Ini sudah ketiga kalinya Dania membasuh wajahnya dengan air. Sejenak ia menatap pantulan dirinya pada cermin didepannya. Menatap kedua matanya sendiri. Jantungnya berdegup begitu cepat, serasa sebentar lagi jantungnya akan melompat keluar.
“Kau lemah.” ucapnya sambil menatap pantulannya.
Kini make up tipisnya telah hilang karena air, menyisahkan lipstik yang masih membuat bibirnya berwarna pink kemerahan. Namun, itu tidak menghapus kecantikan gadis itu.
Apa yang telah Raka lakukan beberapa menit yang lalu ternyata cukup membuatnya takut. Rasa takut yang aneh, kepanikan yang timbul begitu saja.
Dania memutuskan untuk keluar dari toilet setelah cukup lama berdiam diri di sana. Gadis itu terkejut saat melihat sosok yang tengah berdiri sesaat setelah ia membuka pintu.
Dania menatap mata yang menatapnya silih berganti. Gadis itu mencoba melewati celah dan mengabaikannya.
“Wets, hati-hati dong,” Ceri langsung menghadang jalan gadis itu.
“Minggir” ucap Dania dan mencoba mengabaikan para pengganggu itu.
“Belum masuk juga, yuk ngobrol,” sahut Ceri dengan senyum dibuat-buat.
Dania mengerutkan dahinya, “Ada perlu sama Raka? langsung ke orangnya.” jawab gadis itu tak peduli.
Ceri berdecak, “Gue ada perlu sama lo” ucap Cery sambil menarik tangan Dania yang mencoba mengabaikannya.
Dengan cepat Dania menghempaskan genggaman yang cukup membuat pergelangan tangannya sakit. “Lepas! Aku sibuk,” serunya.
“Kenapa sih? takut ya?” teman Ceri berbicara.
“Takut nih, nggak ada yang nolongin aduh,” jawab Ceri dengan nada meledek.
Mereka bertiga tertawa melihat tatapan marah Dania.
Dengan cepat, Dania didorongnya kebelakang. Membuatnya kembali masuk ke dalam toilet. Sementara kedua temannya menutup pintu itu, mencegah siapapun masuk ke dalam.
“Sini lo!” teriak Ceri sambil menarik rambut Dania membuat gadis itu terseret.
“Lepas! apa yang kau mau?!” pekik gadis itu mencoba melepas tangan Ceri.
“Maksud lo apa mesra-mesraan sama Raka tadi, huh?!” teriaknya kepada Dania setelah memojokkannya ke tembok.
Punggung gadis itu terasa nyeri saat terhantam ke tembok. Dania meringis kesakitan dan tidak berfikir untuk melawan. Pikirannya sudah kacau.
“Apa maksudmu?” tanyanya kebingungan.
“Halah... Sok-sok an beloon lo benalu!” cemooh Ceri sambil menatap mata gadis itu geram.
Karena Dania sudah tidak tahan, dengan cepat ia mendorong Ceri.
“Aku nggak pernah ada masalah sama kamu, kenapa lakuin ini?” ucap Dania dengan melangkah maju.
“Aku.. aku, aku norak lo! Alay!” jawab Ceri sambil kembali mendorong Dania ke tembok.
“Akh...”
“Inget, Lo itu cuman benalu, BE. NA. LU,” ucap Ceri sambil mendorong bahu gadis itu dengan telunjuknya.
Dari luar salah satu teman Ceri menangkap sosok Raka yang tengah berjalan ke arah mereka. Namun ia sempat berhenti untuk mengobrol dengan salah satu mahasiswa. Dengan cepat ia masuk ke dalam toilet.
“Eh.. eh Raka bakal lewat sini!” bisiknya dengan ekspresi panik.
Mendengar hal itu, wajah panik tergambar jelas di wajah Ceri. Ia menoleh ke Dania dan temannya silih berganti. Entah apa yang gadis itu pikirkan.
Ternyata Dania mendengar hal tersebut. Ia berniat berteriak agar Raka mendengarnya. Namun, ia urungkan.
Hingga mata Ceri terfokus pada ember yang ada di samping kaki Dania. Dengan cepat ia mengambil itu dan melemparkannya ke Dania. Membuat tubuh gadis itu terguyur air bekasan pel.
Byurrr...
Dania terkejut, matanya tertutup saat air kotor itu mengenai wajahnya.
“Rasain itu... Hahahah,” Ceri tertawa terbahak-bahak.
Gadis itu sangat terkejut atas apa yang telah mengenainya ini. Bau anyer dari air bekas pel itu terasa menyengat.
“Ew, bau!” seru Ceri sambil menutup hidungnya dan menatap Dania dengan jijik
Ceri menarik kerah baju Dania dan menatapnya tajam, “Kalau sampai Raka dan orang lain tahu soal ini,”
“lo bakal dapat yang lebih parah dari ini!” ancamnya sambil melepaskan cengkramannya dengan kasar.
Dania lagi-lagi terhempas ke tembok, diam membiarkan orang yang merisaknya melakukan yang ia mau.
Nafas gadis itu terengah. Tubuhnya gemetaran. Ia tidak terima mendapat perlakuan seperti ini, sangat.
Dengan nafas yang tak beraturan, Dania mengangkat wajahnya dan menatap Ceri yang berniat berjalan keluar.
“Dasar perempuan gila” sahutnya datar.
Cery menghentikan langkahnya spontan dan berbalik dengan pelan. Dia mengangkat kedua alisnya, “Apa lo bilang?”
“Kamu perempuan gila!” ucap Dania dengan lantang.
Ceri merasa sangat marah mendengar hal itu. Ia berniat menampar pipi Dania namun, temannya dengan segera memegang tangannya.
“Udah woy, nanti keburu Raka datang!” ucapnya panik sambil menarik Ceri keluar.
Ceri menatap Dania dengan tatapan penuh kebencian. Gadis itu menghentakkan kakinya kesal sebelum keluar dari toilet.
Perlahan Dania tersungkur ke lantai. Ia duduk dan menatap telapak tangannya yang kotor. Melirik rambutnya yang tercampur air hitam kotor.
Air matanya berhasil lolos dari ujung matanya. Dania tertunduk sejenak, merenungi betapa lemahnya dirinya. Dengan perasaan was-was ia berusaha berdiri.
Menatap pantulan dirinya yang kacau, berantakan, dan kotor. Matanya lagi-lagi panas. Dengan cepat gadis itu menyalakan keran wastafel dan membersihkan rambutnya sambil menangis.
Apa yang akan ia lakukan setelah ini? itulah yang sedang ia pikirkan. Tidak mungkin ia masuk ke kelas dengan keadaan seperti ini.
Dania mengeluarkan ponselnya dan melihat tiga panggilan tak terjawab dari Raka. Kemudian ia menekan ruang obrolan itu.
Ia ingin sekali menghubungi Raka dan memberitahu dia dimana. Namun pada akhirnya, Dania hanya menggenggam ponselnya dengan geram.
“Lemah sekali” katanya pada pantulan cermin.
Ia tertawa sendiri sambil membersihkan sisa sisa kotoran yang menempel pada tubuhnya.
“Kau bahkan tidak bisa berbuat apa-apa saat terisak”
“Terbuang.” ucapnya dengan nada gemetaran.
Sekarang pukul dua siang. Raka terlihat melipat kedua tangannya sembari menunggu pintu itu terbuka.
Tak lama, beberapa anak akhirnya keluar dari ruangan itu.Ia segera memperbaiki posisinya dan fokus memperhatikan setiap orang yang melewati pintu itu. Hingga, orang terakhir keluar dari kelas Raka tidak menangkap sosok Dania disana.
“Nyari Dania, ya?” sahut seseorang dari belakang.
Raka menoleh, “Iya, dia belum keluar?” tanyanya langsung.
“Dia nggak ikut kelas ini” jelas remaja itu.
Raka nampak heran. “Bukannya sekarang kelasnya dia, ya?” tanyanya lagi berusaha memastikan.
Reno mengangguk, “Iya memang. Tapi Dania nggak ikut.” jawabnya.
Raka tampak terdiam sebentar untuk berfikir. “Oke. Thanks ya bro” ucapnya sembari menepuk bahu Reno.
Raka bergegas meninggalkan tempat itu. Segera ia berlari ke arah perpustakaan dan masuk. Matanya mengamati ruangan itu. Namun, ia belum juga menangkap sosok Dania.
“Lihat Dania, nggak?” tanyanya pada orang yang lewat.
Orang itu menggeleng.
Sambil terus menghubunginya, Raka berjalan ke arah kantin. Namun, ia juga tak menangkap sosok Dania disana. Ia menggaruk kepalanya. Ia bingung harus mencari gadis itu dimana.
Ia kembali berkutik dengan ponselnya dan kembali berjalan tanpa arah, menelusuri seluk beluk kampusnya yang luas itu.
Deretan pesan beruntun telah ia kirimkan ke Dania, puluhan panggilan juga telah ia lakukan namun gadis itu tak menjawab dan membaca satu pesan pun.
Hingga ia hampir melewati tangga menuju rooftop. Langkahnya terhenti, dan akhirnya memutuskan untuk naik disana. Barangkali Dania berada disana. Meskipun sedikit ragu, namun Raka memilih untuk naik ke sana.
Ia sedikit mendorong pintu rooftop yang macet. Ia segera masuk meskipun dengan sedikit tersandung. Ia langsung saja mengedarkan pandangannya yang sedikit silau karena matahari.
Hingga pandangannya terhenti pada satu sosok yang tengah duduk di salah satu tumpukan kotak kayu. Raka menajamkan netranya untuk memastikan dan benar itu adalah Dania.
Gadis itu tampak menikmati angin yang membelai wajahnya, sambil memejamkan kedua matanya. Dania meluruskan kakinya, membuat sepatunya terkena cahaya matahari.
Raka menjalan mendekat, “Apa yang kau lakukan disini?”
Cukup lama Dania menjawab perkataan itu. “Menikmati angin,” jawabnya tanpa membuka mata.
Raka memilih ikut duduk disamping gadis itu. Sejenak ia dibuat kebingungan lagi, oleh tampilan Dania sekarang ini. Rambutnya yang terlihat sedikit kusut. Pakaiannya yang setengah basah, dan bau anyer yang sedikit menyengat.
“Kau bolos,” sahut Raka.
“Aku lupa,” jawab gadis itu.
Raka menoleh memperhatikan Dania yang masih menutup matanya, “Kemana Dania yang rajin dan bersemangat?” tanyanya.
Dania tampak tersenyum masih dengan mata yang tertutup. “She is died” jawabnya.
Raka terkejut dengan jawaban asal sahabatnya itu.
Raka menghela nafas, “Mengapa mengabaikan panggilan ku?”
“Ponselku ada di tas, belum ke pegang sama sekali.” jawabnya bohong.
Raka berdecak, kemudian sedikit bersandar sambil menyilangkan kedua tangannya.
“Raka...” panggil Dania masih dengan posisi yang sama.
Raka menoleh.
“Kau tidak merasa jijik duduk di dekatku?” tanyanya yang berhasil membuat bola mata Raka membesar.
“Jahat sekali burung yang lewat tadi, dia membuang kotorannya di atas kepalaku.” sahut Dania lagi.
“Karenanya aku jadi bau begini,” lanjut gadis itu sambil tertawa hambar.
Raka menatap gadis itu, memperhatikan dengan seksama wajahnya yang terlihat lelah. Raka tentu tahu bahwa yang dikatakan oleh Dania itu dusta.
Tidak mungkin hanya karena setitik kotoran burung, bajunya bisa sampai basah begitu.
“Dania” panggil Raka.
“Raka... aku lelah. Aku ingin berbaring” sahut Dania kemudian.
Cukup lama Raka terdiam. Perasaan aneh tiba-tiba saja menggerogotinya. Otaknya berusaha mencerna perkataan gadis itu. Ia tidak tahu apa yang telah dialami gadis itu. Tetapi dari tampilannya saat ini, tentu itu bukanlah hal yang bagus.
Segera Raka memperbaiki posisinya. Dia pun membuka jaketnya dan menjadikannya sebagai bantal.
“Kemari,”
Dania membuka matanya tanpa menoleh ke arah Raka. Ia pun menjatuhkan kepalanya di pangkuan Raka.
“Kau bisa beristirahat. Kau sekarang aman” ucap Raka sambil mengelus rambut Dania dengan pelan.
Dania tak menjawab. Ia memilih memejamkan matanya di pangkuan Raka. Belaian halus dari Raka berhasil membuat air matanya menetes begitu saja.
Bersama lelaki ini, ia aman. Tidak ada yang berani mengganggunya jika bersama Raka. Untuk sesaat, ia merasa lega. Tapi sampai kapan?
Sampai kapan ia harus bergantung pada Raka?
Bagaimana jadinya jika tiba-tiba saja Raka pergi meninggalkannya, sedangkan dirinya sendiri belum siap akan hal yang bisa terjadi itu. Itulah yang menjadi ketakutan Dania sekarang.
Pria itu mendaratkan kakinya di Indonesia setelah penerbangan dengan durasi sejam lebih. Ia membuka kacamata hitamnya setelah turun dari pesawat pribadi. Tanpa membawa tas atau pun barang, pria itu segera bergegas menuju tempat tujuannya. “Yey ke tempat gajah!” seru Leo sambil melompat kegirangan. “Leo, hati-hati nanti jatuh!” panggil Dania dengan sedikit berteriak. Dia menggeleng pelan sambil memasukkan kacang ke dalam mulutnya. Raka tampak memperhatikan Leo yang melompat-lompat di depannya. Mereka bertiga sedang berada di taman safari. Hari ini hari libur, makanya mereka bertiga berjalan-jalan sebentar. “Kakak.. kakak.. lihat itu gajahnya!” seru Leo sambil menunjuk gajah yang mulai tertangkap penglihatannya. Dania mengangguk-angguk sambil tertawa kecil melihat adiknya yang begitu bahagia. Terimakasih Raka. “Aku bosan,” sahut Raka tiba-tiba. Dania menoleh, “Kita baru tiba lima belas menit yang
“Kakak” “Kakak” “KAKAK” panggil Leo untuk ketiga kalinya sembari menggoyangkan lengan Dania. “Iya kenapa?” “Leo mau serang Dinosaurusnya, kakak kok malah bengong sih?” protes anak itu. Dania menggaruk kepalanya, “Ah... Iya, maaf maaf hehe.” jawabnya cengengesan. Bibir Leo mengerucut, menampakkan ekspresi cemberut karena kakaknya yang sedari tadi bengong sambil menggoyangkan mainan dinosaurus yang dipegangnya dengan asal. Kejadian di ruang tamu tadi adalah penyebab gadis itu melamun. Dia terus memikirkan situasi apa yang sedang terjadi. Mengira-ngira siapa pria berjas yang tengah duduk berhadapan dengan ayah Raka. Itu pertama kalinya ia melihat pria itu. Dari penampilannya, ia tampak sudah tua. Itu karena beberapa helai rambut putih yang tertangkap mata Dania saat melewatinya. Hening, begitulah situasi di ruang tamu beberapa saat setelah Raka duduk. “Maafkan atas kedatangan saya ya
Aku kembali menegadah setelah mengucapkan terimakasih. Keadaan ini tidaklah canggung, hanya saja ada rasa aneh yang tidak aku tahu pasti itu apa.“Raka, kau pandai mengepang rambut?”“Apa itu?”Aku membulatkan kedua mataku, “Kau tidak tahu apa itu?” tanyaku tak percaya.Raka mengangguk pelan. “Kenapa? Kau mau dikepang?”Aku menggeleng cepat, “Tidak, nanti rambutku berantakan karenamu.” tolakku.“Yasudah.”Suasana diantara kami menjadi hening kemudian. Aku menoleh saat mendengar Raka bergerak. Ia memilih berbaring, menjadikan kedua lengannya sebagai pengalas kepala.Tidak ada percakapan yang terjadi diantara kami. Ku pandangi wajahnya yang tampak tenang dengan kedua mata yang terpejam.Aku menajamkan netraku, memperhatikan setiap detail wajahnya. Aku tidak melihat tanda-tanda kegundahan ataupun kemarahan disana.
Dalam keadaan setengah tidak percaya, aku menatap lelaki itu. Hembusan angin dan rinai hujan yang semakin menderas membuat kakiku tidak bisa digerakkan.“T-tidak, ini pasti ilusi.” ucapku tak percaya sambil menggeleng pelan.Dengan sekuat tenaga, ku tarik kakiku mundur dan menjauh dari tempat itu.Sebelum berbalik pergi, dapat kulihat dia menahan langkahnya yang hendak menghampiriku.Aku berlari berlawanan dengan arah arus rintik hujan. Pedih, saat tak sengaja mengenai mataku. Dengan sedikit tergopoh-gopoh aku berlari berusaha menjauh dari rumah sakit.Dingin yang menusuk seakan memberi sinyal padaku untuk berhenti. Tidak untuk sekarang, aku akan berhenti jika merasa sudah cukup jauh dari rumah sakit.Kujadikan lenganku sebagai pelindung agar tetasan air ini tidak mengenai mataku. Aku hanya terus berlari tanpa tahu arah dan tujuanku kemana. Dengan n
Aku tiba di tempat kerja pukul enam lewat. Terlambat tujuh menit dari jam seharusnya. Bau aspal yang baru saja terkena air hujan menyapa penciumanku sesaat setelah turun dari motor. Sejenak kuedarkan pandanganku. Langit masih sama, berwarna abu tanpa awan putih. “Terimakasih ya,” kataku sambil memberikan helm ke Raka. Raka mengangguk kecil sebagai jawaban. “Rambutmu rapikan,” pintanya. Aku memegang-megang rambutku bermaksud merapikannya, “Iya nanti di dalam kurapikan, disini anginnya kencang hehe.” Aku hendak membuka jaket yang kupakai dan mengembalikannya namun, Raka tiba-tiba berucap. “Pakai saja,” ucapnya kemudian membuatku menghentikan gerakanku. Aku menggeleng, “Sudah sampai. Kau lebih membutuhkannya.” Kulanjutkan gerakanku yang tertunda. Kini jaket kulit berwarna hitam itu berada dalam genggamanku. Kusodorkan jaket itu ke pemiliknya
Aku sedang dalam perjalanan ke kampus sekarang. Hari semalam kulalui dengan kondisi tubuh yang mulai menurun. Saat bangun tubuhku terasa panas dingin, menggigil, pusing, dan indra penciumanku juga kurang membaik. Meskipun kondisiku kurang fit sekarang, aku memaksakan diri untuk masuk kuliah. Masa kuliah tidak bisa sesantai seperti saat SMA dimana tidak ada batasan untuk tidak mengikuti mata pelajaran atau hadir. Dan disinilah aku, berdiri menatap bangunan yang menjulang tinggi di hadapanku. Aku menoleh tak lama setelah Raka memanggilku. “Iya?” “Kenapa melamun disitu? Ayo masuk,” ajaknya. Aku pun berjalan tepat disampingnya. “Ah ... aku tidak bisa mencium dengan baik,” keluhku dengan hidung yang mampet. “Aku kesulitan bernafas,” lanjutku sembari mengendus-endus. “Semuanya terasa hampar.” rengekku. “Kayak pernah nyicip udara saja
Raka berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai satu. Ia terlihat tergesa dengan langkah yang cepat. Setelah mengambil barang yang telah membuatnya kembali, ia segera bergegas keluar. Dipakainya jaket kulit itu sembari membuat suara kecil yang timbul akibat gesekan alas sepatunya dengan lantai.Hingga langkahnya terhenti begitu saja setelah jemarinya berhasil membuat pintu itu terbuka. Ekspresi terkejut pun tak dapat ia sembunyikan saat matanya menangkap sosok yang tengah menghalangi jalannya.Lelaki itu tersenyum hangat, “Selamat sore Tuan Raka,” sapanya.“Pak Banar? Ada perlu apa lagi kembali?” tanya Raka terkejut.“Tujuan saya datang untuk menjemput anda,” jelas Banar.Dahi Raka berkerut bingung, “Menjemputku?”Banar mengangguk pelan, “Iya, Tuan Raka...,” Lelaki itu beralih menengok arloji d
Setelah perdebatannya dengan sang Ayah dan adanya kesepakatan yang terjadi, Raka segera bergegas ke tempat kerja Dania. Ia tidak memperdulikan Pratama yang mencegatnya pergi dengan cemas. Sungguh, lelaki itu takut jika hal yang tak diinginkan menimpa putranya. Pratama hanya bisa membuang nafas khawatir sembari menatap Raka yang membanting pintu dengan sedikit kasar. “Paman, kenapa kak Raka terlihat marah?” Sahutan tiba-tiba dari belakang membuat Pratama berbalik. “Leo? Ah tidak apa-apa, ayo main sama paman, ya?” jawab Pratama sedikit terkejut lalu mengajak Leo kembali ke dalam kamar. Pikiran Raka kini terfokus ke Dania. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Sesaat setelah sampai, Raka segera menatap ke arah cafe. Dari sisi kaca besar itu, ia dapat melihat Dania yang tengah mengantarkan pesanan pelanggan dengan senyuman yang tak pernah pudar dari bibirnya. Dengan nafas memburu dan langkah yang cepat, ia menerobos masuk. Segera ia m
Dania terdiam di atas kursi roda dan tengah memandang dedaunan dari balik kaca jendela. Racun yang mengenai kakinya membuat kakinya tidak dapat bergerak selama 4 jam, ada rasa terbakar, dan rasa pedih. Raka yang baru saja membuka pintu segera memelankan gerakannya saat melihat gadis itu tengah termenung dengan posisi memunggunginya. Ia berjalan mendekat dengan sekantung cemilan yang baru saja ia beli dari supermarket. Segera ia menaruh kantung plastik itu di atas nakas dan menarik kursi untuk mendekat ke arah Dania. "Kau yang duduk sendiri?" tanyanya mendapat lirikan pelan dari gadis itu. Dania menggeleng, "Dibantu suster." Saat Dania kembali tenang dengan kedipan pelan ke arah jendela. Pemuda itu memandanginya, memperhatikan luka memar ataupun luka lainnya yang menyebar ke di tubuhnya. Terlebih tadi perawat menjelaskan kondisi tubuh gadis itu. "Kau lapar? Aku dari memberi beberapa cemi
Raka berjalan dengan langkah yang sedikit cepat. Pikirannya kini terfokus pada Dania. Ia berguman dan menggerutu bingung tentang mengapa gadis itu pergi ke fakultas itu. Untungnya Raka termasuk mahasiswa populer di universitas itu. "Sorry, lihat Dania nggak?" tanyanya pada segerombolan mahasiswa yang tengah bercakap.Sejenak mahasiswi menatap Raka heran dan kagum karena kedatangan Raka ke fakultas mereka. "Dania?" jawab salah seorang mahasiswa dengan wajah bingung. "Dania siapa?" tanyanya lagi.Raka terdiam sebentar. "Ah ... ini, tadi teman gue bilang katanya dia ke sini," jelasnya sambil menunjukkan foto Dania. Mahasiswa yang tengah ia tanyai itu memicingkan mata dan terlihat bimbang. Namun setelah beberapa saat mengamati foto itu ia akhirnya menggeleng. "Gue nggak tau, bro."Meskipun Raka begitu populer, tidak sama dengan Dania yang bagai mahasiswa yang tidak dikenal. Di fakultasnya saja ia jarang diketahui karena anaknya yang tertutup. "Gue tadi l
Orang misterius itu semakin mengangkat botol kaca yang berisi cairan yang bau. Semakin pelan ingin menuangkannya ke tubuh Dania dengan sengaja. Sementara gadis itu, dia terus memundurkan tubuhnya menjauh karena tidak mampu berdiri. Tanda adanya aba-aba, cairan itu pun mengenai Dania. Membuat gadis itu memekik kaget saat merasa tubuhnya disirami cairan kental dengan bau yang menyengat. Entah apa itu. Seketika gadis itu merasa mual, baunya benar-benar tidak menyenangkan. Dengan napas tersengal, gadis itu berusaha mendongak. "Apa yang kau mau?!" "Kau mati." Dania tersentak kaget. Suara perempuan itu terdengar dingin dan tajam. Tak lama, Perempuan itu menurunkan kain yang sedari tadi menutup setengah wajahnya. Juga melepas tudung kepala yang menyembunyikan rambutnya. "Haish ... Pakai ginian panas banget," ucapnya tak suka. Ia membuan
"Ini Baksonya," ucap bu kantin sesaat setelah meletakkan dua mangkuk bakso di depan Raka. "Terima kasih, Bu." Raka tersenyum ke arah wanita paruh baya itu dan dibalas senyum juga. Di depannya, telah tersaji dua mangkuk bakso. Satu tanpa lemak hanya ada kuah dan baksonya dan satu lagi bakso porsi lengkap. Aromanya menyerbak, membuat perut Raka sedikit meraung minta segera diisi. Selanjutnya, ia menunggu Dania datang. Ia menggerakkan kakinya sambil memainkan ponsel demi menghilangkan kebosanan. Jarinya bergerak menggesek layar ponselnya secara acak. Tak lupa ia akan mengedarkan pandangannya jaga-jaga Dania datang. Sudah lebih sepuluh menit ia menunggu namungadis itu tak kunjung datang. Raka masih bersikap biasa saja. Ia berpikir mungkin kegiatannya di toilet belum selesai. Sementara di tempat lain, "Raka!" gadis itu berteriak sambil terus berjalan.
Gadis itu bergeming, belum mengubah posisinya dari semalam. Entah sudah berapa lama ia memainkan jemari lentiknya dengan posisi kaki tertekuk. Matanya silih berganti menatap apa saja yang bisa ia jangkau. Terkadang, ia akan menatap langit-langit atau hanya sekadar menatap pintu kamar jaga-jaga jika ada yang membukanya. Ia bahkan belum tidur atau hanya memejamkan mata. Dania terlalu takut untuk tidur. Ia takut jika ia terlelap, ia tidak bisa bertemu dengan Raka lagi. Tak hanya itu, kegundahan pun menjadi penyokong rasa takutnya. Perasaan yang bertanggung jawab atas sayunya mata gadis itu. Tok ... tok Dania memalingkan kepalanya. Mata kantuknya membulat pelan. “Raka,” lirihnya. Ada perasaan lega terbesit di hati gadis itu saat melihat orang yang telah membuatnya terjaga semalaman kini berdiri dihadapannya. Disamping itu, dirinya heran karena Raka yang tiba-tiba datang disaat l
Setelah memarkirkan motornya, Raka tidak langsung masuk. Perasaan yang membuat hatinya gamang dan resah berhasil menahannya. Membuatnya memilih bersandar pada motor yang telah disimpannya. Ia menghela nafas berat. Pening, kepalanya terasa berdenyut ringan. Hinggah suara deruh halus dari mesin mobil yang berhenti membuat indra pendengarannya menajam. Siluet hitam yang perlahan terlihat jelas membuat kepalanya tertoleh, mencuri perhatiannya. Raka berdecak kesal saat tahu siapa pemilik siluet hitam itu. Dengan keterpaksaan, Raka menghampirinya. Tidak peduli penampilannya yang kacau. Wajah datarnya menjadi curi pandang pertama lelaki itu. Banar terlihat terkejut saat melihat baju basah dan rambut berantakan remaja itu. Dengan terbata ia berucap, “Tuan, A-pa yang terjadi?” Lelaki itu terheran. Diam, itu adalah jawaban dari lawan bicaranya. Mengerti akan hal itu, lelaki itu berdehem kemudian kembali f
“Aku berjanji.”Gadis itu tersenyum kecut masih dengan mata yang berair. “Jangan berjanji, yang aku perlu kau kembali dengan selamat.”“Ini m-mengejutkanku.”“Maafkan responku yang berlebihan,” kata Dania dengan senyum kikuk.“Padahal kau hanya pergi dalam hitungan hari, itu tidak lama—mungkin,” lanjutnya ragu.“Jujur aku kecewa padamu,” tutur gadis itu.“Dan ini benar-benar membuatku kaget.”“Kita bersahabat dari kecil tetapi keterbukaan di antara kita bagai pintu terantai besi yang kehilangan kunci,” ucapnya senduh.“Perpisahan macam apa ini?” tanyanya.Raka menghembuskan nafas, “Sekali lagi maaf,” ujarnya menyesal.Dania beralih membersihkan sisa-sisa air dipipinya. Mereka masih berdiri berhadapan satu sama lain. Hingga rintik hujan yang turun berhasil menyita perhatian mereka.
Setelah perdebatannya dengan sang Ayah dan adanya kesepakatan yang terjadi, Raka segera bergegas ke tempat kerja Dania. Ia tidak memperdulikan Pratama yang mencegatnya pergi dengan cemas. Sungguh, lelaki itu takut jika hal yang tak diinginkan menimpa putranya. Pratama hanya bisa membuang nafas khawatir sembari menatap Raka yang membanting pintu dengan sedikit kasar. “Paman, kenapa kak Raka terlihat marah?” Sahutan tiba-tiba dari belakang membuat Pratama berbalik. “Leo? Ah tidak apa-apa, ayo main sama paman, ya?” jawab Pratama sedikit terkejut lalu mengajak Leo kembali ke dalam kamar. Pikiran Raka kini terfokus ke Dania. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Sesaat setelah sampai, Raka segera menatap ke arah cafe. Dari sisi kaca besar itu, ia dapat melihat Dania yang tengah mengantarkan pesanan pelanggan dengan senyuman yang tak pernah pudar dari bibirnya. Dengan nafas memburu dan langkah yang cepat, ia menerobos masuk. Segera ia m
Raka berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai satu. Ia terlihat tergesa dengan langkah yang cepat. Setelah mengambil barang yang telah membuatnya kembali, ia segera bergegas keluar. Dipakainya jaket kulit itu sembari membuat suara kecil yang timbul akibat gesekan alas sepatunya dengan lantai.Hingga langkahnya terhenti begitu saja setelah jemarinya berhasil membuat pintu itu terbuka. Ekspresi terkejut pun tak dapat ia sembunyikan saat matanya menangkap sosok yang tengah menghalangi jalannya.Lelaki itu tersenyum hangat, “Selamat sore Tuan Raka,” sapanya.“Pak Banar? Ada perlu apa lagi kembali?” tanya Raka terkejut.“Tujuan saya datang untuk menjemput anda,” jelas Banar.Dahi Raka berkerut bingung, “Menjemputku?”Banar mengangguk pelan, “Iya, Tuan Raka...,” Lelaki itu beralih menengok arloji d