Share

Bab 4. Pria Paling Berengsek  

Jolie menolak memberikan jawaban. Sikapnya itu sangat konsisten, tak peduli seberapa besar Rebecca memaksa. Dia hanya akan menjawab pertanyaan yang tidak berkaitan dengan kehamilannya.

Jolie semakin dingin dan menutup perasaan. Sikapnya yang selalu ceria seolah tak pernah ada, karena sepanjang berada di rumah sakit Jolie lebih tenang menunjukkan sikap dingin tak berperasaan.

Rebecca sampai kehilangan akal. Ketika menemani Jolie memeriksakan kehamilannya, Jolie tidak banyak bersuara. Dia hanya terpaku menatap layar monitor—yang di mana terlihat jelas keberadaan janin di rahimnya. Bahkan ketika buliran air mata jatuh membasahi pipi, Jolie tak berekspresi sama sekali.

Rebecca berpendapat situasi kehamilan Jolie pasti suatu keadaan yang mengguncang jiwa Jolie. Jolie tidak akan bereaksi seperti itu jika kehamilan itu telah dinanti ataupun direncakan. Selain itu, siapa pria yang bertanggung jawab atas kehamilan Jolie? Rebecca sangat mengenal Jolie. Sahabat baiknya itu tidak memiliki hubungan dengan pria mana pun.

“Kau masih belum mau bercerita?” tanya Rebecca berhati-hati ketika tiba di rumah Jolie.

“Terima kasih telah merawatku, Becca. Tapi, aku benar-benar ingin sendiri.” Jolie terpaksa memberikan senyuman memelas di wajahnya yang masih memucat.

“Beri tahu aku alasanmu jadi seperti ini? Apakah pria itu sangat buruk? Sampai kau tidak mau cerita padaku yang bukan orang lain bagimu, Jolie?!”

‘Sangat buruk! Aku bahkan tidak berniat untuk kembali bertatap muka dengan pria itu. Aku menyesali telah jatuh cinta dengan pria tampan berhati iblis itu,’ batin Jolie menjerit. Di balik hatinya yang mencela kejam, Jolie hanya bisa bersikap tenang kepada Rebecca yang putus asa membujuk.

“Sebaiknya kau pulang, Becca. Ini sudah hampir malam, suami dan anakmu pasti mencarimu. Bukankah malam ini kalian mengadakan dinner? Lagi pula, tidak baik bagi ibu hamil kelelahan. Jika suamimu yang cerewet itu tahu aku telah merepotkanmu, dia akan memarahiku habis-habisan.”

Rebecca menghela napas kasar atas perkataan Jolie. Sejujurnya, Rebecca merasa cukup lelah karena kondisi kehamilannya yang sudah membesar. Dia juga tak mungkin absen dari dinner keluarga di kediaman ayah mertuanya.

Akan tetapi, Rebecca tidak bisa mengabaikan Jolie. Jolie adalah orang paling berjasa di hidupnya. Jolie selalu ada saat dulu Rebecca berada di masa-masa sulit. Jika bukan karena Jolie beserta orang tuanya, pasti dia tidak mungkin akan berada di titik ternyaman dalam hidupnya saat itu.

Namun kembali lagi, Rebecca tak bisa mengimbangi keras kepalanya Jolie. Dia memilih mengalah dan menuruti permintaan. Mungkin dengan memberi waktu, Jolie akhirnya mau menceritakan segala masalah itu kepada dirinya.

“Kau ingat perkataan dokter? Awal-awal kehamilan memang seperti itu, kau akan kehilangan nafsu makan dan mengalami mual yang begitu hebat. Tapi, kau tidak boleh egois. Kau harus menjaga nutrisi makananmu. Kau dengar itu, Jolie?”

Wajah dingin Jolie akhirnya cerah oleh Rebecca yang mengomel panjang. Perempuan cantik itu tertawa untuk pertama kalinya. “Aku dengar, Becca!” sahutnya menggoda.

“Aku tidak akan memberitahukan hal ini—”

“Kau boleh memberitahukan pada siapa pun.” Jolie sengaja memotong karena tak enak hati berlarut merepotkan sahabatnya. “Tidak ada yang perlu kita sembunyikan, perutku juga akan membesar nantinya. Besok aku akan menceritakan kehamilan ini pada orang tuaku.”

“Boleh aku tahu apa rencanamu?” Rebecca kembali berhati-hati bertanya.

“Aku akan bertanggung jawab sendiri atas anak-anakku.”

“Kau tidak berniat untuk menemui pria itu—”

“Dia tidak menginginkan kehadiran anak-anak ini, Becca.” Jolie kehilangan kendali karena cukup lelah pada desakan intimidasi. “Dia membenciku dan anak-anak ini, dan aku tidak berniat menagih tanggung jawab dari pria jahat seperti dia, Becca.”

***

Jolie kembali mengeluarkan isi makanan di dalam perutnya. Perempuan berambut blonde itu benar-benar tak mampu menahan rasa mual—yang mendesak egois dari dalam perut. Padahal beberapa waktu lalu Jolie berhasil menelan beberapa gigitan dari selembar roti. Dia juga cukup percaya diri nafsunya kembali setelah menengguk segelas susu cokelat hangat.

Sayangnya, Jolie tak berdaya menghadapi fase kehamilan di tahap-tahap awal itu. Dia keluar dari kamar mandi setelah membasuh mulutnya yang basah. Tubuhnya yang lemah dibaringkan ke atas ranjang, dia bertelentang nyaman dengan pandangan tersajikan pemandangan langit-langit kamar.

Tanpa sadar Jolie meraba-raba perutnya yang masih rata. Saat itu pikirannya kembali berkecamuk pada seluruh cemas dan getir yang menyatu. Ada dua janin yang hidup di rahimnya.

Tubuhnya gemetar, sementara napas mulai sesak tak beraturan. Emosi kekecewaan yang tertahan berakhir dilepaskan tanpa ragu. Jolie menangis sesenggukan, melepaskan seluruh kesedihan yang mendalam.

Seharusnya malam itu Jolie tidak terlalu luluh dengan perkataan manis sehingga tidak percaya pria yang dicintai telah membalas perasaannya. Seharusnya Jolie tidak larut dari rasa sakit hati, sehingga dia tidak mengabaikan pil yang diberikan oleh pria kejam itu.

Semua sudah terjadi, tidak ada guna Jolie menyesali. Jolie menyalahkan diri sendiri yang terlalu bodoh. Dia tidak bisa menyalahkan dua janin yang tak berdosa itu, meski Jolie sungguh membenci Bryan.

Suara bel yang berbunyi mengusik Jolie. Cepat-cepat Jolie menghapus air mata di pipi, dia segera menghilangkan jejak kesedihan di wajah. Dia berusaha menebak siapa yang datang pada malam hari itu. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam, itu bertepatan dengan waktu selesai acara dinner di kediaman ayah mertua Rebecca.

Mustahil itu orang tuanya. Jolie sudah memberi tahu bahwa dia sendiri yang akan bercerita pada kedua orang tuanya. Atau mungkin itu adalah Rebecca? Mengingat betapa khawatirnya Rebecca saat pulang tadi.

Pendapat itu salah sepenuhnya. Jolie terkejut sampai tak bisa berkata-kata ketika membuka pintu rumahnya. Tamu yang datang adalah orang yang paling tidak ingin Jolie temui.

“Aku ingin kita bicara di dalam.” Dia adalah Bryan—yang menyapa tenang tanpa berbasa-basi menyapa.

“Tidak ada yang harus kita bicarakan!” Jolie cepat-cepat ingin menutup pintu setelah tegas menolak. Gerakan Jolie berakhir kalah dari Bryan yang cepat mencengkram handle pintu dan mendorong tanpa peduli Jolie bersusah payah menahan.

“Kita harus bicara.” Bryan tegas mendikte tanpa menatap Jolie. Dia juga dengan tidak sopan masuk ke dalam rumah, padahal Jolie tidak mengizinkan. Sikap kurang ajarnya berlanjut ketika Bryan duduk di sofa ruangan tamu.

“Keluar dari rumahku!” Jolie mengusir.

“Aku tidak akan pergi sebelum kita berbicara.” Bryan masih dengan ketenangannya duduk di sofa.

“Aku tidak ingin bicara denganmu, Bryan!”

Mata abu-abu Bryan melayangkan tatapan tajam yang kejam. Lirikannya beralih pada pria di sebelah Jolie yang merupakan lawyer pribadinya.

“Tutup dan kunci pintunya, lalu bawa Jolie duduk di hadapaku!” titah Bryan tak terbantahkan seperti dia tuan rumahnya.

Sederet kalimat kasar sudah tersusun di ujung lidah Jolie. Emosi dan kebencian pun bertambah sehingga Jolie ingin sekali menampar kemudian menyeret pria itu keluar dari rumahnya.

“Jangan buat aku bertindak kasar pada wanita yang sedang hamil, Jolie.”

Baru Jolie menyadari maksud kedatangan Bryan. Walaupun bingung entah dari mana Bryan mengetahui, Jolie enggan menurut dan memilih berdiri.

“Jadi, kau tidak mau duduk?” Bryan cukup kesal bertanya, dia sampai tertawa kesal. “Terserah kau saja! Aku tidak akan menolongmu jika kau pingsan atau apalah itu.”

“Kau tahu dari siapa tentang kehamilanku?” Jolie mengabaikan perkataan kejam Bryan.

“Tidak penting aku tahu dari siapa—”

“Aku tanya kau tahu dari siapa?” Jolie membentak kesal. Suara yang gemetar terdengar kasar dan menghardik.

Bryan tertawa mengejek. “Kau memang keras sekali. Tapi, baiklah kalau kau ingin tahu. Aku mengikuti Rebecca ke IGD. Aku mendengar pembicaraan kalian. Apa kau sudah cukup puas?”

Mulut Jolie yang ingin mencela terhalangi oleh Bryan yang bersuara.

“Apa itu anakku?”

Jolie memalingkan tatapannya. Dia mengabaikan Bryan yang sangat konyol bertanya.

“Kau tidak minum pil yang aku berikan?” tanya Bryan lagi menambah kekesalan Jolie. “Kalau begitu itu bukan kesalahanku. Aku sudah menyuruhmu untuk menghindari hal seperti ini. Jadi, kau tidak berhak menuntut pertanggungjawaban dari diriku.”

Mulut tajam Bryan menarik pandangan Jolie. Mata biru keabu-abuan Jolie telah melayangkan tatapan tajam penuh kebencian sangat nyata.

“Aku sama sekali tidak berharap tanggung jawab darimu!” Jolie tegas membela diri.

Bryan kembali tertawa mengejek sikap Jolie. Pria tampan itu melayangkan kode pada pria di sebelah Jolie, yang kemudian meletakkan sebuah dokumen di atas meja.

“Buktikan ucapanmu dengan menandatangi dokumen ini.” Mata abu-abu Bryan berkilatan tajam, begitu tegas menghardik Jolie agar tidak melawan.

“Kau tidak boleh menuntut apa pun dari diriku mengenai kehamilan itu. Kau juga tidak boleh mencemari nama baikku dan dilarang memberi tahu bahwa aku yang menghamilimu. Jika keluargaku atau siapa pun mengetahui hal ini, aku akan melaporkanmu dengan tuduhan penipuan dan pencemaran nama baik.”

Belum sempat menata perasaannya yang hancur, Jolie tersentak oleh Bryan yang beranjak dari duduk dan memaksa Jolie memegang dokumen itu.

Dalam kegilaannya, Bryan dengan tenang menyentuh pipi Jolie yang dibanjiri oleh airmata. “Atau mungkin kau bisa menggugurkan kehamilan itu. Aku akan membantumu jika kau memilih untuk menggugurkannya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status