“Dania, tolong antarkan ini ke meja nomor tujuh ya,” seru Rani sembari meletakkan secangkir kopi hasil racikannya.
Dengan cepat namun tak tergesa, Dania mengambil pesanan itu. Kemudian bergegas mengantarkannya ke pelanggan. Matanya bergerak mencari nomor meja tujuh. Dengan segera ia melangkah setelah kedua netranya menangkap nomor meja itu.
Suasana cafe hari ini cukup ramai. Keringat yang membasahi anak rambut gadis itu tampak mengkilap terkena sinar samar matahari. “Satu cangkir kopi tubruk,” ucapnya ramah sembari meletakkan kopi yang sedari tadi berada di dalam nampan itu ke atas meja. Gadis itu sedikit membungkuk sembari tersenyum kecil sebelum berpaling.
Setelah mengantarkan pesanan, ia segera bergegas kembali membantu Rani. Rani menoleh singkat, “Sepertinya suasana hatimu hari ini sedang baik.”
Dania tampak mengambil nafas sambil berpindah dari satu tempat ke tempat lain, “Suasana hatiku setiap hari selalu baik Kak Rani.”
Di antara banyaknya pengunjung yang datang, sepasang bola mata sedari tadi memperhatikan aktivitas gadis itu. Netranya tak pernah lepas memperhatikan gadis itu mondar-mandir dari dua jam yang lalu. Namun tak jarang, ia memalingkan matanya saat pandangan mereka bertemu. Hingga ponselnya yang bergetar membuat kedua bahunya bergelik.
Raka melirik ponselnya yang berada di atas meja. Ternyata itu sebuah panggilan masuk.Kedua alis Raka tampak berkerut, kemudian dengan cepat mengambil ponselnya itu lalu keluar dari cafe. Dania yang melihat hal tersebut, merasa sedikit penasaran melihat langkah Raka yang sedikit tergesa.
“Sudah kubilang tidak.”
“Aku tahu itu pasti hanya akal-akalannya saja,” Suara Raka terdengar berat.
“Aku tidak akan kesana.” Tegas Raka sebelum menutup telepon itu. Raka segera memegang keningnya dan memijitnya pelan.
“Ada tambahan pesanan mbak?” tanya Dania dengan buku kecil yang dipegangnya.
Pelanggan itu menggeleng, “Hanya itu mbak,”
“Baiklah, tunggu sebentar ya.” Ucapnya sambil tersenyum ramah.
“Kak Rani, es coffe satu dan milkshake dua pesanan meja nomor 21,” kata Dania tak lama setelah sampai.
“Aku akan menyiapkan milkshakenya,” lanjutnya sembari mengambil dua gelas yang tersusun rapi.
Saat berbalik, Dania kembali menangkap Raka yang masuk dengan ekspresi tampak sedikit emosi. Gadis itu pun dilanda rasa penasaran sambil melambatkan gerakannya. Netranya kini fokus melihat Raka yang duduk dengan cepat. Ia melempar ponselnya asal di atas meja sambil tertunduk menyembunyikan wajahnya.
“Dania, ada apa?” tanya Rani yang melihat gadis itu tak fokus.
Dania berbalik sambil tertawa kecil, “Eh... Tidak kak.” Ia kembali fokus, tangannya mulai mengambil bahan-bahan yang akan ia campuran.
Tak terasa, hari semakin malam. Dania memudarkan senyumnya setelah pelanggan terakhirnya keluar dari pintu cafe. Dania kembali menghela nafas, kemudian mulai mengambil alat pembersih berupa lap dan botol semprot untuk membersihkan meja.
“Biar kubantu,” ucap Raka yang sudah berdiri di samping gadis itu.
Dengan cepat, Dania menggeser tubuhnya. “Duduk saja,” gadis itu berjalan santai menuju meja. Raka ikut melangkah mengekor di belakang gadis itu. “Kemarikan. Biarkan aku membantumu,”
Dania tetap mengelap meja di depannya sesekali menyemprotkan cairan. “Tidak usah, duduk saja.”
“Aku bosan,” ucap Raka kemudian.
Dania mulai berpindah ke meja lain. “Kan sudah kubilang, jangan menungguku. Tapi kau keras kepala,” kata gadis itu sambil menaikkan kedua alisnya.
“Aku tidak ada jadwal, jadi kuhabiskan disini.” Jawab Raka.
“Biasanya kau bermusik atau tidur di rumah,” kata Dania sambil berpindah ke meja lain.
“Bosan,” jawab Raka singkat.
“Biasanya menyibukan diri atau berpura-pura sibuk,” gadis itu tersenyum geli.
Raka mengerutkan dahinya, tidak menghiraukan perkataan gadis itu. “Sok tau.”
Dania menghelai nafas. Gadis itu kemudian sambil berkacak pinggang. “Alasan saja kau ini,” setelah itu ia kembali mengelap meja di depannya.
Raka menarik senyum kecil. Ia maju selangkah sambil menyelipkan anak rambut Dania ke belakang telinganya. “Kau tidak lelah apa? Sok kuat.”
“Aku tidak lelah,” jawab Dania sambil mempercepat gerakannya.
Raka benar-benar tampak bosan dan terus saja mengekor di belakang Dania. “Ayo berikan. Kau duduk saja atau kerjakan yang lain saja,” ucap Raka sambil berusaha mengambil kain yang dipegang Dania.
Dania memindahkan tangannya, “Tidak usah Raka. Duduk saja sambil memainkan ponselmu ya anak baik,” kata Dania layaknya seorang ibu yang memberikan perintah kepada anaknya.
Raka tampak terdiam. Entah mengapa, ia kembali menatap Dania yang sedang fokus dengan pekerjaannya. Gadis itu tampak cantik dengan anak rambut yang berantakan. Bulu matanya yang lentik begitu mencuri arah pandang netra Raka. Tak ada tatapan lelah yang nampak dari gadis di hadapannya ini.
Dania menoleh, “Hey,” panggilnya.
Raka tersadar, “Ha?” sembari mengangkat kedua alisnya.
Dania berdecak, “Aku menyuruhmu duduk bukan diam memandangiku.”
Deg
“Kau terlalu cantik untuk kuabaikan”
“Dih kepedean banget,” ucap Raka sambil memperbaiki jaketnya.
Dania memutar kedua bola matanya jengah. “Aku tahu aku cantik,” katanya membanggakan diri sendiri.
“Cantik itu diakui, bukan mengakui,” jawab Raka kemudian.
“Apa susahnya bilang iya,” canda gadis itu sembari kembali mengelap meja di depannya.
“Iya.” ucap Raka setelah beberapa detik. Hal itu membuat gerakan Dania berhenti spontan dan menoleh ke arah Raka.
“Iya. Aku akan duduk,” lanjut Raka lalu berjalan ke mejanya.
Dania tampak memanyunkan bibirnya. “Huh! Pura-pura tidak mengakui,” cibirnya kemudian lanjut mengelap meja di depannya.
“Seru juga ya lihat dua anak remaja yang sedang kasmaran,” sahut Rani tiba-tiba.
Gadis itu tampak bertopang dagu di balik meja barista sambil memperhatikan Dania dan Raka sedari tadi.
“Ada-ada aja Kak Rani,” Dania tertawa singkat sambil menggeleng-geleng.
“Eh, hampir lupa.” Rani bergegas masuk kedalam dapur dan tak lama keluar sambil membawa kotak makanan yang cukup familiar di mata Dania.
“Wih, kakak bikin bolu?” sahut Dania dengan nada gembira.
“Iya, udah yok makan dulu. Oh iya... tolong ambil es kopi di sana ya.” kata Rani sambil berjalan ke arah meja Raka.
Dania mengangguk senang dan berniat menuju meja barista namun, Raka lebih dulu berjalan mendahuluinya.
“Aku lebih dulu,” sahut Raka sedikit mengeraskan suaranya.
Gadis itu tampak tertawa melihat Raka yang sedari tadi ingin membantunya. Dania segera mempercepat pekerjaannya dan bergegas mengelap meja terakhir. Setelah itu, ia segera mencuci tangan dan berlari kecil ke tempat Rani.
Rani mulai membuka kotak makanan itu dan langsung saja aroma wangi dan renyah menusuk hidung mereka. Tak lama Raka datang membawa nampan berisi tiga gelas es kopi. “Silahkan dinikmati nona-nona,” ucap Raka sambil meletakkan satu persatu gelas itu.
“Berpengalaman nih kayaknya,” jawab Rani.
“Nggak tahu dia kesambet apa kak hari ini,” sahut Dania.
“Ayo dimakan,” seru Rani dengan wajah berseri.
“Aaa... Emang masakan kakak nggak pernah gagal ya,” puji Dania setelah lembutnya bolu itu berhasil memanjakan mulutnya.
“Benar. Daripada orang yang goreng telur ceplok kuningnya jadi hitam,” cerocos Raka sembari memasukkan sepotong bolu ke dalam mulutnya.
Dania berbalik sambil menatapnya jengah, “Nyindir?”
“Nggak,”
“Terus?”
“Apa?”
Dania menghembuskan nafas, “Nggak kenapa-kenapa.”
Rani dan Raka kemudian tertawa bersama setelah melihat Dania yang tampak kesal.
“Senang banget kayaknya,” ucap Dania yang mendengar Raka yang tertawa begitu kencang.
“Nginget Pak, awas kesambet.” lanjutnya sambil memberi tatapan jengah.
“Kalian kenapa nggak pacaran aja sih?”
Pertanyaan tiba-tiba Rani berhasil membuat Raka berhenti tertawa.
Dania memperhatikan Rani yang tengah tersenyum menunggu jawaban darinya.
“Nggaklah Kak, Raka itu lebih dari pacar iyakan Ka?” jawab Dania dengan santai sebelum mengunyah bolu di dalam mulutnya.
“Iyalah,” jawab Raka cepat.
Dania menatap kesembarang arah, sambil memainkan jari telunjuknya.
“Raka itu seorang teman,”
“dan seorang keluarga.” lanjutnya setelah beberapa detik.
Dania meminum minumannya sebelum lanjut berbicara. “Tau nggak sih kak, Raka yang Kak Rani lihat sekarang ini jauh berbeda dengan Raka jika sudah melewati pintu cafe ini.”
Raka tampak menoleh singkat sambil memperhatikan gadis disampingnya bercerita.
“Kok bisa?” tanya Rani.
“Kalau udah keluar dari sini nih, dia-” jawab Dania sambil melempar tatapan Raka.
“dia akan menjadi orang yang dingin,” lanjut Dania sambil memeluk dirinya sendiri layaknya sedang kedinginan.
Raka menatap Dania datar sambil menyeruput kopinya.
“Alay” jawab Raka singkat.
“Kayak gini contohnya kak,” ucap Dania sambil menunjuk Raka.
Rani tampak mengangguk-angguk.
"Jangan di dengar Kak Rani,” sahut Raka.
Selang beberapa detik, pandangan Raka teralihkan oleh benda yang menempel pada jari manis Rani. Mata Raka menyipit, “Kakak sudah tunangan?” tanyanya sambil menunjuk cincin itu.
Rani secara refleks memegang jari jemarinya sambil tersipu malu. Kemudian gadis itu mengangguk.
“Mana lihat kak!” kata Dania sambil menarik tangan Rani begitu saja untuk memastikan.
“Wah... Selamat ya kak! ikut senang,” seru gadis itu kegirangan.
“Eh.. cerita dong kak” pinta Dania kemudian sambil memasang wajah memohon dan memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
Mereka pun mengobrol cukup lama, jam dan waktu sepertinya tak menghalangi kebahagiaan gadis itu. Lagi pula, ia merasa sedikit aman karena Leo menginap di rumah Raka meskipun pikirannya tidak pernah tenang karena meninggalkan ibunya di rumah sakit.
Malam itu berlalu dengan baik. Bersantai sejenak setelah hari yang cukup melelahkan bagi Dania. Canda tawa dari kedua orang selalu ada untuknya itu cukup menghembas rasa lelah yang menggantung.
“Andai malam-malamku berikutnya bisa dipenuhi canda tawa seperti ini, pasti akan menyenangkan.” pinta gadis itu di dalam hati sambil memperhatikan lamat-lamat Rani dan Raka yang saling berbincang.Langkah kaki terdengar menggema di lorong rumah yang cukup megah itu. Musik clasic pun tampak terdengar bebas. Pria berjas yang cukup tinggi berjalan tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Pikirannya fokus pada satu ruangan dengan pintu besar yang letaknya berada di ujung lorong.Orang-orang yang berdiri di sisi ruangan membungkuk saat pria itu melewati mereka. Saat sampai di depan pintu, ia mengetuk tiga kali.Hingga, suara lemah lembut mempersilahkan ia untuk masuk.Ia melangkah dengan pelan dan membungkuk sebelum mulai mengeluarkan suara."Dia menolak madam,"Hembusan nafas terdengar sangat jelas dari balik kursi."Apa yang ia katakan?""Dia menolak untuk datang," jelas pria itu."Apa yang engkau katakan?""Saya mengatakan seperti yang madam perintahkan."Keheningan terjadi untuk beberapa detik, hingga perempuan itu berdiri dari kursinya dan berbalik."Biarkan saya yang berbicara."
Ini sudah ketiga kalinya Dania membasuh wajahnya dengan air. Sejenak ia menatap pantulan dirinya pada cermin didepannya. Menatap kedua matanya sendiri. Jantungnya berdegup begitu cepat, serasa sebentar lagi jantungnya akan melompat keluar. “Kau lemah.” ucapnya sambil menatap pantulannya. Kini make up tipisnya telah hilang karena air, menyisahkan lipstik yang masih membuat bibirnya berwarna pink kemerahan. Namun, itu tidak menghapus kecantikan gadis itu. Apa yang telah Raka lakukan beberapa menit yang lalu ternyata cukup membuatnya takut. Rasa takut yang aneh, kepanikan yang timbul begitu saja. Dania memutuskan untuk keluar dari toilet setelah cukup lama berdiam diri di sana. Gadis itu terkejut saat melihat sosok yang tengah berdiri sesaat setelah ia membuka pintu. Dania menatap mata yang menatapnya silih berganti. Gadis itu mencoba melewati celah dan mengabaikannya. “Wets, hati-hati dong,” Ceri langsung menghadang jalan gad
Pria itu mendaratkan kakinya di Indonesia setelah penerbangan dengan durasi sejam lebih. Ia membuka kacamata hitamnya setelah turun dari pesawat pribadi. Tanpa membawa tas atau pun barang, pria itu segera bergegas menuju tempat tujuannya. “Yey ke tempat gajah!” seru Leo sambil melompat kegirangan. “Leo, hati-hati nanti jatuh!” panggil Dania dengan sedikit berteriak. Dia menggeleng pelan sambil memasukkan kacang ke dalam mulutnya. Raka tampak memperhatikan Leo yang melompat-lompat di depannya. Mereka bertiga sedang berada di taman safari. Hari ini hari libur, makanya mereka bertiga berjalan-jalan sebentar. “Kakak.. kakak.. lihat itu gajahnya!” seru Leo sambil menunjuk gajah yang mulai tertangkap penglihatannya. Dania mengangguk-angguk sambil tertawa kecil melihat adiknya yang begitu bahagia. Terimakasih Raka. “Aku bosan,” sahut Raka tiba-tiba. Dania menoleh, “Kita baru tiba lima belas menit yang
“Kakak” “Kakak” “KAKAK” panggil Leo untuk ketiga kalinya sembari menggoyangkan lengan Dania. “Iya kenapa?” “Leo mau serang Dinosaurusnya, kakak kok malah bengong sih?” protes anak itu. Dania menggaruk kepalanya, “Ah... Iya, maaf maaf hehe.” jawabnya cengengesan. Bibir Leo mengerucut, menampakkan ekspresi cemberut karena kakaknya yang sedari tadi bengong sambil menggoyangkan mainan dinosaurus yang dipegangnya dengan asal. Kejadian di ruang tamu tadi adalah penyebab gadis itu melamun. Dia terus memikirkan situasi apa yang sedang terjadi. Mengira-ngira siapa pria berjas yang tengah duduk berhadapan dengan ayah Raka. Itu pertama kalinya ia melihat pria itu. Dari penampilannya, ia tampak sudah tua. Itu karena beberapa helai rambut putih yang tertangkap mata Dania saat melewatinya. Hening, begitulah situasi di ruang tamu beberapa saat setelah Raka duduk. “Maafkan atas kedatangan saya ya
Aku kembali menegadah setelah mengucapkan terimakasih. Keadaan ini tidaklah canggung, hanya saja ada rasa aneh yang tidak aku tahu pasti itu apa.“Raka, kau pandai mengepang rambut?”“Apa itu?”Aku membulatkan kedua mataku, “Kau tidak tahu apa itu?” tanyaku tak percaya.Raka mengangguk pelan. “Kenapa? Kau mau dikepang?”Aku menggeleng cepat, “Tidak, nanti rambutku berantakan karenamu.” tolakku.“Yasudah.”Suasana diantara kami menjadi hening kemudian. Aku menoleh saat mendengar Raka bergerak. Ia memilih berbaring, menjadikan kedua lengannya sebagai pengalas kepala.Tidak ada percakapan yang terjadi diantara kami. Ku pandangi wajahnya yang tampak tenang dengan kedua mata yang terpejam.Aku menajamkan netraku, memperhatikan setiap detail wajahnya. Aku tidak melihat tanda-tanda kegundahan ataupun kemarahan disana.
Dalam keadaan setengah tidak percaya, aku menatap lelaki itu. Hembusan angin dan rinai hujan yang semakin menderas membuat kakiku tidak bisa digerakkan.“T-tidak, ini pasti ilusi.” ucapku tak percaya sambil menggeleng pelan.Dengan sekuat tenaga, ku tarik kakiku mundur dan menjauh dari tempat itu.Sebelum berbalik pergi, dapat kulihat dia menahan langkahnya yang hendak menghampiriku.Aku berlari berlawanan dengan arah arus rintik hujan. Pedih, saat tak sengaja mengenai mataku. Dengan sedikit tergopoh-gopoh aku berlari berusaha menjauh dari rumah sakit.Dingin yang menusuk seakan memberi sinyal padaku untuk berhenti. Tidak untuk sekarang, aku akan berhenti jika merasa sudah cukup jauh dari rumah sakit.Kujadikan lenganku sebagai pelindung agar tetasan air ini tidak mengenai mataku. Aku hanya terus berlari tanpa tahu arah dan tujuanku kemana. Dengan n
Aku tiba di tempat kerja pukul enam lewat. Terlambat tujuh menit dari jam seharusnya. Bau aspal yang baru saja terkena air hujan menyapa penciumanku sesaat setelah turun dari motor. Sejenak kuedarkan pandanganku. Langit masih sama, berwarna abu tanpa awan putih. “Terimakasih ya,” kataku sambil memberikan helm ke Raka. Raka mengangguk kecil sebagai jawaban. “Rambutmu rapikan,” pintanya. Aku memegang-megang rambutku bermaksud merapikannya, “Iya nanti di dalam kurapikan, disini anginnya kencang hehe.” Aku hendak membuka jaket yang kupakai dan mengembalikannya namun, Raka tiba-tiba berucap. “Pakai saja,” ucapnya kemudian membuatku menghentikan gerakanku. Aku menggeleng, “Sudah sampai. Kau lebih membutuhkannya.” Kulanjutkan gerakanku yang tertunda. Kini jaket kulit berwarna hitam itu berada dalam genggamanku. Kusodorkan jaket itu ke pemiliknya
Aku sedang dalam perjalanan ke kampus sekarang. Hari semalam kulalui dengan kondisi tubuh yang mulai menurun. Saat bangun tubuhku terasa panas dingin, menggigil, pusing, dan indra penciumanku juga kurang membaik. Meskipun kondisiku kurang fit sekarang, aku memaksakan diri untuk masuk kuliah. Masa kuliah tidak bisa sesantai seperti saat SMA dimana tidak ada batasan untuk tidak mengikuti mata pelajaran atau hadir. Dan disinilah aku, berdiri menatap bangunan yang menjulang tinggi di hadapanku. Aku menoleh tak lama setelah Raka memanggilku. “Iya?” “Kenapa melamun disitu? Ayo masuk,” ajaknya. Aku pun berjalan tepat disampingnya. “Ah ... aku tidak bisa mencium dengan baik,” keluhku dengan hidung yang mampet. “Aku kesulitan bernafas,” lanjutku sembari mengendus-endus. “Semuanya terasa hampar.” rengekku. “Kayak pernah nyicip udara saja
Dania terdiam di atas kursi roda dan tengah memandang dedaunan dari balik kaca jendela. Racun yang mengenai kakinya membuat kakinya tidak dapat bergerak selama 4 jam, ada rasa terbakar, dan rasa pedih. Raka yang baru saja membuka pintu segera memelankan gerakannya saat melihat gadis itu tengah termenung dengan posisi memunggunginya. Ia berjalan mendekat dengan sekantung cemilan yang baru saja ia beli dari supermarket. Segera ia menaruh kantung plastik itu di atas nakas dan menarik kursi untuk mendekat ke arah Dania. "Kau yang duduk sendiri?" tanyanya mendapat lirikan pelan dari gadis itu. Dania menggeleng, "Dibantu suster." Saat Dania kembali tenang dengan kedipan pelan ke arah jendela. Pemuda itu memandanginya, memperhatikan luka memar ataupun luka lainnya yang menyebar ke di tubuhnya. Terlebih tadi perawat menjelaskan kondisi tubuh gadis itu. "Kau lapar? Aku dari memberi beberapa cemi
Raka berjalan dengan langkah yang sedikit cepat. Pikirannya kini terfokus pada Dania. Ia berguman dan menggerutu bingung tentang mengapa gadis itu pergi ke fakultas itu. Untungnya Raka termasuk mahasiswa populer di universitas itu. "Sorry, lihat Dania nggak?" tanyanya pada segerombolan mahasiswa yang tengah bercakap.Sejenak mahasiswi menatap Raka heran dan kagum karena kedatangan Raka ke fakultas mereka. "Dania?" jawab salah seorang mahasiswa dengan wajah bingung. "Dania siapa?" tanyanya lagi.Raka terdiam sebentar. "Ah ... ini, tadi teman gue bilang katanya dia ke sini," jelasnya sambil menunjukkan foto Dania. Mahasiswa yang tengah ia tanyai itu memicingkan mata dan terlihat bimbang. Namun setelah beberapa saat mengamati foto itu ia akhirnya menggeleng. "Gue nggak tau, bro."Meskipun Raka begitu populer, tidak sama dengan Dania yang bagai mahasiswa yang tidak dikenal. Di fakultasnya saja ia jarang diketahui karena anaknya yang tertutup. "Gue tadi l
Orang misterius itu semakin mengangkat botol kaca yang berisi cairan yang bau. Semakin pelan ingin menuangkannya ke tubuh Dania dengan sengaja. Sementara gadis itu, dia terus memundurkan tubuhnya menjauh karena tidak mampu berdiri. Tanda adanya aba-aba, cairan itu pun mengenai Dania. Membuat gadis itu memekik kaget saat merasa tubuhnya disirami cairan kental dengan bau yang menyengat. Entah apa itu. Seketika gadis itu merasa mual, baunya benar-benar tidak menyenangkan. Dengan napas tersengal, gadis itu berusaha mendongak. "Apa yang kau mau?!" "Kau mati." Dania tersentak kaget. Suara perempuan itu terdengar dingin dan tajam. Tak lama, Perempuan itu menurunkan kain yang sedari tadi menutup setengah wajahnya. Juga melepas tudung kepala yang menyembunyikan rambutnya. "Haish ... Pakai ginian panas banget," ucapnya tak suka. Ia membuan
"Ini Baksonya," ucap bu kantin sesaat setelah meletakkan dua mangkuk bakso di depan Raka. "Terima kasih, Bu." Raka tersenyum ke arah wanita paruh baya itu dan dibalas senyum juga. Di depannya, telah tersaji dua mangkuk bakso. Satu tanpa lemak hanya ada kuah dan baksonya dan satu lagi bakso porsi lengkap. Aromanya menyerbak, membuat perut Raka sedikit meraung minta segera diisi. Selanjutnya, ia menunggu Dania datang. Ia menggerakkan kakinya sambil memainkan ponsel demi menghilangkan kebosanan. Jarinya bergerak menggesek layar ponselnya secara acak. Tak lupa ia akan mengedarkan pandangannya jaga-jaga Dania datang. Sudah lebih sepuluh menit ia menunggu namungadis itu tak kunjung datang. Raka masih bersikap biasa saja. Ia berpikir mungkin kegiatannya di toilet belum selesai. Sementara di tempat lain, "Raka!" gadis itu berteriak sambil terus berjalan.
Gadis itu bergeming, belum mengubah posisinya dari semalam. Entah sudah berapa lama ia memainkan jemari lentiknya dengan posisi kaki tertekuk. Matanya silih berganti menatap apa saja yang bisa ia jangkau. Terkadang, ia akan menatap langit-langit atau hanya sekadar menatap pintu kamar jaga-jaga jika ada yang membukanya. Ia bahkan belum tidur atau hanya memejamkan mata. Dania terlalu takut untuk tidur. Ia takut jika ia terlelap, ia tidak bisa bertemu dengan Raka lagi. Tak hanya itu, kegundahan pun menjadi penyokong rasa takutnya. Perasaan yang bertanggung jawab atas sayunya mata gadis itu. Tok ... tok Dania memalingkan kepalanya. Mata kantuknya membulat pelan. “Raka,” lirihnya. Ada perasaan lega terbesit di hati gadis itu saat melihat orang yang telah membuatnya terjaga semalaman kini berdiri dihadapannya. Disamping itu, dirinya heran karena Raka yang tiba-tiba datang disaat l
Setelah memarkirkan motornya, Raka tidak langsung masuk. Perasaan yang membuat hatinya gamang dan resah berhasil menahannya. Membuatnya memilih bersandar pada motor yang telah disimpannya. Ia menghela nafas berat. Pening, kepalanya terasa berdenyut ringan. Hinggah suara deruh halus dari mesin mobil yang berhenti membuat indra pendengarannya menajam. Siluet hitam yang perlahan terlihat jelas membuat kepalanya tertoleh, mencuri perhatiannya. Raka berdecak kesal saat tahu siapa pemilik siluet hitam itu. Dengan keterpaksaan, Raka menghampirinya. Tidak peduli penampilannya yang kacau. Wajah datarnya menjadi curi pandang pertama lelaki itu. Banar terlihat terkejut saat melihat baju basah dan rambut berantakan remaja itu. Dengan terbata ia berucap, “Tuan, A-pa yang terjadi?” Lelaki itu terheran. Diam, itu adalah jawaban dari lawan bicaranya. Mengerti akan hal itu, lelaki itu berdehem kemudian kembali f
“Aku berjanji.”Gadis itu tersenyum kecut masih dengan mata yang berair. “Jangan berjanji, yang aku perlu kau kembali dengan selamat.”“Ini m-mengejutkanku.”“Maafkan responku yang berlebihan,” kata Dania dengan senyum kikuk.“Padahal kau hanya pergi dalam hitungan hari, itu tidak lama—mungkin,” lanjutnya ragu.“Jujur aku kecewa padamu,” tutur gadis itu.“Dan ini benar-benar membuatku kaget.”“Kita bersahabat dari kecil tetapi keterbukaan di antara kita bagai pintu terantai besi yang kehilangan kunci,” ucapnya senduh.“Perpisahan macam apa ini?” tanyanya.Raka menghembuskan nafas, “Sekali lagi maaf,” ujarnya menyesal.Dania beralih membersihkan sisa-sisa air dipipinya. Mereka masih berdiri berhadapan satu sama lain. Hingga rintik hujan yang turun berhasil menyita perhatian mereka.
Setelah perdebatannya dengan sang Ayah dan adanya kesepakatan yang terjadi, Raka segera bergegas ke tempat kerja Dania. Ia tidak memperdulikan Pratama yang mencegatnya pergi dengan cemas. Sungguh, lelaki itu takut jika hal yang tak diinginkan menimpa putranya. Pratama hanya bisa membuang nafas khawatir sembari menatap Raka yang membanting pintu dengan sedikit kasar. “Paman, kenapa kak Raka terlihat marah?” Sahutan tiba-tiba dari belakang membuat Pratama berbalik. “Leo? Ah tidak apa-apa, ayo main sama paman, ya?” jawab Pratama sedikit terkejut lalu mengajak Leo kembali ke dalam kamar. Pikiran Raka kini terfokus ke Dania. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Sesaat setelah sampai, Raka segera menatap ke arah cafe. Dari sisi kaca besar itu, ia dapat melihat Dania yang tengah mengantarkan pesanan pelanggan dengan senyuman yang tak pernah pudar dari bibirnya. Dengan nafas memburu dan langkah yang cepat, ia menerobos masuk. Segera ia m
Raka berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai satu. Ia terlihat tergesa dengan langkah yang cepat. Setelah mengambil barang yang telah membuatnya kembali, ia segera bergegas keluar. Dipakainya jaket kulit itu sembari membuat suara kecil yang timbul akibat gesekan alas sepatunya dengan lantai.Hingga langkahnya terhenti begitu saja setelah jemarinya berhasil membuat pintu itu terbuka. Ekspresi terkejut pun tak dapat ia sembunyikan saat matanya menangkap sosok yang tengah menghalangi jalannya.Lelaki itu tersenyum hangat, “Selamat sore Tuan Raka,” sapanya.“Pak Banar? Ada perlu apa lagi kembali?” tanya Raka terkejut.“Tujuan saya datang untuk menjemput anda,” jelas Banar.Dahi Raka berkerut bingung, “Menjemputku?”Banar mengangguk pelan, “Iya, Tuan Raka...,” Lelaki itu beralih menengok arloji d