Home / Romansa / Kekasih Tuan Muda / Bab 5. Menerima Apa adanya

Share

Bab 5. Menerima Apa adanya

Author: reinsabiila
last update Last Updated: 2024-11-28 15:59:12

Bab 5. Menerima Apa Adanya

Kennan melirik jam yang melingkar apik di pergelangan tangan kirinya. Mendesah berat ketika jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Dia lupa makan siang, terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan yang lambat laun semakin menguras waktunya.

Dan perlahan, dia pun merindukan perhatian. Seharian ini tidak ada yang mengingatkannya untuk makan, apalagi mengajaknya makan bersama. Membuat dia bertambah malas untuk menyentuh makanan.

Melepas jas kantornya, Kennan menanggalkannya di atas kursi. Mejanya sudah rapi, dengan tumpukan berkas yang selesai dia periksa.

Kennan baru akan keluar ruangan, ketika sebuah ketukan di pintu mengurungkannya. Terlihat Rita dengan senyum ramahnya menyembul di balik pintu.

“Ada apa?” tanya Kennan, dia duduk di pinggiran meja dengan sebelah tangan tersimpan rapi di saku celana depan.

“Ada tamu yang ingin menemui Anda, Pak,” kata Rita, sembari membuka daun pintu lebih lebar.

Kennan yang tadinya mengernyit, seketika menyeringai tipis melihat seseorang yang berdiri di sisi belakang Rita. Dia segera menegakkan tubuh. “Suruh masuk,” perintahnya.

Yuna meringis, melangkah masuk ke dalam ruangan yang terasa mencekam baginya. Dia melirik sesaat ke arah Kennan, sebelum mengalihkan tatapannya pada Rita yang berlalu. Meninggalkan debam pintu yang menggema gendangnya.

Kennan duduk di salah satu sofa single sembari meminta Yuna untuk duduk. “Kamu sudah memutuskan?” tanya Kennan to the point. Beberapa detik setelah Yuna menyamankan duduknya.

Yuna mengangguk. Mengangkat sedikit dagunya, dan sedikit lebih berani untuk bersitatap langsung dengan manik Kennan.

“Jadi?”

“Saya menerimanya.”

Kennan tersenyum tipis. Benaknya berbangga diri. “Kalau begitu, besok kita akan menandatangani kesepakatan.”

Menggigit bibir bawahnya, Yuna mencoba merangkai kata dalam pikirannya. Lamat-lamat dia menatap Kennan dengan tatapan meragu. “Tapi—”

Menaikkan sebelah alisnya, Kennan menunggu kelanjutan ucapan Yuna. “Kamu ingin menambahi?” tanya Kennan akhirnya.

“Saya ...,” jeda. Yuna menarik napas pelan. Susah sekali kata yang sudah berada di ujung lidahnya terucap. “saya tidak ingin mengandung di luar pernikahan.”

Membeliak. Kennan menatap lekat gadis muda di depannya. Apa yang baru didengarnya, lelucon kah?

“Sepertinya kamu belum membaca rinci kesepakatan itu. Aku tidak ingin menikah atau membangun rumah tangga.” Kennan mendesahkan napas. “Tidak ada komitmen. Yang aku inginkan hanya mendapat keturunan. Jadi, karena itu aku membuat hal seperti ini.”

“Bukan, bukan seperti itu. Ini hanya pernikahan yang berbatas waktu, sama seperti yang Anda inginkan. Anda bisa langsung memutuskan hubungan sesuai yang ada dalam kesepakatan.” Yuna tersenyum, senyum buatan yang dia usahakan. Hatinya perih demi satu keputusan berat yang diambilnya.

Bukan main-main. Dia menggantungkan hidupnya pada suatu hal menggelikan. Karena demi satu keputusan itu pula, Yuna berani mengesampingkan harga dirinya. Tak lagi peduli jika dianggap rendahan ataupun murahan.

Kennan diam, dia tidak sampai berpikiran ke arah pernikahan. Baginya, mahligai pernikahan adalah komitmen seumur hidup yang dijalani dengan orang terkasih. Bukan di atas kesepakatan seperti ini.

“Kamu yakin?” tanya Kennan meragu. “Kita bisa saja menikah, tapi tentunya secara diam-diam. Tidak ada status yang kamu harapkan, murni hanya hitam di atas putih.”

Yuna mengangguk. Dia sudah memilih, dan siap untuk segala resiko yang akan diterima nantinya. Daripada dia mengandung namun tidak dengan ikatan. Biarlah seperti ini. Mungkin, bisa disebut kawin kontrak. Sejenis itulah.

Yang jelas, jika dia memiliki anak nantinya. Anak itu berasal dari sebuah ikatan pernikahan. Yuna tidak ingin menodai apa yang ayah dan ibunya ajarkan dan tanamkan dalam dirinya sejak dulu. Meski dilihat dari sudut pandang mana pun, kawin kontrak bukanlah hal lazim dalam masyarakat.

***

“Kamu mau makan apa?” Kennan membuka buku menu. Mendongak sesaat melihat Yuna yang juga sedang memilih menu.

Yuna bergeming, menelisik setiap gambar beserta nama masakannya. Selama ini, dia hanya sering mengantar makanan-makanan seperti itu, namun hitungan jari dia pernah memakannya.

“Terserah Anda saja,” sahut Yuna. Menutup buku menu dan meletakkannya di meja.

Saat ini, dia dan Kennan sedang makan sore menjelang gelap, setelah tadi menentukan tepatnya hari untuk menikah. Yuna tidak diperuntukkan mempersiapkan apa pun, karena kata Kennan, sudah ada orang yang ditunjuk mempersiapkan segalanya.

Kennan mengangguk, memesankan banyak makanan yang sekiranya Yuna suka.

“Kamu tinggal di sini dengan siapa?” tanya Kennan, membuka pembicaraan. Meski dia bisa mencari tahu dari laporan detektifnya. Basa basi begitulah. Masa iya, mau menikah tidak ada pembicaraan. Bukankah tidak ada paksaan.

“Saya tinggal sendiri. Dulu memang ada teman dari desa tinggal bersama, tapi sekarang sudah tidak lagi.”

Yuna mengingat bagaimana awal kedatangannya ke kota. Dia bekerja menjadi babysitter lebih dulu, hanya satu tahun. Sebelum memutuskan untuk keluar dan mencari pekerjaan lain. Alasannya karena pendapatannya tidaklah cukup. Dan pilihannya jatuh pada pelayan restoran, ada banyak waktu luang baginya. Sehingga dia bisa mencari pendapatan tambahan dengan bekerja sampingan.

“Kamu tinggal di rumah atau ....”

“Saya tidak punya rumah di sini. Jadi, menyewa kamar kos.”

Kennan membulatkan bibirnya. “Oh, lalu adikmu?”

Diam beberapa saat, Yuna mengukir senyuman sebelum menjawab. “Ada saudara jauh yang mau menampung kami dulu. Dan ketika cukup besar, saya memasukkan adik ke asrama, selama saya pergi untuk bekerja.”

Kennan mengernyit, nyatanya sisi lain dari kemewahan ada banyak orang yang harus menerima hidup sederhana. Seperti Yuna misalnya. Dia masih belia untuk menghidupi adiknya seorang diri. Namun, dari apa yang Kennan lihat di mata Yuna. Tidak ada lelah di bola mata cokelat gelap itu.

“Kenapa kamu mau menerima tawaranku? Setelah sebelumnya menolak mentah-mentah.”

Yuna terkekeh pelan. Menampilkan deretan gigi yang tertata apik. “Anda sedang menginterogasi saya?”

Memilih tidak menjawab, Kennan hanya mengedikkan bahunya.

“Saya realistis saja.”

Kennan menyipit, namun tak berniat berucap karena sepertinya Yuna belum selesai.

“Dari dua pilihan, antara saya yang egois untuk berjuang sendiri atau memilih berkorban demi kehidupan layak. Kalaupun saya mati-matian bekerja, belum tentu bisa membiayai kehidupan adik saya sampai kuliah.”

“Jujur sekali,” batin Kennan. Senyum miring tersungging di bibirnya.

Yuna menarik napas, sedikit sesak namun lega di ujungnya. Dia merasa seperti pengecut yang membohongi diri sendiri. Dia terlalu sempit dalam berpikir, menilai sama rata dengan apa yang dia lakukan. Bisa saja nasibnya berubah, bukan dengan jalan menjual diri seperti ini. Ada banyak pekerjaan yang menjanjikan. Kegagalan bukan lantas menjadi satu alasan untuk menyerah.

“Yuna,” panggil Kennan sedikit keras.

Tersentak. Yuna mengerjap beberapa kali demi mengembalikan kesadarannya. “Maaf,” lirihnya.

“Kamu tidak ingin makan?”

Yuna menggigit bibir bawahnya, melirik mejanya yang kali ini sudah dipenuhi banyak sekali makanan. Karena sempat melamun tadi, dia tidak menyadari pelayan yang datang meletakkan makanan. “Banyak sekali,” gumamnya.

Kennan menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa?”

“Terlalu banyak, tidak akan habis.”

Tergelak. Kennan mengibaskan sebelah tangannya. “Tidak apa-apa. Aku tidak tahu apa yang kamu suka, jadi ya ... aku pesan semua.”

Yuna mengembuskan napas. “Saya suka semua makanan, kecuali daun bawang.”

Kennan mencibir, “Suka semua tapi ada pengecualian.”

“Memangnya salah kalau tidak suka daun bawang?”

“Tidak ada yang salah. Tapi itu bukan semua makanan kamu suka. Karena nyatanya ada satu yang kamu benci,” jelas Kennan, mengakhiri ucapannya dengan decakkan.

Yuna mendengkus lirih, “Daun bawang bau, saya tidak suka.”

Tawa Kennan tertahan. Dia memilih menggelengkan kepala tidak percaya. Baru kali ini dia melihat sisi kanak-kanak Yuna, setelah sejak pertemuan pertama gadis itu mempertahankan kedewasaan.

“Apa ini enak dimakan?” tanya Yuna menunjukkan makanan yang sedang dia sendok.

Kennan menunduk, menyahut acuh tak acuh “Itu daun bawang.”

“Tidak ada daun bawang kekuningan seperti ini,” lirih Yuna. Dia beralih mengambil makanan di piring lain, yang lebih familier di matanya.

“Kamu pelayan restoran, kenapa tidak paham jenis makanan seperti itu?” cecar Kennan. Dia mengambil gelas minumnya, menyesapnya sedikit dan kembali meletakkannya.

Yuna menghentikan kegiatan menyuapnya. “Saya hanya pelayan, bukan chef-nya. Wajar kalau tidak tahu,” bela Yuna. Tidak terima laki-laki di hadapannya mencecar pekerjaannya selama ini.

“Oh, berani sekarang.”

Yuna bergeming, menelan ludah gugup. Dia tidak bermaksud sama sekali. Hanya saja, terkadang kebawelannya memang kambuh seperti itu. Tidak diam ketika apa yang dia perjuangkan dicecar. “Maaf.”

Dan Yuna tersadar akan posisinya. Dia hanya harus menurut tanpa bantahan. Tanpa ada kesempatan untuk sekadar membela.

Kennan melirik Yuna yang menunduk dalam, ada sedikit sesal karena sempat berucap tinggi pada gadis itu. Nyatanya, Yuna memang masih terlalu polos.

“Ya sudah, cepat makan. Dan habiskan,” perintah Kennan, kali ini dia sedikit menurunkan suaranya. Terbukti dengan Yuna yang menganggukkan kepala dan segera melahap makanan di atas meja.

Kennan tersenyum. Kata Yuna, makanan yang Kennan pesan kebanyakan dan tidak akan habis, tapi nyatanya, gadis itu sudah menghabiskan separuh makanan itu sendiri.

“Jangan buru-buru, aku akan mengantarmu pulang,” ucap Kennan setelah mengusap bibirnya dengan sapu tangan.

Yuna tersenyum melihat Kennan yang sedang menatapnya. “Iya, terima kasih.”

Baru saja Yuna akan kembali melahap makanan lezat di hadapannya, tiba-tiba, tangan Kennan terulur dan mengusap sudut bibir Yuna dengan jemari.

“Kamu berantakan sekali.”

Yuna menegang di tempatnya, wajahnya memerah panas. Bukan karena ucapan Kennan, namun karena sentuhan laki-laki itu di bibirnya. Lembut sekali.

Buru-buru Yuna menundukkan kepala dan kembali fokus pada makannya. Mengabaikan degup jantungnya yang memburu seolah melompat-lompat.

Ada apa dengan jantungnya? Aneh sekali.

Yuna tidak tahu perasaan apa itu.

Related chapters

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 6. Jadi Menikah

    Bab 6. Jadi MenikahSendiri di pelataran, Yuna berdiri canggung di depan sebuah bangunan megah. Meski begitu, tatapannya tetap terkagum akan desain rumah klasik khas mediteranian itu. Tampak tenang dan nyaman untuk disinggahi. Halamannya luas dan asri. Ada banyak bunga-bunga yang mekar, beraneka ragam dengan warna-warna cantik, juga air mancur yang membuat suara gemerisik menenangkan.Yuna memejamkan mata, awal baru dari kehidupannya sudah dimulai sejak dia pertama kali menginjakkan kakinya di rumah itu.“Nona.”Yuna mengerjap, tersenyum samar pada seorang perempuan yang memperkenalkan diri padanya bernama Mini. Juga, satu-satunya perempuan yang menyambut kedatangannya dan setia berdiri satu langkah di belakangnya.“Silakan masuk,” ucap Mini, tangan kanannya terangkat mempersilakan.Yuna mengangguk. Hendak menggeret koper berukuran sedangnya namun urung karena ada tangan yang menahannya.“Saya saja yang membawanya, Nona,” ucap Mini dengan senyuman di wajah yang tak kunjung luntur.“Ti

    Last Updated : 2024-11-28
  • Kekasih Tuan Muda   Bab 7. Malu-malu Mau

    Bab 7. Malu-malu MauHidup bak putri raja, mungkin itu sebutan yang pantas disematkan pada seorang Ayuna Malika. Gadis bau kencur yang resmi menyandang status sebagai istri seorang Kennan Sabdayagra.Meski pura-pura. Meski berbatas waktu.Kali ini, Yuna sedang duduk di tepi ranjang dengan sebuah novel terbuka dipangkuan. Membaca novel romantis kesukaannya, yang entah tahu dari mana, Kennan menyiapkan puluhan buku itu di kamarnya. Mungkin dimaksudkan untuk mengusir bosan. Entahlah, Yuna tidak pernah menanyakan perihal itu.“Tuan,” panggil Yuna melirih, digigitnya bibir bawah, harap-harap cemas menanti respon dari Kennan. Pasalnya, laki-laki itu sedang sibuk dengan laptop menyala, sejak satu jam yang lalu.Cukup lama hingga akhirnya Kennan menoleh menatap Yuna. “Ada apa?” tanya Kennan, dahinya mengernyit samar.Yuna meletakkan novelnya ke atas nakas, menyibak selimut yang sedari tadi membungkus kakinya. Siang hari memang, tapi Kennan tidak membiarkan jendela kamar terbuka, lebih memilih

    Last Updated : 2024-11-28
  • Kekasih Tuan Muda   Bab 8. Kennan Sabdayagra

    Bab 8. Kennan SabdayagraYuna mengetuk pintu ruang kerja Kennan, menunggu sebentar sebelum sebuah seruan dari dalam terdengar.Membuka pintu, Yuna berjalan ke arah Kennan yang fokus pada pekerjaannya. Dia membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Pesanan laki-laki itu. Tadi Yuna merebutnya dari seorang pelayan yang hendak mengantarkan.Yuna meletakkan cangkir ke atas meja. Cukup jauh dari tebaran dokumen yang memenuhi meja kerja Kennan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi Kennan masih enggan untuk beranjak dari pekerjaannya.“Apa Tuan tidak lapar?” tanya Yuna, mendekap nampan kosong di dadanya.Sesaat Kennan mengernyit, namun sedetik berikutnya dia menyeringai. Dia menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. “Aku lapar, tapi malam ini lelah sekali. Jadi ingin tidur saja.”Yuna tersedak. Mengerti maksud ucapan Kennan. Tidak jauh-jauh dari program anak. Menggelengkan kepala, Yuna menyangkal cepat. “Maksud saya, lapar makan nasi. Bukankah Anda belum makan malam?”Ke

    Last Updated : 2024-11-28
  • Kekasih Tuan Muda   Bab 9. Cinta Belasan Tahun

    Bab 9. Cinta Belasan TahunYuna sedang menanam bunga ketika sebuah mobil memasuki pelataran rumah. Dia tidak mendongak sedikit pun untuk sekadar menilik siapa yang datang. Masih sibuk menanam bibit bunga matahari yang baru dibelinya. Bukan dia yang beli sih, dia meminta Mini untuk mencari bibit bunga di penjual tanaman. Tadinya ingin menanam pohon mangga dan durian, tapi urung karena takut Kennan tidak akan suka.Dan ketika berpikir lagi, sekalipun dia menanam pohonnya, keberadaan dirinya di rumah itu tidak sampai hingga pohonnya berbuah.Menepuk-nepuk tangannya yang kotor karena tanah, Yuna menegakkan tubuh dan sedikit meregangkannya. Dia tersenyum melihat deretan bibit bunga yang baru ditanamnya.“Nona, Tuan Kennan sudah pulang.” Mini berseru tidak jauh dari Yuna.“Sudah pulang?” Yuna mengernyit, dia menengadah menatap langit biru di atas sana. Tumben sekali, biasanya Kennan pulang ketika malam menjelang tapi ini matahari saja masih bersinar terik.Terburu-buru, Yuna berjalan ke ara

    Last Updated : 2024-11-28
  • Kekasih Tuan Muda   Bab 10. Candaan Pagi

    Bab 10. Candaan PagiBerjalan-jalan di pelataran rumah, Yuna menikmati udara pagi dan semerbak bunga yang menguar, memenuhi indera penciumnya. Langit cerah dengan cahaya mentari yang hangat menyapa. Dia menyungging senyum. Menengadah menatap birunya langit, awan putih bersih berarak menghias.Biasanya, dulu sepagi ini, Yuna sudah disibukkan dengan aktivitas restoran yang mulai bersiap buka. Dia karyawan teladan yang memiliki banyak pekerjaan, mulai dari menyapu sampai mengelap kaca-kaca restoran.Dan semua itu menghilang sejak dia melakukan kontrak dengan Kennan. Yuna keluar dari dua pekerjaannya secara baik-baik, meski mendadak sekali. Membuat banyak temannya di restoran maupun di kedai mengernyit curiga padanya.Sudahlah. Yuna tidak ingin mengungkit awal mula dia terikat dengan Kennan. Sangat menyakitkan. Di mana dia merendahkan harga dirinya demi segenggam kehidupan layak yang dijanjikan.Yuna mengusap wajah, meregangkan tubuh agar sedikit lebih segar dan menghilangkan kekalutan ha

    Last Updated : 2024-11-28
  • Kekasih Tuan Muda   Bab 1. Temu Tanpa Cerita

    Bab 1. Temu Tanpa CeritaKennan menyandarkan punggung pada kursi kerjanya. Hari baru beranjak siang, namun dia sudah tak lagi punya gairah untuk bekerja. Semangatnya menghilang terbawa angin, terbang bersama debu jalanan melanglang metropolitan. Ayahnya baru saja mendatanginya. Memberi banyak permintaan yang tidak mungkin Kennan berikan dengan mudah.Salah satunya … memberi cucu.Kennan berdecih. Cucu dari Hongkong, dia saja tidak mau menikah.Untuk apa menikah? Kalau hati saja, Kennan tak lagi yakin memiliki. Mungkin sudah mati, mungkin juga terbawa angin seperti semangatnya. Entahlah, dia terlalu malas untuk menjelaskan.Kalau bisa, dia ingin merelakan. Kalau mampu, dia ingin meninggalkan.Absurd. Sama seperti dirinya, tidak jauh berbeda. Sebelas dua belas antara waras dan tidak waras.Dia terkadang tertawa dalam kepedihan. Menangis dalam kebahagiaan.Tangisnya tidak mengeluarkan air mata, hanya beberapa perabot yang harus rela di jadikan sasaran atau dinding beton yang cukup mampu

    Last Updated : 2024-11-28
  • Kekasih Tuan Muda   Bab 2. Kedua Kali

    Bab 2. Kedua KaliYuna bangun lebih pagi, kata ibunya dulu, anak perempuan tidak baik bangun kesiangan apalagi ketika matahari sudah menyingsing. Nanti rejekinya dipatok ayam, jodohnya jauh. Oleh karena itu, saat azan subuh berkumandang, Yuna sudah menegakkan tubuh. Dia bergegas ke kamar mandi dan memulai aktivitas paginya.Menguap, Yuna menempelkan punggung tangan kirinya di depan mulut. Meski sudah mandi kantuknya masih terus merayap. Dia membuka pintu kosnya, keluar kamar mencari sarapan. Mungkin nasi uduk di sekitar kosnya, yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Tidak sampai sepuluh menit, Yuna tiba di depan sebuah rumah sederhana. Dia mengukir senyuman dengan langkah semakin mendekat pada teras rumah itu.“Selamat pagi, Nek,” sapa Yuna ramah.Warung nasi uduk langganannya, di samping enak, harganya tidak membuat kantongnya cepat kering.Sang nenek yang mengenal Yuna, tanpa diminta mulai meracik pesanan. Sebelumnya, nenek menyahut sapaan Yuna disertai senyuman yang menampi

    Last Updated : 2024-11-28
  • Kekasih Tuan Muda   Bab 3. Mengambil Langkah

    Bab 3. Mengambil LangkahKennan mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, menelisik wajah-wajah perempuan cantik di kantornya. Semua terlihat ramah dan sopan dalam balutan pakaian kerja. Sedikit banyak, dia terpengaruh akan ucapan Jefry. Mencari perempuan yang bisa bekerja sama.Tapi siapa? Lagi, pertanyaan itu menghampiri benaknya. Jika Kennan sembarang memilih perempuan, nanti keturunannya yang dipertaruhkan. Jika dia memilih perempuan di kantornya, dia akan merusak image-nya yang sempurna. Nanti, dia di cap lelaki hidung belang.Kennan berdecak. Buntu. Usulan Jefry yang ngawur kenapa dianggap serius?Melangkahkan kakinya menjauh dari area kantin. Kennan memilih kembali ke ruang kerjanya. Lebih baik dia menyelesaikan pekerjaannya daripada mencari hal yang masih belum masuk di nalarnya.“Sial.” umpat Kennan dalam hati.Jefry berhasil membodohinya dengan banyak bualan. Harusnya ucapan Jefry, Kennan anggap angin lalu. Tapi, kenapa justru semakin melekat diingatannya. Dia tergiur bua

    Last Updated : 2024-11-28

Latest chapter

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 10. Candaan Pagi

    Bab 10. Candaan PagiBerjalan-jalan di pelataran rumah, Yuna menikmati udara pagi dan semerbak bunga yang menguar, memenuhi indera penciumnya. Langit cerah dengan cahaya mentari yang hangat menyapa. Dia menyungging senyum. Menengadah menatap birunya langit, awan putih bersih berarak menghias.Biasanya, dulu sepagi ini, Yuna sudah disibukkan dengan aktivitas restoran yang mulai bersiap buka. Dia karyawan teladan yang memiliki banyak pekerjaan, mulai dari menyapu sampai mengelap kaca-kaca restoran.Dan semua itu menghilang sejak dia melakukan kontrak dengan Kennan. Yuna keluar dari dua pekerjaannya secara baik-baik, meski mendadak sekali. Membuat banyak temannya di restoran maupun di kedai mengernyit curiga padanya.Sudahlah. Yuna tidak ingin mengungkit awal mula dia terikat dengan Kennan. Sangat menyakitkan. Di mana dia merendahkan harga dirinya demi segenggam kehidupan layak yang dijanjikan.Yuna mengusap wajah, meregangkan tubuh agar sedikit lebih segar dan menghilangkan kekalutan ha

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 9. Cinta Belasan Tahun

    Bab 9. Cinta Belasan TahunYuna sedang menanam bunga ketika sebuah mobil memasuki pelataran rumah. Dia tidak mendongak sedikit pun untuk sekadar menilik siapa yang datang. Masih sibuk menanam bibit bunga matahari yang baru dibelinya. Bukan dia yang beli sih, dia meminta Mini untuk mencari bibit bunga di penjual tanaman. Tadinya ingin menanam pohon mangga dan durian, tapi urung karena takut Kennan tidak akan suka.Dan ketika berpikir lagi, sekalipun dia menanam pohonnya, keberadaan dirinya di rumah itu tidak sampai hingga pohonnya berbuah.Menepuk-nepuk tangannya yang kotor karena tanah, Yuna menegakkan tubuh dan sedikit meregangkannya. Dia tersenyum melihat deretan bibit bunga yang baru ditanamnya.“Nona, Tuan Kennan sudah pulang.” Mini berseru tidak jauh dari Yuna.“Sudah pulang?” Yuna mengernyit, dia menengadah menatap langit biru di atas sana. Tumben sekali, biasanya Kennan pulang ketika malam menjelang tapi ini matahari saja masih bersinar terik.Terburu-buru, Yuna berjalan ke ara

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 8. Kennan Sabdayagra

    Bab 8. Kennan SabdayagraYuna mengetuk pintu ruang kerja Kennan, menunggu sebentar sebelum sebuah seruan dari dalam terdengar.Membuka pintu, Yuna berjalan ke arah Kennan yang fokus pada pekerjaannya. Dia membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Pesanan laki-laki itu. Tadi Yuna merebutnya dari seorang pelayan yang hendak mengantarkan.Yuna meletakkan cangkir ke atas meja. Cukup jauh dari tebaran dokumen yang memenuhi meja kerja Kennan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi Kennan masih enggan untuk beranjak dari pekerjaannya.“Apa Tuan tidak lapar?” tanya Yuna, mendekap nampan kosong di dadanya.Sesaat Kennan mengernyit, namun sedetik berikutnya dia menyeringai. Dia menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. “Aku lapar, tapi malam ini lelah sekali. Jadi ingin tidur saja.”Yuna tersedak. Mengerti maksud ucapan Kennan. Tidak jauh-jauh dari program anak. Menggelengkan kepala, Yuna menyangkal cepat. “Maksud saya, lapar makan nasi. Bukankah Anda belum makan malam?”Ke

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 7. Malu-malu Mau

    Bab 7. Malu-malu MauHidup bak putri raja, mungkin itu sebutan yang pantas disematkan pada seorang Ayuna Malika. Gadis bau kencur yang resmi menyandang status sebagai istri seorang Kennan Sabdayagra.Meski pura-pura. Meski berbatas waktu.Kali ini, Yuna sedang duduk di tepi ranjang dengan sebuah novel terbuka dipangkuan. Membaca novel romantis kesukaannya, yang entah tahu dari mana, Kennan menyiapkan puluhan buku itu di kamarnya. Mungkin dimaksudkan untuk mengusir bosan. Entahlah, Yuna tidak pernah menanyakan perihal itu.“Tuan,” panggil Yuna melirih, digigitnya bibir bawah, harap-harap cemas menanti respon dari Kennan. Pasalnya, laki-laki itu sedang sibuk dengan laptop menyala, sejak satu jam yang lalu.Cukup lama hingga akhirnya Kennan menoleh menatap Yuna. “Ada apa?” tanya Kennan, dahinya mengernyit samar.Yuna meletakkan novelnya ke atas nakas, menyibak selimut yang sedari tadi membungkus kakinya. Siang hari memang, tapi Kennan tidak membiarkan jendela kamar terbuka, lebih memilih

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 6. Jadi Menikah

    Bab 6. Jadi MenikahSendiri di pelataran, Yuna berdiri canggung di depan sebuah bangunan megah. Meski begitu, tatapannya tetap terkagum akan desain rumah klasik khas mediteranian itu. Tampak tenang dan nyaman untuk disinggahi. Halamannya luas dan asri. Ada banyak bunga-bunga yang mekar, beraneka ragam dengan warna-warna cantik, juga air mancur yang membuat suara gemerisik menenangkan.Yuna memejamkan mata, awal baru dari kehidupannya sudah dimulai sejak dia pertama kali menginjakkan kakinya di rumah itu.“Nona.”Yuna mengerjap, tersenyum samar pada seorang perempuan yang memperkenalkan diri padanya bernama Mini. Juga, satu-satunya perempuan yang menyambut kedatangannya dan setia berdiri satu langkah di belakangnya.“Silakan masuk,” ucap Mini, tangan kanannya terangkat mempersilakan.Yuna mengangguk. Hendak menggeret koper berukuran sedangnya namun urung karena ada tangan yang menahannya.“Saya saja yang membawanya, Nona,” ucap Mini dengan senyuman di wajah yang tak kunjung luntur.“Ti

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 5. Menerima Apa adanya

    Bab 5. Menerima Apa AdanyaKennan melirik jam yang melingkar apik di pergelangan tangan kirinya. Mendesah berat ketika jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Dia lupa makan siang, terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan yang lambat laun semakin menguras waktunya.Dan perlahan, dia pun merindukan perhatian. Seharian ini tidak ada yang mengingatkannya untuk makan, apalagi mengajaknya makan bersama. Membuat dia bertambah malas untuk menyentuh makanan.Melepas jas kantornya, Kennan menanggalkannya di atas kursi. Mejanya sudah rapi, dengan tumpukan berkas yang selesai dia periksa.Kennan baru akan keluar ruangan, ketika sebuah ketukan di pintu mengurungkannya. Terlihat Rita dengan senyum ramahnya menyembul di balik pintu.“Ada apa?” tanya Kennan, dia duduk di pinggiran meja dengan sebelah tangan tersimpan rapi di saku celana depan.“Ada tamu yang ingin menemui Anda, Pak,” kata Rita, sembari membuka daun pintu lebih lebar.Kennan yang tadinya mengernyit, seketika menyeringai tipis melihat

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 4. Melihat Sisi Lain

    Bab 4. Melihat Sisi LainKennan meringis mengingat perkataannya beberapa hari lalu. Dia sendiri tidak yakin ucapan itu keluar dari bibirnya. Tapi, sudah telanjur basah, jadi menurut Kennan sekalian saja dibasahi sampai kuyup.Dia sedang duduk di ruang santai rumahnya, sendirian. Ayahnya sudah kembali ke Jepang menemani ibunya yang memang lebih suka tinggal di tanah lahirnya. Jefry sendiri mendapat tugas kerja ke kantor cabang di Singapura. Dan berakhir lah dia tanpa kawan seorang pun.Memangnya siapa lagi yang Kennan harapkan. Wilona sudah resmi bertunangan, jadi mana mungkin perempuan itu mau berlama-lama menghabiskan waktu dengannya seperti dulu.Tempo hari, dia datang tepat beberapa menit sebelum acara pertunangan Wilona selesai. Sengaja. Karena sebelumnya, Kennan justru tidak ingin menginjakkan kaki di acara itu. Terlalu menyakitkan melihat perempuan yang dicintai, bahagia bersama laki-laki lain.Beranjak dari duduknya, Kennan memutuskan untuk mencari angin di luar. Hari sudah sor

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 3. Mengambil Langkah

    Bab 3. Mengambil LangkahKennan mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, menelisik wajah-wajah perempuan cantik di kantornya. Semua terlihat ramah dan sopan dalam balutan pakaian kerja. Sedikit banyak, dia terpengaruh akan ucapan Jefry. Mencari perempuan yang bisa bekerja sama.Tapi siapa? Lagi, pertanyaan itu menghampiri benaknya. Jika Kennan sembarang memilih perempuan, nanti keturunannya yang dipertaruhkan. Jika dia memilih perempuan di kantornya, dia akan merusak image-nya yang sempurna. Nanti, dia di cap lelaki hidung belang.Kennan berdecak. Buntu. Usulan Jefry yang ngawur kenapa dianggap serius?Melangkahkan kakinya menjauh dari area kantin. Kennan memilih kembali ke ruang kerjanya. Lebih baik dia menyelesaikan pekerjaannya daripada mencari hal yang masih belum masuk di nalarnya.“Sial.” umpat Kennan dalam hati.Jefry berhasil membodohinya dengan banyak bualan. Harusnya ucapan Jefry, Kennan anggap angin lalu. Tapi, kenapa justru semakin melekat diingatannya. Dia tergiur bua

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 2. Kedua Kali

    Bab 2. Kedua KaliYuna bangun lebih pagi, kata ibunya dulu, anak perempuan tidak baik bangun kesiangan apalagi ketika matahari sudah menyingsing. Nanti rejekinya dipatok ayam, jodohnya jauh. Oleh karena itu, saat azan subuh berkumandang, Yuna sudah menegakkan tubuh. Dia bergegas ke kamar mandi dan memulai aktivitas paginya.Menguap, Yuna menempelkan punggung tangan kirinya di depan mulut. Meski sudah mandi kantuknya masih terus merayap. Dia membuka pintu kosnya, keluar kamar mencari sarapan. Mungkin nasi uduk di sekitar kosnya, yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Tidak sampai sepuluh menit, Yuna tiba di depan sebuah rumah sederhana. Dia mengukir senyuman dengan langkah semakin mendekat pada teras rumah itu.“Selamat pagi, Nek,” sapa Yuna ramah.Warung nasi uduk langganannya, di samping enak, harganya tidak membuat kantongnya cepat kering.Sang nenek yang mengenal Yuna, tanpa diminta mulai meracik pesanan. Sebelumnya, nenek menyahut sapaan Yuna disertai senyuman yang menampi

DMCA.com Protection Status