Dania terdiam dalam duduknya setelah bangun dari tidur. Gadis itu tengah larut dalam lamunannya memandangi sisa- sisa air yang menempel pada jendela setelah hujan semalam. Langit pun masih tampak murung, tidak secerah kemarin. Dia beralih menatap tubuh mungil Leo yang meringkuk dibalik selimut. Gadis itu masih mengumpulkan kesadarannya. Kamar itu terasa hampa baginya, hanya bunyi peralatan rumah sakit yang terdengar. Bunyi peralatan yang menempel pada tubuh ibunya.
Tak lama ia dikejutkan oleh kotak hitam yang ia letakkan di atas nakas karena tiba-tiba berbunyi singkat. Dania menoleh sebentar, tak ada niat untuk membaca pesan yang masuk. Dia kemudian mencoba untuk tertidur kembali. Memejamkan matanya, bersadar pada sofa dengan menekuk sedikit lututnya. Namun, ponselnya kembali berbunyi. Ponselnya terus berbunyi untuk beberapa detik kemudian. Membuat gadis itu dengan malas berdiri dari duduknya untuk mengambil ponsel itu. Dania menggerutu dalam hati, mengumpat kesal pada orang yang telah mengiriminya pesan beruntun.
Ditekannya ponsel itu, membuat foto diri yang ia jadikan sebagai poster layar kunci terlihat. Bahkan ponselnya masih berbunyi setelah beberapa saat berada dalam genggaman Dania. Dania memandangi notif pada ponselnya yang terus masuk, dengan pesan yang sama.
“Apa yang dia lakukan sih?” tanyanya sendiri kebingungan setelah membaca pesan singkat tersebut. Pesan yang sama yang hanya berisikan "woi". Langsung saja Dania membuka aplikasi chatting itu dan mulai mengetik pesan yang akan dikirim.
Dania: apa? tumben spam.
Tak lama ia kembali menerima pesan.
Raka: Kenapa tidak masuk kampus?
Cukup lama Dania terdiam. Memilih alasan yang akan ia pakai. Tak lama, jarinya pun kembali berkutik.
Dania: tidak enak badan, jadi tidak masuk hehe.
Gadis itu tampak menggerakkan jemarinya berharap Raka akan percaya dengan pesan yang dia kirim.
Raka: Kau sakit ??
Dania: hanya tidak enak badan dan sepertinya demam.
Cukup lama hingga Dania menerima pesan balasan dari Raka.
Raka: pulang nanti aku akan mampir
Dania sontak membulatkan matanya setelah membaca pesan dari Raka. Baru saja ia akan membalas pesan tersebut, tiba-tiba saja terdengar ketukan dari pintu. Dania pun segera meletakkan ponselnya asal dan segera membuka pintu itu.
“Selamat pagi mbak,” sapa seorang perempuan muda dengan senyumnya yang ramah.
“Pagi sus,” jawab Dania dengan merekahkan senyum.
Dia pun segera mempersilahkan perawat itu untuk masuk. Perawat itu tampak membawa sebuah map dan bersiap untuk memeriksa kondisi ibu Dania. Dia berjalan mendekat ke arah ranjang diikuti oleh Dania yang nampak mengekor dibelakangnya. Dania tampak tertegun melihat perawat itu melakukan tugasnya.
“Sus, gimana keadaan ibu?” tanya Dania.
Perawat yang tengah menulis hasil pemeriksaannya pun menoleh setelah selesai. “Semakin hari membaik, doakan semoga ibu kamu bisa cepat sadar ya,” jawabnya dengan sedikit tersenyum.
Dania mengangguk, “Em, gitu ya sus. Makasih ya sus,” ucap gadis itu dengan senyum lebar.
Perawat itu mengangguk dan tersenyum simpul. “Saya tinggal dulu ya,” pamitnya.
Hari semakin siang. Teriknya matahari membuat kota itu mejadi panas. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Satu persatu anak mulai keluar dari gerbang sekolah. Anak-anak yang baru saja keluar nampak senang. Beberapa anak berlari kegirangan menghampiri orangtua mereka yang tengah menunggu di seberang gerbang. Disambut oleh genggaman tangan yang hangat dan senyuman yang merekah.
Leo memperhatikan interaksi yang terjadi tak jauh dari depan matanya. Seorang anak yang disambut bahagia oleh ayahnya. Mereka tampak bercerita sambil bergandengan tangan. Secara tak sadar senyuman terukir di wajahnya yang mungil. Keadaan yang sangat ingin ia rasakan. Dia sedang berdiri di ujung gerbang sambil menenteng ranselnya. Memperhatikan anak-anak yang mulai meninggalkan sekolah itu. Meninggalkannya seorang diri. Tanpa rasa lelah Leo berdiri masih dengan menenteng ranselnya.
“Leo? Kenapa belum pulang?”
Leo menoleh. “Leo masih nunggu jemputan Bu,” jawabnya pada perempuan yang masih terlihat muda.
“Siapa nak? Ayah atau Ibu yang jemput ? Sudah terlalu siang begini,” ucap guru itu kemudian.
Leo tampak terdiam. Memperhatikan lamat-lamat mata bu guru yang tengah menatapnya iba. Kemudian, dia tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi sambil menggeleng pelan.
Guru itu nampak kebingungan. “ Leo Pulang sama ibu saja ya?” ajak guru itu.
“Tidak usah Bu, Leo tunggu disini saja,” tolak anak itu.
Sekolah semakin sepi. “Kalau begitu, Ibu temani Leo disini ya. Ayo duduk disana nak,” ucapnya. Tak tega melihat anak sekecil itu berdiri di bawah teriknya matahari, perempuan muda itu pun merangkul Leo dan mulai membawanya ke dalam post satpam untuk duduk.
Mereka baru saja akan memasuki post satpam kalau saja sebuah motor tak berhenti di depan gerbang. Membuat Mereka berdua sontak berbalik. Leo menajamkan netranya, memicingkan matanya kepada orang yang tengah membuka helmnya itu. Sesaat kemudian, ia nampak kegirangan. “Kak Raka!” sahutnya sambil berlari menghampiri Raka sesaat ia turun dari motornya.
Raka langsung saja menyambut tubuh mungil Leo dengan memeluknya. “Maaf kakak lama, tadi macet,” jelas Raka tak enak hati.
Mata anak itu tampak berbinar, tampangnya yang polos membuat Raka mengacak rambut anak itu dengan gemas. “Ayo pulang,” pintahnya kemudian. Leo mengangguk kegirangan.
“Eh... tunggu dulu, Leo mau pamit sama ibu guru,” ucap Leo sambil berbalik. Dari jauh, guru muda itu tampak sedang memperhatikan Raka dengan seksama. Ia pun kembali berlari kecil menghampiri guru muda itu.
“Ibu, Leo pamit ya, makasih sudah nemenin Leo,” pamitnya sembari mencium tangan gurunya.
Guru muda itu tersenyum simpul. “Iya nak... hati-hati,” jawabnya Ramah.
Setelah perpisahan singkat itu mereka pun segera meninggalkan sekolah itu. Tak lupa Raka yang tersenyum simpul sambil membungkuk kecil sebagai tanda pamit.
Dengan satu hentakan, Raka berhasil membuat mesin motornya menyala. “Pegangan, kita akan segera berangkat,” ucap Raka dengan suara dibuat-buat layaknya anak kecil.
“Ayo!”
Mendengar hal itu, Leo langsung saja mengeratkan pelukannya di pingggang Raka sambil menyeringai kesenangan.
Di salah satu sudut ruangan, seorang gadis muda nampak fokus pada kertas yang baru saja ia penuhi dengan coretan indah. Alisnya saling bertautan dengan mimik yang nampak serius. Netranya pun menajam memperhatikan setiap detail pada gambarnya itu. Sebuah gambar wajah yang tercipta dari coretan bolpoin.
Setelah menebalkan beberapa detail, ia pun memandang karyanya itu. Tak jarang, ia akan bersenandung mengikuti lagu yang ia setel di ponselnya beberapa waktu lalu. “Bu... gambarku sudah jadi, bagaimana bagus tidak?” tanyanya sambil membalik sisi kertas itu. Memperlihatkannya pada perempuan yang terbaring di depannya dan sama sekali tak melakukan pergerakan.
“Kapan-kapan aku akan gambar Ibu,” gadis itu bermonolog sendiri, dengan ekspresi yang berbinar-binar. Terlihat begitu senang memperlihatkan karyanya.
Samar-samar Dania mulai mendengar langkah kaki dan suara Leo yang mendekat. Dengan cepat gadis itu segera menyembunyikan gambarnya di salah satu lembaran buku dengan asal. Kemudian, ia meletakkan buku tersebut disampingnya. Dania duduk menyilang sambil menegakkan tubuhnya.
Pintu itu mulai terbuka dan langsung saja netranya bertemu dengan Raka. “Hai,” sapa gadis itu sambil melambaikan tangannya pelan.
Namun Raka tak menggubrisnya. Ia langsung masuk sesekali berbalik memperhatikan Leo yang mengekor di belakangnya. Dengan canggung, Dania memudarkan senyumannya sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Kakak, aku pulang!”
“Hai anak pintar,” jawab Dania dengan wajah berseri-seri.
“Aduh... Leo mau pipis,” Leo dengan cepat berlari menuju ke kamar mandi di kamar itu.
“Cepat cepat,” sahut Dania belagak bercanda.
Tak lama setelah Leo masuk ke kamar mandi, Raka duduk di samping gadis itu. Ia tampak memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan.
“Makasih Ka udah jemput Leo,” sahut Dania sambil menoleh.
Raka tampak mengangguk tanpa menoleh kearah gadis itu.
Beberapa detik kemudian semuanya nampak hening setelah Dania mematikan musik di ponselnya. Entah mengapa rasa canggung tiba-tiba menggerogoti hatinya.
“Kau sakit?” tanya Raka tiba-tiba.
“Sepertinya,” ucap Dania yang mulai melemaskan tubuhnya.
Raka menoleh sambil bersandar pada sofa itu. Raka menatap gadis itu, “Bohong,” ucapnya datar.
Dania nampak mengerutkan dahinya. “N-nggak... aku beneran sakit,” jawabnya sedikit gelagapan. Dania mulai mengecek suhu tubuhnya dengan menempelkan telapak tangannya di kening.
Raka berdecak dan mulai mendekatkan wajahnya ke Dania. Raka mendekatkan wajahnya hingga Dania dapat merasakan hembusan nafas menyentuh kulitnya. Membuat gadis itu salah tingkah karenanya.
“Kau...,” ucap raka dengan tatapan tajam.
“Kau apa?” tanya Dania yang ikut memundurkan kepalanya.
“Kau...,”
“Apa?” jawab Dania yang mulai salah tingkah.
Raka berhenti, membiarkan mata mereka bertemu. Dia menatap kedua netra gadis itu lekat-lekat. Kemudian dia memperhatikan pipi Dania yang mulai memerah. Ia tertawa kecil melihat tingkah gadis itu.
“Tidak panas,” ucapnya setelah menempelkan telapak tangannya ke kening Dania.
Dania terkejut dan mengedipkan matanya cepat. “S-sudah sembuh,” jawabnya asal.
Raka memundurkan tubuhnya, membuat detak jantung Dania mulai berdetak dengan normal.
“Alasan saja,” Raka berdecak.
“Nggak, tadi emang beneran sakit,” elak Dania.
“Iya-iya,” Raka mengiyakan.
“Hari ini kau kerja?” tanyanya kemudian.
Dania mengangguk pelan, “Iya tentu saja,” jawabnya.
“Sore ini belum ada agenda bukan?”
Dania tampak berfikir, “Tidak ada, aku berangkat seperti biasa pukul enam sore,” jawabnya kemudian.
Raka mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kalau begitu, temani aku ke suatu tempat,” ujar Raka.
Aku menoleh, “Kemana?” tanya gadis itu penasaran.
“Nanti kuberi tahu,” jawabnya singkat.
“Berdua saja, Leo biar main ke rumah,” sahut Raka lagi.
“Apa tidak apa-apa?” tanya Dania ragu.
Raka menggeleng, “Banyak yang sayang Leo disana, kau tahu Ayahku bahkan menyuruh ia tinggal disana,” jelas Raka cepat.
Aku mengganguk pelan, “Baiklah,” jawabnya.
Tak lama, ponsel Raka berdering. Dengan cepat Raka mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja. Seketika juga ekspresi diwajahnya berubah, ia tampak tidak nyaman. Raka pun segera keluar untuk menerima telepon itu dengan buru-buru.
“Kayaknya penting banget,” ucap Dania sambil mengikuti arah pandangnya ke Raka. Gadis itu merasa heran, tak biasanya Raka mengangkat telepon seperti itu. Gadis itu merasa, ada yang disembunyikan Raka darinya.
“Dania, tolong antarkan ini ke meja nomor tujuh ya,” seru Rani sembari meletakkan secangkir kopi hasil racikannya.Dengan cepat namun tak tergesa, Dania mengambil pesanan itu. Kemudian bergegas mengantarkannya ke pelanggan. Matanya bergerak mencari nomor meja tujuh. Dengan segera ia melangkah setelah kedua netranya menangkap nomor meja itu.Suasana cafe hari ini cukup ramai. Keringat yang membasahi anak rambut gadis itu tampak mengkilap terkena sinar samar matahari. “Satu cangkir kopi tubruk,” ucapnya ramah sembari meletakkan kopi yang sedari tadi berada di dalam nampan itu ke atas meja. Gadis itu sedikit membungkuk sembari tersenyum kecil sebelum berpaling.Setelah mengantarkan pesanan, ia segera bergegas kembali membantu Rani. Rani menoleh singkat, “Sepertinya suasana hatimu hari ini sedang baik.”Dania tampak mengambil nafas sambil berpindah dari satu tempat ke tempat
Langkah kaki terdengar menggema di lorong rumah yang cukup megah itu. Musik clasic pun tampak terdengar bebas. Pria berjas yang cukup tinggi berjalan tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Pikirannya fokus pada satu ruangan dengan pintu besar yang letaknya berada di ujung lorong.Orang-orang yang berdiri di sisi ruangan membungkuk saat pria itu melewati mereka. Saat sampai di depan pintu, ia mengetuk tiga kali.Hingga, suara lemah lembut mempersilahkan ia untuk masuk.Ia melangkah dengan pelan dan membungkuk sebelum mulai mengeluarkan suara."Dia menolak madam,"Hembusan nafas terdengar sangat jelas dari balik kursi."Apa yang ia katakan?""Dia menolak untuk datang," jelas pria itu."Apa yang engkau katakan?""Saya mengatakan seperti yang madam perintahkan."Keheningan terjadi untuk beberapa detik, hingga perempuan itu berdiri dari kursinya dan berbalik."Biarkan saya yang berbicara."
Ini sudah ketiga kalinya Dania membasuh wajahnya dengan air. Sejenak ia menatap pantulan dirinya pada cermin didepannya. Menatap kedua matanya sendiri. Jantungnya berdegup begitu cepat, serasa sebentar lagi jantungnya akan melompat keluar. “Kau lemah.” ucapnya sambil menatap pantulannya. Kini make up tipisnya telah hilang karena air, menyisahkan lipstik yang masih membuat bibirnya berwarna pink kemerahan. Namun, itu tidak menghapus kecantikan gadis itu. Apa yang telah Raka lakukan beberapa menit yang lalu ternyata cukup membuatnya takut. Rasa takut yang aneh, kepanikan yang timbul begitu saja. Dania memutuskan untuk keluar dari toilet setelah cukup lama berdiam diri di sana. Gadis itu terkejut saat melihat sosok yang tengah berdiri sesaat setelah ia membuka pintu. Dania menatap mata yang menatapnya silih berganti. Gadis itu mencoba melewati celah dan mengabaikannya. “Wets, hati-hati dong,” Ceri langsung menghadang jalan gad
Pria itu mendaratkan kakinya di Indonesia setelah penerbangan dengan durasi sejam lebih. Ia membuka kacamata hitamnya setelah turun dari pesawat pribadi. Tanpa membawa tas atau pun barang, pria itu segera bergegas menuju tempat tujuannya. “Yey ke tempat gajah!” seru Leo sambil melompat kegirangan. “Leo, hati-hati nanti jatuh!” panggil Dania dengan sedikit berteriak. Dia menggeleng pelan sambil memasukkan kacang ke dalam mulutnya. Raka tampak memperhatikan Leo yang melompat-lompat di depannya. Mereka bertiga sedang berada di taman safari. Hari ini hari libur, makanya mereka bertiga berjalan-jalan sebentar. “Kakak.. kakak.. lihat itu gajahnya!” seru Leo sambil menunjuk gajah yang mulai tertangkap penglihatannya. Dania mengangguk-angguk sambil tertawa kecil melihat adiknya yang begitu bahagia. Terimakasih Raka. “Aku bosan,” sahut Raka tiba-tiba. Dania menoleh, “Kita baru tiba lima belas menit yang
“Kakak” “Kakak” “KAKAK” panggil Leo untuk ketiga kalinya sembari menggoyangkan lengan Dania. “Iya kenapa?” “Leo mau serang Dinosaurusnya, kakak kok malah bengong sih?” protes anak itu. Dania menggaruk kepalanya, “Ah... Iya, maaf maaf hehe.” jawabnya cengengesan. Bibir Leo mengerucut, menampakkan ekspresi cemberut karena kakaknya yang sedari tadi bengong sambil menggoyangkan mainan dinosaurus yang dipegangnya dengan asal. Kejadian di ruang tamu tadi adalah penyebab gadis itu melamun. Dia terus memikirkan situasi apa yang sedang terjadi. Mengira-ngira siapa pria berjas yang tengah duduk berhadapan dengan ayah Raka. Itu pertama kalinya ia melihat pria itu. Dari penampilannya, ia tampak sudah tua. Itu karena beberapa helai rambut putih yang tertangkap mata Dania saat melewatinya. Hening, begitulah situasi di ruang tamu beberapa saat setelah Raka duduk. “Maafkan atas kedatangan saya ya
Aku kembali menegadah setelah mengucapkan terimakasih. Keadaan ini tidaklah canggung, hanya saja ada rasa aneh yang tidak aku tahu pasti itu apa.“Raka, kau pandai mengepang rambut?”“Apa itu?”Aku membulatkan kedua mataku, “Kau tidak tahu apa itu?” tanyaku tak percaya.Raka mengangguk pelan. “Kenapa? Kau mau dikepang?”Aku menggeleng cepat, “Tidak, nanti rambutku berantakan karenamu.” tolakku.“Yasudah.”Suasana diantara kami menjadi hening kemudian. Aku menoleh saat mendengar Raka bergerak. Ia memilih berbaring, menjadikan kedua lengannya sebagai pengalas kepala.Tidak ada percakapan yang terjadi diantara kami. Ku pandangi wajahnya yang tampak tenang dengan kedua mata yang terpejam.Aku menajamkan netraku, memperhatikan setiap detail wajahnya. Aku tidak melihat tanda-tanda kegundahan ataupun kemarahan disana.
Dalam keadaan setengah tidak percaya, aku menatap lelaki itu. Hembusan angin dan rinai hujan yang semakin menderas membuat kakiku tidak bisa digerakkan.“T-tidak, ini pasti ilusi.” ucapku tak percaya sambil menggeleng pelan.Dengan sekuat tenaga, ku tarik kakiku mundur dan menjauh dari tempat itu.Sebelum berbalik pergi, dapat kulihat dia menahan langkahnya yang hendak menghampiriku.Aku berlari berlawanan dengan arah arus rintik hujan. Pedih, saat tak sengaja mengenai mataku. Dengan sedikit tergopoh-gopoh aku berlari berusaha menjauh dari rumah sakit.Dingin yang menusuk seakan memberi sinyal padaku untuk berhenti. Tidak untuk sekarang, aku akan berhenti jika merasa sudah cukup jauh dari rumah sakit.Kujadikan lenganku sebagai pelindung agar tetasan air ini tidak mengenai mataku. Aku hanya terus berlari tanpa tahu arah dan tujuanku kemana. Dengan n
Aku tiba di tempat kerja pukul enam lewat. Terlambat tujuh menit dari jam seharusnya. Bau aspal yang baru saja terkena air hujan menyapa penciumanku sesaat setelah turun dari motor. Sejenak kuedarkan pandanganku. Langit masih sama, berwarna abu tanpa awan putih. “Terimakasih ya,” kataku sambil memberikan helm ke Raka. Raka mengangguk kecil sebagai jawaban. “Rambutmu rapikan,” pintanya. Aku memegang-megang rambutku bermaksud merapikannya, “Iya nanti di dalam kurapikan, disini anginnya kencang hehe.” Aku hendak membuka jaket yang kupakai dan mengembalikannya namun, Raka tiba-tiba berucap. “Pakai saja,” ucapnya kemudian membuatku menghentikan gerakanku. Aku menggeleng, “Sudah sampai. Kau lebih membutuhkannya.” Kulanjutkan gerakanku yang tertunda. Kini jaket kulit berwarna hitam itu berada dalam genggamanku. Kusodorkan jaket itu ke pemiliknya
Dania terdiam di atas kursi roda dan tengah memandang dedaunan dari balik kaca jendela. Racun yang mengenai kakinya membuat kakinya tidak dapat bergerak selama 4 jam, ada rasa terbakar, dan rasa pedih. Raka yang baru saja membuka pintu segera memelankan gerakannya saat melihat gadis itu tengah termenung dengan posisi memunggunginya. Ia berjalan mendekat dengan sekantung cemilan yang baru saja ia beli dari supermarket. Segera ia menaruh kantung plastik itu di atas nakas dan menarik kursi untuk mendekat ke arah Dania. "Kau yang duduk sendiri?" tanyanya mendapat lirikan pelan dari gadis itu. Dania menggeleng, "Dibantu suster." Saat Dania kembali tenang dengan kedipan pelan ke arah jendela. Pemuda itu memandanginya, memperhatikan luka memar ataupun luka lainnya yang menyebar ke di tubuhnya. Terlebih tadi perawat menjelaskan kondisi tubuh gadis itu. "Kau lapar? Aku dari memberi beberapa cemi
Raka berjalan dengan langkah yang sedikit cepat. Pikirannya kini terfokus pada Dania. Ia berguman dan menggerutu bingung tentang mengapa gadis itu pergi ke fakultas itu. Untungnya Raka termasuk mahasiswa populer di universitas itu. "Sorry, lihat Dania nggak?" tanyanya pada segerombolan mahasiswa yang tengah bercakap.Sejenak mahasiswi menatap Raka heran dan kagum karena kedatangan Raka ke fakultas mereka. "Dania?" jawab salah seorang mahasiswa dengan wajah bingung. "Dania siapa?" tanyanya lagi.Raka terdiam sebentar. "Ah ... ini, tadi teman gue bilang katanya dia ke sini," jelasnya sambil menunjukkan foto Dania. Mahasiswa yang tengah ia tanyai itu memicingkan mata dan terlihat bimbang. Namun setelah beberapa saat mengamati foto itu ia akhirnya menggeleng. "Gue nggak tau, bro."Meskipun Raka begitu populer, tidak sama dengan Dania yang bagai mahasiswa yang tidak dikenal. Di fakultasnya saja ia jarang diketahui karena anaknya yang tertutup. "Gue tadi l
Orang misterius itu semakin mengangkat botol kaca yang berisi cairan yang bau. Semakin pelan ingin menuangkannya ke tubuh Dania dengan sengaja. Sementara gadis itu, dia terus memundurkan tubuhnya menjauh karena tidak mampu berdiri. Tanda adanya aba-aba, cairan itu pun mengenai Dania. Membuat gadis itu memekik kaget saat merasa tubuhnya disirami cairan kental dengan bau yang menyengat. Entah apa itu. Seketika gadis itu merasa mual, baunya benar-benar tidak menyenangkan. Dengan napas tersengal, gadis itu berusaha mendongak. "Apa yang kau mau?!" "Kau mati." Dania tersentak kaget. Suara perempuan itu terdengar dingin dan tajam. Tak lama, Perempuan itu menurunkan kain yang sedari tadi menutup setengah wajahnya. Juga melepas tudung kepala yang menyembunyikan rambutnya. "Haish ... Pakai ginian panas banget," ucapnya tak suka. Ia membuan
"Ini Baksonya," ucap bu kantin sesaat setelah meletakkan dua mangkuk bakso di depan Raka. "Terima kasih, Bu." Raka tersenyum ke arah wanita paruh baya itu dan dibalas senyum juga. Di depannya, telah tersaji dua mangkuk bakso. Satu tanpa lemak hanya ada kuah dan baksonya dan satu lagi bakso porsi lengkap. Aromanya menyerbak, membuat perut Raka sedikit meraung minta segera diisi. Selanjutnya, ia menunggu Dania datang. Ia menggerakkan kakinya sambil memainkan ponsel demi menghilangkan kebosanan. Jarinya bergerak menggesek layar ponselnya secara acak. Tak lupa ia akan mengedarkan pandangannya jaga-jaga Dania datang. Sudah lebih sepuluh menit ia menunggu namungadis itu tak kunjung datang. Raka masih bersikap biasa saja. Ia berpikir mungkin kegiatannya di toilet belum selesai. Sementara di tempat lain, "Raka!" gadis itu berteriak sambil terus berjalan.
Gadis itu bergeming, belum mengubah posisinya dari semalam. Entah sudah berapa lama ia memainkan jemari lentiknya dengan posisi kaki tertekuk. Matanya silih berganti menatap apa saja yang bisa ia jangkau. Terkadang, ia akan menatap langit-langit atau hanya sekadar menatap pintu kamar jaga-jaga jika ada yang membukanya. Ia bahkan belum tidur atau hanya memejamkan mata. Dania terlalu takut untuk tidur. Ia takut jika ia terlelap, ia tidak bisa bertemu dengan Raka lagi. Tak hanya itu, kegundahan pun menjadi penyokong rasa takutnya. Perasaan yang bertanggung jawab atas sayunya mata gadis itu. Tok ... tok Dania memalingkan kepalanya. Mata kantuknya membulat pelan. “Raka,” lirihnya. Ada perasaan lega terbesit di hati gadis itu saat melihat orang yang telah membuatnya terjaga semalaman kini berdiri dihadapannya. Disamping itu, dirinya heran karena Raka yang tiba-tiba datang disaat l
Setelah memarkirkan motornya, Raka tidak langsung masuk. Perasaan yang membuat hatinya gamang dan resah berhasil menahannya. Membuatnya memilih bersandar pada motor yang telah disimpannya. Ia menghela nafas berat. Pening, kepalanya terasa berdenyut ringan. Hinggah suara deruh halus dari mesin mobil yang berhenti membuat indra pendengarannya menajam. Siluet hitam yang perlahan terlihat jelas membuat kepalanya tertoleh, mencuri perhatiannya. Raka berdecak kesal saat tahu siapa pemilik siluet hitam itu. Dengan keterpaksaan, Raka menghampirinya. Tidak peduli penampilannya yang kacau. Wajah datarnya menjadi curi pandang pertama lelaki itu. Banar terlihat terkejut saat melihat baju basah dan rambut berantakan remaja itu. Dengan terbata ia berucap, “Tuan, A-pa yang terjadi?” Lelaki itu terheran. Diam, itu adalah jawaban dari lawan bicaranya. Mengerti akan hal itu, lelaki itu berdehem kemudian kembali f
“Aku berjanji.”Gadis itu tersenyum kecut masih dengan mata yang berair. “Jangan berjanji, yang aku perlu kau kembali dengan selamat.”“Ini m-mengejutkanku.”“Maafkan responku yang berlebihan,” kata Dania dengan senyum kikuk.“Padahal kau hanya pergi dalam hitungan hari, itu tidak lama—mungkin,” lanjutnya ragu.“Jujur aku kecewa padamu,” tutur gadis itu.“Dan ini benar-benar membuatku kaget.”“Kita bersahabat dari kecil tetapi keterbukaan di antara kita bagai pintu terantai besi yang kehilangan kunci,” ucapnya senduh.“Perpisahan macam apa ini?” tanyanya.Raka menghembuskan nafas, “Sekali lagi maaf,” ujarnya menyesal.Dania beralih membersihkan sisa-sisa air dipipinya. Mereka masih berdiri berhadapan satu sama lain. Hingga rintik hujan yang turun berhasil menyita perhatian mereka.
Setelah perdebatannya dengan sang Ayah dan adanya kesepakatan yang terjadi, Raka segera bergegas ke tempat kerja Dania. Ia tidak memperdulikan Pratama yang mencegatnya pergi dengan cemas. Sungguh, lelaki itu takut jika hal yang tak diinginkan menimpa putranya. Pratama hanya bisa membuang nafas khawatir sembari menatap Raka yang membanting pintu dengan sedikit kasar. “Paman, kenapa kak Raka terlihat marah?” Sahutan tiba-tiba dari belakang membuat Pratama berbalik. “Leo? Ah tidak apa-apa, ayo main sama paman, ya?” jawab Pratama sedikit terkejut lalu mengajak Leo kembali ke dalam kamar. Pikiran Raka kini terfokus ke Dania. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Sesaat setelah sampai, Raka segera menatap ke arah cafe. Dari sisi kaca besar itu, ia dapat melihat Dania yang tengah mengantarkan pesanan pelanggan dengan senyuman yang tak pernah pudar dari bibirnya. Dengan nafas memburu dan langkah yang cepat, ia menerobos masuk. Segera ia m
Raka berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai satu. Ia terlihat tergesa dengan langkah yang cepat. Setelah mengambil barang yang telah membuatnya kembali, ia segera bergegas keluar. Dipakainya jaket kulit itu sembari membuat suara kecil yang timbul akibat gesekan alas sepatunya dengan lantai.Hingga langkahnya terhenti begitu saja setelah jemarinya berhasil membuat pintu itu terbuka. Ekspresi terkejut pun tak dapat ia sembunyikan saat matanya menangkap sosok yang tengah menghalangi jalannya.Lelaki itu tersenyum hangat, “Selamat sore Tuan Raka,” sapanya.“Pak Banar? Ada perlu apa lagi kembali?” tanya Raka terkejut.“Tujuan saya datang untuk menjemput anda,” jelas Banar.Dahi Raka berkerut bingung, “Menjemputku?”Banar mengangguk pelan, “Iya, Tuan Raka...,” Lelaki itu beralih menengok arloji d