Brakk...
“Lepaskan saya!”
Seorang wanita yang tengah sesegukan itu tak menghiraukan perkataan lelaki yang merupakan suaminya. Dia terus memeluk kaki lelakinya, menahannya untuk meninggalkan dirinya.
”Kamu tuli? Saya bilang lepaskan saya, wanita bodoh!" gertaknya sambil menendang wanita itu hingga membuatnya tersungkur. Kata-katanya yang halus berubah menjadi kasar.
Wanita itu merintih, memohon dengan suara serak. "Mas, jangan pergi ...." pintanya berusaha menggapai kaki suaminya. "Tidak ada gunanya saya mempertahankan keluarga ini. Kamu hanya menghabiskan harta saya karena biaya pengobatanmu yang sialan itu!"
"Kamu terlihat menjijikkan, kamu seharusnya sadar!"
"Mas, kenapa kamu kasar seperti ini? Ini bukan kamu ... maafkan aku," ucap wanita itu. Hatinya benar-benar teriris mendengar setiap kalimat yang dikeluarkan dari mulut lelaki yang ia cintai.
"Halah ... Kamu itu sudah tidak cantik, mati saja!"
"Ibu!"
Aku mengedarkan pandanganku segera. Beberapa kali aku mengercap. Sesaat setelah itu aku sadar keningku dipenuhi bulir keringat yang terasa sangat tidak mengenakkan. Detak jantungku berdetak dengan tempo cepat begitu pula napasku yang memburu.
Aku menelan salivaku sedikit susah payah. Segera, aku bangkit dan menuju kamar mandi. Kubasuh wajahku beberapa kali dengan mata terpejam erat. Ingatan mimpi buruk itu masih terus terbayang.
"Dania."
Aku menoleh, setelah keluar dari kamar mandi. Kulihat seorang gadis sedang tersenyum manis kearahku sambil menenteng sebuah kotak yang dapat kupastikan isinya makanan. Dia gadis berambut pendek sebahu dengan tubuh yang mungil. Aku bahkan lebih tinggi darinya meskipun dia lebih tua dua tahun dariku.
"Kak Rani?" tanyaku.
Dia terseyum dan tak lama berjalan menghampiriku. "Nih," ucapnya sambil menyodorkan kotak makanan itu kedepanku.
"Tidak usah kak," tolakku cepat.
Dia menggeleng. "Ambil. Buat kamu makan," pintanya.
Aku menggeleng cepat. "Tidak usah kak. Aku masih kenyang mending dibawa pulang," tolakku dengan nada sehalus mungkin.
Dia mendengus pelan dan sedikit menaikkan alis kirinya. "Oh ya? Aku tidak pernah melihatmu makan seharian ini, yang ada kamu mondar-mandir terus mengantar pesanan," jelas gadis itu sambil memberiku tatapan menyelidik.
Jawabannya itu seketika membuatku terdiam berakhir tertawa kecil karena tak dapat mengelak. Dia selalu punya bantahan agar aku tak menolak apapun pemberiannya. Dia kembali tersenyum dan membiarkan kotak itu berada di dalam genggamanku.
"Maaf ya, Da. Hanya bolu ini yang tersisa. Makanan beratnya habis," ujarnya lirih. Aku tersenyum simpul dan memegang kedua tangannya.
"Makasih ya kak, ini saja sudah lebih dari cukup," jawabku dan kulihat dia mengangguk.
Aku sedikit mengintip kotak itu dan tersenyum lebar setelah aroma dari bolu itu menyentuh hidungku. "Emang ya, kalau kakak yang bikin nggak pernah gagal," pujiku dan berhasil membuatnya tersipu.
Kami pun berjalan beriringan untuk keluar. Ia merogoh kunci cafe dan menguncinya dengan cepat.
"Pulang sama siapa?" tanyanya tanpa menghentikan kegiatannya.
"Raka kak," jawabku singkat.
Tak lama sebuah motor berhenti di depan cafe. "Tuh, baru juga diomongin orangnya sudah datang," ucapku sambil melihat Raka melepaskan helmnya.
Kak Rani pun berbalik setelah memastikan pintu itu telah terkunci. Raka melambaikan tangannya ke kami.
"Widih, mas pacar sudah datang nih,"goda gadis disampingku itu.
Aku hanya menggeleng pelan mendengar jawabannya. Tak lama sebuah mobil hitam ikut berhenti di belakang Raka. Dapat kupastikan itu adalah kekasih kak Rani.
"Widih, mas suami sudah datang nih," balasku sambil menyenggol lengannya.
"Hehe... Aamiin," jawabnya sambil memejamkan mata.
Kami pun berpelukan singkat sebagai tanda perpisahan. "Titip salam sama Ibu ya" titahnya. Aku tersenyum simpul kemudian mengangguk. Setelah perpisahan singkat itu, dia pun segera masuk ke dalam mobil.
Aku pun menghampiri Raka setelah mobil itu hilang dari pandanganku.
"Kenapa melihatku seperti itu?" tanyaku heran saat mendapati Raka tengah memandangku. Dia menggeleng tanpa mengeluarkan suara kemudian beralih memberikanku helm. Aku pun segera naik tak lama setelah ia menyalakan mesin motornya.
"Pegangan," pintanya singkat.
Tanpa ragu aku pun melingkarkan tanganku di pinggangnya. Hembusan angin malam selalu menjadi bagian favorite ku saat pulang bekerja. Aku mengedarkan pandanganku melihat betapa terangnya kota ini saat malam hari. Padahal sekarang hampir pukul duabelas malam tetapi masih banyak orang yang berlalu lalang.
Aku mempererat peganganku kemudian menyandarkan kepalaku ke pundak Raka, mengistirahatkannya sebentar. Aku memejamkan mataku dan membiarkan angin malam membelai wajahku. Itu terasa sangat menenangkan dan aku menyukainya.
"Kita pulang kemana?" tanya Raka dengan sedikit berteriak.
"Rumah sakit," jawabku tanpa membuka mata dan ikut berteriak.
"Kau sudah makan?" tanyanya lagi.
"Belum, nanti sampai disana aku makan," jelasku.
Aku memutuskan membuka mataku setelah merasa mulai mengantuk. "Ayo makan dulu," katanya masih dengan berteriak. Jika tidak berteriak suaranya akan samar karena angin.
"Tidak usah, aku mau makan sama Leo," tolakku sedikit berteriak.
"Raka, jika kau mengubah jalurmu aku akan marah padamu," tegasku cepat sebelum membiarkan sesuatu terjadi.
Raka hanya diam tak lagi mengeluarkan suara dan sedetik kemudian dia mulai menambah kecepatan motornya. Aku mengatakan itu karena aku tahu dia pasti akan membawaku ke tempat makan. Sementara sekarang difikiranku hanyalah sampai di rumah sakit secepat mungkin.
Meskipun aku merasa lapar sekarang, sangat. Aku lupa makan saking sibuknya tadi. Aku juga tak enak hati membiarkan adikku sendiri di rumah sakit. Satu hal yang kusukai dari sahabatku ini, dia tak pernah melakukan sesuatu tanpa persetujuanku, buktinya dia benar-benar tidak mengubah jalurnya. Dia pengertian meskipun sangat menyebalkan.
"Makasih Raka," ucapku sambil memberikan helm kepadanya. Kulihat dia mengangguk sambil menaruh helm itu di depannya.
" Besok kuliah?" tanyanya sambil membuka helmnya.
Aku menggulum bibirku sambil mencoba mengingat-ngingat jadwal untuk hari esok. Aku terdiam sebentar dengan kepala tertunduk. "Hm.. iyaa masuk siang sih," jawabku kemudian sambil mengangkat kepalaku.
Kulihat Raka hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Dia memperbaiki posisi duduknya menghadap kearahku yang tengah berdiri tepat dihadapannya. Dia menatapku cukup lama tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dan berhasil membuatku bingung.
"Kenapa?" tanyaku sambil memiringkan kepalaku ke kiri.
Lagi-lagi dia hanya terdiam dan mengabaikan pertanyaanku. Aku mengerutkan dahi sambil memicingkan mata, mencoba memberikannya tatapan intimidasi. Namun yang terjadi selanjutnya dia menertawakanku singkat.
"Kenapa sih?" tanyaku lagi dengan sedikit kesal.
Bukannya menjawab pertanyaanku dia malah memperlihatkan senyum kecilnya. Aku pun mengalihkan pandanganku karena merasa sedikit malu, mencoba menyembunyikan pipiku yang mulai terasa hangat. Dia terus menatapku tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. Membuatku harus berfikir keras mengartikan yang dia lakukan.
Aku tidak heran dia memang selalu seperti itu. Selalu membuatku berfikir akan yang dia lakukan. Satu fakta tentangnya dia itu orangnya susah ditebak. Sedetik kemudian, tangannya terangkat. Dia menepuk pucuk kepalaku dengan pelan. "Jangan sampai sakit, aku tidak bisa mengurusmu jika kau sakit," ujarnya pelan.
Aku terdiam menatapnya, membiarkan dia merapikan anak rambutku yang berantakan. "Wajahmu lesu, rambutmu juga berantakan begini, kantung matamu juga tuh," omelnya sambil menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
Aku mengercap dibuatnya. "Tenang saja, aku kan kuat," jawabku sambil merekahkan senyum. Raka mengangguk mendengar jawabanku itu.
"Baguslah. Aku tidak bisa mampir ada yang harus kukerjakan," pamitnya dengan rasa tidak enak hati.
Aku mengangguk pelan sambil tersenyum kearahnya. "Iya, hati-hati di jalan," ujarku.
Raka pun segera menyalakan mesin motornya dan menoleh sebentar sebelum meninggalkanku. Kuputuskan untuk masuk ke rumah sakit setelah memastikan ia telah hilang dari pandanganku. Aku mengengadah ke langit, melihat bintang-bintang yang berkelap-kelip dan menerangi malam itu. Untuk sesaat aku merasa ingin menyerah atau jika bisa aku ingin istirahat sebentar.
Aku bahkan tidak lagi memperhatikan penampilanku sejak tragedi yang menimpah keluargaku membuatku menjadi seperti ini. Aku harus menjadi tulang punggung keluarga sejak ibu terbaring di rumah sakit dan ayahku meninggalkan kami begitu saja. Aku bekerja paruh waktu agar bisa menjalani hidup, membiayai kuliahku, membiayai sekolah adikku dan membayar biaya rumah sakit.
Tentu saja upah dari pekerjaanku sangat kurang untuk semua itu. Tapi Tuhan Maha Baik, dia membiarkan seorang malaikat menemaniku. Dia Raka, sahabat kecilku yang masih bersamaku hingga kini. Dia selalu bersamaku sejak keadaan keluargaku berubah, maksudku hampir setiap jam dia mendampingiku. Dia satu-satunya orang yang masih berdiri disampingku dan selalu mendukungku hingga kini. Bahkan, tak jarang orang-orang menganggap kami adalah sepasang kekasih saking seringnya bersama.
Terkadang aku berandai agar dia menjadi kakakku saja. Aku bahkan bingung harus membalas semua kebaikannya dengan apa. Dia bahkan membantuku membayar biaya pengobatan ibu, sudah kutolak dengan berbagai cara namun tetap saja tidak berhasil. Satu hal lagi tentangnya, Raka itu keras kepala. Jika saja orang-orang tahu apa yang dilakukannya untukku, mungkin mereka akan mengubah pandangannya tentang Raka. Dimana dimata mereka Raka adalah anak yang dingin, tidak peduli keadaan, dan acuh tak acuh.
Aku membuang nafas dengan berat sebelum melangkahkan kakiku ke dalam bangunan yang bisa dibilang telah menjadi rumah keduaku selama tujuh bulan terakhir ini. Aku harus naik lift untuk sampai ke kamar ibu. Aku mempercepat langkahku setelah pintu lift itu terbuka, menandakan aku telah sampai di lantai yang ku tuju. Aku harus melewati beberapa kamar lagi hingga sampai di kamar ibu.
Aku berhenti di depan sebuah pintu dan segera membukanya sepelan mungkin. Kulangkahkan kakiku hati-hati dengan pandangan menelisik. Bau obat langsung saja menusuk penciumanku. Aku melihat ibu, dia masih tertidur pulas dan kurasa masih bermain dengan mimpinya.
Langkahku terhenti setelah menutup pintu, di saat mataku menangkap seorang anak laki-laki tengah tertidur meringkuk masih mengenakan baju sekolah. Aku menatapnya senduh dan tanpa kusadari pipiku telah basah.
Aku berjalan pelan ke arahnya dengan air mata yang terus berjatuhan. Kemudian, aku terduduk di lantai dengan kaki yang terasa lemas begitu saja. Kutatapnya dua mata yang tertutup rapat dihadapanku ini.
Bulu matanya begitu lentik dan wajahnya tampak sangat tenang saat tertidur. Aku mengelus rambutnya pelan sambil merasakan tubuhnya yang dingin. Aku merasa terhenyak, aku gagal dalam melindunginya dan telah memberikannya beban di usianya yang terbilang masih muda. Ku kecup keningnya lama.
"Maafkan kakak, Leo," bisikku dengan mata yang berair.
Ku raih selimut dan segera menyelimutinya. Membiarkan tubuh mungilnya terlindungi dari dinginnya malam. Terkadang, aku berpikir bahwa aku telah menjadi seorang kakak yang gagal.
Aku segera memeluknya dan menyembunyikan wajahku yang telah kacau. Tangisku tak lagi tertahan, hatiku benar-benar terasa sakit. Aku menangis terseduh-seduh dengan suara pelan agar dia tidak terbangun. Aku tidak ingin Leo melihatku menangis.
Aku segera membuka mata saat merasakan sentuhan hangat dipipiku. “Kakak, ayo bangun,” ucapnya sambil menowel pipi kiriku membuat lekuk dibibirku melengkung. “Iya, ini sudah bangun,” jawabku segera kemudian memperbaiki posisiku. Cahaya yang menembus gorden berhasil membuat wajahku terasa hangat. Aku duduk sambil menatap lelaki kecil di hadapanku ini. Dia sedang berdiri, menatapku dengan tatapan polosnya. Aku masih mencoba mengumpulkan kesadaranku sesekali menutup mulutku segera mungkin karena menguap. “Leo kemarin makan tidak?” Dia mengangguk, membuat kedua alisku terangkat. “Benarkah?” tanyaku memastikan. Dia menggangguk lagi. “Iya, waktu kakak kerja kak Raka datang bawain Leo nasi goreng,” jelasnya dengan senang. Aku menghela nafas kemudian tersenyum simpul kearahnya. Aku merasa lega untuk sesaat, jika tidak ada
"Dania!"seruhan itu refleks membuatku berbalik ke arah suara. Sial.Kalau saja bukan karena bukuku yang tertinggal tadi, aku tidak harus memutar arahku kembali ke kelas saat tiba di tempat parkir dan lagi, aku tidak akan bertemu dengan pengganggu ini. Aku menatapnya malas, ingin sekali rasanya kuabaikan.Seperti biasa dia selalu memasang wajah arrogannya. Dia melangkah pelan sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tak lupa pula dua gadis yang kurasa menggantungkan hidup mereka padanya berdiri mensejajarkan langkahnya.Yah, siapa lagi kalau bukan Ceri dan teman-temannya. Gadis yang selalu menggangguku. Hal yang masih membuatku bingung hingga sekarang adalah aku tidak tahu alasan mengapa dia membenciku padahal, dulu aku terbilang dekat dengannya.Dia mengibaskan rambutnya dan mulai menatapku meremehkan. Aku mengerutkan keningku dengan tatapan yang tak lepas dari gadis it
Dania terdiam dalam duduknya setelah bangun dari tidur. Gadis itu tengah larut dalam lamunannya memandangi sisa- sisa air yang menempel pada jendela setelah hujan semalam. Langit pun masih tampak murung, tidak secerah kemarin. Dia beralih menatap tubuh mungil Leo yang meringkuk dibalik selimut. Gadis itu masih mengumpulkan kesadarannya. Kamar itu terasa hampa baginya, hanya bunyi peralatan rumah sakit yang terdengar. Bunyi peralatan yang menempel pada tubuh ibunya.Tak lama ia dikejutkan oleh kotak hitam yang ia letakk
“Dania, tolong antarkan ini ke meja nomor tujuh ya,” seru Rani sembari meletakkan secangkir kopi hasil racikannya.Dengan cepat namun tak tergesa, Dania mengambil pesanan itu. Kemudian bergegas mengantarkannya ke pelanggan. Matanya bergerak mencari nomor meja tujuh. Dengan segera ia melangkah setelah kedua netranya menangkap nomor meja itu.Suasana cafe hari ini cukup ramai. Keringat yang membasahi anak rambut gadis itu tampak mengkilap terkena sinar samar matahari. “Satu cangkir kopi tubruk,” ucapnya ramah sembari meletakkan kopi yang sedari tadi berada di dalam nampan itu ke atas meja. Gadis itu sedikit membungkuk sembari tersenyum kecil sebelum berpaling.Setelah mengantarkan pesanan, ia segera bergegas kembali membantu Rani. Rani menoleh singkat, “Sepertinya suasana hatimu hari ini sedang baik.”Dania tampak mengambil nafas sambil berpindah dari satu tempat ke tempat
Langkah kaki terdengar menggema di lorong rumah yang cukup megah itu. Musik clasic pun tampak terdengar bebas. Pria berjas yang cukup tinggi berjalan tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Pikirannya fokus pada satu ruangan dengan pintu besar yang letaknya berada di ujung lorong.Orang-orang yang berdiri di sisi ruangan membungkuk saat pria itu melewati mereka. Saat sampai di depan pintu, ia mengetuk tiga kali.Hingga, suara lemah lembut mempersilahkan ia untuk masuk.Ia melangkah dengan pelan dan membungkuk sebelum mulai mengeluarkan suara."Dia menolak madam,"Hembusan nafas terdengar sangat jelas dari balik kursi."Apa yang ia katakan?""Dia menolak untuk datang," jelas pria itu."Apa yang engkau katakan?""Saya mengatakan seperti yang madam perintahkan."Keheningan terjadi untuk beberapa detik, hingga perempuan itu berdiri dari kursinya dan berbalik."Biarkan saya yang berbicara."
Ini sudah ketiga kalinya Dania membasuh wajahnya dengan air. Sejenak ia menatap pantulan dirinya pada cermin didepannya. Menatap kedua matanya sendiri. Jantungnya berdegup begitu cepat, serasa sebentar lagi jantungnya akan melompat keluar. “Kau lemah.” ucapnya sambil menatap pantulannya. Kini make up tipisnya telah hilang karena air, menyisahkan lipstik yang masih membuat bibirnya berwarna pink kemerahan. Namun, itu tidak menghapus kecantikan gadis itu. Apa yang telah Raka lakukan beberapa menit yang lalu ternyata cukup membuatnya takut. Rasa takut yang aneh, kepanikan yang timbul begitu saja. Dania memutuskan untuk keluar dari toilet setelah cukup lama berdiam diri di sana. Gadis itu terkejut saat melihat sosok yang tengah berdiri sesaat setelah ia membuka pintu. Dania menatap mata yang menatapnya silih berganti. Gadis itu mencoba melewati celah dan mengabaikannya. “Wets, hati-hati dong,” Ceri langsung menghadang jalan gad
Pria itu mendaratkan kakinya di Indonesia setelah penerbangan dengan durasi sejam lebih. Ia membuka kacamata hitamnya setelah turun dari pesawat pribadi. Tanpa membawa tas atau pun barang, pria itu segera bergegas menuju tempat tujuannya. “Yey ke tempat gajah!” seru Leo sambil melompat kegirangan. “Leo, hati-hati nanti jatuh!” panggil Dania dengan sedikit berteriak. Dia menggeleng pelan sambil memasukkan kacang ke dalam mulutnya. Raka tampak memperhatikan Leo yang melompat-lompat di depannya. Mereka bertiga sedang berada di taman safari. Hari ini hari libur, makanya mereka bertiga berjalan-jalan sebentar. “Kakak.. kakak.. lihat itu gajahnya!” seru Leo sambil menunjuk gajah yang mulai tertangkap penglihatannya. Dania mengangguk-angguk sambil tertawa kecil melihat adiknya yang begitu bahagia. Terimakasih Raka. “Aku bosan,” sahut Raka tiba-tiba. Dania menoleh, “Kita baru tiba lima belas menit yang
“Kakak” “Kakak” “KAKAK” panggil Leo untuk ketiga kalinya sembari menggoyangkan lengan Dania. “Iya kenapa?” “Leo mau serang Dinosaurusnya, kakak kok malah bengong sih?” protes anak itu. Dania menggaruk kepalanya, “Ah... Iya, maaf maaf hehe.” jawabnya cengengesan. Bibir Leo mengerucut, menampakkan ekspresi cemberut karena kakaknya yang sedari tadi bengong sambil menggoyangkan mainan dinosaurus yang dipegangnya dengan asal. Kejadian di ruang tamu tadi adalah penyebab gadis itu melamun. Dia terus memikirkan situasi apa yang sedang terjadi. Mengira-ngira siapa pria berjas yang tengah duduk berhadapan dengan ayah Raka. Itu pertama kalinya ia melihat pria itu. Dari penampilannya, ia tampak sudah tua. Itu karena beberapa helai rambut putih yang tertangkap mata Dania saat melewatinya. Hening, begitulah situasi di ruang tamu beberapa saat setelah Raka duduk. “Maafkan atas kedatangan saya ya
Dania terdiam di atas kursi roda dan tengah memandang dedaunan dari balik kaca jendela. Racun yang mengenai kakinya membuat kakinya tidak dapat bergerak selama 4 jam, ada rasa terbakar, dan rasa pedih. Raka yang baru saja membuka pintu segera memelankan gerakannya saat melihat gadis itu tengah termenung dengan posisi memunggunginya. Ia berjalan mendekat dengan sekantung cemilan yang baru saja ia beli dari supermarket. Segera ia menaruh kantung plastik itu di atas nakas dan menarik kursi untuk mendekat ke arah Dania. "Kau yang duduk sendiri?" tanyanya mendapat lirikan pelan dari gadis itu. Dania menggeleng, "Dibantu suster." Saat Dania kembali tenang dengan kedipan pelan ke arah jendela. Pemuda itu memandanginya, memperhatikan luka memar ataupun luka lainnya yang menyebar ke di tubuhnya. Terlebih tadi perawat menjelaskan kondisi tubuh gadis itu. "Kau lapar? Aku dari memberi beberapa cemi
Raka berjalan dengan langkah yang sedikit cepat. Pikirannya kini terfokus pada Dania. Ia berguman dan menggerutu bingung tentang mengapa gadis itu pergi ke fakultas itu. Untungnya Raka termasuk mahasiswa populer di universitas itu. "Sorry, lihat Dania nggak?" tanyanya pada segerombolan mahasiswa yang tengah bercakap.Sejenak mahasiswi menatap Raka heran dan kagum karena kedatangan Raka ke fakultas mereka. "Dania?" jawab salah seorang mahasiswa dengan wajah bingung. "Dania siapa?" tanyanya lagi.Raka terdiam sebentar. "Ah ... ini, tadi teman gue bilang katanya dia ke sini," jelasnya sambil menunjukkan foto Dania. Mahasiswa yang tengah ia tanyai itu memicingkan mata dan terlihat bimbang. Namun setelah beberapa saat mengamati foto itu ia akhirnya menggeleng. "Gue nggak tau, bro."Meskipun Raka begitu populer, tidak sama dengan Dania yang bagai mahasiswa yang tidak dikenal. Di fakultasnya saja ia jarang diketahui karena anaknya yang tertutup. "Gue tadi l
Orang misterius itu semakin mengangkat botol kaca yang berisi cairan yang bau. Semakin pelan ingin menuangkannya ke tubuh Dania dengan sengaja. Sementara gadis itu, dia terus memundurkan tubuhnya menjauh karena tidak mampu berdiri. Tanda adanya aba-aba, cairan itu pun mengenai Dania. Membuat gadis itu memekik kaget saat merasa tubuhnya disirami cairan kental dengan bau yang menyengat. Entah apa itu. Seketika gadis itu merasa mual, baunya benar-benar tidak menyenangkan. Dengan napas tersengal, gadis itu berusaha mendongak. "Apa yang kau mau?!" "Kau mati." Dania tersentak kaget. Suara perempuan itu terdengar dingin dan tajam. Tak lama, Perempuan itu menurunkan kain yang sedari tadi menutup setengah wajahnya. Juga melepas tudung kepala yang menyembunyikan rambutnya. "Haish ... Pakai ginian panas banget," ucapnya tak suka. Ia membuan
"Ini Baksonya," ucap bu kantin sesaat setelah meletakkan dua mangkuk bakso di depan Raka. "Terima kasih, Bu." Raka tersenyum ke arah wanita paruh baya itu dan dibalas senyum juga. Di depannya, telah tersaji dua mangkuk bakso. Satu tanpa lemak hanya ada kuah dan baksonya dan satu lagi bakso porsi lengkap. Aromanya menyerbak, membuat perut Raka sedikit meraung minta segera diisi. Selanjutnya, ia menunggu Dania datang. Ia menggerakkan kakinya sambil memainkan ponsel demi menghilangkan kebosanan. Jarinya bergerak menggesek layar ponselnya secara acak. Tak lupa ia akan mengedarkan pandangannya jaga-jaga Dania datang. Sudah lebih sepuluh menit ia menunggu namungadis itu tak kunjung datang. Raka masih bersikap biasa saja. Ia berpikir mungkin kegiatannya di toilet belum selesai. Sementara di tempat lain, "Raka!" gadis itu berteriak sambil terus berjalan.
Gadis itu bergeming, belum mengubah posisinya dari semalam. Entah sudah berapa lama ia memainkan jemari lentiknya dengan posisi kaki tertekuk. Matanya silih berganti menatap apa saja yang bisa ia jangkau. Terkadang, ia akan menatap langit-langit atau hanya sekadar menatap pintu kamar jaga-jaga jika ada yang membukanya. Ia bahkan belum tidur atau hanya memejamkan mata. Dania terlalu takut untuk tidur. Ia takut jika ia terlelap, ia tidak bisa bertemu dengan Raka lagi. Tak hanya itu, kegundahan pun menjadi penyokong rasa takutnya. Perasaan yang bertanggung jawab atas sayunya mata gadis itu. Tok ... tok Dania memalingkan kepalanya. Mata kantuknya membulat pelan. “Raka,” lirihnya. Ada perasaan lega terbesit di hati gadis itu saat melihat orang yang telah membuatnya terjaga semalaman kini berdiri dihadapannya. Disamping itu, dirinya heran karena Raka yang tiba-tiba datang disaat l
Setelah memarkirkan motornya, Raka tidak langsung masuk. Perasaan yang membuat hatinya gamang dan resah berhasil menahannya. Membuatnya memilih bersandar pada motor yang telah disimpannya. Ia menghela nafas berat. Pening, kepalanya terasa berdenyut ringan. Hinggah suara deruh halus dari mesin mobil yang berhenti membuat indra pendengarannya menajam. Siluet hitam yang perlahan terlihat jelas membuat kepalanya tertoleh, mencuri perhatiannya. Raka berdecak kesal saat tahu siapa pemilik siluet hitam itu. Dengan keterpaksaan, Raka menghampirinya. Tidak peduli penampilannya yang kacau. Wajah datarnya menjadi curi pandang pertama lelaki itu. Banar terlihat terkejut saat melihat baju basah dan rambut berantakan remaja itu. Dengan terbata ia berucap, “Tuan, A-pa yang terjadi?” Lelaki itu terheran. Diam, itu adalah jawaban dari lawan bicaranya. Mengerti akan hal itu, lelaki itu berdehem kemudian kembali f
“Aku berjanji.”Gadis itu tersenyum kecut masih dengan mata yang berair. “Jangan berjanji, yang aku perlu kau kembali dengan selamat.”“Ini m-mengejutkanku.”“Maafkan responku yang berlebihan,” kata Dania dengan senyum kikuk.“Padahal kau hanya pergi dalam hitungan hari, itu tidak lama—mungkin,” lanjutnya ragu.“Jujur aku kecewa padamu,” tutur gadis itu.“Dan ini benar-benar membuatku kaget.”“Kita bersahabat dari kecil tetapi keterbukaan di antara kita bagai pintu terantai besi yang kehilangan kunci,” ucapnya senduh.“Perpisahan macam apa ini?” tanyanya.Raka menghembuskan nafas, “Sekali lagi maaf,” ujarnya menyesal.Dania beralih membersihkan sisa-sisa air dipipinya. Mereka masih berdiri berhadapan satu sama lain. Hingga rintik hujan yang turun berhasil menyita perhatian mereka.
Setelah perdebatannya dengan sang Ayah dan adanya kesepakatan yang terjadi, Raka segera bergegas ke tempat kerja Dania. Ia tidak memperdulikan Pratama yang mencegatnya pergi dengan cemas. Sungguh, lelaki itu takut jika hal yang tak diinginkan menimpa putranya. Pratama hanya bisa membuang nafas khawatir sembari menatap Raka yang membanting pintu dengan sedikit kasar. “Paman, kenapa kak Raka terlihat marah?” Sahutan tiba-tiba dari belakang membuat Pratama berbalik. “Leo? Ah tidak apa-apa, ayo main sama paman, ya?” jawab Pratama sedikit terkejut lalu mengajak Leo kembali ke dalam kamar. Pikiran Raka kini terfokus ke Dania. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Sesaat setelah sampai, Raka segera menatap ke arah cafe. Dari sisi kaca besar itu, ia dapat melihat Dania yang tengah mengantarkan pesanan pelanggan dengan senyuman yang tak pernah pudar dari bibirnya. Dengan nafas memburu dan langkah yang cepat, ia menerobos masuk. Segera ia m
Raka berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai satu. Ia terlihat tergesa dengan langkah yang cepat. Setelah mengambil barang yang telah membuatnya kembali, ia segera bergegas keluar. Dipakainya jaket kulit itu sembari membuat suara kecil yang timbul akibat gesekan alas sepatunya dengan lantai.Hingga langkahnya terhenti begitu saja setelah jemarinya berhasil membuat pintu itu terbuka. Ekspresi terkejut pun tak dapat ia sembunyikan saat matanya menangkap sosok yang tengah menghalangi jalannya.Lelaki itu tersenyum hangat, “Selamat sore Tuan Raka,” sapanya.“Pak Banar? Ada perlu apa lagi kembali?” tanya Raka terkejut.“Tujuan saya datang untuk menjemput anda,” jelas Banar.Dahi Raka berkerut bingung, “Menjemputku?”Banar mengangguk pelan, “Iya, Tuan Raka...,” Lelaki itu beralih menengok arloji d