Brilian sudah berkumpul di ruang tunggu khusus, sementara Sean terus mendampingi Lila di kamar perawatan.Seorang perawat masuk membawa pakaian operasi untuk Sean. “Bapak sudah siap untuk mendampingi Bu Lila?” tanya perawat itu dengan senyum ramah.Sean mengangguk, meski dari cara dia menggenggam tangan Lila, jelas ada kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan. Sean berusaha menenangkan dirinya sendiri, mengingat betapa pentingnya peranannya dalam mendampingi Lila.Dokter Amira kemudian masuk, mengenakan seragam hijau khas ruang operasi. “Bagaimana perasaannya, Lila?” tanya Dokter Amira sambil mengecek tekanan darah pasiennya.Lila tersenyum lemah. “Sedikit tegang, Dok.”“Itu wajar. Tapi semuanya akan baik-baik saja. Hasil pemeriksaan kemarin menunjukkan kondisi bayi-bayi dalam keadaan sehat dan siap lahir,” ucap Dokter Amira berusaha menenangkan hati pasiennya.Sekar mendekat, meng
Rumah keluarga Wismoyojati dipenuhi kesibukan sejak pagi. Semua orang bergerak dengan tujuan masing-masing, memastikan segala persiapan untuk persalinan Lila esok hari berjalan lancar. Sekar, yang sudah kembali dari bulan madu, langsung terlibat dalam berbagai persiapan.Di ruang tengah, Lila duduk di sofa, tangannya mengelus perutnya yang besar. Wajahnya sedikit tegang, meskipun ia berusaha tersenyum saat Sean datang membawa daftar barang yang harus dibawa ke rumah sakit."Sudah siap semuanya?" tanya Sean, duduk di samping Lila dan menyerahkan daftar itu.Lila membaca sekilas, lalu menghela napas. "Sepertinya sudah, tapi aku tetap merasa ada yang kurang."Dari arah dapur, Sekar muncul dengan sebuah termos besar. "Ini, teh hangat. Minumlah, biar rileks."Lila menerima cangkir yang disodorkan Sekar, lalu tersenyum. "Terima kasih, Ma. Rasanya masih tidak percaya besok aku akan bertemu bayi-bayiku.""Dan aku akan punya cucu kembar," Sekar menimpali dengan wajah berbinar.Di dekat jendela
Di Maladewa, Sekar dan Prabu menikmati keindahan pantai yang seolah tak berujung. Salah satu destinasi yang paling mereka nikmati adalah Vaadhoo Island, tempat pasir putih bertemu dengan laut yang bercahaya biru saat malam tiba.Fenomena bioluminescence, cahaya alami dari plankton yang hidup di perairan dangkal, membuat setiap langkah mereka di tepi pantai seakan menyala seperti langit berbintang.Sekar berdiri di tepi air, kakinya tenggelam di pasir basah sementara ombak kecil berkilauan di bawah sinar bulan. "Indah sekali, ya?" gumam Sekar hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.Prabu yang berdiri di sampingnya menatap pemandangan itu, lalu menoleh ke arah Sekar."Kamu tahu, aku selalu ingin membawa seseorang ke tempat seperti ini. Tapi baru sekarang bisa benar-benar menikmatinya."Beberapa kali Prabu mengunjungi Maladewa, bukan untuk liburan tapi sebuah tugas negara yang harus dia emban penuh tanggung jawab.Sekar menoleh, menangkap ketulusan dalam mata Prabu. Ia menghela napas
Pagi pertama setelah Sekar berangkat liburan, Lila sudah bersiap lebih awal untuk mengantar Brilian ke sekolah. Meski sudah memasuki trimester akhir kehamilannya, ia memutuskan untuk mengambil peran ini sepenuhnya.Sekar telah memutuskan untuk ikut suaminya setelah menikah, dan dalam sebulan ke depan, Lila harus beradaptasi dengan rutinitas baru.Di dalam mobil, Brilian duduk di kursi belakang dengan raut wajah penuh rasa ingin tahu."Mama, kenapa sekarang Mama yang antar aku ke sekolah?" tanya Brilian dengan polosnya.Lila tersenyum sambil melirik Brilian lewat kaca spion. "Karena sekarang Oma Sekar sedang liburan dengan Opa Prabu. Dan nanti setelah Oma ikut Opa, Mama yang akan mengantar dan menjemput kamu setiap hari."Brilian terdiam sejenak, mencerna jawaban itu. "Jadi Oma nggak tinggal bersama kita lagi?"Lila menghela napas pelan. "Iya, Sayang. Oma akan tinggal sama Opa Prabu. Tapi kita masih bisa sering bertemu, kan?"Brilian menatap keluar jendela menyembunyikan rasa sedih dan
“Kau harus tanggung jawab!” seru Sekar dengan wajah cemberut.“Kurang tanggung jawab yang bagaimana lagi? Dinikahi sudah, dinafkahi sudah, terus mau bagaimana? Masih kurang yang semalam?”Bukannya membuat kemarahan Sekar mereda, ucapan Prabu justru membuatnya semakin marah. Belum genap dua puluh empat jam pernikahan mereka, pertengkaran pertama sudah terjadi.“Aku harus bagaimana?” Prabu berinisiatif mengalah, malu rasanya kalau sampai ketahuan Sean mereka sedang marahan.“Nih!” Sekar menyerahkan pengering rambut kepada Prabu. “Saat Brilian mengetuk pintu nanti, rambutku sudah harus kering.”Prabu menghembuskan napas lega, ternyata hanya masalah sepele yang menyulut kemarahan istrinya. Tanpa banyak bicara, Prabu langsung mendekat ke meja rias, dan menerima pengering rambut dari Sekar.Tangannya terlihat kaku saat menggerakkan pengering rambut tersebut, tapi dia harus melakukannya, atau nanti malam tidak dapat jatah lagi.“Sebenarnya turun dalam keadaan rambut basah juga tidak apa-apa,
Setelah seluruh rangkaian acara selesai, tamu-tamu mulai berangsur pulang. Paksi dan Panji juga bersiap meninggalkan rumah keluarga Wismoyojati. Mereka berpamitan dengan Sekar dan Sean, lalu menoleh ke arah ayah mereka.Prabu berdiri tegap, tetap dengan wibawa khasnya. "Hati-hati di jalan," ucap Prabu singkat.Paksi mengangguk. "Kami pulang dulu, Yah. Kalau butuh apa-apa, kabari."Prabu hanya mengangguk, sementara Panji masih menatap ayahnya dengan ragu. "Kita benar-benar ninggalin Ayah di sini?" bisiknya pada Paksi."Hanya beberapa hari," jawab Paksi pelan, mencoba meyakinkan diri sendiri juga. "Setelah itu, Ayah dan Bu Sekar akan pindah ke rumah Ayah."Panji menghela napas, masih berat. Bukan karena tidak setuju dengan pernikahan ini, tetapi ada perasaan aneh melihat ayah mereka di lingkungan yang begitu berbeda.Rumah ini besar, megah, penuh orang dengan pembawaan yang tenang dan elegan. Ayah mereka, meski pensiunan jenderal, selalu hidup lebih sederhana, lebih lugas."Kita pergi d
Satu minggu setelah lamaran, tanpa banyak kemeriahan, pernikahan Sekar dan Prabu akhirnya dilangsungkan di rumah Sekar. Hanya akad nikah sederhana, tanpa pesta besar, tanpa iring-iringan mewah.Di ruang utama yang telah disiapkan, para saksi dan keluarga terdekat berkumpul. Sekar duduk anggun dalam kebaya putih gading, rambutnya disanggul rapi. Wajahnya tenang, tak ada ekspresi berlebihan, hanya sorot mata yang sulit ditebak.Prabu, mengenakan beskap warna krem, duduk tegap di hadapan penghulu. Wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya, tak ada sikap genit atau senyum penuh percaya diri seperti yang sering ia tunjukkan kepada Sekar. Hari ini, ia adalah pria yang siap mengucapkan janji besar dalam hidupnya.Saat ijab kabul dimulai, ruangan itu menjadi hening. Sean duduk di sisi mamanya, diam memperhatikan setiap kata yang terucap. Ada ketegangan di wajahnya, tetapi ia tetap menjaga ketenangannya.Dengan satu tarikan napas, Prabu mengucapkan akad dengan lantang dan jelas. Suaranya te
Ruangan terasa lebih berat dari sebelumnya. Saat Prabu Yudistira melangkah masuk, aura wibawanya memenuhi setiap sudut ruangan. Sean yang duduk di sofa menegakkan bahunya, sementara Ryan dan Rina mulai menyesuaikan sikap mereka. Kecuali Lila, perut yang berisi dua janin itu membuatnya tidak terus bersandar.Tidak ada lagi candaan atau komentar sarkastik seperti sebelumnya. Mereka menyambut tamu dengan hormat.Dua pemuda yang mengiringi Prabu kini duduk di kiri dan kanannya. Tatapan mereka tajam, penuh kewaspadaan, seperti dua pengawal yang siap menjaga ayah mereka. Meski tanpa seragam, cara mereka membawa diri menunjukkan bahwa mereka terbiasa dengan disiplin dan otoritas.Prabu menatap Sekar dengan ekspresi yang sulit dibaca. Biasanya, ketika mereka hanya berdua, ada senyum genit dan godaan ringan yang kerap keluar dari bibirnya. Namun, kali ini, tidak ada tanda-tanda pria yang sering menggoda Sekar dengan panggilan manja.Ia menoleh ke Sean, lalu berbicara dengan nada formal. “Saya