Share

Bab 3. Pria dan Pemikirannya

Teh panas mulai dingin, dessert-dessert cantik di depan mata sudah tersaji lengkap sesuai pesanan. Namun, Jolie masih bergeming dingin tak berperasaan. Perempuan cantik itu masih belum mau menyentuh apa pun sejak duduk.

Rebecca yang duduk bersebrangan telah terheran-heran mengamati Jolie. Dia bingung pada Jolie yang bersikap tak seperti biasa. Dia dan Jolie saling mengenal sejak lama. Hubungan mereka sangat baik, bahkan Rebecca sudah dianggap seperti saudara kandung bagi Jolie.

Hubungan mereka semakin tak terputuskan ketika Rebecca menikah dengan pria yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga Jolie. Pria itu adalah keponakan dari Bryan—pria jahat yang menghancurkan Jolie.

Apa pun yang bersangkutan dengan Jolie, Rebecca sangat peduli. Dia merasakan perubahan sikap Jolie selama sebulan lebih itu. Jolie yang terbiasa ceria dan cerewet tiba-tiba menjadi pediam. Jolie selalu mengurung diri di rumah dan menghindari acara apa pun, baik dari keluarga Jolie maupun keluarga Rebecca.

Ayah dan ibu Jolie sudah menyerah menanya-nanyai Jolie, sehingga meminta bantuan pada Rebecca. Seperti sore itu, Rebecca mengajak Jolie menikmati waktu di sebuah kafe. Rebecca rela menjemput Jolie yang masih berada di klinik kecantikannya. Awalnya, Jolie menolak, tapi, Rebecca memaksa dengan alasan ingin membicarakan hal penting.

“Apa kau sedang diet? Sampai tidak mau menyentuh teh dan dessert kesukaanmu.” Rebecca memecahkan suasana hening yang tak nyaman.

Tatapan kosong Jolie teralihkan pada Rebecca. Dia tersadar pada sahabatnya yang menanti dengan senyuman manis membujuk. “Aku masih kenyang. Jadi, masih belum mau mengisi perutku,” ucapnya beralasan.

“Apa di klinik banyak pasien dan pekerjaan? Sampai kau begitu sibuk? Apa kau sudah merencanakan liburan lagi?” Rebecca lebih lanjut bertanya-tanya. “Jujur saja, Jolie. Aku seperti tidak mengenalmu belakangan ini. Kau lebih banyak menutup diri, kau selalu menghindar. Terlebih lagi kau selalu tidak mau berlama-lama bercerita denganku—”

Omelan panjang Rebecca diinterupsi oleh Jolie yang tiba-tiba berdiri. Rebecca tidak diberi kesempatan bertanya pada Jolie yang berlari menuju toilet. Dia ditinggalkan sendirian dengan terheran-heran menatap Jolie yang semakin tenggelam dari pandangan mata.

Setibanya di toilet, Jolie langsung menuju wastafel terdekat. Wajahnya merunduk mendekat ke wastafel, mulutnya yang tertahan oleh tangan kanan sudah terbuka lebar—berusaha keras mengeluarkan rasa asam tak mengenakkan yang terdorong keras dari dalam perut.

Mata Jolie terpejam rapat, sedangkan kedua tangan mencengkram tepian meja wastafel akibat tubuh yang mendadak lemah. Tubuh Jolie gemetar ketika pikiran terisi oleh kekhawatiran yang mencekam. Dia panik dalam diam. Napas yang semula tenang telah tak beraturan akibat dari rasa takut.

Jolie bukan kali pertama mengalami hal tak mengenakkan itu. Hal itu sudah terjadi selama beberapa minggu belakangan. Tubuhnya mengalami perubahan tak mengenakkan. Jolie gampang lelah, kepalanya sering mengalami pusing. Rasa mual yang sangat intens menyerang di pagi hari, sehingga mempengaruhi nafsu makan.

Meski berprofesi sebagai dokter estetika, Jolie memahami kondisi tubuhnya karena mengenyam pendidikan dasar seorang dokter. Sejujurnya Jolie sudah ingin memastikan kebenaran atas kondisi tubuhnya. Hanya saja dia bingung untuk menghadapi kenyataan.

“Kau baik-baik saja, Jolie?” Kedatangan Rebecca yang tiba-tiba menyusul sangat mengejutkan Jolie.

Cepat-cepat Jolie merapikan diri, dia menarik selembar tissue guna membasuh mulutnya yang basah. “Aku sedikit tidak enak badan saja.”

“Kau yakin?” cecar Rebecca yang sudah mendekat. “Kau pucat sekali,” lanjutnya mencurigai.

Jolie mengabaikan lewat caranya beranjak dari tempat itu. Namun, pikirannya terganggu pada Rebecca yang mengikuti—menatapnya penuh kecurigaan tajam. Sehingga Jolie memutuskan memberi penjelasan sembari berjalan.

“Aku sedang tidak enak badan karena maag-ku kambuh. Belakangan aku sangat sibuk, jadi sering melewatkan waktu makan. Aku juga kekurangan waktu beristirahat, makanya aku jadi seperti ini.” Jolie duduk di kursi semula, bibirnya yang memucat telah menyimpulkan senyuman manis. “Maaf, kau jadi mengkhawatirkanku.”

“Kau yakin?” Rebecca terang-terangan tak memercayai.

Jolie mengangguk yakin. “Kau bilang kau ingin mengatakan sesuatu yang penting. Apa yang ingin kau katakan?” Perempuan itu begitu cerdik mengalihkan pembicaraan.

Usahanya itu berhasil. Sorot mata penuh kecurigaan Rebecca langsung memudar.

“Malam ini kami akan mengadakan makan malam karena Paman Bryan kemarin datang lagi ke London. Ayah mertuaku mengundangmu beserta orang tuamu.” Rebecca mulai bercerita.

Samar-sama Jolie mengembuskan napas kasar. “Aku tidak bisa hadir. Malam ini aku akan meeting dengan client.”

Jolie memalingkan tatapan ketika menenangkan diri dengan sedikit air mineral. Dia begitu acuh, begitu menegaskan pembicaraan itu tidak sama sekali tidak penting dan menarik.

“Ada apa denganmu? Belakangan kau selalu tidak datang di setiap acara. Kau tidak seperti ini sebelumnya, Jolie. Padahal biasanya setiap Paman Bryan ada di London, kau selalu antusias ingin bertemu dengan dia,” kata Rebecca mulai bingung.

Jolie memang selalu bersemangat setiap kali Bryan datang ke London. Jolie bisa diam-diam melepaskan rindu hanya dengan memandangi Bryan, tanpa harus ada komunikasi intim yang terjadi. Akan tetapi, itu semua terjadi sebelum Bryan mengacaukan segala perasaan Jolie dalam satu malam.

“Aku sudah katakan, jika aku akan meeting

Tiba-tiba Jolie merasakan pusing begitu luar biasa sehingga tak mampu melanjutkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, rasa pusing mempengaruhi kondisi tubuhnya. Jolie merasakan tubuhnya begitu lemas dan pandangan mata mulai kabur.

“Kau kenapa?” Rebecca cemas sampai hampir beranjak dari duduknya.

“Aku hanya sedikit pusing.” Jolie cepat mencegah.

“Apa yang terjadi padamu, Jolie? Belakangan kau sangat berubah. Kau tidak seperti Jolie yang selalu aku kenal. Lebih dari itu, kau ingin menyia-nyiakan kesempatan ini? Yang aku dengar, Paman Bryan tidak akan lagi datang ke London karena fokus pada pekerjaan di New York. Urusan bisnisnya di sini sudah selesai, jadi kau akan kesulitan bertemu dengannya.”

Bagus! Sekalian saja Bryan tidak muncul selamanya di matanya. Komentar tajam itu hanya mampu Jolie luapkan di dalam hati. Jolie tidak bisa mengungkap fakta yang disembunyikan karena memikirkan segala hal.

Jolie tidak ingin merusak hubungan baik antara dia dan Rebecca beserta Glenn—suami Rebecca. Dia tidak ingin hubungan orang tuanya dengan keluarga Bryan menjadi retak. Lagi-lagi Jolie memalingkan pandangan untuk mengabaikan. Sayangnya, kali itu Jolie tidak bisa menahan kondisi  tubuhnya. Tubuhnya semakin tidak bertenaga, rasa pusing yang menyerang semakin menyiksa. Jolie memasrahkan diri ketika pandangan mata semakin kabur dan gelap seluruhnya.

Jolie yang memucat, berakhir jatuh pingsan di hadapan Rebecca.

“Jolie! Apa yang terjadi padamu?” Rebecca memekik panik menangkap tubuh Jolie.

***

Bryan masih berada di ruangan Glenn—pemilik rumah sakit yang didatangi sore itu. Pria tampan itu hanya meluangkan waktu santai dengan keponakannya. Baju yang dipakai juga tidak formal. Bryan hanya mengenakan kemeja putih dipadukan dengan celana panjang berwarna cokelat, sementara kaki mengenakan sepatu sport begitu santai.

“Jadi, urusan cabang perusahaan di sini sudah selesai?” tanya Glenn tak sengaja mengusik Bryan yang menikmati secangkir kopi.

“Aku sudah bisa memercayakan cabang di sini dengan orang kepercayaan yang aku tempatkan di sini. Aku tak bisa lama-lama meninggalkan bank pusat yang ada di New York. Setiap kali ke sini aku selalu bersantai-santai dengan kalian dan teman-temanku. Jadi, aku harus mendisiplinkan diri,” jelas Bryan panjang lebar sembari meletakkan cangkir kopi ke atas meja di hadapannya.

Bola mata abu-abu miliknya terbenam oleh kelopak yang tertutup rapat. Bryan terlihat mematahkan lehernya ke kanan dan ke kiri, melakukan peregangan ringan pada urat lehernya yang menegang.

“Paman terlalu bekerja keras demi perusahaan. Usia Paman juga sudah matang, apa Paman tidak terpikir untuk menikah? Bagaimanapun suatu hari nanti Paman membutuhkan pewaris.”

Bryan menatap Glenn yang mengusik, sementara bibirnya menyimpulkan senyuman lemah. “Ayahmu juga menyarankan hal yang sama, tapi, aku masih nyaman dengan kehidupanku saat ini. Sepertinya merepotkan memiliki istri dan anak. Aku jadi tidak bebas melangkah karena harus memikirkan mereka. Untuk saat ini aku tidak ingin memiliki apa pun yang menghambat pekerjaan dan bisnisku.”

Glenn sangat memahami sosok pamannya itu. Bryan merupakan sosok dingin yang menganggap dunia berputar di sekitarnya. Pamannya itu dikenal memiliki pemikiran yang cerdas sekaligus memiliki harga diri begitu tinggi. Pemikirannya sangat idealis, sehingga tak mengizinkan hal-hal baru merusak rencana yang sudah terstruktur sempurna.

“Apa Paman tidak pernah terpikirkan menikah dan memiliki istri?” tanya Glenn ingin tahu.

Bryan tertawa lemah. “Sudah aku katakan, aku tidak akan melakukan hal yang menghambat segala urusanku.”

“Apa Paman tidak merasa kesepian?”

Lagi-lagi Bryan tertawa mengejek. “Aku tinggal memilih wanita-wanita mana yang menemaniku. Semuanya sederhana, jadi jangan dibuat pusing.”

Glenn memilih tidak mau mendesak, walaupun sejujurnya dia sangat menyayangkan keputusan Bryan. Tidak ada percakapan serupa yang terjadi dalam beberapa waktu.

Tak lama setelah menikmati habis kopi yang tersaji, Bryan berpamitan untuk pulang. Pria tampan itu menolak tawaran Glenn yang ingin mengantar sampai di teras depan. Bryan sudah cukup menyita waktu Glenn, sehingga menurutnya dia tidak ingin mengganggu lebih lanjut.

Saat melintasi lobby, perhatian Bryan terpancing oleh keberadaan istri dari keponakannya yang berjalan masuk menuju IGD bersama dokter pria. Dia ingin mengabaikan, tetapi dia menaruh kecurigaan. Sejak tadi dia bersama dengan Glenn, tapi tidak sedikitpun Glenn menyinggung keberadaan Rebecca di rumah sakit. Itu artinya Glenn tidak mengetahui bahwa Rebecca sedang berada di rumah sakit milik mereka.

Bryan memutuskan untuk diam-diam mencari tahu. Dia berjalan perlahan-lahan, sembunyi-sembunyi mengikuti Rebecca yang berjalan dengan seorang dokter pria.

“Aku minta sembunyikan hal ini dari siapa pun, termasuk suamiku. Biar aku saja nantinya yang akan membicarakan hal ini padanya.”

Hati Bryan terselimuti kebencian pada sosok Rebecca. Dia menilai Rebecca memiliki rahasia tak bermoral sampai berkata demikian. Namun, penilaian itu terpatahkan ketika Rebecca masuk ke dalam satu sekat yang tirainya tertutup rapat. Dari sekat di sebelahnya, Bryan menguping pembicaraan Rebecca dengan seseorang yang terbaring lemah di atas ranjang.

“Kau sudah sadar, Jolie?”

Jolie tak merespon. Perempuan yang baru sadar itu memejamkan kedua matanya.

“Dokter sudah memberitahuku tentang kondisimu. Aku sudah meminta beliau agar tidak membocorkan hal ini—”

“Jadi, memang benar? Aku hamil?” Jolie menyela egois.

Rebecca berdehem ringan. “Siapa ayah dari anak di kandunganmu itu, Jolie?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status