Bab 4. Melihat Sisi Lain
Kennan meringis mengingat perkataannya beberapa hari lalu. Dia sendiri tidak yakin ucapan itu keluar dari bibirnya. Tapi, sudah telanjur basah, jadi menurut Kennan sekalian saja dibasahi sampai kuyup.
Dia sedang duduk di ruang santai rumahnya, sendirian. Ayahnya sudah kembali ke Jepang menemani ibunya yang memang lebih suka tinggal di tanah lahirnya. Jefry sendiri mendapat tugas kerja ke kantor cabang di Singapura. Dan berakhir lah dia tanpa kawan seorang pun.
Memangnya siapa lagi yang Kennan harapkan. Wilona sudah resmi bertunangan, jadi mana mungkin perempuan itu mau berlama-lama menghabiskan waktu dengannya seperti dulu.
Tempo hari, dia datang tepat beberapa menit sebelum acara pertunangan Wilona selesai. Sengaja. Karena sebelumnya, Kennan justru tidak ingin menginjakkan kaki di acara itu. Terlalu menyakitkan melihat perempuan yang dicintai, bahagia bersama laki-laki lain.
Beranjak dari duduknya, Kennan memutuskan untuk mencari angin di luar. Hari sudah sore dan terasa hangat karena matahari yang bersinar cerah. Dia memakai celana jeans selutut dan polo shirt putih. Ditambah kacamata hitam yang dia sambar dari atas meja.
Berkeliling sore bukan salah satu hobi Kennan, hanya saja demi menghabiskan waktu di hari libur, dia pun memilih opsi itu. Tak ada salahnya.
Tidak cukup jauh dari rumahnya, Kennan menghentikan laju mobilnya tiba-tiba. Di seberang jalan, di sebuah halte, berdiri seorang perempuan yang baru beberapa kali tak sengaja bertemu, namun familier diingatannya. Perempuan yang ia tawari untuk mengandung anaknya.
Kennan memutuskan untuk menghampiri Yuna, mungkin dia bisa konfirmasi perkataannya kemarin.
Membuka kaca mobil sebelah penumpang, Kennan menekan klakson mobilnya pelan, mencoba menarik perhatian Yuna. “Kamu mau pulang?” tanya Kennan, ramah. Hal yang jarang sekali dia lakukan pada orang asing.
Sedikit membungkukkan badan, Yuna melirik sang pengendara mobil yang menghalangi pandangannya. Dia sedikit berjengit kaget, namun tak lama kembali menguasai diri. “Belum,” sahutnya jujur, sembari menggelengkan kepala.
Kennan mengernyit. “Naik, aku antar,” putusnya.
Membeliak, Yuna kembali menggelengkan kepala. “Tidak perlu, saya—”
“Ayo cepat, nanti macet kelamaan berhenti,” desak Kennan memotong penolakan Yuna.
Yuna bergeming, hingga klakson mobil di belakang saling bersahutan, membuat dia segera membuka pintu mobil dan masuk.
Kennan tersenyum miring, merasa menang kali ini. Karena gadis di sebelahnya beberapa kali menolak pemberian darinya. Aneh, ‘kan. Di saat banyak gadis tergila-gila padanya yang dingin namun baik hati. Yuna justru lebih sering menghindari kontak langsung dengannya. Gadis itu seperti ketakutan melihat dirinya.
“Di mana rumahmu?” tanya Kennan, melirik Yuna sekilas sebelum kembali melihat jalanan.
Memilin ujung bajunya. Yuna menjawab kikuk, “Saya bekerja.”
“Bekerja di akhir pekan seperti ini?” kernyit Kennan. Dia kembali melirik Yuna yang sedari tadi terus saja menundukkan kepala.
Ayolah, harusnya gadis itu terkagum akan interior mobilnya yang masih baru. Harusnya bangga juga karena Yuna orang pertama yang dia izinkan masuk ke mobil sport hitam-nya ini.
Tapi, mana tahu Yuna akan hal itu. Yuna hanya gadis kampung yang kebetulan tinggal di kota bertahun-tahun.
“Tidak ada hari libur untuk saya,” sahut Yuna kalem. Menatap tepat ke manik hitam Kennan. Tak lama kemudian dia segera menundukkan kepala.
“Kenapa tidak ambil kesempatan dariku?”
“Kesempatan?” Yuna membeo. Matanya mengerjap polos. Tampak mengingat-ingat.
Kennan menggertakkan gigi. Rupanya Yuna melupakan perkataannya tempo hari. Sialan sekali perempuan itu.
“Tentang ibu bagi anak-anakku,” terang Kennan. Sedetik kemudian dia mengutuk ucapannya sendiri. Kalau sampai Jefry atau siapa pun mendengar yang ia bicarakan, mereka pasti akan tertawa terbahak tak ada habisnya.
Yuna menganga, matanya membulat polos. “Saya kira hanya bercanda.”
Kennan mengetuk stir mobilnya dengan jari. Ingin tertawa, tapi, masa iya menertawakan diri sendiri. Enggak etis.
“21 tahun, ya?” gumam Kennan. Keningnya berkerut, apa perempuan 21 tahun di zaman sekarang begitu polos seperti Yuna. Atau hanya Yuna saja, tidak dengan yang lain.
“Aku tidak pernah bercanda,” tandas Kennan akhirnya.
Yuna menelan ludah, merunduk takut ketika Kennan menajamkan ucapan. Dia memang tak jarang mendapat omelan dari atasannya. Tapi, auranya tidak semenyeramkan Kennan.
“Adikmu masih SMP bukan?”
“Dari mana Anda tahu?”
Kennan mengedikkan bahunya. “Teman kerjamu,” kilah Kennan. “Aku bisa menjamin sekolah adikmu sampai Universitas, bahkan kehidupannya akan aku cukupi.”
Yuna mencerna baik-baik kalimat yang Kennan ucapkan. “Tapi ….”
“Cukup jadi perempuan yang mengandung anakku. Apa pun yang kamu inginkan akan terpenuhi. Aku tidak menuntut apa pun kecuali seorang anak. Kamu akan sangat diuntungkan dalam hal ini.” Kennan mengembuskan napas. Sedikit banyak dia sudah mengambil perannya. Entah gadis di sampingnya akan setuju atau lari tunggang langgang darinya.
Tapi harusnya, tidak ada gadis yang menolaknya. Apalagi seseorang seperti Yuna. Beberapa hari ini, Kennan meminta seorang detektif andal untuk mengorek informasi tentang Yuna sampai ke akar-akarnya. Dia harus memastikan perempuan yang mengandung anaknya nanti adalah perempuan baik-baik yang bersih dari penyakit.
“Kenapa Anda memilih saya? Kita bahkan tidak saling mengenal. Dan juga, pasti ada banyak perempuan yang mengagumi Anda,” Yuna melirih, wajahnya memerah gugup. Seketika ketakutan menyergap tubuhnya, membuatnya menggigil tanpa alasan.
“Entahlah, hanya feeling,” aku Kennan jujur. Sampai di tahap kengawuran seperti ini saja, Kennan tidak tahu asal pikirannya dari mana. Dia yang tadinya acuh tak acuh akan permintaan ayahnya, justru tergiur karena Jefry memberi jawaban lain.
Yuna menggigit bibirnya. Dia awam untuk masalah seperti ini. Bukankah selama ini dia hanya hidup untuk bekerja, demi kebahagiaan adiknya. Menguasai kegugupannya, Yuna segera membuka suara. “Saya turun di sini saja.”
Kennan mengembuskan napas. Seperti yang dia perkirakan, Yuna akan menolak. Tapi bukan Kennan jika menyerah dengan satu-dua penolakan. Menepikan mobilnya, Kennan mengambil tempat di depan deretan ruko. Dia melepaskan genggamannya dari kemudi lalu mengambil sebuah map di jok belakang.
“Ini perihal yang aku inginkan. Kamu bisa memikirkannya lebih dulu. Dan jika ingin, kamu pun bisa menambahkan,” ucap Kennan, menyerahkan map itu pada Yuna. Rincian tentang perjanjian antara dia dan Yuna, andaikata, gadis itu mau menyetujui tanpa syarat lain.
Yuna menahan map itu dengan tangan. “Tidak perlu, saya cukup dengan apa yang saya dapatkan sekarang.”
Tersenyum, Kennan membuka map itu dan mengambil berkas di dalamnya. “Maksimal dua tahun, minimalnya satu tahun, setelah itu kamu bebas. Aku akan menjamin kehidupanmu dan adikmu, seperti yang kubilang diawal tadi.”
Yuna bergeming, dia menatap wajah Kennan yang tampak serius. Nada suara laki-laki itu lebih lembut dibanding tadi ataupun yang kemarin-kemarinnya.
“Saya tidak bisa,” Yuna mencicit, sebelah tangannya siap membuka pintu mobil.
“Aku harap kamu akan menerimanya, Yuna,” ucap Kennan, mengiringi Yuna yang keluar mobilnya. Sesaat, ada bersit kagum di benak Kennan akan keteguhan Yuna.
***
“Apa yang salah dariku?” gumam Yuna bertanya-tanya. Dia berjalan pelan menyusuri gang sempit ke arah rumah kosnya. Suasana cukup ramai, karena ini malam minggu. Banyak muda-mudi yang berkunjung ke tempat pasangannya atau sekadar berboncengan keliling kota.
Beberapa hari belakangan, dia memang cukup terkejut dengan pernyataan laki-laki asing kepadanya.
“Kennan,” Yuna menggumam nama laki-laki asing yang tampan luar biasa. Di satu saat tampak baik dan bijaksana, namun di satu saat lain mampu membuat Yuna merunduk ketakutan. Bukan Yuna tidak terpesona, lebih dari apa pun, dia tidak ingin berpaling menatap wajah tampan itu.
Namun, dia masih sadar bagaimana dirinya. Keadaannya. Pelayan seperti dirinya, mana pantas. Mana layak untuk sekadar ber-angan terlalu jauh. Dan seperti bom yang meledak di pusat kehidupannya. Kennan memberinya penawaran yang mampu membuat Yuna menahan napas tidak percaya.
Harga dirinya sedang dipertaruhkan. Juga kehidupan adiknya yang menjadi alasan dia bertahan selama ini.
Apa yang harus Yuna pilih? Harga dirinya atau masa depan adiknya?
Jauh di dalam hatinya, Yuna ingin memberi kehidupan layak pada Sita, tidak seperti hidupnya selama ini yang pontang-panting mencari sekeping rupiah. Karena biarlah dirinya saja yang merasakan asam garamnya kehidupan tanpa orang tua, tanpa sosok kuat yang membantunya bertahan.
Dan pada kesempatan ini, dia tidak boleh egois, bukan?
Yuna menetapkan hatinya. Dia harus memilih yang terbaik, meski nantinya mungkin dia yang akan tersakiti.
Hidup memang bukan melulu tentang uang. Tapi yang saat ini paling mendesaknya adalah hal itu. Dia membutuhkan secepatnya, demi sang adik yang berjuang dengan sekolahnya.
Bab 5. Menerima Apa AdanyaKennan melirik jam yang melingkar apik di pergelangan tangan kirinya. Mendesah berat ketika jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Dia lupa makan siang, terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan yang lambat laun semakin menguras waktunya.Dan perlahan, dia pun merindukan perhatian. Seharian ini tidak ada yang mengingatkannya untuk makan, apalagi mengajaknya makan bersama. Membuat dia bertambah malas untuk menyentuh makanan.Melepas jas kantornya, Kennan menanggalkannya di atas kursi. Mejanya sudah rapi, dengan tumpukan berkas yang selesai dia periksa.Kennan baru akan keluar ruangan, ketika sebuah ketukan di pintu mengurungkannya. Terlihat Rita dengan senyum ramahnya menyembul di balik pintu.“Ada apa?” tanya Kennan, dia duduk di pinggiran meja dengan sebelah tangan tersimpan rapi di saku celana depan.“Ada tamu yang ingin menemui Anda, Pak,” kata Rita, sembari membuka daun pintu lebih lebar.Kennan yang tadinya mengernyit, seketika menyeringai tipis melihat
Bab 6. Jadi MenikahSendiri di pelataran, Yuna berdiri canggung di depan sebuah bangunan megah. Meski begitu, tatapannya tetap terkagum akan desain rumah klasik khas mediteranian itu. Tampak tenang dan nyaman untuk disinggahi. Halamannya luas dan asri. Ada banyak bunga-bunga yang mekar, beraneka ragam dengan warna-warna cantik, juga air mancur yang membuat suara gemerisik menenangkan.Yuna memejamkan mata, awal baru dari kehidupannya sudah dimulai sejak dia pertama kali menginjakkan kakinya di rumah itu.“Nona.”Yuna mengerjap, tersenyum samar pada seorang perempuan yang memperkenalkan diri padanya bernama Mini. Juga, satu-satunya perempuan yang menyambut kedatangannya dan setia berdiri satu langkah di belakangnya.“Silakan masuk,” ucap Mini, tangan kanannya terangkat mempersilakan.Yuna mengangguk. Hendak menggeret koper berukuran sedangnya namun urung karena ada tangan yang menahannya.“Saya saja yang membawanya, Nona,” ucap Mini dengan senyuman di wajah yang tak kunjung luntur.“Ti
Bab 7. Malu-malu MauHidup bak putri raja, mungkin itu sebutan yang pantas disematkan pada seorang Ayuna Malika. Gadis bau kencur yang resmi menyandang status sebagai istri seorang Kennan Sabdayagra.Meski pura-pura. Meski berbatas waktu.Kali ini, Yuna sedang duduk di tepi ranjang dengan sebuah novel terbuka dipangkuan. Membaca novel romantis kesukaannya, yang entah tahu dari mana, Kennan menyiapkan puluhan buku itu di kamarnya. Mungkin dimaksudkan untuk mengusir bosan. Entahlah, Yuna tidak pernah menanyakan perihal itu.“Tuan,” panggil Yuna melirih, digigitnya bibir bawah, harap-harap cemas menanti respon dari Kennan. Pasalnya, laki-laki itu sedang sibuk dengan laptop menyala, sejak satu jam yang lalu.Cukup lama hingga akhirnya Kennan menoleh menatap Yuna. “Ada apa?” tanya Kennan, dahinya mengernyit samar.Yuna meletakkan novelnya ke atas nakas, menyibak selimut yang sedari tadi membungkus kakinya. Siang hari memang, tapi Kennan tidak membiarkan jendela kamar terbuka, lebih memilih
Bab 8. Kennan SabdayagraYuna mengetuk pintu ruang kerja Kennan, menunggu sebentar sebelum sebuah seruan dari dalam terdengar.Membuka pintu, Yuna berjalan ke arah Kennan yang fokus pada pekerjaannya. Dia membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Pesanan laki-laki itu. Tadi Yuna merebutnya dari seorang pelayan yang hendak mengantarkan.Yuna meletakkan cangkir ke atas meja. Cukup jauh dari tebaran dokumen yang memenuhi meja kerja Kennan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi Kennan masih enggan untuk beranjak dari pekerjaannya.“Apa Tuan tidak lapar?” tanya Yuna, mendekap nampan kosong di dadanya.Sesaat Kennan mengernyit, namun sedetik berikutnya dia menyeringai. Dia menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. “Aku lapar, tapi malam ini lelah sekali. Jadi ingin tidur saja.”Yuna tersedak. Mengerti maksud ucapan Kennan. Tidak jauh-jauh dari program anak. Menggelengkan kepala, Yuna menyangkal cepat. “Maksud saya, lapar makan nasi. Bukankah Anda belum makan malam?”Ke
Bab 9. Cinta Belasan TahunYuna sedang menanam bunga ketika sebuah mobil memasuki pelataran rumah. Dia tidak mendongak sedikit pun untuk sekadar menilik siapa yang datang. Masih sibuk menanam bibit bunga matahari yang baru dibelinya. Bukan dia yang beli sih, dia meminta Mini untuk mencari bibit bunga di penjual tanaman. Tadinya ingin menanam pohon mangga dan durian, tapi urung karena takut Kennan tidak akan suka.Dan ketika berpikir lagi, sekalipun dia menanam pohonnya, keberadaan dirinya di rumah itu tidak sampai hingga pohonnya berbuah.Menepuk-nepuk tangannya yang kotor karena tanah, Yuna menegakkan tubuh dan sedikit meregangkannya. Dia tersenyum melihat deretan bibit bunga yang baru ditanamnya.“Nona, Tuan Kennan sudah pulang.” Mini berseru tidak jauh dari Yuna.“Sudah pulang?” Yuna mengernyit, dia menengadah menatap langit biru di atas sana. Tumben sekali, biasanya Kennan pulang ketika malam menjelang tapi ini matahari saja masih bersinar terik.Terburu-buru, Yuna berjalan ke ara
Bab 10. Candaan PagiBerjalan-jalan di pelataran rumah, Yuna menikmati udara pagi dan semerbak bunga yang menguar, memenuhi indera penciumnya. Langit cerah dengan cahaya mentari yang hangat menyapa. Dia menyungging senyum. Menengadah menatap birunya langit, awan putih bersih berarak menghias.Biasanya, dulu sepagi ini, Yuna sudah disibukkan dengan aktivitas restoran yang mulai bersiap buka. Dia karyawan teladan yang memiliki banyak pekerjaan, mulai dari menyapu sampai mengelap kaca-kaca restoran.Dan semua itu menghilang sejak dia melakukan kontrak dengan Kennan. Yuna keluar dari dua pekerjaannya secara baik-baik, meski mendadak sekali. Membuat banyak temannya di restoran maupun di kedai mengernyit curiga padanya.Sudahlah. Yuna tidak ingin mengungkit awal mula dia terikat dengan Kennan. Sangat menyakitkan. Di mana dia merendahkan harga dirinya demi segenggam kehidupan layak yang dijanjikan.Yuna mengusap wajah, meregangkan tubuh agar sedikit lebih segar dan menghilangkan kekalutan ha
Bab 1. Temu Tanpa CeritaKennan menyandarkan punggung pada kursi kerjanya. Hari baru beranjak siang, namun dia sudah tak lagi punya gairah untuk bekerja. Semangatnya menghilang terbawa angin, terbang bersama debu jalanan melanglang metropolitan. Ayahnya baru saja mendatanginya. Memberi banyak permintaan yang tidak mungkin Kennan berikan dengan mudah.Salah satunya … memberi cucu.Kennan berdecih. Cucu dari Hongkong, dia saja tidak mau menikah.Untuk apa menikah? Kalau hati saja, Kennan tak lagi yakin memiliki. Mungkin sudah mati, mungkin juga terbawa angin seperti semangatnya. Entahlah, dia terlalu malas untuk menjelaskan.Kalau bisa, dia ingin merelakan. Kalau mampu, dia ingin meninggalkan.Absurd. Sama seperti dirinya, tidak jauh berbeda. Sebelas dua belas antara waras dan tidak waras.Dia terkadang tertawa dalam kepedihan. Menangis dalam kebahagiaan.Tangisnya tidak mengeluarkan air mata, hanya beberapa perabot yang harus rela di jadikan sasaran atau dinding beton yang cukup mampu
Bab 2. Kedua KaliYuna bangun lebih pagi, kata ibunya dulu, anak perempuan tidak baik bangun kesiangan apalagi ketika matahari sudah menyingsing. Nanti rejekinya dipatok ayam, jodohnya jauh. Oleh karena itu, saat azan subuh berkumandang, Yuna sudah menegakkan tubuh. Dia bergegas ke kamar mandi dan memulai aktivitas paginya.Menguap, Yuna menempelkan punggung tangan kirinya di depan mulut. Meski sudah mandi kantuknya masih terus merayap. Dia membuka pintu kosnya, keluar kamar mencari sarapan. Mungkin nasi uduk di sekitar kosnya, yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Tidak sampai sepuluh menit, Yuna tiba di depan sebuah rumah sederhana. Dia mengukir senyuman dengan langkah semakin mendekat pada teras rumah itu.“Selamat pagi, Nek,” sapa Yuna ramah.Warung nasi uduk langganannya, di samping enak, harganya tidak membuat kantongnya cepat kering.Sang nenek yang mengenal Yuna, tanpa diminta mulai meracik pesanan. Sebelumnya, nenek menyahut sapaan Yuna disertai senyuman yang menampi
Bab 10. Candaan PagiBerjalan-jalan di pelataran rumah, Yuna menikmati udara pagi dan semerbak bunga yang menguar, memenuhi indera penciumnya. Langit cerah dengan cahaya mentari yang hangat menyapa. Dia menyungging senyum. Menengadah menatap birunya langit, awan putih bersih berarak menghias.Biasanya, dulu sepagi ini, Yuna sudah disibukkan dengan aktivitas restoran yang mulai bersiap buka. Dia karyawan teladan yang memiliki banyak pekerjaan, mulai dari menyapu sampai mengelap kaca-kaca restoran.Dan semua itu menghilang sejak dia melakukan kontrak dengan Kennan. Yuna keluar dari dua pekerjaannya secara baik-baik, meski mendadak sekali. Membuat banyak temannya di restoran maupun di kedai mengernyit curiga padanya.Sudahlah. Yuna tidak ingin mengungkit awal mula dia terikat dengan Kennan. Sangat menyakitkan. Di mana dia merendahkan harga dirinya demi segenggam kehidupan layak yang dijanjikan.Yuna mengusap wajah, meregangkan tubuh agar sedikit lebih segar dan menghilangkan kekalutan ha
Bab 9. Cinta Belasan TahunYuna sedang menanam bunga ketika sebuah mobil memasuki pelataran rumah. Dia tidak mendongak sedikit pun untuk sekadar menilik siapa yang datang. Masih sibuk menanam bibit bunga matahari yang baru dibelinya. Bukan dia yang beli sih, dia meminta Mini untuk mencari bibit bunga di penjual tanaman. Tadinya ingin menanam pohon mangga dan durian, tapi urung karena takut Kennan tidak akan suka.Dan ketika berpikir lagi, sekalipun dia menanam pohonnya, keberadaan dirinya di rumah itu tidak sampai hingga pohonnya berbuah.Menepuk-nepuk tangannya yang kotor karena tanah, Yuna menegakkan tubuh dan sedikit meregangkannya. Dia tersenyum melihat deretan bibit bunga yang baru ditanamnya.“Nona, Tuan Kennan sudah pulang.” Mini berseru tidak jauh dari Yuna.“Sudah pulang?” Yuna mengernyit, dia menengadah menatap langit biru di atas sana. Tumben sekali, biasanya Kennan pulang ketika malam menjelang tapi ini matahari saja masih bersinar terik.Terburu-buru, Yuna berjalan ke ara
Bab 8. Kennan SabdayagraYuna mengetuk pintu ruang kerja Kennan, menunggu sebentar sebelum sebuah seruan dari dalam terdengar.Membuka pintu, Yuna berjalan ke arah Kennan yang fokus pada pekerjaannya. Dia membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Pesanan laki-laki itu. Tadi Yuna merebutnya dari seorang pelayan yang hendak mengantarkan.Yuna meletakkan cangkir ke atas meja. Cukup jauh dari tebaran dokumen yang memenuhi meja kerja Kennan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi Kennan masih enggan untuk beranjak dari pekerjaannya.“Apa Tuan tidak lapar?” tanya Yuna, mendekap nampan kosong di dadanya.Sesaat Kennan mengernyit, namun sedetik berikutnya dia menyeringai. Dia menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. “Aku lapar, tapi malam ini lelah sekali. Jadi ingin tidur saja.”Yuna tersedak. Mengerti maksud ucapan Kennan. Tidak jauh-jauh dari program anak. Menggelengkan kepala, Yuna menyangkal cepat. “Maksud saya, lapar makan nasi. Bukankah Anda belum makan malam?”Ke
Bab 7. Malu-malu MauHidup bak putri raja, mungkin itu sebutan yang pantas disematkan pada seorang Ayuna Malika. Gadis bau kencur yang resmi menyandang status sebagai istri seorang Kennan Sabdayagra.Meski pura-pura. Meski berbatas waktu.Kali ini, Yuna sedang duduk di tepi ranjang dengan sebuah novel terbuka dipangkuan. Membaca novel romantis kesukaannya, yang entah tahu dari mana, Kennan menyiapkan puluhan buku itu di kamarnya. Mungkin dimaksudkan untuk mengusir bosan. Entahlah, Yuna tidak pernah menanyakan perihal itu.“Tuan,” panggil Yuna melirih, digigitnya bibir bawah, harap-harap cemas menanti respon dari Kennan. Pasalnya, laki-laki itu sedang sibuk dengan laptop menyala, sejak satu jam yang lalu.Cukup lama hingga akhirnya Kennan menoleh menatap Yuna. “Ada apa?” tanya Kennan, dahinya mengernyit samar.Yuna meletakkan novelnya ke atas nakas, menyibak selimut yang sedari tadi membungkus kakinya. Siang hari memang, tapi Kennan tidak membiarkan jendela kamar terbuka, lebih memilih
Bab 6. Jadi MenikahSendiri di pelataran, Yuna berdiri canggung di depan sebuah bangunan megah. Meski begitu, tatapannya tetap terkagum akan desain rumah klasik khas mediteranian itu. Tampak tenang dan nyaman untuk disinggahi. Halamannya luas dan asri. Ada banyak bunga-bunga yang mekar, beraneka ragam dengan warna-warna cantik, juga air mancur yang membuat suara gemerisik menenangkan.Yuna memejamkan mata, awal baru dari kehidupannya sudah dimulai sejak dia pertama kali menginjakkan kakinya di rumah itu.“Nona.”Yuna mengerjap, tersenyum samar pada seorang perempuan yang memperkenalkan diri padanya bernama Mini. Juga, satu-satunya perempuan yang menyambut kedatangannya dan setia berdiri satu langkah di belakangnya.“Silakan masuk,” ucap Mini, tangan kanannya terangkat mempersilakan.Yuna mengangguk. Hendak menggeret koper berukuran sedangnya namun urung karena ada tangan yang menahannya.“Saya saja yang membawanya, Nona,” ucap Mini dengan senyuman di wajah yang tak kunjung luntur.“Ti
Bab 5. Menerima Apa AdanyaKennan melirik jam yang melingkar apik di pergelangan tangan kirinya. Mendesah berat ketika jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Dia lupa makan siang, terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan yang lambat laun semakin menguras waktunya.Dan perlahan, dia pun merindukan perhatian. Seharian ini tidak ada yang mengingatkannya untuk makan, apalagi mengajaknya makan bersama. Membuat dia bertambah malas untuk menyentuh makanan.Melepas jas kantornya, Kennan menanggalkannya di atas kursi. Mejanya sudah rapi, dengan tumpukan berkas yang selesai dia periksa.Kennan baru akan keluar ruangan, ketika sebuah ketukan di pintu mengurungkannya. Terlihat Rita dengan senyum ramahnya menyembul di balik pintu.“Ada apa?” tanya Kennan, dia duduk di pinggiran meja dengan sebelah tangan tersimpan rapi di saku celana depan.“Ada tamu yang ingin menemui Anda, Pak,” kata Rita, sembari membuka daun pintu lebih lebar.Kennan yang tadinya mengernyit, seketika menyeringai tipis melihat
Bab 4. Melihat Sisi LainKennan meringis mengingat perkataannya beberapa hari lalu. Dia sendiri tidak yakin ucapan itu keluar dari bibirnya. Tapi, sudah telanjur basah, jadi menurut Kennan sekalian saja dibasahi sampai kuyup.Dia sedang duduk di ruang santai rumahnya, sendirian. Ayahnya sudah kembali ke Jepang menemani ibunya yang memang lebih suka tinggal di tanah lahirnya. Jefry sendiri mendapat tugas kerja ke kantor cabang di Singapura. Dan berakhir lah dia tanpa kawan seorang pun.Memangnya siapa lagi yang Kennan harapkan. Wilona sudah resmi bertunangan, jadi mana mungkin perempuan itu mau berlama-lama menghabiskan waktu dengannya seperti dulu.Tempo hari, dia datang tepat beberapa menit sebelum acara pertunangan Wilona selesai. Sengaja. Karena sebelumnya, Kennan justru tidak ingin menginjakkan kaki di acara itu. Terlalu menyakitkan melihat perempuan yang dicintai, bahagia bersama laki-laki lain.Beranjak dari duduknya, Kennan memutuskan untuk mencari angin di luar. Hari sudah sor
Bab 3. Mengambil LangkahKennan mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, menelisik wajah-wajah perempuan cantik di kantornya. Semua terlihat ramah dan sopan dalam balutan pakaian kerja. Sedikit banyak, dia terpengaruh akan ucapan Jefry. Mencari perempuan yang bisa bekerja sama.Tapi siapa? Lagi, pertanyaan itu menghampiri benaknya. Jika Kennan sembarang memilih perempuan, nanti keturunannya yang dipertaruhkan. Jika dia memilih perempuan di kantornya, dia akan merusak image-nya yang sempurna. Nanti, dia di cap lelaki hidung belang.Kennan berdecak. Buntu. Usulan Jefry yang ngawur kenapa dianggap serius?Melangkahkan kakinya menjauh dari area kantin. Kennan memilih kembali ke ruang kerjanya. Lebih baik dia menyelesaikan pekerjaannya daripada mencari hal yang masih belum masuk di nalarnya.“Sial.” umpat Kennan dalam hati.Jefry berhasil membodohinya dengan banyak bualan. Harusnya ucapan Jefry, Kennan anggap angin lalu. Tapi, kenapa justru semakin melekat diingatannya. Dia tergiur bua
Bab 2. Kedua KaliYuna bangun lebih pagi, kata ibunya dulu, anak perempuan tidak baik bangun kesiangan apalagi ketika matahari sudah menyingsing. Nanti rejekinya dipatok ayam, jodohnya jauh. Oleh karena itu, saat azan subuh berkumandang, Yuna sudah menegakkan tubuh. Dia bergegas ke kamar mandi dan memulai aktivitas paginya.Menguap, Yuna menempelkan punggung tangan kirinya di depan mulut. Meski sudah mandi kantuknya masih terus merayap. Dia membuka pintu kosnya, keluar kamar mencari sarapan. Mungkin nasi uduk di sekitar kosnya, yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Tidak sampai sepuluh menit, Yuna tiba di depan sebuah rumah sederhana. Dia mengukir senyuman dengan langkah semakin mendekat pada teras rumah itu.“Selamat pagi, Nek,” sapa Yuna ramah.Warung nasi uduk langganannya, di samping enak, harganya tidak membuat kantongnya cepat kering.Sang nenek yang mengenal Yuna, tanpa diminta mulai meracik pesanan. Sebelumnya, nenek menyahut sapaan Yuna disertai senyuman yang menampi