Handphone yang menempel di sisi kiri telinga berakhir dijauhkan setelah menyudahi pembicaraan. Saat itu telah terukir senyuman malu yang tertahan di bibir yang terkulum, sedangkan pikirannya masih tergenangi kenangan panas beberapa jam lalu. Kemarin malam, Bryan benar-benar kehilangan prinisip tentang wanita. Pria tampan berusia 39 tahun itu kehilangan akal dalam kenikmatan erotis yang membuatnya ketagihan.
Bryan terkekeh lemah mengingat dirinya mengaku suka pada Jolie. Dia mengejek diri sendiri yang bisa bersikap meyakinkan, padahal penuh kepalsuan. Bagi seorang Bryan McKinney, wanita hanya sebuah permainan dan kesenangan. Menurutnya hal yang biasa pria dan wanita melakukan percintaan seperti kemarin, tanpa perlu memiliki rasa apalagi menjalin sebuah hubungan.
Wanita penuh kepalsuan, tidak ada sebuah ketulusan yang melekat pada wanita. Pendapat itu didukung kuat pada setiap wanita-wanita yang berlomba-lomba merangkak ke ranjang tidur Bryan. Sehingga Bryan percaya diri ikut memainkan taruhan dengan teman-temannya di lounge bar kemarin malam.
Anehnya, Bryan merasakan hal berbeda pada Jolie. Selain perawan pertama yang dinikmati, pesona Jolie yang mengerang begitu manis. Gairah Bryan terbakar melihat lemahnya Jolie di bawah tindihannya. Ada sensasi aneh yang Bryan rasakan. Bryan benar-benar dalam kegilaan nyata yang menghasutnya sulit melepaskan Jolie dari pelukannya.
Mungkin Jolie perawan pertama yang dinikmati, sehingga Bryan merasakan kesan berbeda.
Dua paper bag beserta satu bungkusan putih Bryan raih dari atas meja. Banker kaya raya itu berjalan menuju kamar tidur dan berniat memberikan paper bag beserta bungkusan putih kepada Jolie.
Bryan terkejut mendapati Jolie sedang membelakangi sudah mengenakan pakaian. Pria tampan itu menutupi keterkejutan itu dengan berjalan tenang menghampiri Jolie.
“Apa yang kau lakukan?” Bryan menarik tangan Jolie. Mata keabu-abuannya tak berkedip melihat Jolie yang sudah menangis. “Apa yang terjadi padamu, Jolie? Kenapa kau menangis?”
Jolie hanya bisa bereaksi gemetar. Perasaannya begitu muak pada Bryan yang masih saja bersikap manis.
“Apa kemarin begitu sakit? Sampai kau menangis seperti ini—”
“Bagaimana perasaanmu setelah memenangkan taruhan itu?” Jolie menyela dengan suara serak yang gemetar.
Bryan tak berkedip memperhatikan Jolie. “Kau tahu?”
“Aku mendengar pembicaraanmu barusan.” Jolie mengakui.
Bryan bersikap tenang seolah tidak melakukan kesalahan. Caranya melepaskan tangan Jolie begitu santai, kemudian berpaling membelakangi Jolie untuk duduk ke sebuah tepian ranjang tidur begitu tanpa beban.
“Kau mau mengetahui semuanya? Atau garis besarnya saja?”
Perasaan Jolie semakin tak keruan melihat ketenangan sikap Bryan. Jolie—sampai tidak mampu berkata-kata, seolah lewat wajahnya yang memucat sudah menegaskan Bryan harus menjelaskan keseluruhan.
“Sepertinya kau sangat ingin tahu.” Bryan berbasa-basi sejenak. “Pria-pria yang datang mengganggumu adalah teman-temanku. Kami datang sebelum kau datang dan duduk di meja bartender. Mereka menyukaimu yang cantik, karena kau menolak, mereka memainkan sebuah taruhan. Siapa yang berhasil mengajakmu tidur, dia akan memenangkan taruhan.”
“Aku datang ke sana hanya berniat memenuhi undangan reuni lalu minum beberapa gelas, tapi mereka memaksaku untuk ikut dalam taruhan,” lanjutnya menyakiti.
Jolie mengatur napasnya di tengah-tengah air mata yang tak mau berhenti. “Kemarin malam ... kau membohongiku?”
“Kau terlalu naif, Jolie.”
Napas Jolie tercekat, pikirannya juga kehilangan akal. Tubuhnya yang masih merasakan sakit tiba-tiba saja tersiksa lemas.
Semua itu tidak nyata, ‘kan? Jolie tidak mungkin menyukai pria yang salah, apalagi sampai salah menilai.
Jolie meyakini bahwa Bryan merupakan pria baik-baik. Bryan bukanlah sosok sembarangan. Selain sikap dan pembawaannya yang tenang, dia juga merupakan paman dari sahabat sekaligus orang yang dikenal dengan baik.
Tapi apa benar Jolie yang terlalu mudah percaya? Atau Bryan yang terlalu pintar menipu?
“Aku menyukaimu, Bryan!”
“Aku tahu. Sikapmu sama dengan wanita-wanita yang datang di kehidupanku.” Bryan masih tak merasa bersalah.
“Kau berbohong ‘kan, Bryan?” Jolie berusaha meyakini.
“Apa aku terlihat berbohong?”
“Kemarin kau mengatakan bahwa kau menyukaiku, Bryan!”
Bryan menghela napas kasar, kemudian beranjak dari duduk dan berdiri di depan Jolie yang menangis. “Siapa yang tidak suka pada gadis cantik sepertimu?! Apa aku salah menyukai gadis cantik?”
“K-kita ... k-kemarin kita ... kita melakukan hubungan yang dilakukan—”
Bryan tertawa, bahkan belum sempurna Jolie menyelesaikan perkataannya. Tawanya itu begitu mengejek pernyataan Jolie. Secara sadar merendah dan menghina perasaaan Jolie yang susah payah diungkapkan.
“Pria biasa melakukan hal seperti itu dengan gadis yang bukan kekasihnya,” ucap Bryan dengan sadar mematahkan perasaan Jolie. “Kau saja yang salah karena terlalu mudah percaya, tapi aku mengakui bahwa kau benar-benar sempurna, Jolie.”
Jolie dipaksa mengakui bahwa perasaannya salah. Lebih tepatnya dia menaruh perasaan pada pria yang salah. Yang seharusnya Jolie tak nilai dari wajah tampannya yang mengagumkan, kepribadiannya yang tenang dan latar belakang hubungan keluarga yang baik.
Jolie telah dibodohi. Dia ditipu secara mentah-mentah dan dicurangi secara tak adil. Tidak peduli bagaimana tulusnya Jolie memberikan hal berharga, Bryan masih setia bersikap tenang tanpa berdosa.
“Apa kau bukan sekali melakukan ini?” suara Jolie masih gemetaran, dia masih menangis tanpa dibuat-buat.
“Kau sudah dewasa, ‘kan? Hal seperti kemarin sudah biasa dilakukan oleh orang dewasa.”
Jolie terpaku, hatinya hancur. Dia benar-benar terjerumus ke dalam jurang yang mengacaukan kehidupannya.
“Aku telah menyiapkan pakaian untukmu.” Bryan mengabaikan, melemparkan pandangan mata ke arah paper bag di atas ranjang. “Kau bisa mengganti pakaianmu dengan pakaian itu. Setelah sarapan, sopir akan mengantarmu pulang.”
“Apa kau merasa tidak bersalah, Bryan?” Jolie masih bersikeras menyadarkan.
“Biasa saja, Jolie! Memangnya apa yang salah?” Bryan terheran-heran menatap Jolie, matanya sampai memicing tajam mendikte Jolie. “Kita melakukannya tanpa paksaan. Kau bersedia melakukannya—”
“Itu karena aku percaya padamu, Bryan! Karena aku percaya pada pria yang aku sukai!”
“Dan aku juga menyukaimu! Puas?!”
“Suka yang aku rasakan berbeda denganmu, Bryan!” Jolie sedikit membentak, telunjuknya sampai menunjuk-nunjuk ke wajah Bryan karena dorongan kesal. “Aku menyukaimu bukan karena fisik atau apa pun itu! Aku menyukaimu karena kepribadianmu, karena kau baik.”
“You’re so full of shit, Jolie!” Bryan tak mau kalah membentak. Suaranya yang memberat semakin mencekam oleh gerahamnya yang menggemeretak kasar. “Bersikaplah dewasa dan jangan kekanak-kanakan. Kita melakukan hal biasa dilakukan oleh orang dewasa.”
Bryan menenangkan emosinya dengan cara beranjak dari hadapan Jolie. Pria tampan itu mengambil bungkusan putih di dekat paper bag, setelahnya kembali menghampiri Jolie.
“Kau harus meminum ini agar sesuatu hal tidak merusak segala urusan kita.” Bryan meletakkan bungkusan putih itu ke tangan Jolie.
Belum sempat Jolie memeriksa isi di dalam bungkusan putih itu, Bryan sudah memberikan penjelasan yang paling menyakiti perasaan Jolie.
“Kau tidak boleh hamil. Kau juga tidak boleh memberi tahu hal ini kepada siapa pun, termasuk keluarga kita. Aku tidak mau segala urusanku dirusak oleh hal-hal tidak penting seperti ini,” dikte Bryan penuh penekanan tak terbantahkan.
Mata Jolie berlinang air mata mendengar kalimat menyakitkan yang lolos di bibir Bryan.
Teh panas mulai dingin, dessert-dessert cantik di depan mata sudah tersaji lengkap sesuai pesanan. Namun, Jolie masih bergeming dingin tak berperasaan. Perempuan cantik itu masih belum mau menyentuh apa pun sejak duduk.Rebecca yang duduk bersebrangan telah terheran-heran mengamati Jolie. Dia bingung pada Jolie yang bersikap tak seperti biasa. Dia dan Jolie saling mengenal sejak lama. Hubungan mereka sangat baik, bahkan Rebecca sudah dianggap seperti saudara kandung bagi Jolie.Hubungan mereka semakin tak terputuskan ketika Rebecca menikah dengan pria yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga Jolie. Pria itu adalah keponakan dari Bryan—pria jahat yang menghancurkan Jolie.Apa pun yang bersangkutan dengan Jolie, Rebecca sangat peduli. Dia merasakan perubahan sikap Jolie selama sebulan lebih itu. Jolie yang terbiasa ceria dan cerewet tiba-tiba menjadi pediam. Jolie selalu mengurung diri di rumah dan menghindari acara apa pun, baik dari keluarga Jolie maupun keluarga Rebecca.Ayah dan
Jolie menolak memberikan jawaban. Sikapnya itu sangat konsisten, tak peduli seberapa besar Rebecca memaksa. Dia hanya akan menjawab pertanyaan yang tidak berkaitan dengan kehamilannya.Jolie semakin dingin dan menutup perasaan. Sikapnya yang selalu ceria seolah tak pernah ada, karena sepanjang berada di rumah sakit Jolie lebih tenang menunjukkan sikap dingin tak berperasaan.Rebecca sampai kehilangan akal. Ketika menemani Jolie memeriksakan kehamilannya, Jolie tidak banyak bersuara. Dia hanya terpaku menatap layar monitor—yang di mana terlihat jelas keberadaan janin di rahimnya. Bahkan ketika buliran air mata jatuh membasahi pipi, Jolie tak berekspresi sama sekali.Rebecca berpendapat situasi kehamilan Jolie pasti suatu keadaan yang mengguncang jiwa Jolie. Jolie tidak akan bereaksi seperti itu jika kehamilan itu telah dinanti ataupun direncakan. Selain itu, siapa pria yang bertanggung jawab atas kehamilan Jolie? Rebecca sangat mengenal Jolie. Sahabat baiknya itu tidak memiliki hubunga
Jolie terpaku menatap Bryan. Mata indahnya tak berkedip, seperti tak ingin melewatkan ekspresi di wajah Bryan. Tanpa peduli buliran air mata mulai menggenangi, Jolie bersikeras mengabadikan ekspresi Bryan yang tenang tak bersalah.Di dalam keheningan diri itu Jolie mencoba menggali-gali alasan dia menyukai pria yang masih menyentuh pipinya. Bahkan sampai detik itu Jolie tak memercayai diri yang salah menyukai Bryan. Lebih tepatnya Jolie mencintai Bryan hingga rasanya sangat menyakitkan.“Apakah begitu susah buat kamu melihat aku?” suara parau Jolie yang gemetaran telah memecahkan keheningan.Bryan tersenyum sinis. “Apa maksudmu?”“Aku menyukaimu, Bryan,” tegas Jolie menekankan.“Jolie ... enough!” Bryan setengah menggeram karena kesal, tangannya di pipi Jolie sampai hampir mengepal. “Aku tidak suka mengatakan hal yang sama. Tapi, melihatmu yang keras kepala ... baiklah. Aku tidak menyukaimu, Jolie Harper.”“Aku mencintaimu, Bryan.” Jolie menjawab dengan sangat keras kepala.“Kau ingin
~ Enam tahun kemudian ~Mata abu-abu Bryan yang terlindungi kacamata melirik kehadiran seseorang. Pria itu merasa kesal karena pekerjaan yang hampir selesai dikerjakan jadi tertunda. Namun, kehadiran seseorang itu malah menyadarkan Bryan yang tenggelam dalam pekerjaan. Cahaya bohlam yang menerangi ruangan kerja itu memberi tahu Bryan bahwa malam telah menyapa.“Sekarang sudah jam sembilan malam, Tuan Bryan. Apa Anda yakin tidak mau pesankan makan malam?”Bryan menghela napas, kemudian menenangkan punggungnya yang lama menegang pada sandaran kursi yang diduduki.Saat tengkuk lehernya merasa nyaman bersandar, bola mata abu-abunya terbenam oleh kelopak mata yang terpejam. Pria tampan itu bukan berusaha merengkuh ketenangan, melainkan memikirkan hal lain yang akan dilakukannya.“Tidak perlu, aku ingin pulang,” ucap Bryan yang sudah membuka mata, tetapi tak menoleh pada seseorang yang berdiri di depan meja kerja.“Apa Anda akan pulang ke rumah atau ke tempat biasa, Tuan Bryan?”Bryan meneg
Jolie menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dari mobil yang dinaiki. Matanya terpejam, benar-benar melepaskan segala lelah yang diperoleh seharian itu. Seolah-olah dalam seharian itu Jolie tak memiliki waktu untuk sekadar bersantai singkat. Jika diilustrasikan, dia bagaikan robot yang bergerak aktif tanpa henti.Selama enam tahun belakangan itu Jolie sengaja bekerja aktif. Selain klinik kecantikan yang memiliki kemajuan pesat, dia melebarkan sayap bisnisnya dengan mengeluarkan produk perawatan kulit wajah, tubuh beserta make-up.Menggunakan merk dagang Doctor Jolie, dokter estetika itu mampu bersaing dengan merk dagang yang lainnya. Produk yang dijual mencakup segala usia dan kalangan, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Bahkan setiap Jolie mengeluarkan produk baru, tidak sampai satu hari produknya habis terjual.Namanya semakin terkenal, sehingga hampir setiap hari Jolie banyak menerima tawaran mengisi sebuah talkshow on air ataupun off air. Kesibukan Jolie semakin bertambah ketika
Saat belum mendapatkan jawaban, Jolie cepat berinisiatif pergi mengambil kunci cadangan. Dia tidak bisa berdiam diri sembari memanggil-manggil Zoey. Baru beberapa langkah berjalan pergi, Jolie diinterupsi oleh suara pintu yang terbuka. Dia langsung menoleh dengan tubuh gemetaran cemas, sementara mata biru keabu-abuan miliknya telah membulat sempurna. Entah harus lega ataupun terkejut, Jolie tak bisa berkata-kata melihat keadaan Zoey yang berdiri di ambang pintu.Kembaran Jayden itu muncul dengan ekspresi bingung. Lebih tepatnya, Zoey Harper—putri sulung Jolie itu menunjukkan ekspresi tak bersalah. Berbanding jauh dari yang dikhawatirkan, Zoey seperti tidak mengalami apa pun. Wajah cantiknya sedang terselimuti masker cokelat, sementara bibirnya agak basah karena memakai pelembab bibir yang sedikit membuat pucat di kulit bibirnya.“What happend, Mom?” tanya Zoey terheran.“Apa yang kau lakukan di dalam?” Jayden bersuara tak sabar.“Hei, Jayden! Aku ini kakakmu! Sudah berulang kali aku k
Semalaman Jolie tak bisa tidur setelah mendapatkan kabar buruk. Padahal tubuhnya sudah sangat lelah, tulang-tulangnya seperti remuk dan ingin sekali beristirahat. Setiap kali matanya ingin terpejam, masalah yang menyakitkan pikiran terus berputar-putar. Rasa pusing di kepala pun semakin terasa menyakitkan dan membuat tak nyaman. Ahasil, Jolie mempercepat diri ke kantor setelah mengantar anak-anaknya ke sekolah.“Perkiraan kerugian yang kita alami adalah sekitar satu juta poundsterling.”Di ruangan kerja, mata Jolie terpejam rapat ketika mendengarkan penjelasan Stephanie. Jolie benar-benar lemas menghadapi fakta menyakitkan itu.“Legal manager juga ikut terlibat. Bahkan, beliau yang mendalangi semuanya.”Jolie menghela napas kasar. “Dia beralasan mengambil cuti panjang, tetapi dia melakukan ini semua di belakangku. Padahal aku sudah begitu baik dengannya, aku sampai menaruh kepercayaan penuh padanya yang menyangkut legalitas hukum klinik dan perusahaan.”Sangat menyakitkan dikhianati o
Bryan tidak bisa mengubur rasa penasarannya terhadap Zoey. Mata abu-abunya sampai tak lepas mengawasi gadis kecil itu, Bryan sempat beberapa kali tak fokus ketika berbicara pada kepala sekolah beserta staff sekolah yang mendampingi.Harper? Bryan bersikeras berpendapat bukan hanya keluarga wanita itu saja yang memakai nama belakang serupa. Sayangnya, semakin keras Bryan meyakinkan diri, semakin besar pula keinginannya bertanya-tanya langsung pada gadis kecil itu.Pria tampan itu meminta langsung pada kepala sekolah untuk mengatur dirinya berbicara santai dengan Zoey tanpa diganggu oleh siapa pun. Meski sempat menaruh curiga, kepala sekolah dan wali kelas akhirnya mau mengatur tempat di taman sekolah.Bryan duduk berhadapan dengan Zoey yang tak bosan tersenyum manis. Mata abu-abunya tajam memindai Zoey, benar-benar tak ingin keliru menatap gadis kecil yang tak kenal takut itu.“Siapa namamu tadi? Zoey Harper?” Bryan berbicara tenang.Zoey mengangguk. “Kenapa Tuan ingin bertemu denganku