Bab 7. Malu-malu Mau
Hidup bak putri raja, mungkin itu sebutan yang pantas disematkan pada seorang Ayuna Malika. Gadis bau kencur yang resmi menyandang status sebagai istri seorang Kennan Sabdayagra.
Meski pura-pura. Meski berbatas waktu.
Kali ini, Yuna sedang duduk di tepi ranjang dengan sebuah novel terbuka dipangkuan. Membaca novel romantis kesukaannya, yang entah tahu dari mana, Kennan menyiapkan puluhan buku itu di kamarnya. Mungkin dimaksudkan untuk mengusir bosan. Entahlah, Yuna tidak pernah menanyakan perihal itu.
“Tuan,” panggil Yuna melirih, digigitnya bibir bawah, harap-harap cemas menanti respon dari Kennan. Pasalnya, laki-laki itu sedang sibuk dengan laptop menyala, sejak satu jam yang lalu.
Cukup lama hingga akhirnya Kennan menoleh menatap Yuna. “Ada apa?” tanya Kennan, dahinya mengernyit samar.
Yuna meletakkan novelnya ke atas nakas, menyibak selimut yang sedari tadi membungkus kakinya. Siang hari memang, tapi Kennan tidak membiarkan jendela kamar terbuka, lebih memilih menyalakan AC di suhu dingin.
“Apa Anda tidak lapar?” tanya Yuna, masih dengan harap-harap takut.
Meski sudah beberapa hari hidup satu atap dengan Kennan, Yuna masih belum menghilangkan ketakutan. Dia tidak tahu kenapa. Kennan tidak berbuat kasar ataupun semena-mena padanya. Yah, meski sesekali berucap tajam dan keras tanpa bantahan.
“Makan saja dulu, aku masih sibuk.”
Yuna tersenyum senang, serta merta dia menegakkan tubuh dan beranjak turun dari ranjang. “Apa tidak apa-apa saya makan duluan?”
Kennan mengangguk. Sudut bibirnya tertarik ke atas ketika dalam sekejap mata, Yuna sudah menghilang dari kamar. Dia tahu, Yuna sudah kelaparan sejak tadi. Karena meski Kennan fokus pada pekerjaannya, sudut matanya tidak pernah lepas dari gerak-gerik Yuna.
Kennan libur kerja, agenda yang memang dia rencanakan sejak awal. Dan sengaja menghabiskan waktu bersama dengan Yuna hanya di kamar hari ini. Bukan karena ada rasa pada Yuna, tapi lebih karena Yuna yang sering mencuri-curi waktu untuk melakukan banyak pekerjaan berat.
Menyapu, mengepel, menggunting tanaman di halaman, membersihkan kolam. Bahkan yang terbaru tadi pagi, dia melihat Yuna ikut membantu sopir pribadinya mencuci mobil.
Seolah tersadar akan sesuatu, buru-buru Kennan menutup laptopnya, meletakkan sembarang di atas ranjang. Dalam satu gerakan cepat dia segera keluar kamar, turun ke lantai satu. Tanpa memanggil siapa pun, Kennan berjalan ke arah dapur, pelan-pelan, demi memastikan dugaannya.
Dan benar saja, dia melihat Yuna sedang mencuci perkakas masak dengan seorang pelayan yang juga tampak sibuk di depan kabinet.
Mengembuskan napas, Kennan melanjutkan langkah. Mendekat ke arah Yuna dengan langkah-langkah tanpa suara. Kemudian dia menelusupkan dua lengannya melingkari perut Yuna dari belakang. Dia diam beberapa saat menikmati ketegangan tubuh Yuna karena keterkejutan.
“Sedang apa?” bisiknya tepat di sebelah cuping telinga Yuna.
Yuna yang sedari tadi menegang dan menahan napas, akhirnya bergidik geli karena bisikan Kennan disertai embusan napas laki-laki itu. Dia menggeliat mencoba lepas, susah sekali karena Kennan yang memeluknya erat.
“Saya—”
“Bukankah sudah kukatakan, jangan melakukan pekerjaan berat,” potong Kennan. Dielusnya perut rata Yuna dengan lembut. “Kesehatan rahimmu nomor satu.”
Yuna menelan ludah, mengangguk pelan. “Saya tahu. Tapi, saya hanya membantu.”
Kennan mendesahkan napas di perpotongan leher Yuna, menunduk dan menggigit gemas bahu sempit Yuna yang hanya terbalut gaun tipis.
Yuna menjerit tertahan karena bahunya yang menjalarkan perih. Dia melirik sisi kanannya lewat sudut mata, dan tidak mendapati satu pelayan pun di sana. Padahal sebelumnya ada beberapa yang tengah sibuk di dapur. Tapi syukurlah, setidaknya tidak ada yang memergoki dirinya bersama Kennan dan perlakuan laki-laki itu.
“Sakit,” Yuna mencicit. Meringis karena bukannya melepas pelukannya, Kennan justru menambahi satu gigitan gemas.
“Hukuman karena tidak mendengar ucapanku,” tegas Kennan. Dia mengulurkan tangan, mematikan keran air yang sedari tadi mengalir kemudian membalikkan tubuh Yuna, membuatnya dapat melihat ekspresi perempuan itu.
Yuna menunduk takut. Dia salah lagi. Dia tidak mengacuhkan ucapan Kennan. “Maaf, saya hanya ingin membantu, dan kebiasaan mungkin.”
Kennan ingin tertawa.
Kebiasaan.
Ya Tuhan, Yuna memang lucu. Tingkah polosnya yang tanpa sadar mencuri-curi tawa Kennan.
Berdeham pelan, Kennan menggamit dagu Yuna dengan ibu jari dan telunjuknya. Membawa wajah perempuan itu untuk menengadah. Ditatapnya dua manik Yuna, mengabaikan jika dua bola itu berselaput bening dengan tak sedikit pun menghilangkan raut takut.
“Kenapa susah sekali dibilangin?” Tatapan Kennan semakin menghunus, seolah ingin menembus kedalaman mata lawan bicaranya.
Yuna menggeleng, menyangkal tudingan Kennan. Bibirnya terkatup rapat tanpa ada keberanian untuk mengucap.
Kennan menyeringai tipis. Perlahan ia mendekatkan wajah dan dikecupnya ujung bibir Yuna. Lembut penuh penghayatan. Tidak ada pergerakan, hanya saling menempel. Cukup lama hingga Kennan memutuskan menjauhkan wajah. Dia tersenyum samar melihat wajah Yuna yang merah padam. Yuna sama sekali tidak punya pengalaman. Membuat Kennan senang sekali menggoda dan mendominasi.
Kali ini Kennan menangkup wajah Yuna dengan sebelah tangannya, hendak mencium lagi bibir perempuan itu. Namun urung karena dadanya sudah terdorong menjauh.
“Jangan,” cegah Yuna. Wajahnya memanas, tahu benar apa yang akan Kennan lakukan.
Kennan tidak menghiraukan, dia semakin mendekatkan wajah dan mengecup bibir merah muda di hadapannya. Dia pun mempererat pelukan di pinggang Yuna. Menahan Yuna yang meronta melepaskan diri.
Tidak menyerah, Yuna memukul dada Kennan pelan. Meminta laki-laki itu menghentikan aksinya. Disamping karena dia sudah hampir kehabisan napas juga takut tidak bisa lagi mengendalikan.
“Sudah,” Yuna melirih. “Banyak yang lihat.”
Terkekeh, Kennan mengusap kepala Yuna kemudian menepuk-nepuknya. “Enggak ada yang lihat,” sahut Kennan tidak peduli. Kepolosan Yuna selalu membuat Kennan gemas. Dia suka mencumbu perempuan itu, mendominasinya, dan memperlakukan Yuna dengan cara apa pun yang diinginkan. Tetap lembut tanpa kekerasan.
“Tapi, di sini terbuka,” rintih Yuna. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Kennan itu tidak terbantah dan suka sekali berbuat seenaknya. Dia memang lugu, tapi bukan berarti bisa mengumbar hal intim seperti itu. Tidak ketika dilakukan di dapur karena bisa saja pelayan rumah Kennan akan memergoki.
“Jadi kalau di tempat tertutup boleh?”
Yuna menganga, serta merta mendorong dada Kennan cukup keras. Membuat pelukan laki-laki itu terlepas dan memberi kesempatan baginya untuk kabur. Dia berlari menjauh, berusaha menghindari Kennan yang mengejarnya tak jauh di belakang.
“Yuna. Berhenti!” teriak Kennan. Sedikit lagi dia hampir meraih Yuna, namun lagi-lagi Yuna gesit menghindar.
Sial.
Sikap kekanakan Yuna membuat Kennan kewalahan. Oh, dia malu jika sampai tidak bisa mengejar Yuna. Hanya seorang Yuna, masa iya staminanya dipertaruhkan.
“Tangkap dia!” Kennan kembali berteriak. Menyuruh dua orang pelayan yang entah sedang apa untuk menangkap Yuna yang berlari tidak jauh dari mereka.
Kennan tertawa remeh ketika akhirnya Yuna tertangkap. Dia berjalan ke arah Yuna yang memberontak dan meminta lepas.
Mencengkeram lengan Yuna, Kennan membawa perempuan itu untuk mendekat ke arahnya. Menyuruh dua pelayan yang tadi membantunya, untuk pergi dan menyiapkan makan siang.
“Maaf, tapi saya lelah sekali,” Yuna melirih, menatap Kennan dengan berkaca-kaca.
“Lelah?”
Yuna mengangguk. “Semalam ‘kan sudah. Terus pagi tadi juga,” keluhnya.
Kennan mencubit pipi Yuna gemas. Terkekeh pelan karena jawaban yang didengarnya. Menggelikan. Jauh dari apa yang ada di dalam kepala Kennan “Siapa yang mau bikin anak siang bolong. Duh, itu terlalu mainstream.”
“Jadi tidak?” tanya Yuna polos.
Tidak menyahut, Kennan membawa tubuh Yuna untuk duduk di sofa ruang santai. Kennan tidak habis pikir, apa dia semesum itu sampai Yuna yang polos luar biasa, berpikiran sejauh itu.
Oke. Dia memang mendamba seorang anak. Dan belakangan ini, sedari dia mempersunting Yuna, tak sekalipun dia absen melakukan kewajibannya.
“Jangan lari-lari seperti tadi,” ingat Kennan, mengabaikan pertanyaan Yuna sebelumnya. Tidak penting lah untuk dibahas lebih lanjut. Yang ada nanti dia melanggar ucapannya lagi. Kan bahaya.
Yuna menganggukkan kepala seraya mengukir senyum, dia mengambil remote TV dan menyalakannya. Mencari channel yang menayangkan acara kartun.
Memijit pelipisnya, Kennan menyandarkan kepala di sandaran sofa. Yuna memang masih kanak-kanak, nyatanya bukan memilih siaran gosip atau berita, Yuna lebih memilih menonton film kartun.
“Bisakah dia mengandung anakku?”
Bab 8. Kennan SabdayagraYuna mengetuk pintu ruang kerja Kennan, menunggu sebentar sebelum sebuah seruan dari dalam terdengar.Membuka pintu, Yuna berjalan ke arah Kennan yang fokus pada pekerjaannya. Dia membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Pesanan laki-laki itu. Tadi Yuna merebutnya dari seorang pelayan yang hendak mengantarkan.Yuna meletakkan cangkir ke atas meja. Cukup jauh dari tebaran dokumen yang memenuhi meja kerja Kennan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi Kennan masih enggan untuk beranjak dari pekerjaannya.“Apa Tuan tidak lapar?” tanya Yuna, mendekap nampan kosong di dadanya.Sesaat Kennan mengernyit, namun sedetik berikutnya dia menyeringai. Dia menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. “Aku lapar, tapi malam ini lelah sekali. Jadi ingin tidur saja.”Yuna tersedak. Mengerti maksud ucapan Kennan. Tidak jauh-jauh dari program anak. Menggelengkan kepala, Yuna menyangkal cepat. “Maksud saya, lapar makan nasi. Bukankah Anda belum makan malam?”Ke
Bab 9. Cinta Belasan TahunYuna sedang menanam bunga ketika sebuah mobil memasuki pelataran rumah. Dia tidak mendongak sedikit pun untuk sekadar menilik siapa yang datang. Masih sibuk menanam bibit bunga matahari yang baru dibelinya. Bukan dia yang beli sih, dia meminta Mini untuk mencari bibit bunga di penjual tanaman. Tadinya ingin menanam pohon mangga dan durian, tapi urung karena takut Kennan tidak akan suka.Dan ketika berpikir lagi, sekalipun dia menanam pohonnya, keberadaan dirinya di rumah itu tidak sampai hingga pohonnya berbuah.Menepuk-nepuk tangannya yang kotor karena tanah, Yuna menegakkan tubuh dan sedikit meregangkannya. Dia tersenyum melihat deretan bibit bunga yang baru ditanamnya.“Nona, Tuan Kennan sudah pulang.” Mini berseru tidak jauh dari Yuna.“Sudah pulang?” Yuna mengernyit, dia menengadah menatap langit biru di atas sana. Tumben sekali, biasanya Kennan pulang ketika malam menjelang tapi ini matahari saja masih bersinar terik.Terburu-buru, Yuna berjalan ke ara
Bab 10. Candaan PagiBerjalan-jalan di pelataran rumah, Yuna menikmati udara pagi dan semerbak bunga yang menguar, memenuhi indera penciumnya. Langit cerah dengan cahaya mentari yang hangat menyapa. Dia menyungging senyum. Menengadah menatap birunya langit, awan putih bersih berarak menghias.Biasanya, dulu sepagi ini, Yuna sudah disibukkan dengan aktivitas restoran yang mulai bersiap buka. Dia karyawan teladan yang memiliki banyak pekerjaan, mulai dari menyapu sampai mengelap kaca-kaca restoran.Dan semua itu menghilang sejak dia melakukan kontrak dengan Kennan. Yuna keluar dari dua pekerjaannya secara baik-baik, meski mendadak sekali. Membuat banyak temannya di restoran maupun di kedai mengernyit curiga padanya.Sudahlah. Yuna tidak ingin mengungkit awal mula dia terikat dengan Kennan. Sangat menyakitkan. Di mana dia merendahkan harga dirinya demi segenggam kehidupan layak yang dijanjikan.Yuna mengusap wajah, meregangkan tubuh agar sedikit lebih segar dan menghilangkan kekalutan ha
Bab 1. Temu Tanpa CeritaKennan menyandarkan punggung pada kursi kerjanya. Hari baru beranjak siang, namun dia sudah tak lagi punya gairah untuk bekerja. Semangatnya menghilang terbawa angin, terbang bersama debu jalanan melanglang metropolitan. Ayahnya baru saja mendatanginya. Memberi banyak permintaan yang tidak mungkin Kennan berikan dengan mudah.Salah satunya … memberi cucu.Kennan berdecih. Cucu dari Hongkong, dia saja tidak mau menikah.Untuk apa menikah? Kalau hati saja, Kennan tak lagi yakin memiliki. Mungkin sudah mati, mungkin juga terbawa angin seperti semangatnya. Entahlah, dia terlalu malas untuk menjelaskan.Kalau bisa, dia ingin merelakan. Kalau mampu, dia ingin meninggalkan.Absurd. Sama seperti dirinya, tidak jauh berbeda. Sebelas dua belas antara waras dan tidak waras.Dia terkadang tertawa dalam kepedihan. Menangis dalam kebahagiaan.Tangisnya tidak mengeluarkan air mata, hanya beberapa perabot yang harus rela di jadikan sasaran atau dinding beton yang cukup mampu
Bab 2. Kedua KaliYuna bangun lebih pagi, kata ibunya dulu, anak perempuan tidak baik bangun kesiangan apalagi ketika matahari sudah menyingsing. Nanti rejekinya dipatok ayam, jodohnya jauh. Oleh karena itu, saat azan subuh berkumandang, Yuna sudah menegakkan tubuh. Dia bergegas ke kamar mandi dan memulai aktivitas paginya.Menguap, Yuna menempelkan punggung tangan kirinya di depan mulut. Meski sudah mandi kantuknya masih terus merayap. Dia membuka pintu kosnya, keluar kamar mencari sarapan. Mungkin nasi uduk di sekitar kosnya, yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Tidak sampai sepuluh menit, Yuna tiba di depan sebuah rumah sederhana. Dia mengukir senyuman dengan langkah semakin mendekat pada teras rumah itu.“Selamat pagi, Nek,” sapa Yuna ramah.Warung nasi uduk langganannya, di samping enak, harganya tidak membuat kantongnya cepat kering.Sang nenek yang mengenal Yuna, tanpa diminta mulai meracik pesanan. Sebelumnya, nenek menyahut sapaan Yuna disertai senyuman yang menampi
Bab 3. Mengambil LangkahKennan mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, menelisik wajah-wajah perempuan cantik di kantornya. Semua terlihat ramah dan sopan dalam balutan pakaian kerja. Sedikit banyak, dia terpengaruh akan ucapan Jefry. Mencari perempuan yang bisa bekerja sama.Tapi siapa? Lagi, pertanyaan itu menghampiri benaknya. Jika Kennan sembarang memilih perempuan, nanti keturunannya yang dipertaruhkan. Jika dia memilih perempuan di kantornya, dia akan merusak image-nya yang sempurna. Nanti, dia di cap lelaki hidung belang.Kennan berdecak. Buntu. Usulan Jefry yang ngawur kenapa dianggap serius?Melangkahkan kakinya menjauh dari area kantin. Kennan memilih kembali ke ruang kerjanya. Lebih baik dia menyelesaikan pekerjaannya daripada mencari hal yang masih belum masuk di nalarnya.“Sial.” umpat Kennan dalam hati.Jefry berhasil membodohinya dengan banyak bualan. Harusnya ucapan Jefry, Kennan anggap angin lalu. Tapi, kenapa justru semakin melekat diingatannya. Dia tergiur bua
Bab 4. Melihat Sisi LainKennan meringis mengingat perkataannya beberapa hari lalu. Dia sendiri tidak yakin ucapan itu keluar dari bibirnya. Tapi, sudah telanjur basah, jadi menurut Kennan sekalian saja dibasahi sampai kuyup.Dia sedang duduk di ruang santai rumahnya, sendirian. Ayahnya sudah kembali ke Jepang menemani ibunya yang memang lebih suka tinggal di tanah lahirnya. Jefry sendiri mendapat tugas kerja ke kantor cabang di Singapura. Dan berakhir lah dia tanpa kawan seorang pun.Memangnya siapa lagi yang Kennan harapkan. Wilona sudah resmi bertunangan, jadi mana mungkin perempuan itu mau berlama-lama menghabiskan waktu dengannya seperti dulu.Tempo hari, dia datang tepat beberapa menit sebelum acara pertunangan Wilona selesai. Sengaja. Karena sebelumnya, Kennan justru tidak ingin menginjakkan kaki di acara itu. Terlalu menyakitkan melihat perempuan yang dicintai, bahagia bersama laki-laki lain.Beranjak dari duduknya, Kennan memutuskan untuk mencari angin di luar. Hari sudah sor
Bab 5. Menerima Apa AdanyaKennan melirik jam yang melingkar apik di pergelangan tangan kirinya. Mendesah berat ketika jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Dia lupa makan siang, terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan yang lambat laun semakin menguras waktunya.Dan perlahan, dia pun merindukan perhatian. Seharian ini tidak ada yang mengingatkannya untuk makan, apalagi mengajaknya makan bersama. Membuat dia bertambah malas untuk menyentuh makanan.Melepas jas kantornya, Kennan menanggalkannya di atas kursi. Mejanya sudah rapi, dengan tumpukan berkas yang selesai dia periksa.Kennan baru akan keluar ruangan, ketika sebuah ketukan di pintu mengurungkannya. Terlihat Rita dengan senyum ramahnya menyembul di balik pintu.“Ada apa?” tanya Kennan, dia duduk di pinggiran meja dengan sebelah tangan tersimpan rapi di saku celana depan.“Ada tamu yang ingin menemui Anda, Pak,” kata Rita, sembari membuka daun pintu lebih lebar.Kennan yang tadinya mengernyit, seketika menyeringai tipis melihat
Bab 10. Candaan PagiBerjalan-jalan di pelataran rumah, Yuna menikmati udara pagi dan semerbak bunga yang menguar, memenuhi indera penciumnya. Langit cerah dengan cahaya mentari yang hangat menyapa. Dia menyungging senyum. Menengadah menatap birunya langit, awan putih bersih berarak menghias.Biasanya, dulu sepagi ini, Yuna sudah disibukkan dengan aktivitas restoran yang mulai bersiap buka. Dia karyawan teladan yang memiliki banyak pekerjaan, mulai dari menyapu sampai mengelap kaca-kaca restoran.Dan semua itu menghilang sejak dia melakukan kontrak dengan Kennan. Yuna keluar dari dua pekerjaannya secara baik-baik, meski mendadak sekali. Membuat banyak temannya di restoran maupun di kedai mengernyit curiga padanya.Sudahlah. Yuna tidak ingin mengungkit awal mula dia terikat dengan Kennan. Sangat menyakitkan. Di mana dia merendahkan harga dirinya demi segenggam kehidupan layak yang dijanjikan.Yuna mengusap wajah, meregangkan tubuh agar sedikit lebih segar dan menghilangkan kekalutan ha
Bab 9. Cinta Belasan TahunYuna sedang menanam bunga ketika sebuah mobil memasuki pelataran rumah. Dia tidak mendongak sedikit pun untuk sekadar menilik siapa yang datang. Masih sibuk menanam bibit bunga matahari yang baru dibelinya. Bukan dia yang beli sih, dia meminta Mini untuk mencari bibit bunga di penjual tanaman. Tadinya ingin menanam pohon mangga dan durian, tapi urung karena takut Kennan tidak akan suka.Dan ketika berpikir lagi, sekalipun dia menanam pohonnya, keberadaan dirinya di rumah itu tidak sampai hingga pohonnya berbuah.Menepuk-nepuk tangannya yang kotor karena tanah, Yuna menegakkan tubuh dan sedikit meregangkannya. Dia tersenyum melihat deretan bibit bunga yang baru ditanamnya.“Nona, Tuan Kennan sudah pulang.” Mini berseru tidak jauh dari Yuna.“Sudah pulang?” Yuna mengernyit, dia menengadah menatap langit biru di atas sana. Tumben sekali, biasanya Kennan pulang ketika malam menjelang tapi ini matahari saja masih bersinar terik.Terburu-buru, Yuna berjalan ke ara
Bab 8. Kennan SabdayagraYuna mengetuk pintu ruang kerja Kennan, menunggu sebentar sebelum sebuah seruan dari dalam terdengar.Membuka pintu, Yuna berjalan ke arah Kennan yang fokus pada pekerjaannya. Dia membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Pesanan laki-laki itu. Tadi Yuna merebutnya dari seorang pelayan yang hendak mengantarkan.Yuna meletakkan cangkir ke atas meja. Cukup jauh dari tebaran dokumen yang memenuhi meja kerja Kennan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi Kennan masih enggan untuk beranjak dari pekerjaannya.“Apa Tuan tidak lapar?” tanya Yuna, mendekap nampan kosong di dadanya.Sesaat Kennan mengernyit, namun sedetik berikutnya dia menyeringai. Dia menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. “Aku lapar, tapi malam ini lelah sekali. Jadi ingin tidur saja.”Yuna tersedak. Mengerti maksud ucapan Kennan. Tidak jauh-jauh dari program anak. Menggelengkan kepala, Yuna menyangkal cepat. “Maksud saya, lapar makan nasi. Bukankah Anda belum makan malam?”Ke
Bab 7. Malu-malu MauHidup bak putri raja, mungkin itu sebutan yang pantas disematkan pada seorang Ayuna Malika. Gadis bau kencur yang resmi menyandang status sebagai istri seorang Kennan Sabdayagra.Meski pura-pura. Meski berbatas waktu.Kali ini, Yuna sedang duduk di tepi ranjang dengan sebuah novel terbuka dipangkuan. Membaca novel romantis kesukaannya, yang entah tahu dari mana, Kennan menyiapkan puluhan buku itu di kamarnya. Mungkin dimaksudkan untuk mengusir bosan. Entahlah, Yuna tidak pernah menanyakan perihal itu.“Tuan,” panggil Yuna melirih, digigitnya bibir bawah, harap-harap cemas menanti respon dari Kennan. Pasalnya, laki-laki itu sedang sibuk dengan laptop menyala, sejak satu jam yang lalu.Cukup lama hingga akhirnya Kennan menoleh menatap Yuna. “Ada apa?” tanya Kennan, dahinya mengernyit samar.Yuna meletakkan novelnya ke atas nakas, menyibak selimut yang sedari tadi membungkus kakinya. Siang hari memang, tapi Kennan tidak membiarkan jendela kamar terbuka, lebih memilih
Bab 6. Jadi MenikahSendiri di pelataran, Yuna berdiri canggung di depan sebuah bangunan megah. Meski begitu, tatapannya tetap terkagum akan desain rumah klasik khas mediteranian itu. Tampak tenang dan nyaman untuk disinggahi. Halamannya luas dan asri. Ada banyak bunga-bunga yang mekar, beraneka ragam dengan warna-warna cantik, juga air mancur yang membuat suara gemerisik menenangkan.Yuna memejamkan mata, awal baru dari kehidupannya sudah dimulai sejak dia pertama kali menginjakkan kakinya di rumah itu.“Nona.”Yuna mengerjap, tersenyum samar pada seorang perempuan yang memperkenalkan diri padanya bernama Mini. Juga, satu-satunya perempuan yang menyambut kedatangannya dan setia berdiri satu langkah di belakangnya.“Silakan masuk,” ucap Mini, tangan kanannya terangkat mempersilakan.Yuna mengangguk. Hendak menggeret koper berukuran sedangnya namun urung karena ada tangan yang menahannya.“Saya saja yang membawanya, Nona,” ucap Mini dengan senyuman di wajah yang tak kunjung luntur.“Ti
Bab 5. Menerima Apa AdanyaKennan melirik jam yang melingkar apik di pergelangan tangan kirinya. Mendesah berat ketika jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Dia lupa makan siang, terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan yang lambat laun semakin menguras waktunya.Dan perlahan, dia pun merindukan perhatian. Seharian ini tidak ada yang mengingatkannya untuk makan, apalagi mengajaknya makan bersama. Membuat dia bertambah malas untuk menyentuh makanan.Melepas jas kantornya, Kennan menanggalkannya di atas kursi. Mejanya sudah rapi, dengan tumpukan berkas yang selesai dia periksa.Kennan baru akan keluar ruangan, ketika sebuah ketukan di pintu mengurungkannya. Terlihat Rita dengan senyum ramahnya menyembul di balik pintu.“Ada apa?” tanya Kennan, dia duduk di pinggiran meja dengan sebelah tangan tersimpan rapi di saku celana depan.“Ada tamu yang ingin menemui Anda, Pak,” kata Rita, sembari membuka daun pintu lebih lebar.Kennan yang tadinya mengernyit, seketika menyeringai tipis melihat
Bab 4. Melihat Sisi LainKennan meringis mengingat perkataannya beberapa hari lalu. Dia sendiri tidak yakin ucapan itu keluar dari bibirnya. Tapi, sudah telanjur basah, jadi menurut Kennan sekalian saja dibasahi sampai kuyup.Dia sedang duduk di ruang santai rumahnya, sendirian. Ayahnya sudah kembali ke Jepang menemani ibunya yang memang lebih suka tinggal di tanah lahirnya. Jefry sendiri mendapat tugas kerja ke kantor cabang di Singapura. Dan berakhir lah dia tanpa kawan seorang pun.Memangnya siapa lagi yang Kennan harapkan. Wilona sudah resmi bertunangan, jadi mana mungkin perempuan itu mau berlama-lama menghabiskan waktu dengannya seperti dulu.Tempo hari, dia datang tepat beberapa menit sebelum acara pertunangan Wilona selesai. Sengaja. Karena sebelumnya, Kennan justru tidak ingin menginjakkan kaki di acara itu. Terlalu menyakitkan melihat perempuan yang dicintai, bahagia bersama laki-laki lain.Beranjak dari duduknya, Kennan memutuskan untuk mencari angin di luar. Hari sudah sor
Bab 3. Mengambil LangkahKennan mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, menelisik wajah-wajah perempuan cantik di kantornya. Semua terlihat ramah dan sopan dalam balutan pakaian kerja. Sedikit banyak, dia terpengaruh akan ucapan Jefry. Mencari perempuan yang bisa bekerja sama.Tapi siapa? Lagi, pertanyaan itu menghampiri benaknya. Jika Kennan sembarang memilih perempuan, nanti keturunannya yang dipertaruhkan. Jika dia memilih perempuan di kantornya, dia akan merusak image-nya yang sempurna. Nanti, dia di cap lelaki hidung belang.Kennan berdecak. Buntu. Usulan Jefry yang ngawur kenapa dianggap serius?Melangkahkan kakinya menjauh dari area kantin. Kennan memilih kembali ke ruang kerjanya. Lebih baik dia menyelesaikan pekerjaannya daripada mencari hal yang masih belum masuk di nalarnya.“Sial.” umpat Kennan dalam hati.Jefry berhasil membodohinya dengan banyak bualan. Harusnya ucapan Jefry, Kennan anggap angin lalu. Tapi, kenapa justru semakin melekat diingatannya. Dia tergiur bua
Bab 2. Kedua KaliYuna bangun lebih pagi, kata ibunya dulu, anak perempuan tidak baik bangun kesiangan apalagi ketika matahari sudah menyingsing. Nanti rejekinya dipatok ayam, jodohnya jauh. Oleh karena itu, saat azan subuh berkumandang, Yuna sudah menegakkan tubuh. Dia bergegas ke kamar mandi dan memulai aktivitas paginya.Menguap, Yuna menempelkan punggung tangan kirinya di depan mulut. Meski sudah mandi kantuknya masih terus merayap. Dia membuka pintu kosnya, keluar kamar mencari sarapan. Mungkin nasi uduk di sekitar kosnya, yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Tidak sampai sepuluh menit, Yuna tiba di depan sebuah rumah sederhana. Dia mengukir senyuman dengan langkah semakin mendekat pada teras rumah itu.“Selamat pagi, Nek,” sapa Yuna ramah.Warung nasi uduk langganannya, di samping enak, harganya tidak membuat kantongnya cepat kering.Sang nenek yang mengenal Yuna, tanpa diminta mulai meracik pesanan. Sebelumnya, nenek menyahut sapaan Yuna disertai senyuman yang menampi