Langkah kaki terdengar menggema di lorong rumah yang cukup megah itu. Musik clasic pun tampak terdengar bebas. Pria berjas yang cukup tinggi berjalan tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Pikirannya fokus pada satu ruangan dengan pintu besar yang letaknya berada di ujung lorong.
Orang-orang yang berdiri di sisi ruangan membungkuk saat pria itu melewati mereka. Saat sampai di depan pintu, ia mengetuk tiga kali.
Hingga, suara lemah lembut mempersilahkan ia untuk masuk.Ia melangkah dengan pelan dan membungkuk sebelum mulai mengeluarkan suara.
"Dia menolak madam,"
Hembusan nafas terdengar sangat jelas dari balik kursi.
"Apa yang ia katakan?"
"Dia menolak untuk datang," jelas pria itu.
"Apa yang engkau katakan?"
"Saya mengatakan seperti yang madam perintahkan."
Keheningan terjadi untuk beberapa detik, hingga perempuan itu berdiri dari kursinya dan berbalik.
"Biarkan saya yang berbicara."
06.15 a.m
Dania kembali mengecek barang yang telah ia masukkan ke dalam tote bag nya.
"Kakak"
Dania menoleh dan senyumnya merekah saat bola matanya menangkap sosok malaikat kecil yang berlari kecil untuk menghampirinya.
Langsung saja Dania menyambut tubuh mungil Leo kedalam pelukannya. "Hust... jangan berisik. Ibu tidur." kata Dania.
Leo mendongkak dan menatap Dania dengan tatapan polos. Kemudian ia menoleh, tepatnya ke arah wanita yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit.
"Ibu selalu tidur." ucap Leo pelan.
Gadis itu terdiam, matanya ikut memperhatikan ibunya yang masih saja memejamkan mata.
"Leo tidak pernah melihat ibu bangun."
Dania diam seribu bahasa. Matanya bergerak menatap Leo yang tengah menatap lurus ke ibunya. Keheningan menghampiri mereka begitu saja.
"Kenapa ibu selalu tidur?" tanya Leo sambil mendongak.
Tatapan polos yang menunggu jawaban menatap mata gadis itu.
"Kapan Leo bisa bermain bersama ibu?"
Pertanyaan dari bibir mungil Leo membuat gadis itu terdiam. Ia merasa tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Jika bibirnya bergerak sedikit saja, air mata yang sedari tadi ia tahan akan jatuh.
Dania mengangkat kedua tangannya dan segera menutupi wajah Leo. Sejenak ia menarik nafas. "Kapten, ibu sedang istirahat dulu. Bagaimana kalau kita kesekolah sekarang?" ucap Dania pada akhirnya.
"Kakak, gelap." Leo memegang kedua tangan yang menutupi wajahnya.
Dania menarik nafas panjang, air matanya berhasil keluar disaat ia merekahkan senyum. Ia berusaha untuk menetralkan perasaannya kembali. Setelah merasa baikan, ia mengangkat tangannya dari wajah Leo.
Mata anak itu berkedip, kemudian jari mungilnya bergerak menuju pipi Dania. Dengan pelan, ia mengusap titik air di pipi kiri Dania dengan tangannya yang dingin.
"Kakak jangan menangis, nanti Leo juga sedih," sahut Leo tiba-tiba.
Dania mengangguk-angguk lalu beralih mengusap rambut Leo. Rasa yang berkecamuk membuat matanya terasa panas. Usahanya ternyata tidak berhasil.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Dania berdiri sambil menggenggam tangan adiknya menuju ranjang ibunya.
"Ibu, kami berangkat dulu." pamit gadis itu dengan memberikan kecupan singkat di kening ibunya.
Dania menutup pintu. Setiap kali ia meninggalkan ruangan itu, ia tak pernah merasa tenang. Selalu ada rasa takut yang menggerogoti hatinya.
Semakin ia melangkah jauh dari kamar itu, rasa takut itu terasa selalu memanggilnya untuk kembali."Bagaimana nginap di rumah kak Raka, senang?" tanya Dania berusaha mengalahkan rasa gelisahnya.
Leo mengangguk cepat, "Iya. Semalam om Pratama beli mainan yang banyak sekali untuk Leo," jawab anak itu sembari mengingat hari semalam.
"Oh iya?," tanya Dania sambil mengangkat kedua alisnya.
Mereka berjalan beriringan, dengan tangan kecil yang berada di dalam genggaman Dania.
"Iya kak, tapi mainannya tidak boleh Leo bawah pulang," jawab Leo dengan raut wajah yang tiba-tiba murung.
"Kenapa?"
"Kata om Pratama, kalau Leo bawa mainan ke rumah sakit nanti dimarahin sama dokter, kak." jelas Leo sesekali mendongak melihat Dania.
Gadis itu mengangguk, "Iya benar tuh kata om Pratama. Jadi mainannya ditaruh di rumah kak Raka ya?"
Sekali lagi Leo mengangguk. "Iya kak, jadi kalau Leo mau main, harus ke rumah kak Raka." jelasnya dengan suara sedikit lantang.
"Yasudah, nanti kalau Leo mau main kita ke rumah kak Raka," sahut gadis itu sembari memberi senyum ke adiknya.
Tak terasa mereka sampai di lantai bawah. Dari jauh, Raka tampak telah menunggu di atas sepeda motornya sambil memainkan kunci motor di sela-sela jari.
Mereka bertiga pun berangkat, layaknya seorang kakak yang mengantarkan adiknya atau pasutri muda, begitulah yang dipandang orang-orang yang mereka lewati.
Diperjalanan pun, hati Dania terasa tidak tenang. Kuliah, artinya ia akan memasuki dunia baru yang gelap. Dunia yang dulunya berwarna biru, tiba-tiba saja berubah menjadi hitam setelah insiden menimpanya. Rasa tidak enak karena harus merepotkan Raka menjadi pelengkap kegundahannya pagi itu.
Dari spion, Raka melirik gadis itu. Perasaan gundah jelas tergambar dari raut wajahnya yang tampak tak bersemangat. Ia putuskan akan berbicara setelah sampai di kampus.
“Belajar yang benar ya,” pinta Dania sembari menunggu adiknya hilang dari pandangannya. Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju kampus.
“Raka” panggil Dania dengan sedikit berteriak.
Lelaki itu diam, menunggu Dania melanjutkan perkataannya.
“Tidak usah ke kampus, bisa?” tanya gadis itu.
Raka memelankan laju motornya, “Tidak bisa.”
Setelah menjawab, ia kembali menormalkan laju kendaraannya. Mendengar hal itu, Dania hanya bisa menghela nafas sembari terus berdoa harinya akan berjalan baik-baik saja tanpa adanya gangguan.
Tak terasa mereka memasuki area parkir kampus yang cukup besar. Salah satu kampus ternama di kota itu. Setelah Raka memarkir sepeda motornya, Dania pun segera turun.
“Ganteng?” tanya Raka sambil menunjuk dirinya setelah membetulkan rambutnya di spion motor.
Dania langsung saja menoleh, “Iya ganteng.” Ucapnya dengan sedikit geli.
“Ada apa hm?” tanya Raka langsung sambil melepaskan helm Dania.
Gadis itu menatap nanar mata Raka yang fokus ke pengait helm di bawah dagunya. “Tidak ada apa-apa,” jawabnya.
“Masa?” tanyanya sambil menaruh helm di atas motor.
“Iya. Semuanya baik-baik saja.” Jelas Dania sembari berjalan beriringan dengan Raka.
Seperti biasa, Raka akan menjadi sosok perhatian jika melewati beberapa mahasiswi. Tak jarang, usilnya ia akan menatap balik mata yang mencuri pandang padanya.
Raka berjalan dengan santai, sambil menenteng tasnya di bahu sebelah kanan. “Kebiasaan bohong” ucapnya tiba-tiba.
Dania mengerutkan dahinya, “Tidak ya. Enak saja,” pekiknya.
“Raka, bisakah kita bertukar diri sehari saja?” racau Dania tiba-tiba sembari memelankan langkahnya.
Raka yang berjalan didepan kebingungan. “Tidak bisa. Aku tidak mau bertukar tempat dengan orang yang cengeng,” jawab Raka datar.
Dania melongos mendengar jawaban yang terasa mulus keluar dari mulut sahabatnya itu.
“Aku juga tidak mau bertukar denganmu yang menjadi rebutan orang-orang.” ucap Dania sambil memperbaiki tote bagnya yang hampir lolos dari bahunya.
Raka berdecak dan sedikit tersenyum mendengar nada bicara yang terdengar kesal dari gadis di belakangnya.
Mereka baru akan menaiki lantai dua. Namun, sorot mata beberapa gadis rupanya ditangkap oleh Raka. Sorot mata yang penuh kebencian pada orang yang mengekor dibelakangnya saat ini. Ceri tersenyum sambil memutar rambutnya saat Raka melewatinya. Raka yang melihat itu hanya membuat tatapannya dan terus fokus ke jalan di depannya.
Ia sedikit menoleh dan mendapati Dania tengah berjalan sambil menatap lantai yang akan ia pijaki. Raka menggulung bibirnya sambil menghela nafas panjang.
Hingga Raka menghentikan langkahnya tiba-tiba. Membuat Dania yang berjalan dengan sedikit melamun menabraknya.
Dania mendongak, “Ish, Raka!” pekik Dania yang terkejut.
Raka berbalik dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
Dania yang masih kebingungan, mengangkat dagunya. “Kenapa berhenti?”
Raka masih terdiam sambil menatapnya datar. Dania menoleh ke kanan dan ke kiri dengan perasaan canggung. Bagaimana tidak, lagi-lagi Raka membuat orang-orang berhasil melirik mereka.
Dania ingin keluar dari situasi ini dengan cepat. Karena ia merasa beberapa tatapan tak suka dan bisik-bisik mulai menajam ke arahnya. Gadis itu berniat mengambil langkah di pijakan lain. Namun, dengan cepat Raka menggeser tubuhnya sebagai panghalang.
Mau ke kanan ataupun kiri, Raka lebih cepat menghalangi langkahnya. Dania menghelai nafas dan menaikkan kedua bahunya lengkap dengan tatapan kebingungannya.
“Raka... aku sedang tidak ingin bermain tebak-tebakan,” kata Dania.
Kemudian Raka membungkuk, membiarkan wajahnya cukup sejajar dengan Dania. Tatapan tajam diberikannya ke Dania.
“Kalau jalan itu fokus.”
Kemudian, ia memegang kedua bahu Dania dan memintanya berbalik ke arah lain. Tepatnya ke arah Ceri dan temannya berdiri.
“Raka apa yang kau lakukan?” tanya Dania yang keheranan dengan tingkah Raka.
“Kalau kau tidak masuk kampus, mereka akan senang.”
Tubuh Dania langsung membeku. Mendengar perkataan itu, membuat bulu romanya berdiri. Adrenalinnya berpacu lebih cepat.
“Kau mau membuat mereka merasa senang?” bisik Raka tepat ke telinga kiri Dania.
“A-aku tidak mengerti yang kau maksud,” jawab Dania gelagapan.
Raka menarik nafas, terdengar jelas di telinga Dania. “Gadis yang cari perhatian disana,” kata Raka sambil melempar tatapannya ke Ceri.
Ceri yang berada cukup jauh dari mereka tersenyum manja. Raka pun membalasnya dengan senyum balik.
“Kau ingin membuatnya merasa menang?” tanya Raka sambil melirik Dania yang menatap Ceri dengan alis yang bertautan.
Nafas gadis itu jadi tidak beraturan.
“Jawab Dania” ucap Raka lagi dengan nada yang dingin dan intonasi yang pelan.Nafas gadis itu semakin tidak beraturan, bola matanya tidak bisa fokus pada satu titik. Gadis itu hanya belum siap. Tak tahan, Dania segera berbalik sambil melangkah cepat meninggalkan tempat itu.
“Kabur terus.” Raka meneriaki Dania yang berjalan jauh.
Raka menatap rambut panjang Dania yang tertiup angin, menatap punggung yang berjalan menjauh darinya, yang semakin lama hilang diantara mahasiswa yang berlalu lalang.Raka menghela nafas. “Bagaimana aku bisa meninggalkanmu jika kau sendiri masih lari dari masalah yang kau hadapi.” ucapnya dengan nada cemas sembari menatap punggung Dania yang semakin lama hilang dari pandangannya.
Ini sudah ketiga kalinya Dania membasuh wajahnya dengan air. Sejenak ia menatap pantulan dirinya pada cermin didepannya. Menatap kedua matanya sendiri. Jantungnya berdegup begitu cepat, serasa sebentar lagi jantungnya akan melompat keluar. “Kau lemah.” ucapnya sambil menatap pantulannya. Kini make up tipisnya telah hilang karena air, menyisahkan lipstik yang masih membuat bibirnya berwarna pink kemerahan. Namun, itu tidak menghapus kecantikan gadis itu. Apa yang telah Raka lakukan beberapa menit yang lalu ternyata cukup membuatnya takut. Rasa takut yang aneh, kepanikan yang timbul begitu saja. Dania memutuskan untuk keluar dari toilet setelah cukup lama berdiam diri di sana. Gadis itu terkejut saat melihat sosok yang tengah berdiri sesaat setelah ia membuka pintu. Dania menatap mata yang menatapnya silih berganti. Gadis itu mencoba melewati celah dan mengabaikannya. “Wets, hati-hati dong,” Ceri langsung menghadang jalan gad
Pria itu mendaratkan kakinya di Indonesia setelah penerbangan dengan durasi sejam lebih. Ia membuka kacamata hitamnya setelah turun dari pesawat pribadi. Tanpa membawa tas atau pun barang, pria itu segera bergegas menuju tempat tujuannya. “Yey ke tempat gajah!” seru Leo sambil melompat kegirangan. “Leo, hati-hati nanti jatuh!” panggil Dania dengan sedikit berteriak. Dia menggeleng pelan sambil memasukkan kacang ke dalam mulutnya. Raka tampak memperhatikan Leo yang melompat-lompat di depannya. Mereka bertiga sedang berada di taman safari. Hari ini hari libur, makanya mereka bertiga berjalan-jalan sebentar. “Kakak.. kakak.. lihat itu gajahnya!” seru Leo sambil menunjuk gajah yang mulai tertangkap penglihatannya. Dania mengangguk-angguk sambil tertawa kecil melihat adiknya yang begitu bahagia. Terimakasih Raka. “Aku bosan,” sahut Raka tiba-tiba. Dania menoleh, “Kita baru tiba lima belas menit yang
“Kakak” “Kakak” “KAKAK” panggil Leo untuk ketiga kalinya sembari menggoyangkan lengan Dania. “Iya kenapa?” “Leo mau serang Dinosaurusnya, kakak kok malah bengong sih?” protes anak itu. Dania menggaruk kepalanya, “Ah... Iya, maaf maaf hehe.” jawabnya cengengesan. Bibir Leo mengerucut, menampakkan ekspresi cemberut karena kakaknya yang sedari tadi bengong sambil menggoyangkan mainan dinosaurus yang dipegangnya dengan asal. Kejadian di ruang tamu tadi adalah penyebab gadis itu melamun. Dia terus memikirkan situasi apa yang sedang terjadi. Mengira-ngira siapa pria berjas yang tengah duduk berhadapan dengan ayah Raka. Itu pertama kalinya ia melihat pria itu. Dari penampilannya, ia tampak sudah tua. Itu karena beberapa helai rambut putih yang tertangkap mata Dania saat melewatinya. Hening, begitulah situasi di ruang tamu beberapa saat setelah Raka duduk. “Maafkan atas kedatangan saya ya
Aku kembali menegadah setelah mengucapkan terimakasih. Keadaan ini tidaklah canggung, hanya saja ada rasa aneh yang tidak aku tahu pasti itu apa.“Raka, kau pandai mengepang rambut?”“Apa itu?”Aku membulatkan kedua mataku, “Kau tidak tahu apa itu?” tanyaku tak percaya.Raka mengangguk pelan. “Kenapa? Kau mau dikepang?”Aku menggeleng cepat, “Tidak, nanti rambutku berantakan karenamu.” tolakku.“Yasudah.”Suasana diantara kami menjadi hening kemudian. Aku menoleh saat mendengar Raka bergerak. Ia memilih berbaring, menjadikan kedua lengannya sebagai pengalas kepala.Tidak ada percakapan yang terjadi diantara kami. Ku pandangi wajahnya yang tampak tenang dengan kedua mata yang terpejam.Aku menajamkan netraku, memperhatikan setiap detail wajahnya. Aku tidak melihat tanda-tanda kegundahan ataupun kemarahan disana.
Dalam keadaan setengah tidak percaya, aku menatap lelaki itu. Hembusan angin dan rinai hujan yang semakin menderas membuat kakiku tidak bisa digerakkan.“T-tidak, ini pasti ilusi.” ucapku tak percaya sambil menggeleng pelan.Dengan sekuat tenaga, ku tarik kakiku mundur dan menjauh dari tempat itu.Sebelum berbalik pergi, dapat kulihat dia menahan langkahnya yang hendak menghampiriku.Aku berlari berlawanan dengan arah arus rintik hujan. Pedih, saat tak sengaja mengenai mataku. Dengan sedikit tergopoh-gopoh aku berlari berusaha menjauh dari rumah sakit.Dingin yang menusuk seakan memberi sinyal padaku untuk berhenti. Tidak untuk sekarang, aku akan berhenti jika merasa sudah cukup jauh dari rumah sakit.Kujadikan lenganku sebagai pelindung agar tetasan air ini tidak mengenai mataku. Aku hanya terus berlari tanpa tahu arah dan tujuanku kemana. Dengan n
Aku tiba di tempat kerja pukul enam lewat. Terlambat tujuh menit dari jam seharusnya. Bau aspal yang baru saja terkena air hujan menyapa penciumanku sesaat setelah turun dari motor. Sejenak kuedarkan pandanganku. Langit masih sama, berwarna abu tanpa awan putih. “Terimakasih ya,” kataku sambil memberikan helm ke Raka. Raka mengangguk kecil sebagai jawaban. “Rambutmu rapikan,” pintanya. Aku memegang-megang rambutku bermaksud merapikannya, “Iya nanti di dalam kurapikan, disini anginnya kencang hehe.” Aku hendak membuka jaket yang kupakai dan mengembalikannya namun, Raka tiba-tiba berucap. “Pakai saja,” ucapnya kemudian membuatku menghentikan gerakanku. Aku menggeleng, “Sudah sampai. Kau lebih membutuhkannya.” Kulanjutkan gerakanku yang tertunda. Kini jaket kulit berwarna hitam itu berada dalam genggamanku. Kusodorkan jaket itu ke pemiliknya
Aku sedang dalam perjalanan ke kampus sekarang. Hari semalam kulalui dengan kondisi tubuh yang mulai menurun. Saat bangun tubuhku terasa panas dingin, menggigil, pusing, dan indra penciumanku juga kurang membaik. Meskipun kondisiku kurang fit sekarang, aku memaksakan diri untuk masuk kuliah. Masa kuliah tidak bisa sesantai seperti saat SMA dimana tidak ada batasan untuk tidak mengikuti mata pelajaran atau hadir. Dan disinilah aku, berdiri menatap bangunan yang menjulang tinggi di hadapanku. Aku menoleh tak lama setelah Raka memanggilku. “Iya?” “Kenapa melamun disitu? Ayo masuk,” ajaknya. Aku pun berjalan tepat disampingnya. “Ah ... aku tidak bisa mencium dengan baik,” keluhku dengan hidung yang mampet. “Aku kesulitan bernafas,” lanjutku sembari mengendus-endus. “Semuanya terasa hampar.” rengekku. “Kayak pernah nyicip udara saja
Raka berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai satu. Ia terlihat tergesa dengan langkah yang cepat. Setelah mengambil barang yang telah membuatnya kembali, ia segera bergegas keluar. Dipakainya jaket kulit itu sembari membuat suara kecil yang timbul akibat gesekan alas sepatunya dengan lantai.Hingga langkahnya terhenti begitu saja setelah jemarinya berhasil membuat pintu itu terbuka. Ekspresi terkejut pun tak dapat ia sembunyikan saat matanya menangkap sosok yang tengah menghalangi jalannya.Lelaki itu tersenyum hangat, “Selamat sore Tuan Raka,” sapanya.“Pak Banar? Ada perlu apa lagi kembali?” tanya Raka terkejut.“Tujuan saya datang untuk menjemput anda,” jelas Banar.Dahi Raka berkerut bingung, “Menjemputku?”Banar mengangguk pelan, “Iya, Tuan Raka...,” Lelaki itu beralih menengok arloji d
Dania terdiam di atas kursi roda dan tengah memandang dedaunan dari balik kaca jendela. Racun yang mengenai kakinya membuat kakinya tidak dapat bergerak selama 4 jam, ada rasa terbakar, dan rasa pedih. Raka yang baru saja membuka pintu segera memelankan gerakannya saat melihat gadis itu tengah termenung dengan posisi memunggunginya. Ia berjalan mendekat dengan sekantung cemilan yang baru saja ia beli dari supermarket. Segera ia menaruh kantung plastik itu di atas nakas dan menarik kursi untuk mendekat ke arah Dania. "Kau yang duduk sendiri?" tanyanya mendapat lirikan pelan dari gadis itu. Dania menggeleng, "Dibantu suster." Saat Dania kembali tenang dengan kedipan pelan ke arah jendela. Pemuda itu memandanginya, memperhatikan luka memar ataupun luka lainnya yang menyebar ke di tubuhnya. Terlebih tadi perawat menjelaskan kondisi tubuh gadis itu. "Kau lapar? Aku dari memberi beberapa cemi
Raka berjalan dengan langkah yang sedikit cepat. Pikirannya kini terfokus pada Dania. Ia berguman dan menggerutu bingung tentang mengapa gadis itu pergi ke fakultas itu. Untungnya Raka termasuk mahasiswa populer di universitas itu. "Sorry, lihat Dania nggak?" tanyanya pada segerombolan mahasiswa yang tengah bercakap.Sejenak mahasiswi menatap Raka heran dan kagum karena kedatangan Raka ke fakultas mereka. "Dania?" jawab salah seorang mahasiswa dengan wajah bingung. "Dania siapa?" tanyanya lagi.Raka terdiam sebentar. "Ah ... ini, tadi teman gue bilang katanya dia ke sini," jelasnya sambil menunjukkan foto Dania. Mahasiswa yang tengah ia tanyai itu memicingkan mata dan terlihat bimbang. Namun setelah beberapa saat mengamati foto itu ia akhirnya menggeleng. "Gue nggak tau, bro."Meskipun Raka begitu populer, tidak sama dengan Dania yang bagai mahasiswa yang tidak dikenal. Di fakultasnya saja ia jarang diketahui karena anaknya yang tertutup. "Gue tadi l
Orang misterius itu semakin mengangkat botol kaca yang berisi cairan yang bau. Semakin pelan ingin menuangkannya ke tubuh Dania dengan sengaja. Sementara gadis itu, dia terus memundurkan tubuhnya menjauh karena tidak mampu berdiri. Tanda adanya aba-aba, cairan itu pun mengenai Dania. Membuat gadis itu memekik kaget saat merasa tubuhnya disirami cairan kental dengan bau yang menyengat. Entah apa itu. Seketika gadis itu merasa mual, baunya benar-benar tidak menyenangkan. Dengan napas tersengal, gadis itu berusaha mendongak. "Apa yang kau mau?!" "Kau mati." Dania tersentak kaget. Suara perempuan itu terdengar dingin dan tajam. Tak lama, Perempuan itu menurunkan kain yang sedari tadi menutup setengah wajahnya. Juga melepas tudung kepala yang menyembunyikan rambutnya. "Haish ... Pakai ginian panas banget," ucapnya tak suka. Ia membuan
"Ini Baksonya," ucap bu kantin sesaat setelah meletakkan dua mangkuk bakso di depan Raka. "Terima kasih, Bu." Raka tersenyum ke arah wanita paruh baya itu dan dibalas senyum juga. Di depannya, telah tersaji dua mangkuk bakso. Satu tanpa lemak hanya ada kuah dan baksonya dan satu lagi bakso porsi lengkap. Aromanya menyerbak, membuat perut Raka sedikit meraung minta segera diisi. Selanjutnya, ia menunggu Dania datang. Ia menggerakkan kakinya sambil memainkan ponsel demi menghilangkan kebosanan. Jarinya bergerak menggesek layar ponselnya secara acak. Tak lupa ia akan mengedarkan pandangannya jaga-jaga Dania datang. Sudah lebih sepuluh menit ia menunggu namungadis itu tak kunjung datang. Raka masih bersikap biasa saja. Ia berpikir mungkin kegiatannya di toilet belum selesai. Sementara di tempat lain, "Raka!" gadis itu berteriak sambil terus berjalan.
Gadis itu bergeming, belum mengubah posisinya dari semalam. Entah sudah berapa lama ia memainkan jemari lentiknya dengan posisi kaki tertekuk. Matanya silih berganti menatap apa saja yang bisa ia jangkau. Terkadang, ia akan menatap langit-langit atau hanya sekadar menatap pintu kamar jaga-jaga jika ada yang membukanya. Ia bahkan belum tidur atau hanya memejamkan mata. Dania terlalu takut untuk tidur. Ia takut jika ia terlelap, ia tidak bisa bertemu dengan Raka lagi. Tak hanya itu, kegundahan pun menjadi penyokong rasa takutnya. Perasaan yang bertanggung jawab atas sayunya mata gadis itu. Tok ... tok Dania memalingkan kepalanya. Mata kantuknya membulat pelan. “Raka,” lirihnya. Ada perasaan lega terbesit di hati gadis itu saat melihat orang yang telah membuatnya terjaga semalaman kini berdiri dihadapannya. Disamping itu, dirinya heran karena Raka yang tiba-tiba datang disaat l
Setelah memarkirkan motornya, Raka tidak langsung masuk. Perasaan yang membuat hatinya gamang dan resah berhasil menahannya. Membuatnya memilih bersandar pada motor yang telah disimpannya. Ia menghela nafas berat. Pening, kepalanya terasa berdenyut ringan. Hinggah suara deruh halus dari mesin mobil yang berhenti membuat indra pendengarannya menajam. Siluet hitam yang perlahan terlihat jelas membuat kepalanya tertoleh, mencuri perhatiannya. Raka berdecak kesal saat tahu siapa pemilik siluet hitam itu. Dengan keterpaksaan, Raka menghampirinya. Tidak peduli penampilannya yang kacau. Wajah datarnya menjadi curi pandang pertama lelaki itu. Banar terlihat terkejut saat melihat baju basah dan rambut berantakan remaja itu. Dengan terbata ia berucap, “Tuan, A-pa yang terjadi?” Lelaki itu terheran. Diam, itu adalah jawaban dari lawan bicaranya. Mengerti akan hal itu, lelaki itu berdehem kemudian kembali f
“Aku berjanji.”Gadis itu tersenyum kecut masih dengan mata yang berair. “Jangan berjanji, yang aku perlu kau kembali dengan selamat.”“Ini m-mengejutkanku.”“Maafkan responku yang berlebihan,” kata Dania dengan senyum kikuk.“Padahal kau hanya pergi dalam hitungan hari, itu tidak lama—mungkin,” lanjutnya ragu.“Jujur aku kecewa padamu,” tutur gadis itu.“Dan ini benar-benar membuatku kaget.”“Kita bersahabat dari kecil tetapi keterbukaan di antara kita bagai pintu terantai besi yang kehilangan kunci,” ucapnya senduh.“Perpisahan macam apa ini?” tanyanya.Raka menghembuskan nafas, “Sekali lagi maaf,” ujarnya menyesal.Dania beralih membersihkan sisa-sisa air dipipinya. Mereka masih berdiri berhadapan satu sama lain. Hingga rintik hujan yang turun berhasil menyita perhatian mereka.
Setelah perdebatannya dengan sang Ayah dan adanya kesepakatan yang terjadi, Raka segera bergegas ke tempat kerja Dania. Ia tidak memperdulikan Pratama yang mencegatnya pergi dengan cemas. Sungguh, lelaki itu takut jika hal yang tak diinginkan menimpa putranya. Pratama hanya bisa membuang nafas khawatir sembari menatap Raka yang membanting pintu dengan sedikit kasar. “Paman, kenapa kak Raka terlihat marah?” Sahutan tiba-tiba dari belakang membuat Pratama berbalik. “Leo? Ah tidak apa-apa, ayo main sama paman, ya?” jawab Pratama sedikit terkejut lalu mengajak Leo kembali ke dalam kamar. Pikiran Raka kini terfokus ke Dania. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Sesaat setelah sampai, Raka segera menatap ke arah cafe. Dari sisi kaca besar itu, ia dapat melihat Dania yang tengah mengantarkan pesanan pelanggan dengan senyuman yang tak pernah pudar dari bibirnya. Dengan nafas memburu dan langkah yang cepat, ia menerobos masuk. Segera ia m
Raka berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai satu. Ia terlihat tergesa dengan langkah yang cepat. Setelah mengambil barang yang telah membuatnya kembali, ia segera bergegas keluar. Dipakainya jaket kulit itu sembari membuat suara kecil yang timbul akibat gesekan alas sepatunya dengan lantai.Hingga langkahnya terhenti begitu saja setelah jemarinya berhasil membuat pintu itu terbuka. Ekspresi terkejut pun tak dapat ia sembunyikan saat matanya menangkap sosok yang tengah menghalangi jalannya.Lelaki itu tersenyum hangat, “Selamat sore Tuan Raka,” sapanya.“Pak Banar? Ada perlu apa lagi kembali?” tanya Raka terkejut.“Tujuan saya datang untuk menjemput anda,” jelas Banar.Dahi Raka berkerut bingung, “Menjemputku?”Banar mengangguk pelan, “Iya, Tuan Raka...,” Lelaki itu beralih menengok arloji d