Beranda / Romansa / Kekuatan Sebuah Cinta / Bab 7. Versi Kecilnya

Share

Bab 7. Versi Kecilnya

Jolie menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dari mobil yang dinaiki. Matanya terpejam, benar-benar melepaskan segala lelah yang diperoleh seharian itu. Seolah-olah dalam seharian itu Jolie tak memiliki waktu untuk sekadar bersantai singkat. Jika diilustrasikan, dia bagaikan robot yang bergerak aktif tanpa henti.

Selama enam tahun belakangan itu Jolie sengaja bekerja aktif. Selain klinik kecantikan yang memiliki kemajuan pesat, dia melebarkan sayap bisnisnya dengan mengeluarkan produk perawatan kulit wajah, tubuh beserta make-up.

Menggunakan merk dagang Doctor Jolie, dokter estetika itu mampu bersaing dengan merk dagang yang lainnya. Produk yang dijual mencakup segala usia dan kalangan, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Bahkan setiap Jolie mengeluarkan produk baru, tidak sampai satu hari produknya habis terjual.

Namanya semakin terkenal, sehingga hampir setiap hari Jolie banyak menerima tawaran mengisi sebuah talkshow on air ataupun off air. Kesibukan Jolie semakin bertambah ketika orang tuanya menyerahkan bisnis mereka kepada Jolie.

Namun, jangan pernah menilai Jolie melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Jolie selalu memaksa meluangkan waktu untuk si kembar Zoey Harper dan Jayden Harper. Setelah menyelesaikan pekerjaan Jolie selalu pulang ke rumah. Jolie jarang mencari ketenangan ataupun hiburan bagi diri yang sudah lelah bekerja. Meluangkan waktu dengan anak-anaknya adalah cara terampuh yang bisa menghilangkan lelah.

Seperti malam itu, Jolie baru saja mendarat di London setelah siang tadi memiliki pekerjaan di Swedia. Dia langsung bertolak pulang ke rumah karena sudah merindukan kedua buah hatinya.

“Kita sudah sampai, Nyonya Jolie.” Stephanie Florian—personal asistant yang duduk di kursi penumpang berhati-hati mengusik Jolie.

Jolie menghela napas setelah membuka mata. “Terima kasih atas kerja kerasmu hari ini, Stephanie. Selamat beristirahat.”

Jolie mengambil tas beserta paper bag di sebelahnya ketika bergegas keluar dari mobil. Namun, keinginannya tertunda ketika mengingat sesuatu.

“Aku lupa memberitahukan padamu, besok siang aku akan lunch dengan temanku. Jadi, aku minta kosongkan jadwalku sampai jam dua siang. Aku juga minta tolong follow up perihal tanah yang baru dibeli kemarin. Ada beberapa dokumen susulan yang belum diberikan, sejak kemarin penjualnya tidak bisa aku hubungi. Bulan depan pabrik baru kita sudah harus dikerjakan, jadi kita tidak bisa menunggu terus,” titah Jolie.

“Baik! Akan saya lakukan. Selamat beristirahat, Nyonya,” jawab Stephanie patuh.

Jolie keluar dari mobil dengan sikap ramah pada Stephanie beserta sopir. Wanita itu melangkah tak sabar ingin segera masuk ke dalam rumah. Jolie disambut oleh Arne Baotes—pengasuh anak-anaknya.

“Selamat datang, Mom.” Seruan manis di depan anak tangga menarik perhatian Jolie. Perempuan cantik itu melayangkan tatapannya, sementara matanya telah teduh menatap putra tampannya.

“Jayden?! Kenapa belum tidur?” Jolie berjalan menghampiri anak laki-laki berambut hitam itu. Dia berjongkok di hadapan Jayden agar memudahkan mencium pipi putranya.

“Bibi Arne mengatakan jika Mommy akan pulang jam sembilan malam. Aku sengaja menunggu Mommy pulang.” Jayden mengulurkan tangannya ke wajah Jolie, jemarinya menebarkan kehangatan lewat belaian lemah. “Mommy sudah makan? Apa pekerjaan Mommy berjalan lancar?”

Ah, manisnya Jayden. Jolie tak butuh pasangan untuk mendapatkan sikap manis serupa. Lewat Jayden, Jolie bisa mendapatkan perhatian dan kehangatan yang mengobati diri dari rasa lelah.

Jayden belum genap berusia enam tahun, tetapi dia memiliki pemikiran paling dewasa dibandingkan kembarannya. Selain itu, Jayden juga mewarisi wajah tampan dari ayah biologisnya. Jayden seperti replika Bryan dalam versi kecil.

Meski setiap kali melihat Jayden mengingatkan Jolie pada sosok Bryan, Jolie tak merasa sakit hati. Hal itu karena Jayden adalah putranya yang manis—yang selalu memahami Jolie.

“Mommy sudah makan, semua pekerjaan hari berjalan sangat baik berkat doa dari anak Mommy.” Bibirnya yang menyimpulkan senyuman manis kembali mendarat lembut di pipi Jayden, kemudian Jolie menyerahkan salah satu paper bag kepada Jayden. “Mommy bawa oleh-oleh untukmu. Itu adalah cookies yang dibuat langsung dari chef-nya.”

“Terima kasih, Mom. Tapi aku akan memakannya besok.”

“Kau tidak ingin mencicipinya sekarang?”

“Aku sudah menyikat gigiku. Lagi pula ini sudah malam, sangat tidak baik bagi tubuhku mengonsumsi makanan manis pada malam hari.”

Oke! Jolie melupakan sikap kritik Jayden. Selain mewarisi wajah tampan ayah biologisnya, mulut tajam Bryan juga menurun pada diri Jayden.

Jolie meringis senyuman kecut yang dipaksa, kemudian teringat ingin menceritakan sesuatan demi mengalihkan pembicaraan. “Di mana Zoey? Apa Zoey sudah tidur?”

“Nona Zoey ada di kamarnya, Nyonya,” Arne menyambut penuh kesopanan.

Jolie beranjak dari posisi berjongkok di depan putranya. Sorot matanya menyempit, sangat fokus memahami ekspresi gugup Arne yang mencurigakan.

“Apa ada sesuatu yang terjadi saat aku tidak ada di rumah?” Jolie tanpa ragu bertanya.

“Nona Zoey kembali demam, tapi, Nona Zoey tidak mau meminum obat penurunan panas,” jelas Arne.

“Kenapa tidak memberitahuku? Sejak kapan dia mengalami demam?” Suara dan wajah Jolie sudah dipenuhi emosi, karena dorongan kesal yang bercampur cemas itu juga Jolie langsung beranjak pergi menuju kamar Zoey.

Tindakannya itu cukup wajar dilakukan, mengingat beberapa bulan belakangan itu kembaran Jayden sering kali mengalami demam. Kesehatan Zoey juga sering kali menurun, padahal Jolie selalu memperhatikan kesehatan anaknya.

Bersama Arne, Jayden juga mengikuti langkah Jolie yang tergesa-gesa. Anak laki-laki sempat melirik Arne yang cemas dan takut. Sehingga dia berencana memberikan pembelaan pada pengasuhnya itu.

“Demam Zoey baru saja, Mom. Bibi Arne sudah berusaha ingin memberi tahu Mommy, tapi handphone Mommy tidak aktif.”

Benar, handphone Jolie dalam keadaan tidak aktif. Bahkan sampai sekarang Jolie belum mengaktifkan handphone-nya, itu karena Jolie terburu-buru ingin sampai rumah kemudian melepaskan rindu pada anak-anaknya.

Emosi Jolie meredup ketika mereka tiba di kamar Zoey. Lewat lirikan mata yang singkat Jolie melayangkan permintaan maaf pada Arne yang berada di belakang Jayden.

Pintu kamar yang tertutup rapat diterobos oleh Jolie tanpa meminta izin terlebih dahulu. Jolie sesaat terdiam memindai keadaan kamar Zoey yang cukup berantakan.

Di ranjang tidur Zoey, selimut merah muda terlipat tak rapi—seperti baru digunakan. Di meja belajar Zoey terdapat kotak P3K yang terbuka—lengkap dengan gunting kecil di sebelahnya.

Hal yang menarik perhatian Jolie adalah lembaran-lembaran tissue yang ternodai warna merah telah berantakan di lantai. Bukan hanya itu saja, di lantai kamar itu juga terdapat noda setitik merah yang diduga darah—mengarah ke kamar mandi.

Zoey tidak ada di kamar tidurnya.

Suara kran air yang menyala di kamar mandi mengundang perhatian Jolie. Sudah pasti Zoey ada di sana, sehingga Jolie terdorong cepat untuk memastikannya. Dugaan Jolie itu menjurus pada kebenaran. Jolie merasa kesal ketika mendapati pintu kamar mandi itu terkunci.

“Zoey?! Sweetheart?! Kau ada di dalam?” suaranya melantun lembut meski diserang cemas. “Zoey?! Ini, Mommy! Apa yang sedang kau lakukan di dalam? Kenapa kau mengunci pintunya? Kenapa kau tidak menyahut, Sweetheart?” cecar Jolie semakin panik mengetuk-ngetuk pintu.

Prank! Suara nyaring dari pecahan kaca yang terjatuh menginterupsi kepanikan Jolie.

Jolie terdiam merasakan kecemasan yang menyiksa jiwa, sampai-sampai napasnya tertahan karena diserang ketakutan. “Z-Zoey ... Zoey? Apa yang terjadi padamu, Zoey?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status