Home / Romansa / Kekuatan Sebuah Cinta / Bab 6. Tenggelam Dalam Kenangan  

Share

Bab 6. Tenggelam Dalam Kenangan  

~ Enam tahun kemudian ~

Mata abu-abu Bryan yang terlindungi kacamata melirik kehadiran seseorang. Pria itu merasa kesal karena pekerjaan yang hampir selesai dikerjakan jadi tertunda. Namun, kehadiran seseorang itu malah menyadarkan Bryan yang tenggelam dalam pekerjaan. Cahaya bohlam yang menerangi ruangan kerja itu memberi tahu Bryan bahwa malam telah menyapa.

“Sekarang sudah jam sembilan malam, Tuan Bryan. Apa Anda yakin tidak mau pesankan makan malam?”

Bryan menghela napas, kemudian menenangkan punggungnya yang lama menegang pada sandaran kursi yang diduduki.

Saat tengkuk lehernya merasa nyaman bersandar, bola mata abu-abunya terbenam oleh kelopak mata yang terpejam. Pria tampan itu bukan berusaha merengkuh ketenangan, melainkan memikirkan hal lain yang akan dilakukannya.

“Tidak perlu, aku ingin pulang,” ucap Bryan yang sudah membuka mata, tetapi tak menoleh pada seseorang yang berdiri di depan meja kerja.

“Apa Anda akan pulang ke rumah atau ke tempat biasa, Tuan Bryan?”

Bryan meneggakkan leher, matanya langsung menatap Pete—sekretaris pribadi yang datang mengganggu. “Aku akan ke tempat biasa.”

“Saya akan memberitahu sopir untuk menunggu Anda di teras lobby—”

“Tidak perlu!” Bryan seketika beranjak dari duduknya, kacamata yang lama dipakai pun telah terlepas dan di letakkan ke atas meja kerja. “Suruh saja dia bersiap. Aku akan naik dari basement saja. Aku tidak mau pulang dengan begitu mencolok.”

“Baik, Tuan Bryan.”

Pete segera sigap bergerak mengikuti Bryan yang lebih dahulu mengambil langkah pergi dari ruangan kerja itu. Orang yang sudah belasan tahun setia bekerja untuk Bryan itu juga menghubungi sopir, memberitahukan bahwa tuan mereka ingin meninggalkan tempat. Pete tak mempermasalahkan sikap dingin Bryan yang terkesan arogan. Dia sudah terbiasa, hanya saja dia merasakan perubahan besar terhadap diri Bryan.

Bryan merupakan sosok pekerja keras, tetapi dia tidak mau terlalu larut dalam pekerjaan sampai betah berlama-lama di ruangan kerja. Ketika sore menyapa, Bryan sudah dipastikan meninggalkan ruangannya. Pria itu bergegas mencari hiburan, entah itu menggelamkan diri di klub malam atau menyeret wanita-wanita cantik ke kediamannya.

Bisa dipastikan Bryan tidak pernah melakukan hal itu. Sudah enam tahun belakangan Bryan lebih memilih tenggelam pada pekerjaan. Bahkan pria tampan itu sering mengencangkan jadwal bisnis, begitu tegas menunjukkan diri yang ambisius tak ingin lemah dalam dunia bisnis.

Tindakannya itu menuai kekecewaan bagi wanita-wanita yang menanti kehadiran Bryan di klub malam ataupun berusaha ingin bertemu. Bryan juga tidak pernah menyeret wanita mana pun ke kediamannya, yang ada wanita-wanita itu berlomba menghubungi dirinya. Tak jarang juga mereka nekat mendatangi kediaman Bryan.

Belakangan itu juga jumlah alkohol dan rokok yang dikonsumsi meningkat, seolah hal itu merupakan sumber kenyamanan bagi Bryan. Bryan juga mengalami insomnia yang berkepanjangan sampai mengharuskan dirinya mengkonsumsi obat tidur.

Malam itu tujuannnya seperti biasa, mendatangi seseorang yang hampir setiap hari Bryan kunjungi. Ketika mobil yang membawanya berhenti di basement sebuah apartemen, Bryan keluar seorang diri dari mobil. Dia tidak ingin Pete ataupun sopir menemani. Kaki jenjang berpantofel hitam itu melangkah tegas tanpa keraguan di lorong hunian apartemen. Meski tenang, Bryan terlihat ingin segera tiba di unit apartemen tujuannya.

Tombol bel di sisi pintu telah Bryan tekan. Gerakannya begitu mendikte, berulang-ulang dia tekan agar penghuni apartemen itu tak membuatnya menunggu.

“Si pengacau datang lagi.” Kalimat sarkas yang mencela nyata keluar dari pemilik hunian yang membuka pintu.

Bryan tak peduli, dia sama sekali tidak sakit hati. Pria tampan itu memilih menerobos masuk ke dalam hunian. Bryan tidak butuh izin masuk, hal itu disebabkan Bryan sudah terbiasa datang ke apartemen itu. Selain itu, penghuninya merupakan sahabat baik bagi Bryan.

Andreas Ramsey merupakan seorang dokter hermatologi. Dia mengenal Bryan ketika mengenyam pendidikan di Amerika. Saat itu Andreas yang berusia 21 tahun mengalami kecelakaan tunggal. Dia yang tinggal mandiri ditolong oleh Bryan. Bryan pula yang mendonorkan darah ketika saat itu Andreas membutuhkan pendonor. Hubungan mereka terjalin baik sejak saat itu.

Andreas juga merupakan orang yang meresepkan obat-obat tidur untuk Bryan. Dia juga orang yang selalu Bryan datangi enam tahun belakangan itu.

“Aku sudah katakan padamu, kau tak perlu datang ke sini lagi.”

Bryan masih bersikap sama, dia tidak peduli pada Andreas yang memprotes kedatangannya. Bryan lebih tertarik memandangi keadaan apartemen yang penuh dengan kotak-kotak.

“Kau benar-benar pindah?” barulah Bryan menatap Andreas yang berjalan.

“Aku tidak menghindar lagi dari orang tuaku yang terus memaksaku pulang,” jelas Andreas melewati Bryan tanpa peduli.

“Sudah lebih dari 20 tahun kau tinggal di sini. Kau juga memiliki pekerjaan di sini, dan yang paling utama, kau benar-benar meninggalkanku sendirian?”

Andreas melayangkan tatapan menjijikkan pada Bryan. “Makanya cari wanita baik-baik dan menikah! Agar kau tidak merasa sendiran. Selain itu, berhenti membujukku dengan kalimat menjijikkan seperti itu! Orang lain yang mendengarnya bisa salah paham!”

“Tidak ada wanita baik-baik di dunia ini.” Bryan menghela napas kesal kemudian membanting tubuhnya di sofa.

Andreas kembali mendekati Bryan dengan membawa sebotol air meniral. “Jangan mengharapkan alkohol di sini, jadi minum ini saja.”

“Kau benar-benar yakin pindah ke London?” Bryan berusaha menghasut sembari menikmati air mineral di tangannya. “Bisa saja alasan mereka meminta kau pulang untuk kau memegang bisnis keluarga hanya akal-akalan saja. Bagaimana jika di sana kau dipaksa menikah? Di keluargamu hanya kau yang belum menikah.”

Bryan tidak berkaca diri! Dia usia yang sama dengan Andreas yaitu menginjak 45 tahun, dia juga masih dengan keputusannya tidak mau menikah.

“Entahlah! Tapi aku tidak keberatan jika mereka memaksaku untuk menikah.”

Andreas menyimpulkan senyuman yang memendam sebuah perasaaan, yang kemudian dia lanjut berkata-kata. “Aku telah mencapai semua mimpi dan cita-citaku. Saat ini tidak ada lagi keinginanku selain mengabdikan diri pada orang tuaku. Walaupun rumah sakit mereka tidak selengkap dan canggih seperti rumah sakit milik keponakanmu, rumah sakit mereka mampu bersaing. Belakangan aku juga terpikirkan ingin menikah setelah kembali menjalin komunikasi dengan seseorang.”

“Siapa? Apa aku mengenalnya?” tanya Bryan sembarangan.

“Seseorang yang aku kenal sejak kecil. Orang tua kami menjalin hubungan baik. Dia cantik dan cerewet. Aku menyukai matanya yang indah, dan sekarang dia semakin cantik.” Wajah Andreas samar-samar merona merah seperti orang kasmaran.

“Lalu kau mau pulang ke London dan mengatakan kau menyukainya?” Bryan tertawa lepas sangat menjengkelkan. “Berhenti berkhayal, Andreas. Kalian sudah lama tidak bertemu, bisa saja dia sudah menikah atau memiliki kekasih.”

“Dia sudah memiliki anak.”

Bryan sesaat terdiam. “Kau menyukai wanita yang sudah menikah dan memiliki anak?”

“Dia singel mother, jadi tidak salah aku masih menaruh harapan padanya.” Andreas mengaku jujur tanpa menutup-nutupi. “Profesinya sama sepertiku, seorang dokter. Dia dokter estetika di London. Dia cukup dikenal karena pasien dan relasinya dari orang-orang terkemuka.”

Bryan terdiam, sementara matanya menusuk tajam kepada Andreas. Pikirannya saat itu telah dipenuhi oleh sosok yang setia mengguncang pikiran. Sosok yang membuat Bryan mengalami insomnia berkepanjangan.

Wanita itu pasti bukan wanita yang sama. Di London ada banyak dokter estetika, bukan hanya wanita itu saja. Bryan bersikeras membangun pemikiran itu.

“Dari pada terus membujukku, sebaiknya pikirkan dirimu sendiri.” Beruntungnya saat itu Andreas mengalihkan pembicaraan. “Berhenti meminum obat tidur, kurangi alkohol dan rokok. Usiamu semakin tua, apa kau mau seperti ini sampai mati? Dan juga, apa kau benar-benar tidak takut tekanan dari pemegang saham?”

“Kau sendiri yang mengatakan jika mereka mendesakmu untuk memiliki pewaris. Mereka tidak salah, Bryan. Perusahaan butuh sosok penerus demi menjaga stabilitas perusahaan. Kau juga tidak bisa mewarisi asset finansial milik ibumu sebelum kau menikah dan memiliki anak. Jika kau bersikeras seperti tidak mau menikah, para pemegang saham yang rakus itu bisa menggesermu dari posisimu saat ini.”

Bryan telah dipenuhi emosi. Dia sepenuhnya kesal pada situasi yang mengacaukan segala rencananya. Entah mengapa belakangan ini hidupnya tidak berjalan sempurna. Selalu ada batu ganjalan yang menghalangi jalannya. Hidup Bryan dihujani batu kerikil menyebalkan sejak malam penuh kekacauan itu terjadi.

“Tidak ada wanita yang pantas aku nikahi. Semua wanita itu selalu munafik, mereka hanya menginginkan hartaku bukan aku,” Bryan mengatakannya dengan lemah.

“Aku rasa Dena—model itu sangat menyukaimu.”

Bryan tertawa kencang. “Kenapa kau terpikirkan dia?”

“Dari semuanya, dia yang setia mengejarmu selama enam tahun ini. Dia tidak peduli bagaimana kau mengusirnya dari hidupmu. Kau bisa saja memanfaatkan dia lewat pernikahan kontrak yang saling menguntungkan, bukan?”

Bryan terperangah antara kesal ataupun setuju pada pendapat Andreas. Sejujurnya juga Bryan pernah terpikirkan ide itu, tapi Bryan enggan melakukannya. Hal itu karena Bryan tidak menaruh perasaan apa pun pada Dena. Bryan sekadar menyukai Dena dalam definisi nafsu. Meskipun Bryan merupakan pria nakal, dia tidak ingin merusak kesucian pernikahan. Jika pun dia harus menikah, itu harus dengan wanita yang dia sukai dalam definisi luas.

“Kapan kau akan berangkat?” tanya Bryan mengalihkan.

“Aku akan berangkat besok.”

Bryan manggut-manggut menanggapi. “Kalau begitu kita masih bertemu di London. Beberapa hari lagi aku memiliki jadwal bisnis di London. Aku akan cukup lama di sana karena pemeriksaan cabang di sana.”

“Kenapa tiba-tiba? Sejak pembukaan cabang di sana kau tidak pernah lagi datang. Apa begitu berat berpisah denganku sampai kau mengatur jadwal bisnis ke London?” Andreas menatap geli, dia sampai merinding.

“Mau bagaimana lagi? Dokterku sudah mengundurkan diri dan tidak mau mengobatiku dari insomnia sialan ini.” Bryan menyindir ketus.

“Sebaiknya kau pergi menemui psikiater untuk mencari tahu masalah dari insomnia itu. Atau kau ingat-ingat lagi apa yang membuatmu kesulitan tidur.”

Bryan tenggelam dalam pikirannya. Dia sangat tahu alasan sebenarnya. Tiba-tiba saja Bryan berkeinginan ingin mengakui. “Setiap kali aku memejam mata, wanita itu selalu muncul di pikiranku. Semakin ingin aku melupakannya, semakin sulit aku melupakannya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status