Jolie menolak memberikan jawaban. Sikapnya itu sangat konsisten, tak peduli seberapa besar Rebecca memaksa. Dia hanya akan menjawab pertanyaan yang tidak berkaitan dengan kehamilannya.
Jolie semakin dingin dan menutup perasaan. Sikapnya yang selalu ceria seolah tak pernah ada, karena sepanjang berada di rumah sakit Jolie lebih tenang menunjukkan sikap dingin tak berperasaan.
Rebecca sampai kehilangan akal. Ketika menemani Jolie memeriksakan kehamilannya, Jolie tidak banyak bersuara. Dia hanya terpaku menatap layar monitor—yang di mana terlihat jelas keberadaan janin di rahimnya. Bahkan ketika buliran air mata jatuh membasahi pipi, Jolie tak berekspresi sama sekali.
Rebecca berpendapat situasi kehamilan Jolie pasti suatu keadaan yang mengguncang jiwa Jolie. Jolie tidak akan bereaksi seperti itu jika kehamilan itu telah dinanti ataupun direncakan. Selain itu, siapa pria yang bertanggung jawab atas kehamilan Jolie? Rebecca sangat mengenal Jolie. Sahabat baiknya itu tidak memiliki hubungan dengan pria mana pun.
“Kau masih belum mau bercerita?” tanya Rebecca berhati-hati ketika tiba di rumah Jolie.
“Terima kasih telah merawatku, Becca. Tapi, aku benar-benar ingin sendiri.” Jolie terpaksa memberikan senyuman memelas di wajahnya yang masih memucat.
“Beri tahu aku alasanmu jadi seperti ini? Apakah pria itu sangat buruk? Sampai kau tidak mau cerita padaku yang bukan orang lain bagimu, Jolie?!”
‘Sangat buruk! Aku bahkan tidak berniat untuk kembali bertatap muka dengan pria itu. Aku menyesali telah jatuh cinta dengan pria tampan berhati iblis itu,’ batin Jolie menjerit. Di balik hatinya yang mencela kejam, Jolie hanya bisa bersikap tenang kepada Rebecca yang putus asa membujuk.
“Sebaiknya kau pulang, Becca. Ini sudah hampir malam, suami dan anakmu pasti mencarimu. Bukankah malam ini kalian mengadakan dinner? Lagi pula, tidak baik bagi ibu hamil kelelahan. Jika suamimu yang cerewet itu tahu aku telah merepotkanmu, dia akan memarahiku habis-habisan.”
Rebecca menghela napas kasar atas perkataan Jolie. Sejujurnya, Rebecca merasa cukup lelah karena kondisi kehamilannya yang sudah membesar. Dia juga tak mungkin absen dari dinner keluarga di kediaman ayah mertuanya.
Akan tetapi, Rebecca tidak bisa mengabaikan Jolie. Jolie adalah orang paling berjasa di hidupnya. Jolie selalu ada saat dulu Rebecca berada di masa-masa sulit. Jika bukan karena Jolie beserta orang tuanya, pasti dia tidak mungkin akan berada di titik ternyaman dalam hidupnya saat itu.
Namun kembali lagi, Rebecca tak bisa mengimbangi keras kepalanya Jolie. Dia memilih mengalah dan menuruti permintaan. Mungkin dengan memberi waktu, Jolie akhirnya mau menceritakan segala masalah itu kepada dirinya.
“Kau ingat perkataan dokter? Awal-awal kehamilan memang seperti itu, kau akan kehilangan nafsu makan dan mengalami mual yang begitu hebat. Tapi, kau tidak boleh egois. Kau harus menjaga nutrisi makananmu. Kau dengar itu, Jolie?”
Wajah dingin Jolie akhirnya cerah oleh Rebecca yang mengomel panjang. Perempuan cantik itu tertawa untuk pertama kalinya. “Aku dengar, Becca!” sahutnya menggoda.
“Aku tidak akan memberitahukan hal ini—”
“Kau boleh memberitahukan pada siapa pun.” Jolie sengaja memotong karena tak enak hati berlarut merepotkan sahabatnya. “Tidak ada yang perlu kita sembunyikan, perutku juga akan membesar nantinya. Besok aku akan menceritakan kehamilan ini pada orang tuaku.”
“Boleh aku tahu apa rencanamu?” Rebecca kembali berhati-hati bertanya.
“Aku akan bertanggung jawab sendiri atas anak-anakku.”
“Kau tidak berniat untuk menemui pria itu—”
“Dia tidak menginginkan kehadiran anak-anak ini, Becca.” Jolie kehilangan kendali karena cukup lelah pada desakan intimidasi. “Dia membenciku dan anak-anak ini, dan aku tidak berniat menagih tanggung jawab dari pria jahat seperti dia, Becca.”
***
Jolie kembali mengeluarkan isi makanan di dalam perutnya. Perempuan berambut blonde itu benar-benar tak mampu menahan rasa mual—yang mendesak egois dari dalam perut. Padahal beberapa waktu lalu Jolie berhasil menelan beberapa gigitan dari selembar roti. Dia juga cukup percaya diri nafsunya kembali setelah menengguk segelas susu cokelat hangat.
Sayangnya, Jolie tak berdaya menghadapi fase kehamilan di tahap-tahap awal itu. Dia keluar dari kamar mandi setelah membasuh mulutnya yang basah. Tubuhnya yang lemah dibaringkan ke atas ranjang, dia bertelentang nyaman dengan pandangan tersajikan pemandangan langit-langit kamar.
Tanpa sadar Jolie meraba-raba perutnya yang masih rata. Saat itu pikirannya kembali berkecamuk pada seluruh cemas dan getir yang menyatu. Ada dua janin yang hidup di rahimnya.
Tubuhnya gemetar, sementara napas mulai sesak tak beraturan. Emosi kekecewaan yang tertahan berakhir dilepaskan tanpa ragu. Jolie menangis sesenggukan, melepaskan seluruh kesedihan yang mendalam.
Seharusnya malam itu Jolie tidak terlalu luluh dengan perkataan manis sehingga tidak percaya pria yang dicintai telah membalas perasaannya. Seharusnya Jolie tidak larut dari rasa sakit hati, sehingga dia tidak mengabaikan pil yang diberikan oleh pria kejam itu.
Semua sudah terjadi, tidak ada guna Jolie menyesali. Jolie menyalahkan diri sendiri yang terlalu bodoh. Dia tidak bisa menyalahkan dua janin yang tak berdosa itu, meski Jolie sungguh membenci Bryan.
Suara bel yang berbunyi mengusik Jolie. Cepat-cepat Jolie menghapus air mata di pipi, dia segera menghilangkan jejak kesedihan di wajah. Dia berusaha menebak siapa yang datang pada malam hari itu. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam, itu bertepatan dengan waktu selesai acara dinner di kediaman ayah mertua Rebecca.
Mustahil itu orang tuanya. Jolie sudah memberi tahu bahwa dia sendiri yang akan bercerita pada kedua orang tuanya. Atau mungkin itu adalah Rebecca? Mengingat betapa khawatirnya Rebecca saat pulang tadi.
Pendapat itu salah sepenuhnya. Jolie terkejut sampai tak bisa berkata-kata ketika membuka pintu rumahnya. Tamu yang datang adalah orang yang paling tidak ingin Jolie temui.
“Aku ingin kita bicara di dalam.” Dia adalah Bryan—yang menyapa tenang tanpa berbasa-basi menyapa.
“Tidak ada yang harus kita bicarakan!” Jolie cepat-cepat ingin menutup pintu setelah tegas menolak. Gerakan Jolie berakhir kalah dari Bryan yang cepat mencengkram handle pintu dan mendorong tanpa peduli Jolie bersusah payah menahan.
“Kita harus bicara.” Bryan tegas mendikte tanpa menatap Jolie. Dia juga dengan tidak sopan masuk ke dalam rumah, padahal Jolie tidak mengizinkan. Sikap kurang ajarnya berlanjut ketika Bryan duduk di sofa ruangan tamu.
“Keluar dari rumahku!” Jolie mengusir.
“Aku tidak akan pergi sebelum kita berbicara.” Bryan masih dengan ketenangannya duduk di sofa.
“Aku tidak ingin bicara denganmu, Bryan!”
Mata abu-abu Bryan melayangkan tatapan tajam yang kejam. Lirikannya beralih pada pria di sebelah Jolie yang merupakan lawyer pribadinya.
“Tutup dan kunci pintunya, lalu bawa Jolie duduk di hadapaku!” titah Bryan tak terbantahkan seperti dia tuan rumahnya.
Sederet kalimat kasar sudah tersusun di ujung lidah Jolie. Emosi dan kebencian pun bertambah sehingga Jolie ingin sekali menampar kemudian menyeret pria itu keluar dari rumahnya.
“Jangan buat aku bertindak kasar pada wanita yang sedang hamil, Jolie.”
Baru Jolie menyadari maksud kedatangan Bryan. Walaupun bingung entah dari mana Bryan mengetahui, Jolie enggan menurut dan memilih berdiri.
“Jadi, kau tidak mau duduk?” Bryan cukup kesal bertanya, dia sampai tertawa kesal. “Terserah kau saja! Aku tidak akan menolongmu jika kau pingsan atau apalah itu.”
“Kau tahu dari siapa tentang kehamilanku?” Jolie mengabaikan perkataan kejam Bryan.
“Tidak penting aku tahu dari siapa—”
“Aku tanya kau tahu dari siapa?” Jolie membentak kesal. Suara yang gemetar terdengar kasar dan menghardik.
Bryan tertawa mengejek. “Kau memang keras sekali. Tapi, baiklah kalau kau ingin tahu. Aku mengikuti Rebecca ke IGD. Aku mendengar pembicaraan kalian. Apa kau sudah cukup puas?”
Mulut Jolie yang ingin mencela terhalangi oleh Bryan yang bersuara.
“Apa itu anakku?”
Jolie memalingkan tatapannya. Dia mengabaikan Bryan yang sangat konyol bertanya.
“Kau tidak minum pil yang aku berikan?” tanya Bryan lagi menambah kekesalan Jolie. “Kalau begitu itu bukan kesalahanku. Aku sudah menyuruhmu untuk menghindari hal seperti ini. Jadi, kau tidak berhak menuntut pertanggungjawaban dari diriku.”
Mulut tajam Bryan menarik pandangan Jolie. Mata biru keabu-abuan Jolie telah melayangkan tatapan tajam penuh kebencian sangat nyata.
“Aku sama sekali tidak berharap tanggung jawab darimu!” Jolie tegas membela diri.
Bryan kembali tertawa mengejek sikap Jolie. Pria tampan itu melayangkan kode pada pria di sebelah Jolie, yang kemudian meletakkan sebuah dokumen di atas meja.
“Buktikan ucapanmu dengan menandatangi dokumen ini.” Mata abu-abu Bryan berkilatan tajam, begitu tegas menghardik Jolie agar tidak melawan.
“Kau tidak boleh menuntut apa pun dari diriku mengenai kehamilan itu. Kau juga tidak boleh mencemari nama baikku dan dilarang memberi tahu bahwa aku yang menghamilimu. Jika keluargaku atau siapa pun mengetahui hal ini, aku akan melaporkanmu dengan tuduhan penipuan dan pencemaran nama baik.”
Belum sempat menata perasaannya yang hancur, Jolie tersentak oleh Bryan yang beranjak dari duduk dan memaksa Jolie memegang dokumen itu.
Dalam kegilaannya, Bryan dengan tenang menyentuh pipi Jolie yang dibanjiri oleh airmata. “Atau mungkin kau bisa menggugurkan kehamilan itu. Aku akan membantumu jika kau memilih untuk menggugurkannya.”
Jolie terpaku menatap Bryan. Mata indahnya tak berkedip, seperti tak ingin melewatkan ekspresi di wajah Bryan. Tanpa peduli buliran air mata mulai menggenangi, Jolie bersikeras mengabadikan ekspresi Bryan yang tenang tak bersalah.Di dalam keheningan diri itu Jolie mencoba menggali-gali alasan dia menyukai pria yang masih menyentuh pipinya. Bahkan sampai detik itu Jolie tak memercayai diri yang salah menyukai Bryan. Lebih tepatnya Jolie mencintai Bryan hingga rasanya sangat menyakitkan.“Apakah begitu susah buat kamu melihat aku?” suara parau Jolie yang gemetaran telah memecahkan keheningan.Bryan tersenyum sinis. “Apa maksudmu?”“Aku menyukaimu, Bryan,” tegas Jolie menekankan.“Jolie ... enough!” Bryan setengah menggeram karena kesal, tangannya di pipi Jolie sampai hampir mengepal. “Aku tidak suka mengatakan hal yang sama. Tapi, melihatmu yang keras kepala ... baiklah. Aku tidak menyukaimu, Jolie Harper.”“Aku mencintaimu, Bryan.” Jolie menjawab dengan sangat keras kepala.“Kau ingin
~ Enam tahun kemudian ~Mata abu-abu Bryan yang terlindungi kacamata melirik kehadiran seseorang. Pria itu merasa kesal karena pekerjaan yang hampir selesai dikerjakan jadi tertunda. Namun, kehadiran seseorang itu malah menyadarkan Bryan yang tenggelam dalam pekerjaan. Cahaya bohlam yang menerangi ruangan kerja itu memberi tahu Bryan bahwa malam telah menyapa.“Sekarang sudah jam sembilan malam, Tuan Bryan. Apa Anda yakin tidak mau pesankan makan malam?”Bryan menghela napas, kemudian menenangkan punggungnya yang lama menegang pada sandaran kursi yang diduduki.Saat tengkuk lehernya merasa nyaman bersandar, bola mata abu-abunya terbenam oleh kelopak mata yang terpejam. Pria tampan itu bukan berusaha merengkuh ketenangan, melainkan memikirkan hal lain yang akan dilakukannya.“Tidak perlu, aku ingin pulang,” ucap Bryan yang sudah membuka mata, tetapi tak menoleh pada seseorang yang berdiri di depan meja kerja.“Apa Anda akan pulang ke rumah atau ke tempat biasa, Tuan Bryan?”Bryan meneg
Jolie menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dari mobil yang dinaiki. Matanya terpejam, benar-benar melepaskan segala lelah yang diperoleh seharian itu. Seolah-olah dalam seharian itu Jolie tak memiliki waktu untuk sekadar bersantai singkat. Jika diilustrasikan, dia bagaikan robot yang bergerak aktif tanpa henti.Selama enam tahun belakangan itu Jolie sengaja bekerja aktif. Selain klinik kecantikan yang memiliki kemajuan pesat, dia melebarkan sayap bisnisnya dengan mengeluarkan produk perawatan kulit wajah, tubuh beserta make-up.Menggunakan merk dagang Doctor Jolie, dokter estetika itu mampu bersaing dengan merk dagang yang lainnya. Produk yang dijual mencakup segala usia dan kalangan, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Bahkan setiap Jolie mengeluarkan produk baru, tidak sampai satu hari produknya habis terjual.Namanya semakin terkenal, sehingga hampir setiap hari Jolie banyak menerima tawaran mengisi sebuah talkshow on air ataupun off air. Kesibukan Jolie semakin bertambah ketika
Saat belum mendapatkan jawaban, Jolie cepat berinisiatif pergi mengambil kunci cadangan. Dia tidak bisa berdiam diri sembari memanggil-manggil Zoey. Baru beberapa langkah berjalan pergi, Jolie diinterupsi oleh suara pintu yang terbuka. Dia langsung menoleh dengan tubuh gemetaran cemas, sementara mata biru keabu-abuan miliknya telah membulat sempurna. Entah harus lega ataupun terkejut, Jolie tak bisa berkata-kata melihat keadaan Zoey yang berdiri di ambang pintu.Kembaran Jayden itu muncul dengan ekspresi bingung. Lebih tepatnya, Zoey Harper—putri sulung Jolie itu menunjukkan ekspresi tak bersalah. Berbanding jauh dari yang dikhawatirkan, Zoey seperti tidak mengalami apa pun. Wajah cantiknya sedang terselimuti masker cokelat, sementara bibirnya agak basah karena memakai pelembab bibir yang sedikit membuat pucat di kulit bibirnya.“What happend, Mom?” tanya Zoey terheran.“Apa yang kau lakukan di dalam?” Jayden bersuara tak sabar.“Hei, Jayden! Aku ini kakakmu! Sudah berulang kali aku k
Semalaman Jolie tak bisa tidur setelah mendapatkan kabar buruk. Padahal tubuhnya sudah sangat lelah, tulang-tulangnya seperti remuk dan ingin sekali beristirahat. Setiap kali matanya ingin terpejam, masalah yang menyakitkan pikiran terus berputar-putar. Rasa pusing di kepala pun semakin terasa menyakitkan dan membuat tak nyaman. Ahasil, Jolie mempercepat diri ke kantor setelah mengantar anak-anaknya ke sekolah.“Perkiraan kerugian yang kita alami adalah sekitar satu juta poundsterling.”Di ruangan kerja, mata Jolie terpejam rapat ketika mendengarkan penjelasan Stephanie. Jolie benar-benar lemas menghadapi fakta menyakitkan itu.“Legal manager juga ikut terlibat. Bahkan, beliau yang mendalangi semuanya.”Jolie menghela napas kasar. “Dia beralasan mengambil cuti panjang, tetapi dia melakukan ini semua di belakangku. Padahal aku sudah begitu baik dengannya, aku sampai menaruh kepercayaan penuh padanya yang menyangkut legalitas hukum klinik dan perusahaan.”Sangat menyakitkan dikhianati o
Bryan tidak bisa mengubur rasa penasarannya terhadap Zoey. Mata abu-abunya sampai tak lepas mengawasi gadis kecil itu, Bryan sempat beberapa kali tak fokus ketika berbicara pada kepala sekolah beserta staff sekolah yang mendampingi.Harper? Bryan bersikeras berpendapat bukan hanya keluarga wanita itu saja yang memakai nama belakang serupa. Sayangnya, semakin keras Bryan meyakinkan diri, semakin besar pula keinginannya bertanya-tanya langsung pada gadis kecil itu.Pria tampan itu meminta langsung pada kepala sekolah untuk mengatur dirinya berbicara santai dengan Zoey tanpa diganggu oleh siapa pun. Meski sempat menaruh curiga, kepala sekolah dan wali kelas akhirnya mau mengatur tempat di taman sekolah.Bryan duduk berhadapan dengan Zoey yang tak bosan tersenyum manis. Mata abu-abunya tajam memindai Zoey, benar-benar tak ingin keliru menatap gadis kecil yang tak kenal takut itu.“Siapa namamu tadi? Zoey Harper?” Bryan berbicara tenang.Zoey mengangguk. “Kenapa Tuan ingin bertemu denganku
“Nyonya Jolie?! Anda sudah datang?”Jantung Jolie hampir terlonjak kaget akibat seruan lembut yang menginterupsi. Pandangan matanya langsung berpaling, seketika menatap wali kelas putrinya.“A-ah, Miss. Y-ya?” Jolie menyahut gugup.“Sebelumnya saya minta maaf. Anda pasti sangat terkejut.”Jolie masih belum sepenuhnya fokus pada permasalah semula yang mengantarnya ke rumah sakit itu. Keberadaan Bryan di depan mata membuat Jolie tidak bisa berpikir jernih.Bagaimana bisa pria itu ada di sana? Apa yang dilakukan pria itu di sana? Bagaimana bisa Bryan menemani Zoey? Batin Jolie masih sibuk menerka-nerka, sehingga dia tidak peduli pada keadaan sekitar. Matanya masih saja tertarik menatap Bryan dengan segala ketenangannya. Seolah-olah sosok Bryan bagaikan sosok menakutkan yang tak boleh lepas dari pandangan mata, yang sewaktu-waktu bisa mengancam ketenangan yang sudah setengah mati Jolie rengkuh.“Nyonya? Anda mendengar saya?”Tak hanya dari seruan lembut, sentuhan lembut di lengan Jolie da
“Kanker darah stadium 4?”Anggukkan lemah Jolie menjawab Gina yang terduduk lemas di sebelah. Jolie tak bisa menyembunyikan kondisi Zoey. Setelah memindahkan Zoey ke rumah sakit lain, dia langsung menghubungi orang tuanya.Gina maupun Darrol berekasi sesuai prediksi. Mereka terkejut, seketika langsung datang ke rumah sakit. Gina sendiri tak menahan kesedihan ketika kedatangannya disambut putri tunggalnya. Dia memeluk Jolie, membelai-belai penuh kasih sayang pada putrinya. Gina tak menahan air mata melihat situasi rumit putrinya yang tertimpa masalah bertubi-tubi.Di depan kamar inap Zoey, Gina menghibur putrinya yang memucat dengan wajah penuh beban.“Aku memindahkan Zoey ke rumah sakit ini berkat saran dari Andreas.”“Andreas? Yang kau maksud Andreas Ramsey?” meski terkejut, Gina merasa lega. Karena seseorang yang dimaksud merupakan sosok familiar yang menekuni profesi kedokteran pada kasus penyakit Zoey.Jolie berdehem ringan. “Kami sedang lunch saat Miss-nya Zoey menghubungiku. Dia