Teh panas mulai dingin, dessert-dessert cantik di depan mata sudah tersaji lengkap sesuai pesanan. Namun, Jolie masih bergeming dingin tak berperasaan. Perempuan cantik itu masih belum mau menyentuh apa pun sejak duduk.
Rebecca yang duduk bersebrangan telah terheran-heran mengamati Jolie. Dia bingung pada Jolie yang bersikap tak seperti biasa. Dia dan Jolie saling mengenal sejak lama. Hubungan mereka sangat baik, bahkan Rebecca sudah dianggap seperti saudara kandung bagi Jolie.
Hubungan mereka semakin tak terputuskan ketika Rebecca menikah dengan pria yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga Jolie. Pria itu adalah keponakan dari Bryan—pria jahat yang menghancurkan Jolie.
Apa pun yang bersangkutan dengan Jolie, Rebecca sangat peduli. Dia merasakan perubahan sikap Jolie selama sebulan lebih itu. Jolie yang terbiasa ceria dan cerewet tiba-tiba menjadi pediam. Jolie selalu mengurung diri di rumah dan menghindari acara apa pun, baik dari keluarga Jolie maupun keluarga Rebecca.
Ayah dan ibu Jolie sudah menyerah menanya-nanyai Jolie, sehingga meminta bantuan pada Rebecca. Seperti sore itu, Rebecca mengajak Jolie menikmati waktu di sebuah kafe. Rebecca rela menjemput Jolie yang masih berada di klinik kecantikannya. Awalnya, Jolie menolak, tapi, Rebecca memaksa dengan alasan ingin membicarakan hal penting.
“Apa kau sedang diet? Sampai tidak mau menyentuh teh dan dessert kesukaanmu.” Rebecca memecahkan suasana hening yang tak nyaman.
Tatapan kosong Jolie teralihkan pada Rebecca. Dia tersadar pada sahabatnya yang menanti dengan senyuman manis membujuk. “Aku masih kenyang. Jadi, masih belum mau mengisi perutku,” ucapnya beralasan.
“Apa di klinik banyak pasien dan pekerjaan? Sampai kau begitu sibuk? Apa kau sudah merencanakan liburan lagi?” Rebecca lebih lanjut bertanya-tanya. “Jujur saja, Jolie. Aku seperti tidak mengenalmu belakangan ini. Kau lebih banyak menutup diri, kau selalu menghindar. Terlebih lagi kau selalu tidak mau berlama-lama bercerita denganku—”
Omelan panjang Rebecca diinterupsi oleh Jolie yang tiba-tiba berdiri. Rebecca tidak diberi kesempatan bertanya pada Jolie yang berlari menuju toilet. Dia ditinggalkan sendirian dengan terheran-heran menatap Jolie yang semakin tenggelam dari pandangan mata.
Setibanya di toilet, Jolie langsung menuju wastafel terdekat. Wajahnya merunduk mendekat ke wastafel, mulutnya yang tertahan oleh tangan kanan sudah terbuka lebar—berusaha keras mengeluarkan rasa asam tak mengenakkan yang terdorong keras dari dalam perut.
Mata Jolie terpejam rapat, sedangkan kedua tangan mencengkram tepian meja wastafel akibat tubuh yang mendadak lemah. Tubuh Jolie gemetar ketika pikiran terisi oleh kekhawatiran yang mencekam. Dia panik dalam diam. Napas yang semula tenang telah tak beraturan akibat dari rasa takut.
Jolie bukan kali pertama mengalami hal tak mengenakkan itu. Hal itu sudah terjadi selama beberapa minggu belakangan. Tubuhnya mengalami perubahan tak mengenakkan. Jolie gampang lelah, kepalanya sering mengalami pusing. Rasa mual yang sangat intens menyerang di pagi hari, sehingga mempengaruhi nafsu makan.
Meski berprofesi sebagai dokter estetika, Jolie memahami kondisi tubuhnya karena mengenyam pendidikan dasar seorang dokter. Sejujurnya Jolie sudah ingin memastikan kebenaran atas kondisi tubuhnya. Hanya saja dia bingung untuk menghadapi kenyataan.
“Kau baik-baik saja, Jolie?” Kedatangan Rebecca yang tiba-tiba menyusul sangat mengejutkan Jolie.
Cepat-cepat Jolie merapikan diri, dia menarik selembar tissue guna membasuh mulutnya yang basah. “Aku sedikit tidak enak badan saja.”
“Kau yakin?” cecar Rebecca yang sudah mendekat. “Kau pucat sekali,” lanjutnya mencurigai.
Jolie mengabaikan lewat caranya beranjak dari tempat itu. Namun, pikirannya terganggu pada Rebecca yang mengikuti—menatapnya penuh kecurigaan tajam. Sehingga Jolie memutuskan memberi penjelasan sembari berjalan.
“Aku sedang tidak enak badan karena maag-ku kambuh. Belakangan aku sangat sibuk, jadi sering melewatkan waktu makan. Aku juga kekurangan waktu beristirahat, makanya aku jadi seperti ini.” Jolie duduk di kursi semula, bibirnya yang memucat telah menyimpulkan senyuman manis. “Maaf, kau jadi mengkhawatirkanku.”
“Kau yakin?” Rebecca terang-terangan tak memercayai.
Jolie mengangguk yakin. “Kau bilang kau ingin mengatakan sesuatu yang penting. Apa yang ingin kau katakan?” Perempuan itu begitu cerdik mengalihkan pembicaraan.
Usahanya itu berhasil. Sorot mata penuh kecurigaan Rebecca langsung memudar.
“Malam ini kami akan mengadakan makan malam karena Paman Bryan kemarin datang lagi ke London. Ayah mertuaku mengundangmu beserta orang tuamu.” Rebecca mulai bercerita.
Samar-sama Jolie mengembuskan napas kasar. “Aku tidak bisa hadir. Malam ini aku akan meeting dengan client.”
Jolie memalingkan tatapan ketika menenangkan diri dengan sedikit air mineral. Dia begitu acuh, begitu menegaskan pembicaraan itu tidak sama sekali tidak penting dan menarik.
“Ada apa denganmu? Belakangan kau selalu tidak datang di setiap acara. Kau tidak seperti ini sebelumnya, Jolie. Padahal biasanya setiap Paman Bryan ada di London, kau selalu antusias ingin bertemu dengan dia,” kata Rebecca mulai bingung.
Jolie memang selalu bersemangat setiap kali Bryan datang ke London. Jolie bisa diam-diam melepaskan rindu hanya dengan memandangi Bryan, tanpa harus ada komunikasi intim yang terjadi. Akan tetapi, itu semua terjadi sebelum Bryan mengacaukan segala perasaan Jolie dalam satu malam.
“Aku sudah katakan, jika aku akan meeting—”
Tiba-tiba Jolie merasakan pusing begitu luar biasa sehingga tak mampu melanjutkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, rasa pusing mempengaruhi kondisi tubuhnya. Jolie merasakan tubuhnya begitu lemas dan pandangan mata mulai kabur.
“Kau kenapa?” Rebecca cemas sampai hampir beranjak dari duduknya.
“Aku hanya sedikit pusing.” Jolie cepat mencegah.
“Apa yang terjadi padamu, Jolie? Belakangan kau sangat berubah. Kau tidak seperti Jolie yang selalu aku kenal. Lebih dari itu, kau ingin menyia-nyiakan kesempatan ini? Yang aku dengar, Paman Bryan tidak akan lagi datang ke London karena fokus pada pekerjaan di New York. Urusan bisnisnya di sini sudah selesai, jadi kau akan kesulitan bertemu dengannya.”
Bagus! Sekalian saja Bryan tidak muncul selamanya di matanya. Komentar tajam itu hanya mampu Jolie luapkan di dalam hati. Jolie tidak bisa mengungkap fakta yang disembunyikan karena memikirkan segala hal.
Jolie tidak ingin merusak hubungan baik antara dia dan Rebecca beserta Glenn—suami Rebecca. Dia tidak ingin hubungan orang tuanya dengan keluarga Bryan menjadi retak. Lagi-lagi Jolie memalingkan pandangan untuk mengabaikan. Sayangnya, kali itu Jolie tidak bisa menahan kondisi tubuhnya. Tubuhnya semakin tidak bertenaga, rasa pusing yang menyerang semakin menyiksa. Jolie memasrahkan diri ketika pandangan mata semakin kabur dan gelap seluruhnya.
Jolie yang memucat, berakhir jatuh pingsan di hadapan Rebecca.
“Jolie! Apa yang terjadi padamu?” Rebecca memekik panik menangkap tubuh Jolie.
***
Bryan masih berada di ruangan Glenn—pemilik rumah sakit yang didatangi sore itu. Pria tampan itu hanya meluangkan waktu santai dengan keponakannya. Baju yang dipakai juga tidak formal. Bryan hanya mengenakan kemeja putih dipadukan dengan celana panjang berwarna cokelat, sementara kaki mengenakan sepatu sport begitu santai.
“Jadi, urusan cabang perusahaan di sini sudah selesai?” tanya Glenn tak sengaja mengusik Bryan yang menikmati secangkir kopi.
“Aku sudah bisa memercayakan cabang di sini dengan orang kepercayaan yang aku tempatkan di sini. Aku tak bisa lama-lama meninggalkan bank pusat yang ada di New York. Setiap kali ke sini aku selalu bersantai-santai dengan kalian dan teman-temanku. Jadi, aku harus mendisiplinkan diri,” jelas Bryan panjang lebar sembari meletakkan cangkir kopi ke atas meja di hadapannya.
Bola mata abu-abu miliknya terbenam oleh kelopak yang tertutup rapat. Bryan terlihat mematahkan lehernya ke kanan dan ke kiri, melakukan peregangan ringan pada urat lehernya yang menegang.
“Paman terlalu bekerja keras demi perusahaan. Usia Paman juga sudah matang, apa Paman tidak terpikir untuk menikah? Bagaimanapun suatu hari nanti Paman membutuhkan pewaris.”
Bryan menatap Glenn yang mengusik, sementara bibirnya menyimpulkan senyuman lemah. “Ayahmu juga menyarankan hal yang sama, tapi, aku masih nyaman dengan kehidupanku saat ini. Sepertinya merepotkan memiliki istri dan anak. Aku jadi tidak bebas melangkah karena harus memikirkan mereka. Untuk saat ini aku tidak ingin memiliki apa pun yang menghambat pekerjaan dan bisnisku.”
Glenn sangat memahami sosok pamannya itu. Bryan merupakan sosok dingin yang menganggap dunia berputar di sekitarnya. Pamannya itu dikenal memiliki pemikiran yang cerdas sekaligus memiliki harga diri begitu tinggi. Pemikirannya sangat idealis, sehingga tak mengizinkan hal-hal baru merusak rencana yang sudah terstruktur sempurna.
“Apa Paman tidak pernah terpikirkan menikah dan memiliki istri?” tanya Glenn ingin tahu.
Bryan tertawa lemah. “Sudah aku katakan, aku tidak akan melakukan hal yang menghambat segala urusanku.”
“Apa Paman tidak merasa kesepian?”
Lagi-lagi Bryan tertawa mengejek. “Aku tinggal memilih wanita-wanita mana yang menemaniku. Semuanya sederhana, jadi jangan dibuat pusing.”
Glenn memilih tidak mau mendesak, walaupun sejujurnya dia sangat menyayangkan keputusan Bryan. Tidak ada percakapan serupa yang terjadi dalam beberapa waktu.
Tak lama setelah menikmati habis kopi yang tersaji, Bryan berpamitan untuk pulang. Pria tampan itu menolak tawaran Glenn yang ingin mengantar sampai di teras depan. Bryan sudah cukup menyita waktu Glenn, sehingga menurutnya dia tidak ingin mengganggu lebih lanjut.
Saat melintasi lobby, perhatian Bryan terpancing oleh keberadaan istri dari keponakannya yang berjalan masuk menuju IGD bersama dokter pria. Dia ingin mengabaikan, tetapi dia menaruh kecurigaan. Sejak tadi dia bersama dengan Glenn, tapi tidak sedikitpun Glenn menyinggung keberadaan Rebecca di rumah sakit. Itu artinya Glenn tidak mengetahui bahwa Rebecca sedang berada di rumah sakit milik mereka.
Bryan memutuskan untuk diam-diam mencari tahu. Dia berjalan perlahan-lahan, sembunyi-sembunyi mengikuti Rebecca yang berjalan dengan seorang dokter pria.
“Aku minta sembunyikan hal ini dari siapa pun, termasuk suamiku. Biar aku saja nantinya yang akan membicarakan hal ini padanya.”
Hati Bryan terselimuti kebencian pada sosok Rebecca. Dia menilai Rebecca memiliki rahasia tak bermoral sampai berkata demikian. Namun, penilaian itu terpatahkan ketika Rebecca masuk ke dalam satu sekat yang tirainya tertutup rapat. Dari sekat di sebelahnya, Bryan menguping pembicaraan Rebecca dengan seseorang yang terbaring lemah di atas ranjang.
“Kau sudah sadar, Jolie?”
Jolie tak merespon. Perempuan yang baru sadar itu memejamkan kedua matanya.
“Dokter sudah memberitahuku tentang kondisimu. Aku sudah meminta beliau agar tidak membocorkan hal ini—”
“Jadi, memang benar? Aku hamil?” Jolie menyela egois.
Rebecca berdehem ringan. “Siapa ayah dari anak di kandunganmu itu, Jolie?”
Jolie menolak memberikan jawaban. Sikapnya itu sangat konsisten, tak peduli seberapa besar Rebecca memaksa. Dia hanya akan menjawab pertanyaan yang tidak berkaitan dengan kehamilannya.Jolie semakin dingin dan menutup perasaan. Sikapnya yang selalu ceria seolah tak pernah ada, karena sepanjang berada di rumah sakit Jolie lebih tenang menunjukkan sikap dingin tak berperasaan.Rebecca sampai kehilangan akal. Ketika menemani Jolie memeriksakan kehamilannya, Jolie tidak banyak bersuara. Dia hanya terpaku menatap layar monitor—yang di mana terlihat jelas keberadaan janin di rahimnya. Bahkan ketika buliran air mata jatuh membasahi pipi, Jolie tak berekspresi sama sekali.Rebecca berpendapat situasi kehamilan Jolie pasti suatu keadaan yang mengguncang jiwa Jolie. Jolie tidak akan bereaksi seperti itu jika kehamilan itu telah dinanti ataupun direncakan. Selain itu, siapa pria yang bertanggung jawab atas kehamilan Jolie? Rebecca sangat mengenal Jolie. Sahabat baiknya itu tidak memiliki hubunga
Jolie terpaku menatap Bryan. Mata indahnya tak berkedip, seperti tak ingin melewatkan ekspresi di wajah Bryan. Tanpa peduli buliran air mata mulai menggenangi, Jolie bersikeras mengabadikan ekspresi Bryan yang tenang tak bersalah.Di dalam keheningan diri itu Jolie mencoba menggali-gali alasan dia menyukai pria yang masih menyentuh pipinya. Bahkan sampai detik itu Jolie tak memercayai diri yang salah menyukai Bryan. Lebih tepatnya Jolie mencintai Bryan hingga rasanya sangat menyakitkan.“Apakah begitu susah buat kamu melihat aku?” suara parau Jolie yang gemetaran telah memecahkan keheningan.Bryan tersenyum sinis. “Apa maksudmu?”“Aku menyukaimu, Bryan,” tegas Jolie menekankan.“Jolie ... enough!” Bryan setengah menggeram karena kesal, tangannya di pipi Jolie sampai hampir mengepal. “Aku tidak suka mengatakan hal yang sama. Tapi, melihatmu yang keras kepala ... baiklah. Aku tidak menyukaimu, Jolie Harper.”“Aku mencintaimu, Bryan.” Jolie menjawab dengan sangat keras kepala.“Kau ingin
~ Enam tahun kemudian ~Mata abu-abu Bryan yang terlindungi kacamata melirik kehadiran seseorang. Pria itu merasa kesal karena pekerjaan yang hampir selesai dikerjakan jadi tertunda. Namun, kehadiran seseorang itu malah menyadarkan Bryan yang tenggelam dalam pekerjaan. Cahaya bohlam yang menerangi ruangan kerja itu memberi tahu Bryan bahwa malam telah menyapa.“Sekarang sudah jam sembilan malam, Tuan Bryan. Apa Anda yakin tidak mau pesankan makan malam?”Bryan menghela napas, kemudian menenangkan punggungnya yang lama menegang pada sandaran kursi yang diduduki.Saat tengkuk lehernya merasa nyaman bersandar, bola mata abu-abunya terbenam oleh kelopak mata yang terpejam. Pria tampan itu bukan berusaha merengkuh ketenangan, melainkan memikirkan hal lain yang akan dilakukannya.“Tidak perlu, aku ingin pulang,” ucap Bryan yang sudah membuka mata, tetapi tak menoleh pada seseorang yang berdiri di depan meja kerja.“Apa Anda akan pulang ke rumah atau ke tempat biasa, Tuan Bryan?”Bryan meneg
Jolie menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dari mobil yang dinaiki. Matanya terpejam, benar-benar melepaskan segala lelah yang diperoleh seharian itu. Seolah-olah dalam seharian itu Jolie tak memiliki waktu untuk sekadar bersantai singkat. Jika diilustrasikan, dia bagaikan robot yang bergerak aktif tanpa henti.Selama enam tahun belakangan itu Jolie sengaja bekerja aktif. Selain klinik kecantikan yang memiliki kemajuan pesat, dia melebarkan sayap bisnisnya dengan mengeluarkan produk perawatan kulit wajah, tubuh beserta make-up.Menggunakan merk dagang Doctor Jolie, dokter estetika itu mampu bersaing dengan merk dagang yang lainnya. Produk yang dijual mencakup segala usia dan kalangan, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Bahkan setiap Jolie mengeluarkan produk baru, tidak sampai satu hari produknya habis terjual.Namanya semakin terkenal, sehingga hampir setiap hari Jolie banyak menerima tawaran mengisi sebuah talkshow on air ataupun off air. Kesibukan Jolie semakin bertambah ketika
Saat belum mendapatkan jawaban, Jolie cepat berinisiatif pergi mengambil kunci cadangan. Dia tidak bisa berdiam diri sembari memanggil-manggil Zoey. Baru beberapa langkah berjalan pergi, Jolie diinterupsi oleh suara pintu yang terbuka. Dia langsung menoleh dengan tubuh gemetaran cemas, sementara mata biru keabu-abuan miliknya telah membulat sempurna. Entah harus lega ataupun terkejut, Jolie tak bisa berkata-kata melihat keadaan Zoey yang berdiri di ambang pintu.Kembaran Jayden itu muncul dengan ekspresi bingung. Lebih tepatnya, Zoey Harper—putri sulung Jolie itu menunjukkan ekspresi tak bersalah. Berbanding jauh dari yang dikhawatirkan, Zoey seperti tidak mengalami apa pun. Wajah cantiknya sedang terselimuti masker cokelat, sementara bibirnya agak basah karena memakai pelembab bibir yang sedikit membuat pucat di kulit bibirnya.“What happend, Mom?” tanya Zoey terheran.“Apa yang kau lakukan di dalam?” Jayden bersuara tak sabar.“Hei, Jayden! Aku ini kakakmu! Sudah berulang kali aku k
Semalaman Jolie tak bisa tidur setelah mendapatkan kabar buruk. Padahal tubuhnya sudah sangat lelah, tulang-tulangnya seperti remuk dan ingin sekali beristirahat. Setiap kali matanya ingin terpejam, masalah yang menyakitkan pikiran terus berputar-putar. Rasa pusing di kepala pun semakin terasa menyakitkan dan membuat tak nyaman. Ahasil, Jolie mempercepat diri ke kantor setelah mengantar anak-anaknya ke sekolah.“Perkiraan kerugian yang kita alami adalah sekitar satu juta poundsterling.”Di ruangan kerja, mata Jolie terpejam rapat ketika mendengarkan penjelasan Stephanie. Jolie benar-benar lemas menghadapi fakta menyakitkan itu.“Legal manager juga ikut terlibat. Bahkan, beliau yang mendalangi semuanya.”Jolie menghela napas kasar. “Dia beralasan mengambil cuti panjang, tetapi dia melakukan ini semua di belakangku. Padahal aku sudah begitu baik dengannya, aku sampai menaruh kepercayaan penuh padanya yang menyangkut legalitas hukum klinik dan perusahaan.”Sangat menyakitkan dikhianati o
Bryan tidak bisa mengubur rasa penasarannya terhadap Zoey. Mata abu-abunya sampai tak lepas mengawasi gadis kecil itu, Bryan sempat beberapa kali tak fokus ketika berbicara pada kepala sekolah beserta staff sekolah yang mendampingi.Harper? Bryan bersikeras berpendapat bukan hanya keluarga wanita itu saja yang memakai nama belakang serupa. Sayangnya, semakin keras Bryan meyakinkan diri, semakin besar pula keinginannya bertanya-tanya langsung pada gadis kecil itu.Pria tampan itu meminta langsung pada kepala sekolah untuk mengatur dirinya berbicara santai dengan Zoey tanpa diganggu oleh siapa pun. Meski sempat menaruh curiga, kepala sekolah dan wali kelas akhirnya mau mengatur tempat di taman sekolah.Bryan duduk berhadapan dengan Zoey yang tak bosan tersenyum manis. Mata abu-abunya tajam memindai Zoey, benar-benar tak ingin keliru menatap gadis kecil yang tak kenal takut itu.“Siapa namamu tadi? Zoey Harper?” Bryan berbicara tenang.Zoey mengangguk. “Kenapa Tuan ingin bertemu denganku
“Nyonya Jolie?! Anda sudah datang?”Jantung Jolie hampir terlonjak kaget akibat seruan lembut yang menginterupsi. Pandangan matanya langsung berpaling, seketika menatap wali kelas putrinya.“A-ah, Miss. Y-ya?” Jolie menyahut gugup.“Sebelumnya saya minta maaf. Anda pasti sangat terkejut.”Jolie masih belum sepenuhnya fokus pada permasalah semula yang mengantarnya ke rumah sakit itu. Keberadaan Bryan di depan mata membuat Jolie tidak bisa berpikir jernih.Bagaimana bisa pria itu ada di sana? Apa yang dilakukan pria itu di sana? Bagaimana bisa Bryan menemani Zoey? Batin Jolie masih sibuk menerka-nerka, sehingga dia tidak peduli pada keadaan sekitar. Matanya masih saja tertarik menatap Bryan dengan segala ketenangannya. Seolah-olah sosok Bryan bagaikan sosok menakutkan yang tak boleh lepas dari pandangan mata, yang sewaktu-waktu bisa mengancam ketenangan yang sudah setengah mati Jolie rengkuh.“Nyonya? Anda mendengar saya?”Tak hanya dari seruan lembut, sentuhan lembut di lengan Jolie da