Aku segera membuka mata saat merasakan sentuhan hangat dipipiku. “Kakak, ayo bangun,” ucapnya sambil menowel pipi kiriku membuat lekuk dibibirku melengkung.
“Iya, ini sudah bangun,” jawabku segera kemudian memperbaiki posisiku.
Cahaya yang menembus gorden berhasil membuat wajahku terasa hangat. Aku duduk sambil menatap lelaki kecil di hadapanku ini. Dia sedang berdiri, menatapku dengan tatapan polosnya. Aku masih mencoba mengumpulkan kesadaranku sesekali menutup mulutku segera mungkin karena menguap.
“Leo kemarin makan tidak?”
Dia mengangguk, membuat kedua alisku terangkat.
“Benarkah?” tanyaku memastikan.
Dia menggangguk lagi. “Iya, waktu kakak kerja kak Raka datang bawain Leo nasi goreng,” jelasnya dengan senang.
Aku menghela nafas kemudian tersenyum simpul kearahnya. Aku merasa lega untuk sesaat, jika tidak ada Raka anak ini akan kelaparan karenaku.
“Oh iya, dikasih bolu tuh sama kak Rani,” ucapku sambil menunjuk kantung plastik yang kuletakkan di atas meja semalam.
Leo segera berbalik dan mengambil plastik berisi kotak itu. Dia duduk disampingku dan segera membuka kotak itu. Aku tertawa melihat wajahnya yang terlihat sangat senang saat melihat isinya.
“Bolu cokelat!” serunya.
“Tapi bolunya sudah dingin.” Aku memasang wajah memelas sambil mengerucutkan bibirku dengan sengaja.
Kemudian dia menggeleng cepat. “Tidak apa-apa yang penting Leo makan bolu,” ucapnya bersemangat kemudian memasukkan sepotong bolu ke mulutnya.
Dia langsung saja menguyah bolu itu dengan mulutnya yang kecil. Sampai pipinya menggembung karena penuh akan bolu membuatnya terlihat lucu.
“Eh, pelan-pelan haha.” Aku terkekeh melihat mulutnya yang kepenuhan.
Dia menoleh sebentar sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Namun Leo terus saja menguyah, menikmati bolu kesukaannya. Kemudian kualihkan pandanganku ke ranjang yang letaknya tak jauh didepanku. Aku menatap perempuan yang terbaring disana. Matanya masih tertutup rapat dan terlihat tak ada tanda-tanda ia akan membuka matanya. Aku berdiri dan berjalan menuju kearahnya. Aku meraih tangannya dan menggenggamnya. Kuelus tangan halus itu dengan lembut, kulitnya terasa sedikit dingin.
“Pagi Bu,” sapaku sembari mencium tangannya.
Aku tersenyum melihat wajahnya yang begitu tenang saat menikmati mimpinya yang tak berujung. Hal yang selalu kulakukan setiap pagi yakni menyapanya meskipun, aku tahu ibu tidak akan pernah membalas ucapanku. Aku selalu berharap di saat aku membuka mataku dipagi hari, aku akan melihatnya terduduk di ranjang sambil tersenyum kearahku. Berharap dapat melihat senyum yang selama ini kurindukan. Aku menatapnya sambil terus berdoa dalam hati, agar Tuhan segera membangunkannya dari tidur panjangnya.
Aku tersadar dari lamunanku saat merasa ujung bajuku ditarik. Aku menoleh dan sedikit menunduk. Itu Leo dengan tas ransel yang sudah ditangguhkannya ke pundak. Aku berjongkok mensejajarkan tinggiku dengannya. Aku memegang kedua lengannya.
“Leo mau ke sekolah?”
Dia mengangguk, “Iya Leo mau ke sekolah sekarang.”
Aku terdiam sebentar, melihat seragamnya. Leo ikut menunduk melihat arah pandanganku.
“Ada apa kak?” tanyanya.
“Semalam Leo tidak ganti baju loh, bajunya dipakai tidur sampai pagi.”
Kemudian dia tertawa mendengar jawabanku membuat alisku mengerut bingung. “Iya, Leo lupa gantinya karena ngantuk kak. Tapi tidak apa-apa kok, kan Leo sudah mandi jadi pasti wangi,” jelasnya. Aku terdiam dibuatnya, tak tahu harus menjawab apa.
Kemudian Leo mendekatkan wajahnya ke telingaku. “Jangan bilang siapa-siapa,” bisiknya pelan.
Aku mengangguk-angguk sambil menaruh jari telunjukku di depan bibir. “Sst…oke, aman kapten,” jawabku mengerti dengan mengecilkan suaraku.
Kami pun tertawa sebentar. Aku pun beranjak meraih tasku dan mengambil parfum di dalamnya. Dengan segera aku menyemprotkan parfum itu ke Leo. Segera saja Leo menutup hidung dan kedua matanya.
Aku menyemprotkannya sambil mengelilingi tubuhnya yang mungil, mencoba bercanda dengannya.
“Nah, sekarang tidak ada yang tahu,” kataku setelah menutup botol parfum yang kupegang.
Leo segera membuka kedua matanya dan mencium seragamnya. Kemudian dia mengacungkan kedua jempolnya sambil memperlihatkan deretan giginya yang tersusun rapi. Akupun ikut mengacungkan kedua jempolku. Tak lama, seseorang mengetuk pintu, membuat kami berbalik. Leo segera membuka pintu itu.
“Kak Raka!” serunya bersemangat.
Langsung saja Leo melompat-lompat kegirangan kemudian segera memeluk pinggang Raka setelah Raka memperlihatkan dirinya dari balik pintu.
“Hey kapten, siap berpetualangan hari ini?” tanya Raka sambil memegang kepalanya.
Leo mendongkak. “Siap!” jawabnya bersemangat nan riang.
“Kalau begitu mari kita berangkat!” ujar Raka sambil memasang wajah ala-ala.
“Mari mari!” Leo sambil melepaskan pelukannya kemudian menghentakkan kakinya.
Melihat Leo sebahagia itu bersama Raka membuatku merekahkan senyum. Saat mereka bersama, aku melihat sisi Raka yang lain. Sisi yang tak pernah ia tunjukkan kepada orang-orang. Dimana jika ia menunjukkan sisi itu aku yakin alasan para gadis menyukainya akan bertambah. Terkadang aku merasa istimewa karena dapat melihat sisi itu secara langsung.
Saat ibu sakit, Raka hampir menghabiskan waktunya bersama Leo. Sampai aku merasa tak enak hati karena aku telah menyita begitu banyak waktunya meskipun bukan aku yang minta. Mereka terlihat seperti seorang ayah dan anak jika bersama. Raka selalu menemani Leo saat tak ada jam mata kuliah atau disaat aku harus ke kampus karena urusan.
Tak jarang aku mendapati mereka telah tertidur saat aku pulang. Raka juga sering menginap disini hanya untuk menemani Leo bermain. Pernah juga sekali, Raka rela datang hanya karena Leo minta dibacakan dongeng. Lihatlah, seberapa baik seorang Raka Janardana.
“Kakak,”
Seruhan itu berhasil membuatku tersadar dan telah mendapati mereka berdua tengah memandangiku. Aku segera memperhatikan keduanya silih berganti dan segera berdehem.
“Ekhm...sudah mau berangkat ya?” tanyaku.
Aku mengutuk diriku sendiri karena telah melamun di hadapan mereka. apa itu tadi? Aku benar-benar malu jika Raka menyadari tatapan kagumku kepadanya. Mereka saling berpandangan kemudian kulihat Raka mendekatkan wajahnya ke Leo.
“Lihatkan? Dia sudah gila senyum-senyum sendiri,” ucap Raka seolah berbisik.
Ah, sial.
Kulihat Leo mengangguk dengan memicingkan mata kearahku. “Iya, dia sudah gila. Ih...takut banget,” ucapnya sambil memundurkan langkahnya.
“Hey, aku dengar itu,” jawabku ketus.
“Lihat Leo, sekarang dia marah-marah sendiri,” lanjut Raka sengaja.
“Harus kita apakan dia Mister?” tanya Leo kemudian.
Raka terlihat berfikir tanpa mengalihkan pandangannya dariku.
“Pergi ke sekolah sana!” seruku cepat.
”Hm...bagaimana jika kita eksekusi saja?” jawab Raka setelah tampak berfikir.
“Aku setuju!” jawab Leo dengan mantap.
Aku membulatkan kedua mataku setelah mendengar itu. “Ehh...sana sana,” ucapku dengan nada penolakan. Aku tidak suka eksekusi mereka, eksekusi mereka berarti digelitik dan aku mudah geli. Sangat mengerikan.
“Menjauh kataku!” seruku cepat sambil meletakkan kedua tanganku didepan sebagai penghalang.
Aku mengatakan itu saat melihat mereka berdua mulai mendekat. Kulihat mereka memasang posisi ancang-ancang seakan ingin menerkamku.
“Leo... Raka,”
Mereka tidak menghiraukanku. Mereka memberikanku tatapan menakutkan dan mereka menekuk lututnya.
“Raka!”
Mendengarku sedikit berteriak, mereka segera memperbaiki posisinya. “Hahahaha... Kakak penakut,” ejek Leo sambil memegang perutnya.
“Enak saja, tidak ya!” ucapku membela diri.
“Penakut,” kata Raka sambil mengendikkan bahunya.
“Siapa yang penakut?” jawabku sembari mengedarkan pandanganku seolah-olah mencari seseorang.
Kulihat dari ujung mataku Raka menggeleng. “Idih,” cibirnya.
“Haiss, sana pergi nanti kalian telat!” sahutku dengan sedikit kesal.
“Iya iya” jawab Raka kemudian mengikuti Leo yang berjalan menuju ranjang rumah sakit.
Leo berjinjit, kemudian merekahkan senyumnya. “Ibu, Leo ke sekolah dulu ya.” ucapnya.
Matanya berbinar seakan menunggu jawaban dari perempuan ini. Kemudian dia berpindah dan berdiri di hadapanku.
“Kakak Leo ke sekolah dulu ya,” pamitnya sambil mencium tanganku.
Aku tersenyum kemudian mengusap rambutnya singkat. “Belajar yang benar kapten.” jawabku.
“Masuk kuliah jam berapa?” tanya Raka.
“Jam sebelas nanti.” jawabku singkat.
“Kau marah?”
Aku mengangkat kedua alisku. “Tidak,” jawabku seadanya.
“Kau merajuk kalau begitu,”
Aku mengerutkan dahiku. “Tidak ya, enak saja,” jawabku ketus, meskipun dia benar.
Raka memutar bola matanya jengah kemudan merapikan kemeja yang dipakainya. “Yasudah, nanti hubungi aku,” pinta Raka kemudian berbalik.
“Dadah Kakak!” pamit Leo sambil melambaikan tangannya.
Aku tersenyum sambil melambaikan tanganku pula. Segera saja Raka membuka pintu itu.
“Dasar nenek sihir,” ucapnya pelan.
“Hei aku dengar itu!”
Aku menggerutu kesal dibuatnya. Ingin sekali rasanya aku menarik rambutnya namun, dia lebih dulu menutup pintu. Aku membuang nafas pelan dan terdiam sebentar. Kemudian tertawa kecil dengan sendirinya.
Aku berjalan ke arah jendela, dan menengok keluar. Karena Kamar ibu terletak di lantai dua rumah sakit, aku sedikit menunduk agar dapat melihat ramainya jalanan. Banyak sekali kendaraan yang memenuhi jalan, karena jalanan ini bukan satu arah alhasil terjadi macet. Biasanya jalan ini tidak terlalu ramai tapi, entah apa yang membuatnya seperti itu hari ini. Kemudian mataku tiba-tiba terfokus pada wanita kantoran yang menggandeng tangan gadis kecil.
Wanita itu terlihat sibuk dengan ponselnya, sambil berjalan menuju tepi jalan dengan tangan yang tak lepas dari gadis kecilnya. Kemudian tak lama, mobil hitam berhenti di depannya. Dia pun menaruh ponselnya kemudian berjongkok mensejajarkan tingginya dengan gadis kecil itu.
Mereka terlihat bercakap lalu dia mengecup pipi gadis kecilnya. Kemudian saling melambaikan tangan hingga gadisnya masuk ke dalam mobil itu.
“Aku iri gadis kecil,” aku memasang wajah cemburu.
Lalu mataku kembali berfokus pada wanita yang tengah berolahraga. Dia terlihat berlari kecil dengan earphone yang melekat di telinganya.
“Kapan terakhir kali aku jalan pagi ya?” tanyaku sambil bermolog sendiri.
Aku melipat kedua tanganku di depan dada sambil membuang nafas. Aku berbalik sebentar. “Ibu, hari ini aku kuliah siang,” ucapku mulai bercerita.
Aku mulai berjalan kecil mengelilingi ruangan itu. “Sebenarnya aku tidak ingin masuk kampus. Tapi, karena aku harus buat ibu bangga maka kulakukan.”
“Bukan karena dosenku Bu, tapi karena ada anak songong yang selalu menggangguku.” lanjutku sendiri mulai kesal.
“Padahal aku tidak pernah mengganggunya sama sekali,” curhatku padanya.
Aku membuang nafas kasar. “Sejak Ayah pergi, aku berasa menjadi anak anti sosial.”
Aku menengadah memperhatikan langit-langit ruangan itu. “Kenapa Ayah tidak peduli pada kita? Apa dia tidak sayang pada Leo?” tanyaku berharap mendapat jawaban dari Ibu.
Aku kembali menatapnya. Matanya masih tertutup rapat. “Ibu, aku rasa aku mulai,”
Aku terdiam sebentar sebelum melanjutkan perkataanku. Dadaku terasa sesak dan pipiku mulai memanas. “membenci Ayah.”
"Dania!"seruhan itu refleks membuatku berbalik ke arah suara. Sial.Kalau saja bukan karena bukuku yang tertinggal tadi, aku tidak harus memutar arahku kembali ke kelas saat tiba di tempat parkir dan lagi, aku tidak akan bertemu dengan pengganggu ini. Aku menatapnya malas, ingin sekali rasanya kuabaikan.Seperti biasa dia selalu memasang wajah arrogannya. Dia melangkah pelan sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tak lupa pula dua gadis yang kurasa menggantungkan hidup mereka padanya berdiri mensejajarkan langkahnya.Yah, siapa lagi kalau bukan Ceri dan teman-temannya. Gadis yang selalu menggangguku. Hal yang masih membuatku bingung hingga sekarang adalah aku tidak tahu alasan mengapa dia membenciku padahal, dulu aku terbilang dekat dengannya.Dia mengibaskan rambutnya dan mulai menatapku meremehkan. Aku mengerutkan keningku dengan tatapan yang tak lepas dari gadis it
Dania terdiam dalam duduknya setelah bangun dari tidur. Gadis itu tengah larut dalam lamunannya memandangi sisa- sisa air yang menempel pada jendela setelah hujan semalam. Langit pun masih tampak murung, tidak secerah kemarin. Dia beralih menatap tubuh mungil Leo yang meringkuk dibalik selimut. Gadis itu masih mengumpulkan kesadarannya. Kamar itu terasa hampa baginya, hanya bunyi peralatan rumah sakit yang terdengar. Bunyi peralatan yang menempel pada tubuh ibunya.Tak lama ia dikejutkan oleh kotak hitam yang ia letakk
“Dania, tolong antarkan ini ke meja nomor tujuh ya,” seru Rani sembari meletakkan secangkir kopi hasil racikannya.Dengan cepat namun tak tergesa, Dania mengambil pesanan itu. Kemudian bergegas mengantarkannya ke pelanggan. Matanya bergerak mencari nomor meja tujuh. Dengan segera ia melangkah setelah kedua netranya menangkap nomor meja itu.Suasana cafe hari ini cukup ramai. Keringat yang membasahi anak rambut gadis itu tampak mengkilap terkena sinar samar matahari. “Satu cangkir kopi tubruk,” ucapnya ramah sembari meletakkan kopi yang sedari tadi berada di dalam nampan itu ke atas meja. Gadis itu sedikit membungkuk sembari tersenyum kecil sebelum berpaling.Setelah mengantarkan pesanan, ia segera bergegas kembali membantu Rani. Rani menoleh singkat, “Sepertinya suasana hatimu hari ini sedang baik.”Dania tampak mengambil nafas sambil berpindah dari satu tempat ke tempat
Langkah kaki terdengar menggema di lorong rumah yang cukup megah itu. Musik clasic pun tampak terdengar bebas. Pria berjas yang cukup tinggi berjalan tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Pikirannya fokus pada satu ruangan dengan pintu besar yang letaknya berada di ujung lorong.Orang-orang yang berdiri di sisi ruangan membungkuk saat pria itu melewati mereka. Saat sampai di depan pintu, ia mengetuk tiga kali.Hingga, suara lemah lembut mempersilahkan ia untuk masuk.Ia melangkah dengan pelan dan membungkuk sebelum mulai mengeluarkan suara."Dia menolak madam,"Hembusan nafas terdengar sangat jelas dari balik kursi."Apa yang ia katakan?""Dia menolak untuk datang," jelas pria itu."Apa yang engkau katakan?""Saya mengatakan seperti yang madam perintahkan."Keheningan terjadi untuk beberapa detik, hingga perempuan itu berdiri dari kursinya dan berbalik."Biarkan saya yang berbicara."
Ini sudah ketiga kalinya Dania membasuh wajahnya dengan air. Sejenak ia menatap pantulan dirinya pada cermin didepannya. Menatap kedua matanya sendiri. Jantungnya berdegup begitu cepat, serasa sebentar lagi jantungnya akan melompat keluar. “Kau lemah.” ucapnya sambil menatap pantulannya. Kini make up tipisnya telah hilang karena air, menyisahkan lipstik yang masih membuat bibirnya berwarna pink kemerahan. Namun, itu tidak menghapus kecantikan gadis itu. Apa yang telah Raka lakukan beberapa menit yang lalu ternyata cukup membuatnya takut. Rasa takut yang aneh, kepanikan yang timbul begitu saja. Dania memutuskan untuk keluar dari toilet setelah cukup lama berdiam diri di sana. Gadis itu terkejut saat melihat sosok yang tengah berdiri sesaat setelah ia membuka pintu. Dania menatap mata yang menatapnya silih berganti. Gadis itu mencoba melewati celah dan mengabaikannya. “Wets, hati-hati dong,” Ceri langsung menghadang jalan gad
Pria itu mendaratkan kakinya di Indonesia setelah penerbangan dengan durasi sejam lebih. Ia membuka kacamata hitamnya setelah turun dari pesawat pribadi. Tanpa membawa tas atau pun barang, pria itu segera bergegas menuju tempat tujuannya. “Yey ke tempat gajah!” seru Leo sambil melompat kegirangan. “Leo, hati-hati nanti jatuh!” panggil Dania dengan sedikit berteriak. Dia menggeleng pelan sambil memasukkan kacang ke dalam mulutnya. Raka tampak memperhatikan Leo yang melompat-lompat di depannya. Mereka bertiga sedang berada di taman safari. Hari ini hari libur, makanya mereka bertiga berjalan-jalan sebentar. “Kakak.. kakak.. lihat itu gajahnya!” seru Leo sambil menunjuk gajah yang mulai tertangkap penglihatannya. Dania mengangguk-angguk sambil tertawa kecil melihat adiknya yang begitu bahagia. Terimakasih Raka. “Aku bosan,” sahut Raka tiba-tiba. Dania menoleh, “Kita baru tiba lima belas menit yang
“Kakak” “Kakak” “KAKAK” panggil Leo untuk ketiga kalinya sembari menggoyangkan lengan Dania. “Iya kenapa?” “Leo mau serang Dinosaurusnya, kakak kok malah bengong sih?” protes anak itu. Dania menggaruk kepalanya, “Ah... Iya, maaf maaf hehe.” jawabnya cengengesan. Bibir Leo mengerucut, menampakkan ekspresi cemberut karena kakaknya yang sedari tadi bengong sambil menggoyangkan mainan dinosaurus yang dipegangnya dengan asal. Kejadian di ruang tamu tadi adalah penyebab gadis itu melamun. Dia terus memikirkan situasi apa yang sedang terjadi. Mengira-ngira siapa pria berjas yang tengah duduk berhadapan dengan ayah Raka. Itu pertama kalinya ia melihat pria itu. Dari penampilannya, ia tampak sudah tua. Itu karena beberapa helai rambut putih yang tertangkap mata Dania saat melewatinya. Hening, begitulah situasi di ruang tamu beberapa saat setelah Raka duduk. “Maafkan atas kedatangan saya ya
Aku kembali menegadah setelah mengucapkan terimakasih. Keadaan ini tidaklah canggung, hanya saja ada rasa aneh yang tidak aku tahu pasti itu apa.“Raka, kau pandai mengepang rambut?”“Apa itu?”Aku membulatkan kedua mataku, “Kau tidak tahu apa itu?” tanyaku tak percaya.Raka mengangguk pelan. “Kenapa? Kau mau dikepang?”Aku menggeleng cepat, “Tidak, nanti rambutku berantakan karenamu.” tolakku.“Yasudah.”Suasana diantara kami menjadi hening kemudian. Aku menoleh saat mendengar Raka bergerak. Ia memilih berbaring, menjadikan kedua lengannya sebagai pengalas kepala.Tidak ada percakapan yang terjadi diantara kami. Ku pandangi wajahnya yang tampak tenang dengan kedua mata yang terpejam.Aku menajamkan netraku, memperhatikan setiap detail wajahnya. Aku tidak melihat tanda-tanda kegundahan ataupun kemarahan disana.
Dania terdiam di atas kursi roda dan tengah memandang dedaunan dari balik kaca jendela. Racun yang mengenai kakinya membuat kakinya tidak dapat bergerak selama 4 jam, ada rasa terbakar, dan rasa pedih. Raka yang baru saja membuka pintu segera memelankan gerakannya saat melihat gadis itu tengah termenung dengan posisi memunggunginya. Ia berjalan mendekat dengan sekantung cemilan yang baru saja ia beli dari supermarket. Segera ia menaruh kantung plastik itu di atas nakas dan menarik kursi untuk mendekat ke arah Dania. "Kau yang duduk sendiri?" tanyanya mendapat lirikan pelan dari gadis itu. Dania menggeleng, "Dibantu suster." Saat Dania kembali tenang dengan kedipan pelan ke arah jendela. Pemuda itu memandanginya, memperhatikan luka memar ataupun luka lainnya yang menyebar ke di tubuhnya. Terlebih tadi perawat menjelaskan kondisi tubuh gadis itu. "Kau lapar? Aku dari memberi beberapa cemi
Raka berjalan dengan langkah yang sedikit cepat. Pikirannya kini terfokus pada Dania. Ia berguman dan menggerutu bingung tentang mengapa gadis itu pergi ke fakultas itu. Untungnya Raka termasuk mahasiswa populer di universitas itu. "Sorry, lihat Dania nggak?" tanyanya pada segerombolan mahasiswa yang tengah bercakap.Sejenak mahasiswi menatap Raka heran dan kagum karena kedatangan Raka ke fakultas mereka. "Dania?" jawab salah seorang mahasiswa dengan wajah bingung. "Dania siapa?" tanyanya lagi.Raka terdiam sebentar. "Ah ... ini, tadi teman gue bilang katanya dia ke sini," jelasnya sambil menunjukkan foto Dania. Mahasiswa yang tengah ia tanyai itu memicingkan mata dan terlihat bimbang. Namun setelah beberapa saat mengamati foto itu ia akhirnya menggeleng. "Gue nggak tau, bro."Meskipun Raka begitu populer, tidak sama dengan Dania yang bagai mahasiswa yang tidak dikenal. Di fakultasnya saja ia jarang diketahui karena anaknya yang tertutup. "Gue tadi l
Orang misterius itu semakin mengangkat botol kaca yang berisi cairan yang bau. Semakin pelan ingin menuangkannya ke tubuh Dania dengan sengaja. Sementara gadis itu, dia terus memundurkan tubuhnya menjauh karena tidak mampu berdiri. Tanda adanya aba-aba, cairan itu pun mengenai Dania. Membuat gadis itu memekik kaget saat merasa tubuhnya disirami cairan kental dengan bau yang menyengat. Entah apa itu. Seketika gadis itu merasa mual, baunya benar-benar tidak menyenangkan. Dengan napas tersengal, gadis itu berusaha mendongak. "Apa yang kau mau?!" "Kau mati." Dania tersentak kaget. Suara perempuan itu terdengar dingin dan tajam. Tak lama, Perempuan itu menurunkan kain yang sedari tadi menutup setengah wajahnya. Juga melepas tudung kepala yang menyembunyikan rambutnya. "Haish ... Pakai ginian panas banget," ucapnya tak suka. Ia membuan
"Ini Baksonya," ucap bu kantin sesaat setelah meletakkan dua mangkuk bakso di depan Raka. "Terima kasih, Bu." Raka tersenyum ke arah wanita paruh baya itu dan dibalas senyum juga. Di depannya, telah tersaji dua mangkuk bakso. Satu tanpa lemak hanya ada kuah dan baksonya dan satu lagi bakso porsi lengkap. Aromanya menyerbak, membuat perut Raka sedikit meraung minta segera diisi. Selanjutnya, ia menunggu Dania datang. Ia menggerakkan kakinya sambil memainkan ponsel demi menghilangkan kebosanan. Jarinya bergerak menggesek layar ponselnya secara acak. Tak lupa ia akan mengedarkan pandangannya jaga-jaga Dania datang. Sudah lebih sepuluh menit ia menunggu namungadis itu tak kunjung datang. Raka masih bersikap biasa saja. Ia berpikir mungkin kegiatannya di toilet belum selesai. Sementara di tempat lain, "Raka!" gadis itu berteriak sambil terus berjalan.
Gadis itu bergeming, belum mengubah posisinya dari semalam. Entah sudah berapa lama ia memainkan jemari lentiknya dengan posisi kaki tertekuk. Matanya silih berganti menatap apa saja yang bisa ia jangkau. Terkadang, ia akan menatap langit-langit atau hanya sekadar menatap pintu kamar jaga-jaga jika ada yang membukanya. Ia bahkan belum tidur atau hanya memejamkan mata. Dania terlalu takut untuk tidur. Ia takut jika ia terlelap, ia tidak bisa bertemu dengan Raka lagi. Tak hanya itu, kegundahan pun menjadi penyokong rasa takutnya. Perasaan yang bertanggung jawab atas sayunya mata gadis itu. Tok ... tok Dania memalingkan kepalanya. Mata kantuknya membulat pelan. “Raka,” lirihnya. Ada perasaan lega terbesit di hati gadis itu saat melihat orang yang telah membuatnya terjaga semalaman kini berdiri dihadapannya. Disamping itu, dirinya heran karena Raka yang tiba-tiba datang disaat l
Setelah memarkirkan motornya, Raka tidak langsung masuk. Perasaan yang membuat hatinya gamang dan resah berhasil menahannya. Membuatnya memilih bersandar pada motor yang telah disimpannya. Ia menghela nafas berat. Pening, kepalanya terasa berdenyut ringan. Hinggah suara deruh halus dari mesin mobil yang berhenti membuat indra pendengarannya menajam. Siluet hitam yang perlahan terlihat jelas membuat kepalanya tertoleh, mencuri perhatiannya. Raka berdecak kesal saat tahu siapa pemilik siluet hitam itu. Dengan keterpaksaan, Raka menghampirinya. Tidak peduli penampilannya yang kacau. Wajah datarnya menjadi curi pandang pertama lelaki itu. Banar terlihat terkejut saat melihat baju basah dan rambut berantakan remaja itu. Dengan terbata ia berucap, “Tuan, A-pa yang terjadi?” Lelaki itu terheran. Diam, itu adalah jawaban dari lawan bicaranya. Mengerti akan hal itu, lelaki itu berdehem kemudian kembali f
“Aku berjanji.”Gadis itu tersenyum kecut masih dengan mata yang berair. “Jangan berjanji, yang aku perlu kau kembali dengan selamat.”“Ini m-mengejutkanku.”“Maafkan responku yang berlebihan,” kata Dania dengan senyum kikuk.“Padahal kau hanya pergi dalam hitungan hari, itu tidak lama—mungkin,” lanjutnya ragu.“Jujur aku kecewa padamu,” tutur gadis itu.“Dan ini benar-benar membuatku kaget.”“Kita bersahabat dari kecil tetapi keterbukaan di antara kita bagai pintu terantai besi yang kehilangan kunci,” ucapnya senduh.“Perpisahan macam apa ini?” tanyanya.Raka menghembuskan nafas, “Sekali lagi maaf,” ujarnya menyesal.Dania beralih membersihkan sisa-sisa air dipipinya. Mereka masih berdiri berhadapan satu sama lain. Hingga rintik hujan yang turun berhasil menyita perhatian mereka.
Setelah perdebatannya dengan sang Ayah dan adanya kesepakatan yang terjadi, Raka segera bergegas ke tempat kerja Dania. Ia tidak memperdulikan Pratama yang mencegatnya pergi dengan cemas. Sungguh, lelaki itu takut jika hal yang tak diinginkan menimpa putranya. Pratama hanya bisa membuang nafas khawatir sembari menatap Raka yang membanting pintu dengan sedikit kasar. “Paman, kenapa kak Raka terlihat marah?” Sahutan tiba-tiba dari belakang membuat Pratama berbalik. “Leo? Ah tidak apa-apa, ayo main sama paman, ya?” jawab Pratama sedikit terkejut lalu mengajak Leo kembali ke dalam kamar. Pikiran Raka kini terfokus ke Dania. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Sesaat setelah sampai, Raka segera menatap ke arah cafe. Dari sisi kaca besar itu, ia dapat melihat Dania yang tengah mengantarkan pesanan pelanggan dengan senyuman yang tak pernah pudar dari bibirnya. Dengan nafas memburu dan langkah yang cepat, ia menerobos masuk. Segera ia m
Raka berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai satu. Ia terlihat tergesa dengan langkah yang cepat. Setelah mengambil barang yang telah membuatnya kembali, ia segera bergegas keluar. Dipakainya jaket kulit itu sembari membuat suara kecil yang timbul akibat gesekan alas sepatunya dengan lantai.Hingga langkahnya terhenti begitu saja setelah jemarinya berhasil membuat pintu itu terbuka. Ekspresi terkejut pun tak dapat ia sembunyikan saat matanya menangkap sosok yang tengah menghalangi jalannya.Lelaki itu tersenyum hangat, “Selamat sore Tuan Raka,” sapanya.“Pak Banar? Ada perlu apa lagi kembali?” tanya Raka terkejut.“Tujuan saya datang untuk menjemput anda,” jelas Banar.Dahi Raka berkerut bingung, “Menjemputku?”Banar mengangguk pelan, “Iya, Tuan Raka...,” Lelaki itu beralih menengok arloji d