Share

BAB 2

Penulis: Fraghesia
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-15 10:20:58

"Dania!" 

seruhan itu refleks membuatku berbalik ke arah suara. Sial.

Kalau saja bukan karena bukuku yang tertinggal tadi, aku tidak  harus memutar arahku kembali ke kelas saat tiba di tempat parkir dan lagi, aku  tidak akan bertemu dengan pengganggu ini. Aku menatapnya malas, ingin sekali rasanya kuabaikan.

Seperti biasa dia selalu memasang wajah arrogannya. Dia melangkah pelan sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tak lupa pula dua gadis  yang kurasa menggantungkan hidup mereka padanya berdiri mensejajarkan langkahnya. 

Yah, siapa lagi kalau bukan Ceri dan teman-temannya. Gadis yang selalu menggangguku. Hal yang masih membuatku bingung hingga sekarang adalah aku tidak tahu alasan mengapa dia membenciku padahal, dulu aku terbilang dekat dengannya.

Dia mengibaskan rambutnya dan mulai menatapku meremehkan. Aku mengerutkan keningku dengan tatapan yang tak lepas dari gadis itu. Dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada sembari berdiri dengan sedikit mencodongkan tubuhnya.

Hidungku langsung saja disambut oleh wangi parfum yang menyengat. Bau parfum yang dulu sangat kusukai, wangi jasmine. Namun telah dikalahkan oleh wangi parfum yang Raka pakai. Perpaduan whiskey, cinnamon dan spicy yang memikat hatiku.

Gadis ini mulai memperhatikan penampilanku. “Aduh, mata gue sakit,” ujarnya sambil memegang matanya. Aku mengernyitkan dahi kebingungan. “kampus kita nggak cocok sama orang dengan penampilan babu kayak lo!” lanjutnya sambil menunjuk ku.

Apa yang salah dari penampilanku? memakai baju polos dengan luaran kemeja. Yah, memang sangat sederhana jika dibandingkan dengan pakaian yang ia kenakan. Baju yang kutebak dari brand ternama, dengan rok mini selutut. 

“Kenapa memperhatikan penampilanku?” jawabku memberanikan diri. 

“Dih, pede banget lo!” 

“cuman nggak enak aja ada babu kayak lo lagi jalan. Merusak pemandangan saja,” lanjutnya sambil memberikan tatapan jijik.

“Ew, nggak level banget,” ujarnya sambil memperlihatkan ekspresi mual.

Aku mencoba setenang mungkin, meskipun sangat ingin membalaskannya dengan amarah yang tertahan. Aku masih tidak mengerti, mengapa Ceri membenciku begitu saja. Dia gadis yang periang saat pertama kali mengenalnya, sangat berbeda dengan Ceri yang tengah kutatap sekarang.

Aku menarik nafas dan mulai berbicara. “Ceri... mengapa kau menjadi seperti ini?” ucapku sambil menatap matanya intens.

Dia tampak sedikit terkejut. Kemudian berdecak. “Kenapa? Nggak suka?” jawabnya sambil mengangkat sebelah alisnya.

“Apa alasanmu membenciku? Apa aku melakukan kesalahan padamu?” 

Ekspresinya mulai berubah, alisnya saling bertautan. Dia nampak kesal akan perkataanku itu sambil mengepal kedua tangannya.

“Karena lo pantas dibenci!” 

Aku sedikit terkejut mendengar jawabannya. Aku tahu pasti ada alasan lain. Kulihat dia menarik nafas untuk meredahkan kekesalannya dibantu oleh teman-temannya. Dia kembali mengibaskan rambutnya dan mulai menatapku sinis.

“Kemana bodyguardmu?” 

“Raka maksudmu?” tanyaku pura-pura bodoh.

Dia memutar bola matanya malas. “Yes stupid. Lo tau benar siapa yang gue maksud,” ujarnya meremehkan.

Aku mengendikkan bahuku. “Mana kutahu, aku kan bukan ibunya,” jawabku datar.

Gadis itu berdecak, “Cih. Lo emang bukan ibunya tapi, lo itu benalu buat dia!” cibirnya.

Aku tersentak mendengar perkataannya barusan. Perkataannya membuat hatiku sakit, merasa seolah-olah yang dikatakannya itu suatu kebenaran.

“Kok diam? Benarkan yang gue bilang?” tanyanya lagi setelah melihatku diam tak membalas.

Dia tertawa picik. Merasa menang membuatku bungkam. Orang seperti dia harus dihadapi dengan tenang, pikirku. Aku terdiam untuk beberapa detik. Aku menarik nafas berat. “Kalau tidak tahu apa-apa, diam saja” jawabku santai.

Gadis itu tercekat dengan mulut yang sedikit terbuka. Tanpa menunggu responnya, aku segera berbalik. Meninggalkan tempat itu saat merasa atmosfer disekelilingku mulai berubah. Aku mempercepat langkahku. Mengeratkan genggamanku pada tas yang kupegang.

“Lo itu nggak bisa apa-apa tanpa Raka!” sahutnya lantang.

Aku membeku. Diam mematung karena perkataannya itu. Aku merasa ucapannya itu bagai pisau yang baru saja menikam punggungku. Apa aku harus berbalik untuk membalasnya? Atau lari dari kenyataan seperti biasa? Aku tidak tahu. 

Jika pun ingin, aku tidak dapat menemukan kosakata yang tepat untuk berbicara. Otakku terasa berhenti bekerja. Rasa pesimis tentang hal itu mulai menyergap perasaanku. Aku kembali mengambil langkah dengan sedikit tersandung. 

“Cewe pembawa sial!” dia kembali berteriak. Namun aku tetap melangkah tanpa niat untuk berhenti. Mencoba tak menghiraukannya.

“Gadis benalu!” teriaknya lagi dengan lantang.

Aku mempercepat langkahku dengan sedikit tertunduk. Tempo langkahku semakin cepat, seakan diburu sesuatu. Detak jantungku mulai terasa cepat.

“Gadis benalu! Gadis benalu!” kedua temannya ikut meneriakiku.

Mereka terus berteriak padaku. Membuat dadaku terasa panas. Menyebutku sebagai gadis benalu hingga melihatku menghilang dari koridor. Aku terus melangkah dengan tempo yang cepat meskipun tak lagi mendengarkan teriakan mereka. Hingga, aku merasa oleng karena menabrak sesuatu dengan cukup keras.  Aku merasakan genggaman kuat pada lenganku dengan cepat. Menahan tubuhku yang hampir saja tersungkur ke lantai. 

“Kau kenapa?”

Aku mengangkat kepalaku. Itu Raka dengan dahinya yang mengerut bingung. Aku segera memperbaiki posisiku. Melangkah sedikit mundur dan memperbaiki rambutku. Aku menggeleng cepat dan memperbaiki gestur tubuhku. “Hanya pusing,” jawabku singkat.

Aku kembali tertunduk, tak berani memperlihatkan wajahku yang memalukan. Mataku yang mulai panas. Air mata yang tertahan. Aku terus memegang dahiku sambil menyelipkan rambutku ke belakang telinga sebagai pengalihan. Raka terdiam. Tak ada percakapan untuk beberapa detik.

Aku tahu saat ini dia sedang memandangku. Maka dari itu aku tetap menunduk. “Kau seperti habis kabur dari sesuatu,” katanya tiba-tiba membuatku sedikit tercengang. Seakan dia dapat membaca pikiranku.

“Kau seperti ketakutan,” 

Aku menggeleng. “Tidak, aku... hanya ingin ke tempat parkir. Tidak ingin membuatmu menunggu lama,” jelasku sedikit terbata-bata.

“Apa ada yang mengganggumu?” 

Aku tertegun. Mulutku terasa membisu. “Tidak ada, ayo kita pergi,” jawabku cepat. Aku hendak melangkah pergi namun Raka lebih dulu memegang tanganku. “Lihat aku,” ujarnya lirih. Mataku membulat, tak berkedip sedikit pun masih dengan posisi kepala sedikit tertunduk. Aku mulai kebingungan.

“Ayo pergi, aku harus bekerja,” seruku mencoba santai.

Aku kembali mengambil langkah namun, Raka kembali mencegatku. “Lihat aku,” ucapnya sekali lagi kini dengan nada sedikit dingin.

“Dania?” panggilnya setelah melihatku tak melakukan apapun. Dengan ragu, ku angkat kepalaku. Membiarkan dia melihat wajahku. Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, tak berani menatap matanya.

Dari ujung mataku, dapat kulihat Raka tengah menatapku. Sial, diberikan tatapan intens seperti itu membuatku ingin menatapnya balik. Raka menatapku dalam diam membuatku salah tingkah namun, dengan cepat aku membuat pengalihan.

“Raka, kau ada waktu hari ini tidak? Temani aku ke toko buku,” ucapku cepat sambil berpura-pura merogoh sesuatu di dalam tasku.

“Eh, perasaan ku taruh disini, kok tidak ada?” ucapku sambil menggaruk-garuk isi tasku. Seolah sedang mencari barang. Ku dengar Raka menghembuskan nafas. Aku refleks berhenti ketika dia memegang pucuk kepalaku. Kemudian memutarnya searah pandangannya. Membuat mata kami bertemu. 

Ekspresinya datar, itu yang dapat kusimpulkan saat melihatnya. “Pengalihan yang buruk, kau tidak ahli. Belajar lagi,” ucap Raka dengan datar.


“Sejak kapan kau suka membaca buku?” tanyanya kemudian. 


Aku tercekat mendengarnya. “Kau kenapa?” tanyanya dengan tatapan intimidasi.

Aku menarik langkah mundur dengan cepat, membuat tangannya tak lagi memegang pucuk kepalaku. “Kenapa apa? Aku baik-baik saja,” jawabku dengan susah payah menstabilkan suaraku. Dengan pipiku yang mulai memanas.

Raka berdecak pelan. “Topengmu rusak, kau tidak lihat ya?” ujarnya sambil mendongkak sedikit. Aku mengernyitkan dahi. Lagi-lagi membuatku tidak dapat berkutik. “Topeng apa? Topengku sangat bagus,” jawabku dengan lagak menyombongkan diri.

“Lalu, kenapa ada air mata dipipimu?” tanyanya kemudian. Aku merasa shock. Raka yang terlalu peka atau aku yang tidak pandai terlihat baik-baik saja? membuat jantungku kembali berpacuh cepat. Aku melirik ke arahnya dengan sedikit salah tingkah. “Ah.. itu, kakiku kejedot tadi. Asli sakitnya,” ucapku sambil memajuhkan sedikit kakiku sebagai alasan bukti. 

Raka terlihat menarik nafas berat. “Apa susahnya jujur?” tanyanya sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. 

Aku kembali tertunduk. Berusaha mencari kosataka yang tepat untuk kuucapkan. Mencari sesuatu yang membiarkan Raka berhenti bertanya tentang kebenaran yang kualami. 

“Aku baik-baik saja Raka,” ujarku lirih dengan suara yang sedikit gemetaran.

“Mau beritahu aku atau kucari tahu sendiri?” tanyanya dingin. 

Aku terkejut dan segera mengangkat kepalaku dengan spontan. Aku terkejut hingga membulatkan kedua mataku. “Tidak ada seorang pun. Ayo pergi!” sahutku cepat. Aku langsung menarik tangannya tanpa menunggu responnya. Membiarkanku menuntun jalannya dengan nafas memburu. Bahkan tanpa kusadari aku mencengkram tangannya saat merasakan mataku mulai berkaca-kaca. Aku tahu saat ini Raka ingin mengatakan sesuatu yang tertahan di ujung mulutnya, namun tak ia lakukan.

Lagi pula aku ingin belajar menyelesaikan masalahku sendiri tanpa melibatkan Raka. Meskipun aku tidak tahu dimana letak kesalahanku pada orang yang bersangkutan, membiarkan orang-orang membenciku begitu saja. Aku juga mulai merasa orang-orang di kampus mulai memandangku dengan sebelah mata. Aku tak punya teman perempuan untuk sekedar bercerita setelah Ceri, namun dia telah menjauh lebih dulu. Memberikan sugesti kepada orang-orang agar ikut membenciku. Aku tidak bermaksud untuk menuduhnya, namun, setelah mendengar perkataannya tadi kurasa aku menemukan jawaban dari mana dan mengapa orang-orang secara tiba-tiba menyebutku demikian.

Diberi cap sebagai cewe benalu, seakan-akan aku adalah pengganggu bagi Raka. Merasa bahwa diriku adalah perempuan pembawa sial bagi sahabatku sendiri.  Sangat sakit rasanya. Aku merasa sangat memalukan. Namun aku merasa sedikit tenang karena, Raka tidak mengetahui hal itu. 

Aku pernah berfikir untuk menjauh perlahan darinya. Mencoba menjaga jarak darinya. Namun, Raka menyadari itu. Aku merasa terlalu menggantungkan hidupku padanya. Dia satu-satunya orang yang tahu masalah yang sedang kualami. Aku hanya tidak bisa. Aku merasa tenang saat Raka berada di sisiku. Berasa aman dari orang yang ingin menggangguku. 

Pandanganku mulai buram karena air mata yang mendesak untuk keluar. Namun aku mencoba menahannya dengan menggertakkan gigi. Aku masih berlajan dengan Raka yang hanya diam tak bersuara saat aku menariknya. Membiarkan aku melakukan yang kumau. Kata-kata itu terus menenuhi pikiranku. Seperti pisau yang dilemparkan padaku. Seperti sedang dilempari kertas di dalam ruangan yang hampa dengan suara-suara yang terus memenuhi telingaku.

Untuk pertama kali aku merasa sesakit ini hanya karena cemohan orang lain. Aku terus menjadi pusat perhatian setiap kali melewati mahasiswa yang belum pulang. Ada yang menatapku heran, bingung, bahkan dengan tatapan jijik. Aku tidak peduli, yang aku ingin hanyalah pergi dari sini. Berlari dari sini secepat mungkin dan menjatuhkan tubuhku dipelukan ibu.

Bab terkait

  • Kelabu   BAB 3

    Dania terdiam dalam duduknya setelah bangun dari tidur. Gadis itu tengah larut dalam lamunannya memandangi sisa- sisa air yang menempel pada jendela setelah hujan semalam. Langit pun masih tampak murung, tidak secerah kemarin. Dia beralih menatap tubuh mungil Leo yang meringkuk dibalik selimut. Gadis itu masih mengumpulkan kesadarannya. Kamar itu terasa hampa baginya, hanya bunyi peralatan rumah sakit yang terdengar. Bunyi peralatan yang menempel pada tubuh ibunya.Tak lama ia dikejutkan oleh kotak hitam yang ia letakk

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-28
  • Kelabu   BAB 4

    “Dania, tolong antarkan ini ke meja nomor tujuh ya,” seru Rani sembari meletakkan secangkir kopi hasil racikannya.Dengan cepat namun tak tergesa, Dania mengambil pesanan itu. Kemudian bergegas mengantarkannya ke pelanggan. Matanya bergerak mencari nomor meja tujuh. Dengan segera ia melangkah setelah kedua netranya menangkap nomor meja itu.Suasana cafe hari ini cukup ramai. Keringat yang membasahi anak rambut gadis itu tampak mengkilap terkena sinar samar matahari. “Satu cangkir kopi tubruk,” ucapnya ramah sembari meletakkan kopi yang sedari tadi berada di dalam nampan itu ke atas meja. Gadis itu sedikit membungkuk sembari tersenyum kecil sebelum berpaling.Setelah mengantarkan pesanan, ia segera bergegas kembali membantu Rani. Rani menoleh singkat, “Sepertinya suasana hatimu hari ini sedang baik.”Dania tampak mengambil nafas sambil berpindah dari satu tempat ke tempat

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-20
  • Kelabu   BAB 5

    Langkah kaki terdengar menggema di lorong rumah yang cukup megah itu. Musik clasic pun tampak terdengar bebas. Pria berjas yang cukup tinggi berjalan tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Pikirannya fokus pada satu ruangan dengan pintu besar yang letaknya berada di ujung lorong.Orang-orang yang berdiri di sisi ruangan membungkuk saat pria itu melewati mereka. Saat sampai di depan pintu, ia mengetuk tiga kali.Hingga, suara lemah lembut mempersilahkan ia untuk masuk.Ia melangkah dengan pelan dan membungkuk sebelum mulai mengeluarkan suara."Dia menolak madam,"Hembusan nafas terdengar sangat jelas dari balik kursi."Apa yang ia katakan?""Dia menolak untuk datang," jelas pria itu."Apa yang engkau katakan?""Saya mengatakan seperti yang madam perintahkan."Keheningan terjadi untuk beberapa detik, hingga perempuan itu berdiri dari kursinya dan berbalik."Biarkan saya yang berbicara."

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-21
  • Kelabu   BAB 6

    Ini sudah ketiga kalinya Dania membasuh wajahnya dengan air. Sejenak ia menatap pantulan dirinya pada cermin didepannya. Menatap kedua matanya sendiri. Jantungnya berdegup begitu cepat, serasa sebentar lagi jantungnya akan melompat keluar. “Kau lemah.” ucapnya sambil menatap pantulannya. Kini make up tipisnya telah hilang karena air, menyisahkan lipstik yang masih membuat bibirnya berwarna pink kemerahan. Namun, itu tidak menghapus kecantikan gadis itu. Apa yang telah Raka lakukan beberapa menit yang lalu ternyata cukup membuatnya takut. Rasa takut yang aneh, kepanikan yang timbul begitu saja. Dania memutuskan untuk keluar dari toilet setelah cukup lama berdiam diri di sana. Gadis itu terkejut saat melihat sosok yang tengah berdiri sesaat setelah ia membuka pintu. Dania menatap mata yang menatapnya silih berganti. Gadis itu mencoba melewati celah dan mengabaikannya. “Wets, hati-hati dong,” Ceri langsung menghadang jalan gad

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-22
  • Kelabu   BAB 7

    Pria itu mendaratkan kakinya di Indonesia setelah penerbangan dengan durasi sejam lebih. Ia membuka kacamata hitamnya setelah turun dari pesawat pribadi. Tanpa membawa tas atau pun barang, pria itu segera bergegas menuju tempat tujuannya. “Yey ke tempat gajah!” seru Leo sambil melompat kegirangan. “Leo, hati-hati nanti jatuh!” panggil Dania dengan sedikit berteriak. Dia menggeleng pelan sambil memasukkan kacang ke dalam mulutnya. Raka tampak memperhatikan Leo yang melompat-lompat di depannya. Mereka bertiga sedang berada di taman safari. Hari ini hari libur, makanya mereka bertiga berjalan-jalan sebentar. “Kakak.. kakak.. lihat itu gajahnya!” seru Leo sambil menunjuk gajah yang mulai tertangkap penglihatannya. Dania mengangguk-angguk sambil tertawa kecil melihat adiknya yang begitu bahagia. Terimakasih Raka. “Aku bosan,” sahut Raka tiba-tiba. Dania menoleh, “Kita baru tiba lima belas menit yang

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-23
  • Kelabu   BAB 8

    “Kakak” “Kakak” “KAKAK” panggil Leo untuk ketiga kalinya sembari menggoyangkan lengan Dania. “Iya kenapa?” “Leo mau serang Dinosaurusnya, kakak kok malah bengong sih?” protes anak itu. Dania menggaruk kepalanya, “Ah... Iya, maaf maaf hehe.” jawabnya cengengesan. Bibir Leo mengerucut, menampakkan ekspresi cemberut karena kakaknya yang sedari tadi bengong sambil menggoyangkan mainan dinosaurus yang dipegangnya dengan asal. Kejadian di ruang tamu tadi adalah penyebab gadis itu melamun. Dia terus memikirkan situasi apa yang sedang terjadi. Mengira-ngira siapa pria berjas yang tengah duduk berhadapan dengan ayah Raka. Itu pertama kalinya ia melihat pria itu. Dari penampilannya, ia tampak sudah tua. Itu karena beberapa helai rambut putih yang tertangkap mata Dania saat melewatinya. Hening, begitulah situasi di ruang tamu beberapa saat setelah Raka duduk. “Maafkan atas kedatangan saya ya

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-29
  • Kelabu   BAB 9

    Aku kembali menegadah setelah mengucapkan terimakasih. Keadaan ini tidaklah canggung, hanya saja ada rasa aneh yang tidak aku tahu pasti itu apa.“Raka, kau pandai mengepang rambut?”“Apa itu?”Aku membulatkan kedua mataku, “Kau tidak tahu apa itu?” tanyaku tak percaya.Raka mengangguk pelan. “Kenapa? Kau mau dikepang?”Aku menggeleng cepat, “Tidak, nanti rambutku berantakan karenamu.” tolakku.“Yasudah.”Suasana diantara kami menjadi hening kemudian. Aku menoleh saat mendengar Raka bergerak. Ia memilih berbaring, menjadikan kedua lengannya sebagai pengalas kepala.Tidak ada percakapan yang terjadi diantara kami. Ku pandangi wajahnya yang tampak tenang dengan kedua mata yang terpejam.Aku menajamkan netraku, memperhatikan setiap detail wajahnya. Aku tidak melihat tanda-tanda kegundahan ataupun kemarahan disana.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-02
  • Kelabu   BAB 10

    Dalam keadaan setengah tidak percaya, aku menatap lelaki itu. Hembusan angin dan rinai hujan yang semakin menderas membuat kakiku tidak bisa digerakkan.“T-tidak, ini pasti ilusi.” ucapku tak percaya sambil menggeleng pelan.Dengan sekuat tenaga, ku tarik kakiku mundur dan menjauh dari tempat itu.Sebelum berbalik pergi, dapat kulihat dia menahan langkahnya yang hendak menghampiriku.Aku berlari berlawanan dengan arah arus rintik hujan. Pedih, saat tak sengaja mengenai mataku. Dengan sedikit tergopoh-gopoh aku berlari berusaha menjauh dari rumah sakit.Dingin yang menusuk seakan memberi sinyal padaku untuk berhenti. Tidak untuk sekarang, aku akan berhenti jika merasa sudah cukup jauh dari rumah sakit.Kujadikan lenganku sebagai pelindung agar tetasan air ini tidak mengenai mataku. Aku hanya terus berlari tanpa tahu arah dan tujuanku kemana. Dengan n

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-08

Bab terbaru

  • Kelabu   BAB 21

    Dania terdiam di atas kursi roda dan tengah memandang dedaunan dari balik kaca jendela. Racun yang mengenai kakinya membuat kakinya tidak dapat bergerak selama 4 jam, ada rasa terbakar, dan rasa pedih. Raka yang baru saja membuka pintu segera memelankan gerakannya saat melihat gadis itu tengah termenung dengan posisi memunggunginya. Ia berjalan mendekat dengan sekantung cemilan yang baru saja ia beli dari supermarket. Segera ia menaruh kantung plastik itu di atas nakas dan menarik kursi untuk mendekat ke arah Dania. "Kau yang duduk sendiri?" tanyanya mendapat lirikan pelan dari gadis itu. Dania menggeleng, "Dibantu suster." Saat Dania kembali tenang dengan kedipan pelan ke arah jendela. Pemuda itu memandanginya, memperhatikan luka memar ataupun luka lainnya yang menyebar ke di tubuhnya. Terlebih tadi perawat menjelaskan kondisi tubuh gadis itu. "Kau lapar? Aku dari memberi beberapa cemi

  • Kelabu   BAB 20

    Raka berjalan dengan langkah yang sedikit cepat. Pikirannya kini terfokus pada Dania. Ia berguman dan menggerutu bingung tentang mengapa gadis itu pergi ke fakultas itu. Untungnya Raka termasuk mahasiswa populer di universitas itu. "Sorry, lihat Dania nggak?" tanyanya pada segerombolan mahasiswa yang tengah bercakap.Sejenak mahasiswi menatap Raka heran dan kagum karena kedatangan Raka ke fakultas mereka. "Dania?" jawab salah seorang mahasiswa dengan wajah bingung. "Dania siapa?" tanyanya lagi.Raka terdiam sebentar. "Ah ... ini, tadi teman gue bilang katanya dia ke sini," jelasnya sambil menunjukkan foto Dania. Mahasiswa yang tengah ia tanyai itu memicingkan mata dan terlihat bimbang. Namun setelah beberapa saat mengamati foto itu ia akhirnya menggeleng. "Gue nggak tau, bro."Meskipun Raka begitu populer, tidak sama dengan Dania yang bagai mahasiswa yang tidak dikenal. Di fakultasnya saja ia jarang diketahui karena anaknya yang tertutup. "Gue tadi l

  • Kelabu   BAB 19

    Orang misterius itu semakin mengangkat botol kaca yang berisi cairan yang bau. Semakin pelan ingin menuangkannya ke tubuh Dania dengan sengaja. Sementara gadis itu, dia terus memundurkan tubuhnya menjauh karena tidak mampu berdiri. Tanda adanya aba-aba, cairan itu pun mengenai Dania. Membuat gadis itu memekik kaget saat merasa tubuhnya disirami cairan kental dengan bau yang menyengat. Entah apa itu. Seketika gadis itu merasa mual, baunya benar-benar tidak menyenangkan. Dengan napas tersengal, gadis itu berusaha mendongak. "Apa yang kau mau?!" "Kau mati." Dania tersentak kaget. Suara perempuan itu terdengar dingin dan tajam. Tak lama, Perempuan itu menurunkan kain yang sedari tadi menutup setengah wajahnya. Juga melepas tudung kepala yang menyembunyikan rambutnya. "Haish ... Pakai ginian panas banget," ucapnya tak suka. Ia membuan

  • Kelabu   BAB 18

    "Ini Baksonya," ucap bu kantin sesaat setelah meletakkan dua mangkuk bakso di depan Raka. "Terima kasih, Bu." Raka tersenyum ke arah wanita paruh baya itu dan dibalas senyum juga. Di depannya, telah tersaji dua mangkuk bakso. Satu tanpa lemak hanya ada kuah dan baksonya dan satu lagi bakso porsi lengkap. Aromanya menyerbak, membuat perut Raka sedikit meraung minta segera diisi. Selanjutnya, ia menunggu Dania datang. Ia menggerakkan kakinya sambil memainkan ponsel demi menghilangkan kebosanan. Jarinya bergerak menggesek layar ponselnya secara acak. Tak lupa ia akan mengedarkan pandangannya jaga-jaga Dania datang. Sudah lebih sepuluh menit ia menunggu namungadis itu tak kunjung datang. Raka masih bersikap biasa saja. Ia berpikir mungkin kegiatannya di toilet belum selesai. Sementara di tempat lain, "Raka!" gadis itu berteriak sambil terus berjalan.

  • Kelabu   BAB 17

    Gadis itu bergeming, belum mengubah posisinya dari semalam. Entah sudah berapa lama ia memainkan jemari lentiknya dengan posisi kaki tertekuk. Matanya silih berganti menatap apa saja yang bisa ia jangkau. Terkadang, ia akan menatap langit-langit atau hanya sekadar menatap pintu kamar jaga-jaga jika ada yang membukanya. Ia bahkan belum tidur atau hanya memejamkan mata. Dania terlalu takut untuk tidur. Ia takut jika ia terlelap, ia tidak bisa bertemu dengan Raka lagi. Tak hanya itu, kegundahan pun menjadi penyokong rasa takutnya. Perasaan yang bertanggung jawab atas sayunya mata gadis itu. Tok ... tok Dania memalingkan kepalanya. Mata kantuknya membulat pelan. “Raka,” lirihnya. Ada perasaan lega terbesit di hati gadis itu saat melihat orang yang telah membuatnya terjaga semalaman kini berdiri dihadapannya. Disamping itu, dirinya heran karena Raka yang tiba-tiba datang disaat l

  • Kelabu   BAB 16

    Setelah memarkirkan motornya, Raka tidak langsung masuk. Perasaan yang membuat hatinya gamang dan resah berhasil menahannya. Membuatnya memilih bersandar pada motor yang telah disimpannya. Ia menghela nafas berat. Pening, kepalanya terasa berdenyut ringan. Hinggah suara deruh halus dari mesin mobil yang berhenti membuat indra pendengarannya menajam. Siluet hitam yang perlahan terlihat jelas membuat kepalanya tertoleh, mencuri perhatiannya. Raka berdecak kesal saat tahu siapa pemilik siluet hitam itu. Dengan keterpaksaan, Raka menghampirinya. Tidak peduli penampilannya yang kacau. Wajah datarnya menjadi curi pandang pertama lelaki itu. Banar terlihat terkejut saat melihat baju basah dan rambut berantakan remaja itu. Dengan terbata ia berucap, “Tuan, A-pa yang terjadi?” Lelaki itu terheran. Diam, itu adalah jawaban dari lawan bicaranya. Mengerti akan hal itu, lelaki itu berdehem kemudian kembali f

  • Kelabu   BAB 15

    “Aku berjanji.”Gadis itu tersenyum kecut masih dengan mata yang berair. “Jangan berjanji, yang aku perlu kau kembali dengan selamat.”“Ini m-mengejutkanku.”“Maafkan responku yang berlebihan,” kata Dania dengan senyum kikuk.“Padahal kau hanya pergi dalam hitungan hari, itu tidak lama—mungkin,” lanjutnya ragu.“Jujur aku kecewa padamu,” tutur gadis itu.“Dan ini benar-benar membuatku kaget.”“Kita bersahabat dari kecil tetapi keterbukaan di antara kita bagai pintu terantai besi yang kehilangan kunci,” ucapnya senduh.“Perpisahan macam apa ini?” tanyanya.Raka menghembuskan nafas, “Sekali lagi maaf,” ujarnya menyesal.Dania beralih membersihkan sisa-sisa air dipipinya. Mereka masih berdiri berhadapan satu sama lain. Hingga rintik hujan yang turun berhasil menyita perhatian mereka.

  • Kelabu   BAB 14

    Setelah perdebatannya dengan sang Ayah dan adanya kesepakatan yang terjadi, Raka segera bergegas ke tempat kerja Dania. Ia tidak memperdulikan Pratama yang mencegatnya pergi dengan cemas. Sungguh, lelaki itu takut jika hal yang tak diinginkan menimpa putranya. Pratama hanya bisa membuang nafas khawatir sembari menatap Raka yang membanting pintu dengan sedikit kasar. “Paman, kenapa kak Raka terlihat marah?” Sahutan tiba-tiba dari belakang membuat Pratama berbalik. “Leo? Ah tidak apa-apa, ayo main sama paman, ya?” jawab Pratama sedikit terkejut lalu mengajak Leo kembali ke dalam kamar. Pikiran Raka kini terfokus ke Dania. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Sesaat setelah sampai, Raka segera menatap ke arah cafe. Dari sisi kaca besar itu, ia dapat melihat Dania yang tengah mengantarkan pesanan pelanggan dengan senyuman yang tak pernah pudar dari bibirnya. Dengan nafas memburu dan langkah yang cepat, ia menerobos masuk. Segera ia m

  • Kelabu   BAB 13

    Raka berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai satu. Ia terlihat tergesa dengan langkah yang cepat. Setelah mengambil barang yang telah membuatnya kembali, ia segera bergegas keluar. Dipakainya jaket kulit itu sembari membuat suara kecil yang timbul akibat gesekan alas sepatunya dengan lantai.Hingga langkahnya terhenti begitu saja setelah jemarinya berhasil membuat pintu itu terbuka. Ekspresi terkejut pun tak dapat ia sembunyikan saat matanya menangkap sosok yang tengah menghalangi jalannya.Lelaki itu tersenyum hangat, “Selamat sore Tuan Raka,” sapanya.“Pak Banar? Ada perlu apa lagi kembali?” tanya Raka terkejut.“Tujuan saya datang untuk menjemput anda,” jelas Banar.Dahi Raka berkerut bingung, “Menjemputku?”Banar mengangguk pelan, “Iya, Tuan Raka...,” Lelaki itu beralih menengok arloji d

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status