Lila menatap layar laptopnya, tetapi pikirannya melayang. Kata-kata Sekar terus terngiang di kepalanya, menciptakan kegelisahan yang sulit ia abaikan.Tangan Lila menggenggam pena, tetapi ia tidak menulis apa pun. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir kecemasan, tetapi semakin ia berusaha, semakin pikirannya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk.Sekar memang ibu mertuanya, tetapi perlakuannya kepada Lila lebih seperti seorang ibu kandung. Justru Sean yang sering mendapat sikap dingin dari ibunya sendiri.Mungkin itu karena trauma pernikahan Sekar di masa lalu yang membuatnya sulit percaya kepada putranya sendiri. Tapi jika seorang ibu saja meragukan anaknya, bagaimana dengan Lila?Pintu ruangannya diketuk, lalu Nadya masuk tanpa menunggu jawaban. Sahabat sekaligus asistennya itu membawa beberapa dokumen, tetapi alisnya berkerut begitu melihat ekspresi Lila."Kamu kenapa?" tanya Nadya sambil meletakkan dokumen di meja.Lila menghela napas, menimbang sejenak sebelum akhirnya
Lila duduk di sofa ruang keluarga, berusaha melawan kantuk dengan membaca buku The Intelligent Investor karya Benjamin Graham. Matanya mulai terasa berat, tetapi ia memaksakan diri untuk tetap terjaga.Pikirannya terus dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang membuat hatinya gelisah. Dia tidak bisa membayangkan jika sampai Sean tergoda perempuan lain, bagaimana dengan Brilian yang selama ini sangat mengidolakan papanya.Jarum jam terus bergerak melewati tengah malam. Saat akhirnya suara pintu utama terbuka, Lila mendongak. Sean baru saja masuk, wajahnya tampak lelah, tetapi keterkejutannya jelas terlihat saat melihat Lila masih terjaga.“Kamu belum tidur?” tanya Sean, suaranya terdengar kaget sekaligus khawatir.Lila menutup bukunya perlahan dan menaruhnya di meja. “Aku menunggumu.”Sean berjalan mendekat, melepas jasnya dan duduk di samping istrinya. Tatapannya menyapu wajah Lila yang terlihat sedikit pucat karena kelelahan. “Kamu nggak perlu begadang hanya untuk menungguku, Lil.”
Lila berjalan menuju kamar Brilian dengan hati sedikit gelisah. Sean pergi pagi-pagi sekali, bahkan lebih awal dari biasanya, tanpa sempat pamit kepada siapa pun.Brilian masih duduk di tempat tidurnya, rambutnya berantakan setelah bangun tidur. Saat melihat Lila masuk, bocah itu langsung bertanya, "Mama, Papa ke mana? Aku nggak ketemu Papa lagi, ya?"Biasanya Sean yang akan membangunkan Brilian. Dan Setelah Brilian mandi, barulah gentian Lila yang mengurus putranya, membantunya merapikan diri sebelum berangkat sekolah. Dan akhir-akhir ini Sean sangat sering berangkat lebih awal, atau bahkan saat Brilian belum bangun dari tidurnya.Lila menghela napas, berusaha tersenyum agar tidak terlihat khawatir. "Papa sudah berangkat kerja, sayang. Papa sedang banyak pekerjaan akhir-akhir ini."Brilian mengerucutkan bibirnya, matanya menunjukkan rasa kecewa. "Tapi kemarin juga Papa pulangnya malam. Aku udah tidur. Sekarang Papa pergi lagi sebelum aku bangun."Lila duduk di tepi ranjang dan mengus
Lila menusuk-nusuk potongan ayam di piringnya dengan garpu, tapi tidak benar-benar berniat memakannya. Pikirannya masih sibuk dengan berbagai hal yang mengganggu ketenangannya sejak pagi. “Aku tidak mengerti, Nad. Sean berangkat lebih pagi dari biasanya, bahkan tanpa sempat berpamitan dengan Brilian. Anak itu kecewa, hampir tidak mau berangkat sekolah. Aku sampai harus membujuknya lama sekali.” Nadya yang duduk di seberangnya hanya mengangguk sambil menyendok supnya. “Itu belum seberapa,” lanjut Lila. “Ibu mertuaku juga terus mendesakku. Dia bilang aku harus segera bertindak sebelum semuanya terlambat.” Lila menghela napas, meletakkan garpunya. “Aku benar-benar pening, Nad.” Nadya meletakkan sendoknya dan menatap sahabatnya dengan serius. “Aku juga baru saja ingin membicarakan sesuatu. Tadi pagi aku dapat kabar kalau Rangga mendadak ditugaskan ke luar kota. Awalnya, proyek bermasalah itu akan ditangani langsung oleh Sean.” Lila terdiam sejenak. “Tunggu. Jadi awalnya Sean yang
Lila berjalan terburu-buru menyusuri lorong rumah sakit. Langkahnya tergesa, suara sepatu haknya menggema di lantai marmer yang dingin.Hati Lila berdebar kencang. Begitu mendapat kabar tentang Sekar, dia tak berpikir panjang. Dia harus segera menemui ibu mertuanya.Sesampainya di depan ruang perawatan, Lila menarik napas dalam sebelum mendorong pintu. Matanya langsung tertuju pada Sekar yang berbaring di ranjang. Wajah perempuan itu pucat, namun tatapannya tetap tajam. Ada sesuatu yang membuat Lila menahan langkahnya sejenak.Theo berdiri di sisi ranjang, tubuhnya tegap, ekspresinya datar seperti biasa. Tapi ada ketegangan di sana, sesuatu yang membuat suasana ruangan terasa berat. Lila mengerutkan kening. Apa yang dilakukan Theo di sini?Sekar tidak langsung menyapa Lila. Matanya tetap tertuju pada Theo, sorotnya penuh makna, lebih dari sekadar seorang ibu yang berbicara pada seseorang yang lebih muda."Saya ingin laporan itu secepatnya," kata Sekar, suaranya tegas meskipun masih te
Tiba-tiba, pintu ruang perawatan terbuka. Sean masuk dengan wajah penuh rasa cemas dan penyesalan. Nafasnya tersengal, seolah telah berlari sepanjang koridor rumah sakit. Matanya langsung tertuju pada Sekar yang terbaring di ranjang."Mama ... maafkan aku, Ma." Suara Sean terdengar serak, sarat dengan rasa bersalah. Ia melangkah mendekat, menggenggam tangan sang mama dengan erat.“Apa yang terjadi? Mengapa bisa begini, Ma?” cecar Sean dengan suara bergetarSekar tersenyum lembut, menyambut putranya dengan kehangatan. "Biasalah, namanya orang sudah umur.”“Kalau ada apa-apa, harusnya mama langsung bilang. Jangan sampai terjadi seperti ini lagi!”Ketulusan terlihat jelas dari wajah dan ucapan Sean. Hingga membuat Lila bingung, apakah suaminya yang terlalu pandai berakting atau memang ada hal lain yang sedang disembunyikan oleh Sean.“Bagi mama, yang penting kalian rukun. Dan kamu sebagai suami dan ayah, harus bisa memimpin keluargamu. Jangan sampai kamu salah arah!"“Ya, Ma. Aku akan se
Rangga terkejut mendengar pertanyaan istrinya. Dia sama sekali tidak menduga jika Nadya akan menanyakan hal tersebut.“Selingkuh apa?”Bukan pertanyaan, tetapi kalimat Rangga jelas terdengar sebagai penyangkalan.“Ya Selingkuh, serong, cari perempuan lain,” sahut Nadya terdengar ketus. Dia sudah menduga suaminya akan lebih berpihak kepada Sean. Tentu saja karena selama ini Sean yang menggajinya.“Sejauh pengamatanku, tidak.” Rangga berusaha meyakinkan istrinya.“Pengamatanmu bisa saja salah kan, Pa?”Rangga mendengus kasar. “Apa yang membuatmu curiga jika Mas Sean selingkuh?”Nadya lalu menceritakan apa saja keluhan Lila akhir-akhir ini. Rangga mendengar dengan saksama ucapan istrinya, tanpa menyelanya.“Ma, aku tahu kamu peduli pada Mbak Lila, tapi bukan berarti jika kamu berhak tahu semua masalah dalam rumah tangganya.”“Berarti benar … ada masalah dalam rumah tangga Lila?”“Lah … siapa yang bilang begitu?” tanya balik Rangga yang terlihat bingung dengan kesimpulan sang istri.“Poko
Sean baru saja melewati ambang pintu ketika suara dari kamar mandi membuatnya terhenti. Ia mendengar Lila memuntahkan isi perutnya. Rasa lelah yang menekan tubuhnya seketika terlupakan. Dengan langkah cepat, ia menuju kamar mandi, namun saat ia tiba, Lila sudah selesai membersihkan diri.Lila berdiri di depan wastafel, membasuh wajahnya dengan air dingin. Napasnya masih tersengal ketika ia melihat bayangan Sean di cermin.“Kamu kenapa?” tanya Sean, suaranya sarat dengan kecemasan.Lila menarik napas dalam, mengeringkan wajahnya dengan handuk. “Asam lambungku naik,” jawab Lila ringan, seolah itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan dan sudah biasa terjadi.Sean mengernyitkan dahinya. “Sejak kapan kamu ada riwayat asam lambung?” Sean terlihat tidak percaya dengan ucapan istrinyaLila berbalik, menatap suaminya dengan sorot mata tajam. “Sejak kamu sering hilang entah ke mana dan tidak jujur padaku.”Sean terdiam. Rasa bersalah menghantam dadanya. Ia mengusap wajahnya, penuh sesal dan rasa
Dengan langkah cepat, Lila menuju ruang kerja. Suara Sekar yang penuh emosi masih terdengar, meski kini sedikit mereda.Saat tiba di depan pintu, ia mencoba memutar handle, ternyata tidak dikunci. Perlahan, ia mendorong pintu hingga terbuka.Perdebatan antara Sean dan Sekar seketika terhenti kala menyadari pintu terbuka. Ibu dan anak itu tidak ingin jika Brilian sampai mendengar perdebatan mereka. Sekar dan Sean sama-sama terkejut saat melihat Lila yang membuka pintu.Lila berdiri di ambang pintu, merasa bingung sekaligus takut. Tatapan tajam Sekar langsung tertuju padanya, sementara Sean tampak tegang, seolah tengah menghadapi badai yang lebih besar dari yang bisa ia tangani.Lila melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya.“Apa yang terjadi?” tanya Lila dengan hati-hati, suaranya bergetar sedikit.Pertengkaran atau perdebatan adalah sesuatu yang biasa dalam keluarga. Tetapi selama Lila tinggal bersama Sekar, ini adalah pertama kalinya dia menyaksikan suami dan ibu mertuanya berte
Sekar menatap Sean dengan kemarahan yang meluap-luap. Suaranya bergetar saat ia mulai melontarkan kata-kata tajam.“Kamu ini anak macam apa, Sean? Kamu tega mengkhianati Mama demi laki-laki itu. Demi laki-laki yang meninggalkan kita, yang memilih wanita lain. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia membuang kita seperti sampah?”Hati Sean terasa teriris saat mendengar sang mama tidak bersedia menyebut nama pria yang secara hukum negara masih sah sebagai suaminya. Hal itu menunjukkan luka yang begitu dalam di hati sang mama, yang sampai saat ini belum terobati.Tetapi Sean tetap diam, membiarkan Sekar melepaskan semua amarahnya. Tidak ada pembelaan yang keluar dari mulut Sean, meski pada kenyataan sang mama lah yang membuang Andika setelah ketahuan selingkuh.“Bisa-bisanya kamu merawat lak-laki itu secara diam-diam di belakang mama. Hati mama sakit Sean mengetahuinya, sama sakitnya seperti saat mama mengetahui jika pria itu menikah diam-diam di belakang mama.” Sekar menggelengkan kepalanya.
Ryan perlahan membuka pintu ruang perawatan Andika. Detak jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu dalam dirinya yang masih ragu, tetapi langkahnya tetap maju.Di dalam ruangan, Suster Ratna yang sejak tadi berjaga langsung menoleh. Begitu melihat wajah Ryan, dia langsung tahu siapa pria itu.Pesan dari Lila sebelumnya sudah membuatnya waspada. Kemiripan antara Ryan dan Sean begitu jelas, garis wajah tegas, sorot mata dalam, serta postur tubuh yang tegap, semua itu adalah warisan dari Andika.“Saya Ryan, anak Pak Andika.” Ryan mencoba memperkenalkan diri, dan berharap diberi izin untuk bersama sang papa barang sejenak.“Ya, tadi Bu Lila juga sudah memberi tahu kalau Pak Ryan akan datang.”Suster Ratna tersenyum samar, ada kebahagiaan di hatinya, mungkin keinginan Andika akan segera terpenuhi.Perempuan yang sedang hamil itu segera bangkit dari duduknya. “Bapak pasti senang melihat kedatangan Pak Ryan. Semoga dengan kedatangan Pak Ryan kondisi Bapak bisa segera membaik.
Ryan menatap Rina, sementara istrinya terlihat ragu-ragu. Mereka sama-sama tahu bahwa situasi ini lebih rumit daripada sekadar kunjungan ke rumah sakit.Di satu sisi, mereka datang karena kondisi Risda yang semakin melemah setelah cuci darah. Namun, di sisi lain, ada Andika, sosok yang telah lama mereka hindari, dan kini terbaring sakit.Rina menarik napas dalam, akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. “Lila, kami ke sini karena Mama baru saja menjalani cuci darah. Kondisinya agak menurun, jadi kami harus memastikan dia baik-baik saja lebih dulu.”Lila mengangguk, memahami. “Aku mengerti. Tapi setelah ini, bisakah kalian menyempatkan waktu untuk bertemu Papa? Dia ingin bertemu dengan Ryan.”Ryan mengalihkan pandangan, rahangnya mengeras, tapi dia tidak berkata apa-apa.Rina menatap suaminya sejenak sebelum kembali melihat Lila. “Kami akan mencoba. Bisa tolong beri tahu kami di mana Pak Andika dirawat?”Rina masih tetap menyebut Pak Andika, seperti saat dia masih bekerja di Mahendr
“Bunda Rina!”Panggilan itu membuat Rina mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Dari sorot matanya dia tampak merasa tidak nyaman dengan Lila yang masih berada di hadapannya.Rina sungguh tidak menyangka, hubungan baik yang dahulu pernah mereka jalin akan berada dalam fase yang seperti ini. Penuh kecanggungan dan rasa serba salah.“Kamu tidak apa-apa? Dipanggil dari tadi tidak nyaut.”Ryan terlihat sangat mengkhawatirkan Rina yang sejak tadi hanya diam saja. Hal itu membuat ayah satu anak itu menyamakan arah pandang dengan istrinya.Ryan terlihat kaku, tangannya sedikit mengeratkan pelukan pada tubuh kecil Renasya yang berada dalam gendongannya.Mata pria itu menatap Lila dengan penuh kegugupan, seolah-olah sedang mencari cara melindungi istrinya dari salah paham yang mungkin mungcul akibat pernikahan mereka.Lila menatapnya tajam, kemudian pandangannya beralih ke arah Rina yang berdiri tak jauh dari Ryan. Wajah perempuan itu tampak tegang, tetapi dia berusaha tetap tenang. Namun,
Sean mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lelah, tetapi pikirannya terus bekerja. Hari ini dia memang memutuskan untuk libur dan menyerahkan semua urusan perusahaan kepada Rangga, tetapi nyatanya sejak pagi dia belum beristirahat.Setelah mengantar Lila ke kantor dan Brilian ke sekolah, dia langsung menuju rumah sakit untuk mengurus kepulangan Sekar. Kondisi sang mama memang sudah lebih baik, tetapi tekanan darahnya masih harus dipantau.Sean memastikan semuanya beres sebelum membawanya pulang. Dia sudah meminta asisten rumah tangga untuk memperhatikan keperluan ibunya, tetapi tetap saja ada rasa khawatir yang mengganjal di hatinya.Setelah memastikan Sekar beristirahat di rumah, Sean kembali ke mobilnya dan melajukan kendaraan menuju sekolah Brilian. Matanya terasa berat, karena semalam dia juga menunggu sang mama di rumah sakit dan tidak bisa istirahat dengan nyaman, tetapi dia berusaha tetap fokus.Begitu tiba di sekolah, Brilian langsung
Sekar berdiri di dekat jendela rumah keluarga Wismoyojati, menatap ke luar dengan tatap mata harap-harap cemas. Tidak lama kemudian dia mengingatkan Sean yang sudah bersiap pergi."Jangan lupa jemput Brilian nanti," ucap Sekar dengan suara lembut, tampaknya kesehatannya belum pulih benar.Sean hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Sebelum pergi, tidak lupa Sean melabuhkan kecupan hangat di kening sang mama.Setelah memastikan mobil Sean meninggalkan rumah, Sekar segera meraih ponselnya dan menghubungi Theo.Tak lama, mobil Theo tampak memasuki halaman rumah. Sekar sudah menunggu di pintu, menyambut pria itu dengan raut wajah serius. Theo berjalan cepat ke arahnya."Apakah kamu sudah mendapatkan semua informasi yang kita butuhkan?" tanya Sekar tanpa basa-basi, suara tegang penuh kecemasan."Saya harap informasi yang saya dapatkan cukup untuk menjawab semua permasalahan Bu Sekar," jawab Theo sambil mengangguk, dan keduanya berjalan menuju taman belakang untuk membicarakan hasil penyelid
Sean baru saja melewati ambang pintu ketika suara dari kamar mandi membuatnya terhenti. Ia mendengar Lila memuntahkan isi perutnya. Rasa lelah yang menekan tubuhnya seketika terlupakan. Dengan langkah cepat, ia menuju kamar mandi, namun saat ia tiba, Lila sudah selesai membersihkan diri.Lila berdiri di depan wastafel, membasuh wajahnya dengan air dingin. Napasnya masih tersengal ketika ia melihat bayangan Sean di cermin.“Kamu kenapa?” tanya Sean, suaranya sarat dengan kecemasan.Lila menarik napas dalam, mengeringkan wajahnya dengan handuk. “Asam lambungku naik,” jawab Lila ringan, seolah itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan dan sudah biasa terjadi.Sean mengernyitkan dahinya. “Sejak kapan kamu ada riwayat asam lambung?” Sean terlihat tidak percaya dengan ucapan istrinyaLila berbalik, menatap suaminya dengan sorot mata tajam. “Sejak kamu sering hilang entah ke mana dan tidak jujur padaku.”Sean terdiam. Rasa bersalah menghantam dadanya. Ia mengusap wajahnya, penuh sesal dan rasa
Rangga terkejut mendengar pertanyaan istrinya. Dia sama sekali tidak menduga jika Nadya akan menanyakan hal tersebut.“Selingkuh apa?”Bukan pertanyaan, tetapi kalimat Rangga jelas terdengar sebagai penyangkalan.“Ya Selingkuh, serong, cari perempuan lain,” sahut Nadya terdengar ketus. Dia sudah menduga suaminya akan lebih berpihak kepada Sean. Tentu saja karena selama ini Sean yang menggajinya.“Sejauh pengamatanku, tidak.” Rangga berusaha meyakinkan istrinya.“Pengamatanmu bisa saja salah kan, Pa?”Rangga mendengus kasar. “Apa yang membuatmu curiga jika Mas Sean selingkuh?”Nadya lalu menceritakan apa saja keluhan Lila akhir-akhir ini. Rangga mendengar dengan saksama ucapan istrinya, tanpa menyelanya.“Ma, aku tahu kamu peduli pada Mbak Lila, tapi bukan berarti jika kamu berhak tahu semua masalah dalam rumah tangganya.”“Berarti benar … ada masalah dalam rumah tangga Lila?”“Lah … siapa yang bilang begitu?” tanya balik Rangga yang terlihat bingung dengan kesimpulan sang istri.“Poko