Pria itu mendaratkan kakinya di Indonesia setelah penerbangan dengan durasi sejam lebih. Ia membuka kacamata hitamnya setelah turun dari pesawat pribadi. Tanpa membawa tas atau pun barang, pria itu segera bergegas menuju tempat tujuannya.
“Yey ke tempat gajah!” seru Leo sambil melompat kegirangan.
“Leo, hati-hati nanti jatuh!” panggil Dania dengan sedikit berteriak.
Dia menggeleng pelan sambil memasukkan kacang ke dalam mulutnya.
Raka tampak memperhatikan Leo yang melompat-lompat di depannya. Mereka bertiga sedang berada di taman safari. Hari ini hari libur, makanya mereka bertiga berjalan-jalan sebentar.
“Kakak.. kakak.. lihat itu gajahnya!” seru Leo sambil menunjuk gajah yang mulai tertangkap penglihatannya.
Dania mengangguk-angguk sambil tertawa kecil melihat adiknya yang begitu bahagia.
Terimakasih Raka.
“Aku bosan,” sahut Raka tiba-tiba.
Dania menoleh, “Kita baru tiba lima belas menit yang lalu. Kau sudah bosan?” kata Dania heran.
Raka menggendikkan bahunya, “Iya. Aku cepat bosan,” jelasnya.
“Apakah itu berlaku untuk semuanya?” tanya gadis itu dengan nada sedikit bercanda.
Raka tampak kebingungan dan menaikkan alis kanannya. “Semuanya?” tanyanya heran.
Gadis itu mengangguk, “Iya... Seperti percintaanmu. Apa kau akan merasa cepat bosan?” jelasnya.
Raka dengan cepat menggeleng, “Tidak. Itu beda lagi,” jawabnya singkat.
Dania ber oh ria, “Baguslah, haha” kata gadis itu.
“Bagaimana denganmu?” tanya Raka balik.
Gadis itu menggulum bibirnya, “Aku tidak akan bosan. Jika dia memperlakukanku dengan baik dan tulus,” jawab Dania.
Raka menoleh, “Kalau dia memperlakukanmu sebaliknya?” tanyanya lagi.
“Aku akan meninggalkannya. Tapi pasti akan sulit jika sudah terlanjur mencintainya karena aku-” perkataan Dania terhenti saat Raka tiba-tiba melanjutkannya.
“Ini orang yang setia,” sahut Raka sambil melirik gadis itu.
Dania tercengang, “Kau hafal,” jawab Dania sambil menyenggol lengan Raka. Sejenak gadis itu tertawa. Memang tak ada orang yang lebih mengetahuinya dibanding Raka.
“Kakak.. kak Raka ayo cepat sedikit!” teriak Leo yang sudah tak sabar.
“Iya kami datang.” teriak Dania.
Pria itu sampai di depan gerbang rumah yang cukup besar. Ia mengamati rumah itu dengan seksama kemudian melangkah masuk setelah menghela nafas.
Ia melewati halaman depan yang tertata begitu rapi dengan masing-masing air mancur di kedua sisi.
Pria itu melewati beberapa anak tangga hingga akhirnya sampai di depan pintu masuk. Sejenak ia terdiam memandangi pintu itu. Ia berdehem sebelum mengetuk pintu. Tak cukup satu menit, pintu itu mulai bergerak.
Matanya segera menangkap sosok pria yang telah menyambutnya itu.
Pratama merasa terkejut saat melihat sosok yang sedang berdiri di hadapannya ini.Pria itu membungkuk, “Sudah lama tuan Pratama,”
Pratama tak bergeming dan segera sadar, “ Sudah sangat lama Pak Banar.”
Pratama memandangi Banar dengan perasaan tidak percaya. Kemudian mempersilahkannya masuk.
“Leo pelan-pelan,” ujar Dania yang tampak ngos-ngosan sambil memegang kedua lututnya.
“Lari yang jauh Leo!” teriak Raka sembari menyusul anak itu.
“Hey... Hey tunggu aku,” sahut Dania yang mulai kelelahan berlari.
Dania melihat dua orang yang tengah berlari meninggalkannya.
“Katanya bosan, malah ikut-ikutan,” kesal gadis itu sembari menyeka keringat di dahinya.
Dania segera mengatur nafas dan kembali menyusul keduanya karena tak ingin tertinggal jauh.
“Rumah ini sudah banyak berubah,” kata Banar sambil meletakkan kembali secangkir teh ke atas meja.
Pratama mengangguk, “Raka yang memintanya,” jawabnya sambil mengamati langit-langit rumahnya.
“Jadi, ini pertama kalinya saya melihat bangunan ini setelah sepuluh tahun,” kata Bahar sembari membuang nafas.
“Iya anda benar. Jadi apa yang membuat anda datang kemari?” tanya Pratama tanpa basa-basi. Meskipun ada perasaan canggung antara keduanya.
Banar segera membuka kacamatanya, “Nyonya sakit, tuan” ujarnya dengan serius.
Pratama tampak mengambil nafas panjang. Cukup terkejut dengan yang didengarnya barusan. Ia menyeruput tehnya.
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Pratama kemudian.
“Dia terkena penyakit yang cukup parah. Setiap hari Nyonya hanya berdiam diri dan merenung tuan,” ucap Banar dengan nada iba.
“Nyonya tidak ingin pergi berobat, saya sendiri tidak tahu penyebabnya, tuan” lanjutnya lagi sembari menatap mata Pratama.
Alis Pratama saling bertautan. Ia merasa sedikit syok dengan kabar yang didengarnya ini.
“Kedatangan saya kemari bukan tanpa sebab, tuan”
“Nyonya ingin bertemu dengan Raka.” jelas pria itu dengan nada yang cukup serius.
Pratama terlihat bimbang, “Saya tidak tahu apakah Raka bersedia atau tidak,” jawabnya ragu.
Banar mengangguk, “Saya mengerti, tuan.”
“Ah.. begini saja. Tunggulah sampai dia datang,” tawar Pratama.
Banar menautkan jemarinya, “Baiklah, tuan.” jawabnya sembari tersenyum.
“Banar, bisakah saya meminta sesuatu?”
Banar menatap kedua mata Pratama, “Tentu tuan” jawabnya.
Pratama menarik nafas, “Tidak usah memanggil saya dengan sebutan Tuan,” jelasnya sambil tersenyum simpul.
“Kau tidak perlu sehormat itu kepada saya, lagi pula semua itu sudah berlalu. Sudah sepuluh tahun Banar,” lanjutnya lagi.
Banar tampak terkejut namun sedetik kemudian ia tersenyum. “Baiklah, Pak Pratama.”
“Cantik sekali,” ucap Dania sembari melihat kupu-kupu yang beterbangan dari dahan yang lain.“Kau lebih cantik karena kau manusia,” sahut Raka santai sambil ikut mengamati kupu-kupu.
Dania menoleh sebentar, “Iya benar.”
“Aku ingin menjadi kupu-kupu,” sahut Dania sembari melihat kupu-kupu dengan sayap biru.
“Mereka bisa terbang bebas, tidak memiliki beban pikiran,” lanjut gadis itu.
“Darimana kau tahu kupu-kupu tidak memiliki beban pikiran?” tanya Raka sedikit menunduk.
Dania menggendikkan bahunya, “Karena mereka binatang,” ricau gadis itu.
Raka terdiam dan terus mendengar Dania dengan seksama.
“Meskipun umur mereka singkat, mereka benar-benar menikmatinya.”
“Apa kau tahu kupu-kupu itu malaikat alam?” tanya gadis itu.
“Iya aku tahu,” jawab Raka.
“lihatlah ulat itu,” ujar Dania sambil menunjuk ulat yang berada di atas sebuah daun.
Raka mengikuti arah tunjuk gadis itu.
“Dia akan menjadi kupu-kupu yang cantik kelak,” kata Dania sambil merekahkan senyum.
“Aku iri tahu,” ucapnya dengan wajah cemberut sambil berpindah melihat kupu-kupu biru.
“Kupu-kupu itu bisa menyentuh langit, sedangkan aku tidak bisa,” ujarnya dengan tatapan senduh.
“Aku penasaran, bagaimana mereka bisa mendapatkan sayap yang cantik,”
“Bayangkan, aku memiliki sayap yang indah itu. Pasti akan kugunakan untuk terbang menyentuh langit,” ujar Dania kemudian tersenyum senduh.
Raka menoleh, “Kau bisa jadi kupu-kupu tanpa memiliki sayap itu,” sahutnya.
Dania mendongkak, “Bagaimana?” tanyanya penasaran.
Raka menatap kedua netra gadis itu, “Bangkit dari keterpurukan dan menjadi orang yang baru,” jelas Raka.
Dania tertegun mendengar jawaban dari Raka.
“Kau akan memiliki sayap yang lebih indah dari kupu-kupu biru itu,” lanjutnya.
Dania kembali menatap lurus kedepan. Gadis itu memikirkan perkataan Raka. Yang dikatakannya ada benarnya, seperti suatu maksud yang tersirat.
Dania mengangguk, “Akan kulakuan.”
“Kau bisa bercerita padaku bila ada masalah,” ucap Raka tiba-tiba.
Dania mengedipkan matanya pelan, “Hm... Tentu kau satu-satunya tempatku bercerita selain ibu,” jawab gadis itu.
“Lantas mengapa kau menyembunyikannya?” tanya Raka.
Dania tersentak, “Tidak ada yang kusembunyikan, Raka.” jawab gadis itu terus terang.
Raka membuang nafas kemudian membenarkan posisinya. Dia menatap Dania sebentar, kemudian berjalan meninggalkan tempat itu.
“Aku hanya tidak mau membagi masalahku,” ucapnya pelan sembari menatap punggung Raka yang kian menjauh.
“Leo, ayo kita pulang.” ajak Raka sambil menggandeng tangan kecilnya.
Leo mendongkak, “Um.. iya ayo kita pulang,” jawabnya sambil mengangguk.
“Pulang ke rumah kak Raka, ya?” ajak Raka.
“Main?” tanya Leo dengan wajah berbinar.
Raka mengangguk, “Iya main,” jawabnya.
Leo membulatkan kedua matanya, “Yey! Main sama om Pratama,” serunya kegirangan.“Kak Dania mana, kak?” tanya Leo setelah tak melihat Dania.Raka ikut melirik ke sekelilingnya.
“Dania” panggilnya setelah mendapati gadis itu tengah melamun di belakang.
Dania segera membuyarkan lamunannya dan bergegas, “Iya... Iya tunggu,” jawabnya sambil berlari kecil.
Setelah menikmati jalan-jalan di taman safari selama dua jam setengah, mereka pun pulang. Jarak taman safari dari rumah Raka tidak terlalu jauh. Jadi tak butuh waktu yang lama untuk sampai di kediaman Raka.
Mereka memasuki kawasan rumah Raka. Dari jauh Dania dapat melihat dengan jelas bangunan bercat putih dengan gerbang yang cukup besar.
Setelah memarkirkan motornya, Dania dan Leo segera turun.
“Kenapa kita kerumahmu?” tanya Dania bingung sambil memberi helm ke Raka.
Raka menaruh helm itu dan berganti menggenggam tangan Leo. “Leo ingin bermain,” jawabnya sambil menggendikkan bahunya.
Dania membuka mulutnya sambil mengedipkan matanya cepat.
“Ayo masuk,” ajak Raka bersemangat.
Dania memperbaiki tas selempangnya kemudian mengekor di belakang Raka.
Setelah mengetok, Raka membuka pintu itu dengan wajah berseri. “Ayo Leo kita main,” ucapnya sembari menggandeng tangan Leo.
Langkahnya tiba-tiba saja berhenti ketika matanya menjelajar di ruangan itu.
Pratama dan Banar menoleh bersamaan.
Raka menajamkan netranya, “Apa yang anda lakukan disini?” tanyanya tajam.
Banar kemudian bangkit dari duduknya, “Lama tidak bertemu, tuan Raka” jawabnya sambil tersenyum.
Perlahan Raka melepas genggaman tangannya. Dania pun berdiri tepat di belakangnya. Gadis itu tampak bingung dengan situasi ini, Raka yang menahan langkahnya secara tiba-tiba.
Tuan? tanya Dania dalam hati.
“Raka... Kemari,” panggil Pratama.
Rahang Raka mengeras, “Papa, apa yang dia lakukan disini?” tanyanya.“Ah, duduk dulu kita bicarakan ini,” ucap Pratama mencoba menenangkan Raka yang nampak menahan emosinya.
“Nak Dania? Ayo masuk,” panggil Pratama ramah sambil berjalan menuju Dania.
Dania menunduk dengan canggung, “I-iya om,” jawabnya.
“Ajak Leo bermain di kamar Raka dulu,” pinta Pratama sembari berbisik membiarkan mereka masuk.
Dania yang kebingungan melirik Raka, dan mulai berjalan masuk dengan canggung. Dania melihat pria asing itu, ia mengenakan jas dan tampak sangat rapi.
“Raka,” panggil Pratama sekali lagi.
Mau tidak mau, Raka segera duduk.
“Bagaimana kabar anda, tuan Raka?” tanya Banar kembali membuka percakapan.
“Kabar saya sangat baik sejak majikan anda meninggalkan saya,” jawab Raka datar.
Raka merasakan perasaan yang begitu berkecamuk. “Nomornya kublokir, malah datang kesini” ucapnya dalam hati.
“Maafkan atas kedatangan saya yang tiba-tiba,” ucap Banar.
“Langsung saja jelaskan tujuan anda datang kemari,” sahut Raka yang tak suka basa basi.
Bahar tersenyum, “Anda tidak berubah,” jawabnya.
“Kakak” “Kakak” “KAKAK” panggil Leo untuk ketiga kalinya sembari menggoyangkan lengan Dania. “Iya kenapa?” “Leo mau serang Dinosaurusnya, kakak kok malah bengong sih?” protes anak itu. Dania menggaruk kepalanya, “Ah... Iya, maaf maaf hehe.” jawabnya cengengesan. Bibir Leo mengerucut, menampakkan ekspresi cemberut karena kakaknya yang sedari tadi bengong sambil menggoyangkan mainan dinosaurus yang dipegangnya dengan asal. Kejadian di ruang tamu tadi adalah penyebab gadis itu melamun. Dia terus memikirkan situasi apa yang sedang terjadi. Mengira-ngira siapa pria berjas yang tengah duduk berhadapan dengan ayah Raka. Itu pertama kalinya ia melihat pria itu. Dari penampilannya, ia tampak sudah tua. Itu karena beberapa helai rambut putih yang tertangkap mata Dania saat melewatinya. Hening, begitulah situasi di ruang tamu beberapa saat setelah Raka duduk. “Maafkan atas kedatangan saya ya
Aku kembali menegadah setelah mengucapkan terimakasih. Keadaan ini tidaklah canggung, hanya saja ada rasa aneh yang tidak aku tahu pasti itu apa.“Raka, kau pandai mengepang rambut?”“Apa itu?”Aku membulatkan kedua mataku, “Kau tidak tahu apa itu?” tanyaku tak percaya.Raka mengangguk pelan. “Kenapa? Kau mau dikepang?”Aku menggeleng cepat, “Tidak, nanti rambutku berantakan karenamu.” tolakku.“Yasudah.”Suasana diantara kami menjadi hening kemudian. Aku menoleh saat mendengar Raka bergerak. Ia memilih berbaring, menjadikan kedua lengannya sebagai pengalas kepala.Tidak ada percakapan yang terjadi diantara kami. Ku pandangi wajahnya yang tampak tenang dengan kedua mata yang terpejam.Aku menajamkan netraku, memperhatikan setiap detail wajahnya. Aku tidak melihat tanda-tanda kegundahan ataupun kemarahan disana.
Dalam keadaan setengah tidak percaya, aku menatap lelaki itu. Hembusan angin dan rinai hujan yang semakin menderas membuat kakiku tidak bisa digerakkan.“T-tidak, ini pasti ilusi.” ucapku tak percaya sambil menggeleng pelan.Dengan sekuat tenaga, ku tarik kakiku mundur dan menjauh dari tempat itu.Sebelum berbalik pergi, dapat kulihat dia menahan langkahnya yang hendak menghampiriku.Aku berlari berlawanan dengan arah arus rintik hujan. Pedih, saat tak sengaja mengenai mataku. Dengan sedikit tergopoh-gopoh aku berlari berusaha menjauh dari rumah sakit.Dingin yang menusuk seakan memberi sinyal padaku untuk berhenti. Tidak untuk sekarang, aku akan berhenti jika merasa sudah cukup jauh dari rumah sakit.Kujadikan lenganku sebagai pelindung agar tetasan air ini tidak mengenai mataku. Aku hanya terus berlari tanpa tahu arah dan tujuanku kemana. Dengan n
Aku tiba di tempat kerja pukul enam lewat. Terlambat tujuh menit dari jam seharusnya. Bau aspal yang baru saja terkena air hujan menyapa penciumanku sesaat setelah turun dari motor. Sejenak kuedarkan pandanganku. Langit masih sama, berwarna abu tanpa awan putih. “Terimakasih ya,” kataku sambil memberikan helm ke Raka. Raka mengangguk kecil sebagai jawaban. “Rambutmu rapikan,” pintanya. Aku memegang-megang rambutku bermaksud merapikannya, “Iya nanti di dalam kurapikan, disini anginnya kencang hehe.” Aku hendak membuka jaket yang kupakai dan mengembalikannya namun, Raka tiba-tiba berucap. “Pakai saja,” ucapnya kemudian membuatku menghentikan gerakanku. Aku menggeleng, “Sudah sampai. Kau lebih membutuhkannya.” Kulanjutkan gerakanku yang tertunda. Kini jaket kulit berwarna hitam itu berada dalam genggamanku. Kusodorkan jaket itu ke pemiliknya
Aku sedang dalam perjalanan ke kampus sekarang. Hari semalam kulalui dengan kondisi tubuh yang mulai menurun. Saat bangun tubuhku terasa panas dingin, menggigil, pusing, dan indra penciumanku juga kurang membaik. Meskipun kondisiku kurang fit sekarang, aku memaksakan diri untuk masuk kuliah. Masa kuliah tidak bisa sesantai seperti saat SMA dimana tidak ada batasan untuk tidak mengikuti mata pelajaran atau hadir. Dan disinilah aku, berdiri menatap bangunan yang menjulang tinggi di hadapanku. Aku menoleh tak lama setelah Raka memanggilku. “Iya?” “Kenapa melamun disitu? Ayo masuk,” ajaknya. Aku pun berjalan tepat disampingnya. “Ah ... aku tidak bisa mencium dengan baik,” keluhku dengan hidung yang mampet. “Aku kesulitan bernafas,” lanjutku sembari mengendus-endus. “Semuanya terasa hampar.” rengekku. “Kayak pernah nyicip udara saja
Raka berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai satu. Ia terlihat tergesa dengan langkah yang cepat. Setelah mengambil barang yang telah membuatnya kembali, ia segera bergegas keluar. Dipakainya jaket kulit itu sembari membuat suara kecil yang timbul akibat gesekan alas sepatunya dengan lantai.Hingga langkahnya terhenti begitu saja setelah jemarinya berhasil membuat pintu itu terbuka. Ekspresi terkejut pun tak dapat ia sembunyikan saat matanya menangkap sosok yang tengah menghalangi jalannya.Lelaki itu tersenyum hangat, “Selamat sore Tuan Raka,” sapanya.“Pak Banar? Ada perlu apa lagi kembali?” tanya Raka terkejut.“Tujuan saya datang untuk menjemput anda,” jelas Banar.Dahi Raka berkerut bingung, “Menjemputku?”Banar mengangguk pelan, “Iya, Tuan Raka...,” Lelaki itu beralih menengok arloji d
Setelah perdebatannya dengan sang Ayah dan adanya kesepakatan yang terjadi, Raka segera bergegas ke tempat kerja Dania. Ia tidak memperdulikan Pratama yang mencegatnya pergi dengan cemas. Sungguh, lelaki itu takut jika hal yang tak diinginkan menimpa putranya. Pratama hanya bisa membuang nafas khawatir sembari menatap Raka yang membanting pintu dengan sedikit kasar. “Paman, kenapa kak Raka terlihat marah?” Sahutan tiba-tiba dari belakang membuat Pratama berbalik. “Leo? Ah tidak apa-apa, ayo main sama paman, ya?” jawab Pratama sedikit terkejut lalu mengajak Leo kembali ke dalam kamar. Pikiran Raka kini terfokus ke Dania. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Sesaat setelah sampai, Raka segera menatap ke arah cafe. Dari sisi kaca besar itu, ia dapat melihat Dania yang tengah mengantarkan pesanan pelanggan dengan senyuman yang tak pernah pudar dari bibirnya. Dengan nafas memburu dan langkah yang cepat, ia menerobos masuk. Segera ia m
“Aku berjanji.”Gadis itu tersenyum kecut masih dengan mata yang berair. “Jangan berjanji, yang aku perlu kau kembali dengan selamat.”“Ini m-mengejutkanku.”“Maafkan responku yang berlebihan,” kata Dania dengan senyum kikuk.“Padahal kau hanya pergi dalam hitungan hari, itu tidak lama—mungkin,” lanjutnya ragu.“Jujur aku kecewa padamu,” tutur gadis itu.“Dan ini benar-benar membuatku kaget.”“Kita bersahabat dari kecil tetapi keterbukaan di antara kita bagai pintu terantai besi yang kehilangan kunci,” ucapnya senduh.“Perpisahan macam apa ini?” tanyanya.Raka menghembuskan nafas, “Sekali lagi maaf,” ujarnya menyesal.Dania beralih membersihkan sisa-sisa air dipipinya. Mereka masih berdiri berhadapan satu sama lain. Hingga rintik hujan yang turun berhasil menyita perhatian mereka.
Dania terdiam di atas kursi roda dan tengah memandang dedaunan dari balik kaca jendela. Racun yang mengenai kakinya membuat kakinya tidak dapat bergerak selama 4 jam, ada rasa terbakar, dan rasa pedih. Raka yang baru saja membuka pintu segera memelankan gerakannya saat melihat gadis itu tengah termenung dengan posisi memunggunginya. Ia berjalan mendekat dengan sekantung cemilan yang baru saja ia beli dari supermarket. Segera ia menaruh kantung plastik itu di atas nakas dan menarik kursi untuk mendekat ke arah Dania. "Kau yang duduk sendiri?" tanyanya mendapat lirikan pelan dari gadis itu. Dania menggeleng, "Dibantu suster." Saat Dania kembali tenang dengan kedipan pelan ke arah jendela. Pemuda itu memandanginya, memperhatikan luka memar ataupun luka lainnya yang menyebar ke di tubuhnya. Terlebih tadi perawat menjelaskan kondisi tubuh gadis itu. "Kau lapar? Aku dari memberi beberapa cemi
Raka berjalan dengan langkah yang sedikit cepat. Pikirannya kini terfokus pada Dania. Ia berguman dan menggerutu bingung tentang mengapa gadis itu pergi ke fakultas itu. Untungnya Raka termasuk mahasiswa populer di universitas itu. "Sorry, lihat Dania nggak?" tanyanya pada segerombolan mahasiswa yang tengah bercakap.Sejenak mahasiswi menatap Raka heran dan kagum karena kedatangan Raka ke fakultas mereka. "Dania?" jawab salah seorang mahasiswa dengan wajah bingung. "Dania siapa?" tanyanya lagi.Raka terdiam sebentar. "Ah ... ini, tadi teman gue bilang katanya dia ke sini," jelasnya sambil menunjukkan foto Dania. Mahasiswa yang tengah ia tanyai itu memicingkan mata dan terlihat bimbang. Namun setelah beberapa saat mengamati foto itu ia akhirnya menggeleng. "Gue nggak tau, bro."Meskipun Raka begitu populer, tidak sama dengan Dania yang bagai mahasiswa yang tidak dikenal. Di fakultasnya saja ia jarang diketahui karena anaknya yang tertutup. "Gue tadi l
Orang misterius itu semakin mengangkat botol kaca yang berisi cairan yang bau. Semakin pelan ingin menuangkannya ke tubuh Dania dengan sengaja. Sementara gadis itu, dia terus memundurkan tubuhnya menjauh karena tidak mampu berdiri. Tanda adanya aba-aba, cairan itu pun mengenai Dania. Membuat gadis itu memekik kaget saat merasa tubuhnya disirami cairan kental dengan bau yang menyengat. Entah apa itu. Seketika gadis itu merasa mual, baunya benar-benar tidak menyenangkan. Dengan napas tersengal, gadis itu berusaha mendongak. "Apa yang kau mau?!" "Kau mati." Dania tersentak kaget. Suara perempuan itu terdengar dingin dan tajam. Tak lama, Perempuan itu menurunkan kain yang sedari tadi menutup setengah wajahnya. Juga melepas tudung kepala yang menyembunyikan rambutnya. "Haish ... Pakai ginian panas banget," ucapnya tak suka. Ia membuan
"Ini Baksonya," ucap bu kantin sesaat setelah meletakkan dua mangkuk bakso di depan Raka. "Terima kasih, Bu." Raka tersenyum ke arah wanita paruh baya itu dan dibalas senyum juga. Di depannya, telah tersaji dua mangkuk bakso. Satu tanpa lemak hanya ada kuah dan baksonya dan satu lagi bakso porsi lengkap. Aromanya menyerbak, membuat perut Raka sedikit meraung minta segera diisi. Selanjutnya, ia menunggu Dania datang. Ia menggerakkan kakinya sambil memainkan ponsel demi menghilangkan kebosanan. Jarinya bergerak menggesek layar ponselnya secara acak. Tak lupa ia akan mengedarkan pandangannya jaga-jaga Dania datang. Sudah lebih sepuluh menit ia menunggu namungadis itu tak kunjung datang. Raka masih bersikap biasa saja. Ia berpikir mungkin kegiatannya di toilet belum selesai. Sementara di tempat lain, "Raka!" gadis itu berteriak sambil terus berjalan.
Gadis itu bergeming, belum mengubah posisinya dari semalam. Entah sudah berapa lama ia memainkan jemari lentiknya dengan posisi kaki tertekuk. Matanya silih berganti menatap apa saja yang bisa ia jangkau. Terkadang, ia akan menatap langit-langit atau hanya sekadar menatap pintu kamar jaga-jaga jika ada yang membukanya. Ia bahkan belum tidur atau hanya memejamkan mata. Dania terlalu takut untuk tidur. Ia takut jika ia terlelap, ia tidak bisa bertemu dengan Raka lagi. Tak hanya itu, kegundahan pun menjadi penyokong rasa takutnya. Perasaan yang bertanggung jawab atas sayunya mata gadis itu. Tok ... tok Dania memalingkan kepalanya. Mata kantuknya membulat pelan. “Raka,” lirihnya. Ada perasaan lega terbesit di hati gadis itu saat melihat orang yang telah membuatnya terjaga semalaman kini berdiri dihadapannya. Disamping itu, dirinya heran karena Raka yang tiba-tiba datang disaat l
Setelah memarkirkan motornya, Raka tidak langsung masuk. Perasaan yang membuat hatinya gamang dan resah berhasil menahannya. Membuatnya memilih bersandar pada motor yang telah disimpannya. Ia menghela nafas berat. Pening, kepalanya terasa berdenyut ringan. Hinggah suara deruh halus dari mesin mobil yang berhenti membuat indra pendengarannya menajam. Siluet hitam yang perlahan terlihat jelas membuat kepalanya tertoleh, mencuri perhatiannya. Raka berdecak kesal saat tahu siapa pemilik siluet hitam itu. Dengan keterpaksaan, Raka menghampirinya. Tidak peduli penampilannya yang kacau. Wajah datarnya menjadi curi pandang pertama lelaki itu. Banar terlihat terkejut saat melihat baju basah dan rambut berantakan remaja itu. Dengan terbata ia berucap, “Tuan, A-pa yang terjadi?” Lelaki itu terheran. Diam, itu adalah jawaban dari lawan bicaranya. Mengerti akan hal itu, lelaki itu berdehem kemudian kembali f
“Aku berjanji.”Gadis itu tersenyum kecut masih dengan mata yang berair. “Jangan berjanji, yang aku perlu kau kembali dengan selamat.”“Ini m-mengejutkanku.”“Maafkan responku yang berlebihan,” kata Dania dengan senyum kikuk.“Padahal kau hanya pergi dalam hitungan hari, itu tidak lama—mungkin,” lanjutnya ragu.“Jujur aku kecewa padamu,” tutur gadis itu.“Dan ini benar-benar membuatku kaget.”“Kita bersahabat dari kecil tetapi keterbukaan di antara kita bagai pintu terantai besi yang kehilangan kunci,” ucapnya senduh.“Perpisahan macam apa ini?” tanyanya.Raka menghembuskan nafas, “Sekali lagi maaf,” ujarnya menyesal.Dania beralih membersihkan sisa-sisa air dipipinya. Mereka masih berdiri berhadapan satu sama lain. Hingga rintik hujan yang turun berhasil menyita perhatian mereka.
Setelah perdebatannya dengan sang Ayah dan adanya kesepakatan yang terjadi, Raka segera bergegas ke tempat kerja Dania. Ia tidak memperdulikan Pratama yang mencegatnya pergi dengan cemas. Sungguh, lelaki itu takut jika hal yang tak diinginkan menimpa putranya. Pratama hanya bisa membuang nafas khawatir sembari menatap Raka yang membanting pintu dengan sedikit kasar. “Paman, kenapa kak Raka terlihat marah?” Sahutan tiba-tiba dari belakang membuat Pratama berbalik. “Leo? Ah tidak apa-apa, ayo main sama paman, ya?” jawab Pratama sedikit terkejut lalu mengajak Leo kembali ke dalam kamar. Pikiran Raka kini terfokus ke Dania. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Sesaat setelah sampai, Raka segera menatap ke arah cafe. Dari sisi kaca besar itu, ia dapat melihat Dania yang tengah mengantarkan pesanan pelanggan dengan senyuman yang tak pernah pudar dari bibirnya. Dengan nafas memburu dan langkah yang cepat, ia menerobos masuk. Segera ia m
Raka berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai satu. Ia terlihat tergesa dengan langkah yang cepat. Setelah mengambil barang yang telah membuatnya kembali, ia segera bergegas keluar. Dipakainya jaket kulit itu sembari membuat suara kecil yang timbul akibat gesekan alas sepatunya dengan lantai.Hingga langkahnya terhenti begitu saja setelah jemarinya berhasil membuat pintu itu terbuka. Ekspresi terkejut pun tak dapat ia sembunyikan saat matanya menangkap sosok yang tengah menghalangi jalannya.Lelaki itu tersenyum hangat, “Selamat sore Tuan Raka,” sapanya.“Pak Banar? Ada perlu apa lagi kembali?” tanya Raka terkejut.“Tujuan saya datang untuk menjemput anda,” jelas Banar.Dahi Raka berkerut bingung, “Menjemputku?”Banar mengangguk pelan, “Iya, Tuan Raka...,” Lelaki itu beralih menengok arloji d