Nadya menatap amplop cokelat itu, lalu dengan ragu menyodorkannya kembali kepada Sekar. “Maaf, Bu. Tapi saya benar-benar tidak bisa menerimanya.”Sekar menghela napas, menatap Nadya dengan lembut namun tegas. “Kamu pantas menerimanya, Nadya. Kamu sudah bertaruh nyawa untuk menyingkirkan benalu dalam rumah tangga putraku. Itu bukan hal kecil.”Nadya menggeleng. “Saya melakukan itu dengan ikhlas, Bu. Saya memang sudah berencana untuk memberi peringatan pada Delisa. Tetapi saya tidak menyangka semuanya akan menjadi masalah besar.”Sekar tersenyum tipis. “Justru karena kamu melakukannya dengan ikhlas, aku ingin memberimu ini. Aku sangat menghargai apa yang sudah kamu lakukan. Jika bukan kamu yang bertindak mungkin Delisa belum pergi dari kehidupan Sean.”Namun, Nadya tetap bersikeras. “Sebagai sahabat, saya hanya ingin melindungi Lila. Saya tidak berharap imbalan apa pun.”Bagi Nadya sudah terlalu banyak pemberian dari keluarga Wismoyojati untuk dia dan keluarga. Meski sudah lama, Nadya s
Lila menyandarkan kepalanya di dada Sean, mendengar detak jantung suaminya yang selalu berhasil menenangkannya. Sesekali dia melabuhkan kecupan singkat di sana.Tangan Sean membelai rambutnya dengan lembut, sesekali menelusuri punggung polos Lila dalam gerakan menenangkan.“Kau nyaman?” tanya Sean pelan.Lila mengangguk, membiarkan kehangatan di antara mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Hening sesaat sebelum Sean menarik napas panjang dan berkata, “Maaf, aku harus jujur tentang sesuatu.”Lila mengangkat kepalanya, menatap wajah Sean yang tampak serius. “Tentang apa?”Sean menatap langit-langit kamar, seolah mencari keberanian sebelum akhirnya berkata, “Aku tahu ada yang aneh dengan Delisa sejak awal. Aku melihat cara dia memandangku, cara dia bersikap. Tapi aku memilih diam. Aku tak ingin menghancurkan hubungan kalian.”Lila terdiam, dadanya terasa sedikit sesak mendengar itu.Sean melanjutkan, suaranya sedikit berat. “Aku pikir jika aku pura-pura tidak tahu, semuanya a
Ryan duduk bersila di lantai ruang tamu, menemani Renasha yang sibuk mewarnai gambar bunga di bukunya. Bocah kecil itu tampak serius, menggenggam krayon dengan kedua tangan kecilnya. Sesekali, dia menoleh ke arah ayahnya, memastikan warna yang dipilihnya sudah benar.“Papa, ini bagus nggak?” tanya Renasha, menunjukkan kelopak bunga yang sudah diwarnai campuran merah dan oranye.Ryan tersenyum, mengangguk. “Bagus sekali. Rena pintar.”Renasha tertawa kecil, lalu kembali melanjutkan mewarnai. Tapi belum separuh gambarnya selesai, dia mulai menguap. Kelopak matanya terlihat berat, dan kepalanya terangguk-angguk kecil.“Papa …” gumamnya dengan suara mengantuk. “Gendong …”Tanpa ragu, Ryan segera meraih putrinya, mengangkat tubuh mungil itu ke dalam gendongannya. Renasha menyandarkan kepalanya di bahu ayahnya, tangan kecilnya melingkar di leher Ryan.Saat melangkah melewati kamar ibunya, Ryan melihat Rina yang duduk di tepi ranjang, telaten menyeka wajah Risda yang sedang sakit. Istrinya t
Lila duduk di tepi ranjang, membolak-balik halaman buku sambil tersenyum pada Brilian yang sudah siap mendengarkan. Malam ini, dia mengikuti saran Sean untuk tidak membacakan dongeng tentang putri dan pangeran, karena Brilian kurang menyukainya."Baiklah, bagaimana kalau malam ini kita baca The Lorax?" tanya Lila sambil menunjukkan buku di hadapan Brilian.Brilian mengangguk antusias. "Tentang apa itu, Ma?"Lila mulai membaca dengan suara lembut, “Dulu, di tempat yang indah dengan rumput hijau dan langit biru, hiduplah Lorax, makhluk kecil yang berusaha melindungi pohon Truffula. Tapi suatu hari, datanglah Once-ler, orang yang menebang pohon untuk membuat Thneeds, barang yang katanya dibutuhkan semua orang …”Brilian menyela, matanya membulat. “Kenapa dia menebang semua pohon, Bunda?”Lila tersenyum, senang melihat rasa ingin tahu putranya. “Karena dia hanya memikirkan keuntungannya sendiri. Padahal, Lorax sudah memperingatkannya bahwa jika semua pohon ditebang, maka para hewan yang h
Sean memasuki kamarnya dengan langkah pelan. Lampu kamar hanya menyala temaram, cukup untuk membuatnya melihat sosok Lila yang sudah tertidur lelap di sisi ranjang. Napas istrinya terdengar teratur, wajahnya tampak damai dalam tidur.Matanya lalu beralih ke meja di samping ranjang. Di sana, Lila telah menyiapkan pakaian tidur untuknya. Senyum tipis terukir di wajah Sean. Meski lelah, Lila masih menyempatkan diri untuk mengurusnya.Tanpa ingin membuang waktu, Sean segera menuju kamar mandi. Ia membersihkan dirinya dengan cepat, membiarkan air hangat mengalir di tubuhnya, mencoba meredakan lelah yang menggelayuti pikirannya.Setelah selesai, ia mengenakan pakaian tidur yang telah disiapkan Lila dan kembali ke kamar.Ia berbaring di sisi ranjang, menatap langit-langit. Namun, matanya sulit terpejam. Pikirannya masih dipenuhi berbagai hal yang tidak bisa ia ceritakan kepada siapa pun, termasuk Lila.Akhirnya, ia menyerah. Dengan lembut, Sean meraih tubuh Lila dan memeluknya erat. Kehangat
Lila menatap layar laptopnya, tetapi pikirannya melayang. Kata-kata Sekar terus terngiang di kepalanya, menciptakan kegelisahan yang sulit ia abaikan.Tangan Lila menggenggam pena, tetapi ia tidak menulis apa pun. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir kecemasan, tetapi semakin ia berusaha, semakin pikirannya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk.Sekar memang ibu mertuanya, tetapi perlakuannya kepada Lila lebih seperti seorang ibu kandung. Justru Sean yang sering mendapat sikap dingin dari ibunya sendiri.Mungkin itu karena trauma pernikahan Sekar di masa lalu yang membuatnya sulit percaya kepada putranya sendiri. Tapi jika seorang ibu saja meragukan anaknya, bagaimana dengan Lila?Pintu ruangannya diketuk, lalu Nadya masuk tanpa menunggu jawaban. Sahabat sekaligus asistennya itu membawa beberapa dokumen, tetapi alisnya berkerut begitu melihat ekspresi Lila."Kamu kenapa?" tanya Nadya sambil meletakkan dokumen di meja.Lila menghela napas, menimbang sejenak sebelum akhirnya
Lila duduk di sofa ruang keluarga, berusaha melawan kantuk dengan membaca buku The Intelligent Investor karya Benjamin Graham. Matanya mulai terasa berat, tetapi ia memaksakan diri untuk tetap terjaga.Pikirannya terus dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang membuat hatinya gelisah. Dia tidak bisa membayangkan jika sampai Sean tergoda perempuan lain, bagaimana dengan Brilian yang selama ini sangat mengidolakan papanya.Jarum jam terus bergerak melewati tengah malam. Saat akhirnya suara pintu utama terbuka, Lila mendongak. Sean baru saja masuk, wajahnya tampak lelah, tetapi keterkejutannya jelas terlihat saat melihat Lila masih terjaga.“Kamu belum tidur?” tanya Sean, suaranya terdengar kaget sekaligus khawatir.Lila menutup bukunya perlahan dan menaruhnya di meja. “Aku menunggumu.”Sean berjalan mendekat, melepas jasnya dan duduk di samping istrinya. Tatapannya menyapu wajah Lila yang terlihat sedikit pucat karena kelelahan. “Kamu nggak perlu begadang hanya untuk menungguku, Lil.”
Lila berjalan menuju kamar Brilian dengan hati sedikit gelisah. Sean pergi pagi-pagi sekali, bahkan lebih awal dari biasanya, tanpa sempat pamit kepada siapa pun.Brilian masih duduk di tempat tidurnya, rambutnya berantakan setelah bangun tidur. Saat melihat Lila masuk, bocah itu langsung bertanya, "Mama, Papa ke mana? Aku nggak ketemu Papa lagi, ya?"Biasanya Sean yang akan membangunkan Brilian. Dan Setelah Brilian mandi, barulah gentian Lila yang mengurus putranya, membantunya merapikan diri sebelum berangkat sekolah. Dan akhir-akhir ini Sean sangat sering berangkat lebih awal, atau bahkan saat Brilian belum bangun dari tidurnya.Lila menghela napas, berusaha tersenyum agar tidak terlihat khawatir. "Papa sudah berangkat kerja, sayang. Papa sedang banyak pekerjaan akhir-akhir ini."Brilian mengerucutkan bibirnya, matanya menunjukkan rasa kecewa. "Tapi kemarin juga Papa pulangnya malam. Aku udah tidur. Sekarang Papa pergi lagi sebelum aku bangun."Lila duduk di tepi ranjang dan mengus
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P