Bab 3. Mengambil Langkah
Kennan mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, menelisik wajah-wajah perempuan cantik di kantornya. Semua terlihat ramah dan sopan dalam balutan pakaian kerja. Sedikit banyak, dia terpengaruh akan ucapan Jefry. Mencari perempuan yang bisa bekerja sama.
Tapi siapa? Lagi, pertanyaan itu menghampiri benaknya. Jika Kennan sembarang memilih perempuan, nanti keturunannya yang dipertaruhkan. Jika dia memilih perempuan di kantornya, dia akan merusak image-nya yang sempurna. Nanti, dia di cap lelaki hidung belang.
Kennan berdecak. Buntu. Usulan Jefry yang ngawur kenapa dianggap serius?
Melangkahkan kakinya menjauh dari area kantin. Kennan memilih kembali ke ruang kerjanya. Lebih baik dia menyelesaikan pekerjaannya daripada mencari hal yang masih belum masuk di nalarnya.
“Sial.” umpat Kennan dalam hati.
Jefry berhasil membodohinya dengan banyak bualan. Harusnya ucapan Jefry, Kennan anggap angin lalu. Tapi, kenapa justru semakin melekat diingatannya. Dia tergiur bualan itu. Karena tidak dipungkiri, se-kakunya Kennan sebagai laki-laki, dia tetap menginginkan seorang anak.
Baru beberapa detik Kennan menghempaskan tubuh di kursi, ponselnya berdering. Nama Wilona tertera di layarnya yang menyala dengan foto perempuan itu sebagai profil. Kennan mendesah, diraihnya benda itu dan segera menempelkannya di telinga. Menyapa dengan enggan, ketika suara Wilona memerangkap gendang telinganya.
“Kamu akan datang nanti malam, bukan?”
Kennan menggeleng namun bibirnya berucap beda. “Aku usahakan.”
“Harus ya, Ken. Aku ingin kamu menjadi saksi di hari bahagiaku.”
“Hm,” Kennan berdeham, ditambahi sebuah senyuman. Getir. Andai Wilona tahu, mungkin perempuan itu tidak akan sampai hati memberi Kennan kabar bahagianya.
Hening. Tidak ada lagi sahutan satu sama lain. Seolah masing-masing tengah berusaha membaca apa yang lawan bicaranya pikirkan.
“Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini seperti menghindariku. Enggak senang ya, aku tunangan.”
Hati Kennan mencelos mendengar penuturan Wilona. Selama ini, dia pikir Wilona tidak akan menyadari perubahan sikapnya. Sedikit banyak, Kennan memang berubah, namun segalanya dilakukan dengan apik. Tanpa sedikitpun celah untuk sebuah kecurigaan.
Kennan menelan ludah gugup sebelum akhirnya menyahut, “Tidak seperti itu. Aku sedang sibuk sekali.”
Wilona mendengkus cukup keras. Sengaja, agar Kennan mendengar dan tahu jika dia tidak semudah itu dibodohi.
“Ya sudah. Aku tutup. Mau siap-siap.” ketus Wilona. Tanpa menunggu balasan dari Kennan, dia menutup panggilan.
Kennan memejamkan mata. Diembuskannya napas perlahan. Masalah hati memang selalu jadi momok nomor satu baginya.
***
“Kita cari perempuan, Ken.” Jefry merangkul bahu Kennan. Mengajaknya memasuki restoran dengan semangat menggebu.
Kennan tidak menyahut sama sekali. Namun, tetap membiarkan lengan Jefry merangkul bahunya.
“Melanjutkan pembicaraan tempo hari. Aku menyimpulkan kalau ayahmu tidak akan mempedulikan dengan siapa kamu menikah ataupun punya anak,” Jefry berucap panjang. Dia mengambil duduk di kursi depan kaca, alasannya untuk memperhatikan mobil sport-nya yang siapa tahu ada tangan nakal.
“Lalu?” Kennan mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Ayahnya memang tak pernah memberi kriteria tentang perempuan yang cocok untuknya.
Jefry menjentikkan jarinya. Tersenyum miring karena satu ide muncul di otak cerdasnya. “Kamu harus menikahi gadis sederhana, syukur-syukur dari keluarga enggak punya.”
Kennan membeliak. Menatap Jefry tajam. Percuma dia mengikuti saran Jefry, karena yang ada dia akan ketularan gila.
“Kalem, Ken. Ini demi kebaikanmu. Kalau perempuan kelas atas pastinya akan ribet atau justru kamu yang akan dimanfaatkan,” sahut Jefry cepat, melihat raut wajah Kennan yang tidak sependapat.
Kennan membuang muka, tepat pada saat itu seorang pelayan datang membawa pesanan yang bahkan belum dipesannya. Dia mengernyit, menatap piring di atas meja dan Jefry bergantian.
“Aku udah booking sebelum ke sini,” jelas Jefry. Seolah tahu apa yang akan Kennan pertanyakan.
Alih-alih menyahut. Kennan justru mengeluarkan dua lembar seratus ribuan dari dompetnya dan memberikannya pada pelayan yang baru selesai meletakkan piring di meja.
Kennan ingat, pelayan itu adalah gadis yang sempat ia tabrak pagi kemarin. Niatnya sih, untuk mengganti bungkusan makanan gadis itu yang terbuang. Karena kemarin pagi, gadis itu sudah lebih dulu kabur.
“Ini untuk mengganti—”
“Tidak perlu,” potong Yuna ramah. Sebelah tangannya menahan uang yang Kennan sodorkan.
“Ambil saja Ayuna, kamu sedang beruntung,” ucap Jefry sembari menyebut nama Yuna. Tanpa sengaja membaca name tag yang Yuna pakai di dada sebelah kiri.
Yuna tersenyum hangat. “Sekali lagi, terima kasih. Tapi itu tidak perlu.” Setelahnya, Yuna segera undur diri, masih dengan senyum tipis khasnya.
“Aneh sekali,” gumam Jefry. Dia mengikuti arah Yuna menjauh dengan tatapan menelisik.
Tidak berbeda jauh dari sahabatnya, Kennan pun sama, menatap Yuna di kejauhan.
“Mungkin, kamu harus mencari perempuan seperti itu,” lagi, Jefry bergumam.
Kepala Kennan mengangguk, entah apa maksudnya. Mengiyakan gumaman Jefry atau karena dia sedang berpikir hal lain.
Bisa saja Kennan memilih seorang pelayan untuk menjadi ibu bagi anak-anaknya. Dia bukan tipikal orang yang membeda-bedakan. Jika perempuan yang ia cintai berasal dari kalangan bawah sekalipun, Kennan mungkin akan lebih senang karena bisa memiliki.
Melupakan sedikit masalah itu, Kennan lebih memilih menyantap makan siangnya. Bukankah untuk lari dari kenyataan menyakitkan, dia butuh energi lebih.
***
“Berkas meeting buat nanti sore sudah kamu periksa?” tanya Jefry sekembalinya dia dan Kennan ke kantor.
“Sudah, ada di tas kerjaku.”
Jefry mengangguk. Namun sedetik kemudian matanya membulat. “Tas kerjamu di mana?”
Kennan yang hendak merebah di sofa, memutar bola matanya malas. “Di atas meja. Aku gabung dengan berkas meeting tadi pagi.”
“Enggak ada. Enggak ada apa pun di mejamu.”
Kennan segera menegakkan tubuh. Mengedarkan pandangan, mencari tas kerjanya yang ia lupa taruh di mana. Padahal sedetik lalu, dia yakin sekali meletakkan tasnya di atas meja.
“Sial.” umpatnya ketika tidak menemukan tas kerjanya di seluruh ruang. “Meeting jam berapa?” tanyanya gusar.
Jefry yang sedang berjongkok mencari di kolong meja menyahut singkat. “Setengah tiga.”
Kennan mengusap wajahnya. Dua puluh menit dari sekarang, dan dia masih belum mengingat di mana terakhir kali meletakkan tasnya. “Salinannya di mana?”
“Kamu sendiri yang simpan.”
Menggertakkan giginya, Kennan geram sendiri. Salinannya memang ada padanya, namun dia simpan di rumah. Dan jarak tempuh rumah sampai kantornya minimal 30 menit tanpa macet. Akhir-akhir ini dia teledor sekali, berkas meeting penting dengan klien besar saja sampai dia lupakan.
Dering telepon di meja Kennan memecah ketegangan. Kennan yang paling dekat serta merta mengangkatnya, masih dengan tampang garang.
“Apa!” seru Kennan tanpa basa-basi. Dia sedang kacau, disenggol sedikit saja. Selamat jadi pelampiasan.
“A ... ada yang ingin bertemu Bapak.” Perempuan di seberang telepon mencicit, membuat Kennan sedikit meluruhkan amarah.
“Siapa?”
“Seorang perempuan Pak, namanya Yuna.”
Kennan mengernyit, samar-samar teringat akan nama itu. “Suruh masuk saja,” ucapnya. Lalu segera memutus sambungan. Jika bukan hal penting, Kennan dengan senang hati melampiaskan amarahnya karena sudah berani mengganggu waktunya.
“Di mana Ken?” Jefry yang kelimpungan masih saja mondar-mandir di ruangan Kennan. Membuka semua laci dan lemari berkas.
Pintu ruangan diketuk dari luar, disusul dengan seruan khas perempuan.
“Masuk.” perintah Kennan, tanpa lebih dulu memastikan siapa orang di balik pintunya.
Yuna memasuki ruangan Kennan dengan kepala menunduk, dalam dekapannya ada sebuah tas kerja warna hitam.
Kennan mengernyit, begitu juga dengan Jefry ketika keduanya mengenali tas hitam itu.
“Saya hanya ingin mengantarkan tas ini.” Yuna mendongak, menyodorkan tas hitam yang dia yakini milik salah satu dari dua orang di dalam ruangan itu.
Jefry menyambar tas itu, membuka isinya dan mendesah lega setelahnya. “Kamu temukan di mana?”
“Di restoran, mungkin Anda tidak mengingat saya. Saya—”
“Ah, maaf. Siapa namamu?” potong Jefry. Saking bahagianya mendapatkan tas penting Kennan di waktu yang tepat.
“Ayuna,” sahut Kennan cepat.
Yuna dan Jefry menoleh serempak, menatap Kennan dengan dahi berlipat.
“Kamu tahu?” tanya Jefry heran.
Kennan mengedikkan bahu. Dia memakai jasnya, bersiap menghadiri meeting yang akan dimulai lima menit lagi.
“Kamu di sini. Tunggu sampai kami kembali.” tegas Kennan pada Yuna.
Belum sempat Yuna menyahut, Kennan sudah menghilang di balik pintu diikuti dengan Jefry di belakangnya.
Yuna mengembuskan napas lelah. Sangat lelah. Karena setelah menemukan tas itu, Yuna segera meminta izin pergi, menggunakan jam makan siangnya, dan membuat dia melewatkan istirahatnya. Kini, ketika dia akan kembali, dia sudah terlalu lelah. Kembali pun sudah terlambat, jam masuk kerjanya sudah dimulai.
“Silakan, Nona.” Rita masuk ke ruangan dengan nampan berisi minuman dan kue kering.
Yuna menoleh, sedikit terkejut dengan kedatangan Rita yang tiba-tiba. Tadinya dia sedang duduk di sofa, hampir saja terlupa, rebah dan tertidur.
“Apa masih lama? Saya akan pulang saja kalau begitu.”
“Tidak. Tunggu sebentar lagi. Pak Kennan menitipkan Nona pada saya. Memastikan agar tidak pulang sebelum beliau datang.”
Yuna mengernyit sesaat, sebelum kemudian mengangguk dan kembali menyandarkan punggung di sofa empuk di belakangnya. Dia jadi ngantuk sekali, kasur di kamarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan sofa yang tengah dia duduki.
Ketika Yuna tengah terkantuk-kantuk, derap langkah seseorang kembali membuatnya terjaga.
“Anda sudah selesai?” Rita menyambut kedatangan Kennan. Perempuan itu berdiri dan segera keluar ruangan setelah Kennan menyahut ucapannya. Membiarkan bos besarnya hanya berdua dengan Yuna.
Yuna berkedip, sedikit kikuk menghadapi Kennan yang tanpa ekspresi. “Anda sudah selesai. Jadi saya boleh pulang?”
“Kamu pelayan restoran itu?” tanya Kennan mengabaikan ucapan Yuna sebelumnya. Dia mengambil tempat di sofa single tak jauh dari Yuna.
“Benar,” jawab Yuna. Beberapa kali diliriknya Kennan yang menumpukan kaki.
Kepala Kennan mengangguk. “Sudah berapa lama?”
Meski sedikit tidak mengerti dengan arah pembicaraan, Yuna tetap saja menjawab jujur. “Sekitar tiga tahun.”
Kali ini, Kennan mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas paha. Memperkirakan hal yang akan dirinya bicarakan. Terlalu cepat dan berlebihan mungkin. Tapi, tidak apa, dia akan mencoba.
“Mau pindah pekerjaan. Menjadi ibu bagi anak-anakku.”
Bab 4. Melihat Sisi LainKennan meringis mengingat perkataannya beberapa hari lalu. Dia sendiri tidak yakin ucapan itu keluar dari bibirnya. Tapi, sudah telanjur basah, jadi menurut Kennan sekalian saja dibasahi sampai kuyup.Dia sedang duduk di ruang santai rumahnya, sendirian. Ayahnya sudah kembali ke Jepang menemani ibunya yang memang lebih suka tinggal di tanah lahirnya. Jefry sendiri mendapat tugas kerja ke kantor cabang di Singapura. Dan berakhir lah dia tanpa kawan seorang pun.Memangnya siapa lagi yang Kennan harapkan. Wilona sudah resmi bertunangan, jadi mana mungkin perempuan itu mau berlama-lama menghabiskan waktu dengannya seperti dulu.Tempo hari, dia datang tepat beberapa menit sebelum acara pertunangan Wilona selesai. Sengaja. Karena sebelumnya, Kennan justru tidak ingin menginjakkan kaki di acara itu. Terlalu menyakitkan melihat perempuan yang dicintai, bahagia bersama laki-laki lain.Beranjak dari duduknya, Kennan memutuskan untuk mencari angin di luar. Hari sudah sor
Bab 5. Menerima Apa AdanyaKennan melirik jam yang melingkar apik di pergelangan tangan kirinya. Mendesah berat ketika jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Dia lupa makan siang, terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan yang lambat laun semakin menguras waktunya.Dan perlahan, dia pun merindukan perhatian. Seharian ini tidak ada yang mengingatkannya untuk makan, apalagi mengajaknya makan bersama. Membuat dia bertambah malas untuk menyentuh makanan.Melepas jas kantornya, Kennan menanggalkannya di atas kursi. Mejanya sudah rapi, dengan tumpukan berkas yang selesai dia periksa.Kennan baru akan keluar ruangan, ketika sebuah ketukan di pintu mengurungkannya. Terlihat Rita dengan senyum ramahnya menyembul di balik pintu.“Ada apa?” tanya Kennan, dia duduk di pinggiran meja dengan sebelah tangan tersimpan rapi di saku celana depan.“Ada tamu yang ingin menemui Anda, Pak,” kata Rita, sembari membuka daun pintu lebih lebar.Kennan yang tadinya mengernyit, seketika menyeringai tipis melihat
Bab 6. Jadi MenikahSendiri di pelataran, Yuna berdiri canggung di depan sebuah bangunan megah. Meski begitu, tatapannya tetap terkagum akan desain rumah klasik khas mediteranian itu. Tampak tenang dan nyaman untuk disinggahi. Halamannya luas dan asri. Ada banyak bunga-bunga yang mekar, beraneka ragam dengan warna-warna cantik, juga air mancur yang membuat suara gemerisik menenangkan.Yuna memejamkan mata, awal baru dari kehidupannya sudah dimulai sejak dia pertama kali menginjakkan kakinya di rumah itu.“Nona.”Yuna mengerjap, tersenyum samar pada seorang perempuan yang memperkenalkan diri padanya bernama Mini. Juga, satu-satunya perempuan yang menyambut kedatangannya dan setia berdiri satu langkah di belakangnya.“Silakan masuk,” ucap Mini, tangan kanannya terangkat mempersilakan.Yuna mengangguk. Hendak menggeret koper berukuran sedangnya namun urung karena ada tangan yang menahannya.“Saya saja yang membawanya, Nona,” ucap Mini dengan senyuman di wajah yang tak kunjung luntur.“Ti
Bab 7. Malu-malu MauHidup bak putri raja, mungkin itu sebutan yang pantas disematkan pada seorang Ayuna Malika. Gadis bau kencur yang resmi menyandang status sebagai istri seorang Kennan Sabdayagra.Meski pura-pura. Meski berbatas waktu.Kali ini, Yuna sedang duduk di tepi ranjang dengan sebuah novel terbuka dipangkuan. Membaca novel romantis kesukaannya, yang entah tahu dari mana, Kennan menyiapkan puluhan buku itu di kamarnya. Mungkin dimaksudkan untuk mengusir bosan. Entahlah, Yuna tidak pernah menanyakan perihal itu.“Tuan,” panggil Yuna melirih, digigitnya bibir bawah, harap-harap cemas menanti respon dari Kennan. Pasalnya, laki-laki itu sedang sibuk dengan laptop menyala, sejak satu jam yang lalu.Cukup lama hingga akhirnya Kennan menoleh menatap Yuna. “Ada apa?” tanya Kennan, dahinya mengernyit samar.Yuna meletakkan novelnya ke atas nakas, menyibak selimut yang sedari tadi membungkus kakinya. Siang hari memang, tapi Kennan tidak membiarkan jendela kamar terbuka, lebih memilih
Bab 8. Kennan SabdayagraYuna mengetuk pintu ruang kerja Kennan, menunggu sebentar sebelum sebuah seruan dari dalam terdengar.Membuka pintu, Yuna berjalan ke arah Kennan yang fokus pada pekerjaannya. Dia membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Pesanan laki-laki itu. Tadi Yuna merebutnya dari seorang pelayan yang hendak mengantarkan.Yuna meletakkan cangkir ke atas meja. Cukup jauh dari tebaran dokumen yang memenuhi meja kerja Kennan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi Kennan masih enggan untuk beranjak dari pekerjaannya.“Apa Tuan tidak lapar?” tanya Yuna, mendekap nampan kosong di dadanya.Sesaat Kennan mengernyit, namun sedetik berikutnya dia menyeringai. Dia menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. “Aku lapar, tapi malam ini lelah sekali. Jadi ingin tidur saja.”Yuna tersedak. Mengerti maksud ucapan Kennan. Tidak jauh-jauh dari program anak. Menggelengkan kepala, Yuna menyangkal cepat. “Maksud saya, lapar makan nasi. Bukankah Anda belum makan malam?”Ke
Bab 9. Cinta Belasan TahunYuna sedang menanam bunga ketika sebuah mobil memasuki pelataran rumah. Dia tidak mendongak sedikit pun untuk sekadar menilik siapa yang datang. Masih sibuk menanam bibit bunga matahari yang baru dibelinya. Bukan dia yang beli sih, dia meminta Mini untuk mencari bibit bunga di penjual tanaman. Tadinya ingin menanam pohon mangga dan durian, tapi urung karena takut Kennan tidak akan suka.Dan ketika berpikir lagi, sekalipun dia menanam pohonnya, keberadaan dirinya di rumah itu tidak sampai hingga pohonnya berbuah.Menepuk-nepuk tangannya yang kotor karena tanah, Yuna menegakkan tubuh dan sedikit meregangkannya. Dia tersenyum melihat deretan bibit bunga yang baru ditanamnya.“Nona, Tuan Kennan sudah pulang.” Mini berseru tidak jauh dari Yuna.“Sudah pulang?” Yuna mengernyit, dia menengadah menatap langit biru di atas sana. Tumben sekali, biasanya Kennan pulang ketika malam menjelang tapi ini matahari saja masih bersinar terik.Terburu-buru, Yuna berjalan ke ara
Bab 10. Candaan PagiBerjalan-jalan di pelataran rumah, Yuna menikmati udara pagi dan semerbak bunga yang menguar, memenuhi indera penciumnya. Langit cerah dengan cahaya mentari yang hangat menyapa. Dia menyungging senyum. Menengadah menatap birunya langit, awan putih bersih berarak menghias.Biasanya, dulu sepagi ini, Yuna sudah disibukkan dengan aktivitas restoran yang mulai bersiap buka. Dia karyawan teladan yang memiliki banyak pekerjaan, mulai dari menyapu sampai mengelap kaca-kaca restoran.Dan semua itu menghilang sejak dia melakukan kontrak dengan Kennan. Yuna keluar dari dua pekerjaannya secara baik-baik, meski mendadak sekali. Membuat banyak temannya di restoran maupun di kedai mengernyit curiga padanya.Sudahlah. Yuna tidak ingin mengungkit awal mula dia terikat dengan Kennan. Sangat menyakitkan. Di mana dia merendahkan harga dirinya demi segenggam kehidupan layak yang dijanjikan.Yuna mengusap wajah, meregangkan tubuh agar sedikit lebih segar dan menghilangkan kekalutan ha
Bab 1. Temu Tanpa CeritaKennan menyandarkan punggung pada kursi kerjanya. Hari baru beranjak siang, namun dia sudah tak lagi punya gairah untuk bekerja. Semangatnya menghilang terbawa angin, terbang bersama debu jalanan melanglang metropolitan. Ayahnya baru saja mendatanginya. Memberi banyak permintaan yang tidak mungkin Kennan berikan dengan mudah.Salah satunya … memberi cucu.Kennan berdecih. Cucu dari Hongkong, dia saja tidak mau menikah.Untuk apa menikah? Kalau hati saja, Kennan tak lagi yakin memiliki. Mungkin sudah mati, mungkin juga terbawa angin seperti semangatnya. Entahlah, dia terlalu malas untuk menjelaskan.Kalau bisa, dia ingin merelakan. Kalau mampu, dia ingin meninggalkan.Absurd. Sama seperti dirinya, tidak jauh berbeda. Sebelas dua belas antara waras dan tidak waras.Dia terkadang tertawa dalam kepedihan. Menangis dalam kebahagiaan.Tangisnya tidak mengeluarkan air mata, hanya beberapa perabot yang harus rela di jadikan sasaran atau dinding beton yang cukup mampu
Bab 10. Candaan PagiBerjalan-jalan di pelataran rumah, Yuna menikmati udara pagi dan semerbak bunga yang menguar, memenuhi indera penciumnya. Langit cerah dengan cahaya mentari yang hangat menyapa. Dia menyungging senyum. Menengadah menatap birunya langit, awan putih bersih berarak menghias.Biasanya, dulu sepagi ini, Yuna sudah disibukkan dengan aktivitas restoran yang mulai bersiap buka. Dia karyawan teladan yang memiliki banyak pekerjaan, mulai dari menyapu sampai mengelap kaca-kaca restoran.Dan semua itu menghilang sejak dia melakukan kontrak dengan Kennan. Yuna keluar dari dua pekerjaannya secara baik-baik, meski mendadak sekali. Membuat banyak temannya di restoran maupun di kedai mengernyit curiga padanya.Sudahlah. Yuna tidak ingin mengungkit awal mula dia terikat dengan Kennan. Sangat menyakitkan. Di mana dia merendahkan harga dirinya demi segenggam kehidupan layak yang dijanjikan.Yuna mengusap wajah, meregangkan tubuh agar sedikit lebih segar dan menghilangkan kekalutan ha
Bab 9. Cinta Belasan TahunYuna sedang menanam bunga ketika sebuah mobil memasuki pelataran rumah. Dia tidak mendongak sedikit pun untuk sekadar menilik siapa yang datang. Masih sibuk menanam bibit bunga matahari yang baru dibelinya. Bukan dia yang beli sih, dia meminta Mini untuk mencari bibit bunga di penjual tanaman. Tadinya ingin menanam pohon mangga dan durian, tapi urung karena takut Kennan tidak akan suka.Dan ketika berpikir lagi, sekalipun dia menanam pohonnya, keberadaan dirinya di rumah itu tidak sampai hingga pohonnya berbuah.Menepuk-nepuk tangannya yang kotor karena tanah, Yuna menegakkan tubuh dan sedikit meregangkannya. Dia tersenyum melihat deretan bibit bunga yang baru ditanamnya.“Nona, Tuan Kennan sudah pulang.” Mini berseru tidak jauh dari Yuna.“Sudah pulang?” Yuna mengernyit, dia menengadah menatap langit biru di atas sana. Tumben sekali, biasanya Kennan pulang ketika malam menjelang tapi ini matahari saja masih bersinar terik.Terburu-buru, Yuna berjalan ke ara
Bab 8. Kennan SabdayagraYuna mengetuk pintu ruang kerja Kennan, menunggu sebentar sebelum sebuah seruan dari dalam terdengar.Membuka pintu, Yuna berjalan ke arah Kennan yang fokus pada pekerjaannya. Dia membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Pesanan laki-laki itu. Tadi Yuna merebutnya dari seorang pelayan yang hendak mengantarkan.Yuna meletakkan cangkir ke atas meja. Cukup jauh dari tebaran dokumen yang memenuhi meja kerja Kennan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi Kennan masih enggan untuk beranjak dari pekerjaannya.“Apa Tuan tidak lapar?” tanya Yuna, mendekap nampan kosong di dadanya.Sesaat Kennan mengernyit, namun sedetik berikutnya dia menyeringai. Dia menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. “Aku lapar, tapi malam ini lelah sekali. Jadi ingin tidur saja.”Yuna tersedak. Mengerti maksud ucapan Kennan. Tidak jauh-jauh dari program anak. Menggelengkan kepala, Yuna menyangkal cepat. “Maksud saya, lapar makan nasi. Bukankah Anda belum makan malam?”Ke
Bab 7. Malu-malu MauHidup bak putri raja, mungkin itu sebutan yang pantas disematkan pada seorang Ayuna Malika. Gadis bau kencur yang resmi menyandang status sebagai istri seorang Kennan Sabdayagra.Meski pura-pura. Meski berbatas waktu.Kali ini, Yuna sedang duduk di tepi ranjang dengan sebuah novel terbuka dipangkuan. Membaca novel romantis kesukaannya, yang entah tahu dari mana, Kennan menyiapkan puluhan buku itu di kamarnya. Mungkin dimaksudkan untuk mengusir bosan. Entahlah, Yuna tidak pernah menanyakan perihal itu.“Tuan,” panggil Yuna melirih, digigitnya bibir bawah, harap-harap cemas menanti respon dari Kennan. Pasalnya, laki-laki itu sedang sibuk dengan laptop menyala, sejak satu jam yang lalu.Cukup lama hingga akhirnya Kennan menoleh menatap Yuna. “Ada apa?” tanya Kennan, dahinya mengernyit samar.Yuna meletakkan novelnya ke atas nakas, menyibak selimut yang sedari tadi membungkus kakinya. Siang hari memang, tapi Kennan tidak membiarkan jendela kamar terbuka, lebih memilih
Bab 6. Jadi MenikahSendiri di pelataran, Yuna berdiri canggung di depan sebuah bangunan megah. Meski begitu, tatapannya tetap terkagum akan desain rumah klasik khas mediteranian itu. Tampak tenang dan nyaman untuk disinggahi. Halamannya luas dan asri. Ada banyak bunga-bunga yang mekar, beraneka ragam dengan warna-warna cantik, juga air mancur yang membuat suara gemerisik menenangkan.Yuna memejamkan mata, awal baru dari kehidupannya sudah dimulai sejak dia pertama kali menginjakkan kakinya di rumah itu.“Nona.”Yuna mengerjap, tersenyum samar pada seorang perempuan yang memperkenalkan diri padanya bernama Mini. Juga, satu-satunya perempuan yang menyambut kedatangannya dan setia berdiri satu langkah di belakangnya.“Silakan masuk,” ucap Mini, tangan kanannya terangkat mempersilakan.Yuna mengangguk. Hendak menggeret koper berukuran sedangnya namun urung karena ada tangan yang menahannya.“Saya saja yang membawanya, Nona,” ucap Mini dengan senyuman di wajah yang tak kunjung luntur.“Ti
Bab 5. Menerima Apa AdanyaKennan melirik jam yang melingkar apik di pergelangan tangan kirinya. Mendesah berat ketika jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Dia lupa makan siang, terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan yang lambat laun semakin menguras waktunya.Dan perlahan, dia pun merindukan perhatian. Seharian ini tidak ada yang mengingatkannya untuk makan, apalagi mengajaknya makan bersama. Membuat dia bertambah malas untuk menyentuh makanan.Melepas jas kantornya, Kennan menanggalkannya di atas kursi. Mejanya sudah rapi, dengan tumpukan berkas yang selesai dia periksa.Kennan baru akan keluar ruangan, ketika sebuah ketukan di pintu mengurungkannya. Terlihat Rita dengan senyum ramahnya menyembul di balik pintu.“Ada apa?” tanya Kennan, dia duduk di pinggiran meja dengan sebelah tangan tersimpan rapi di saku celana depan.“Ada tamu yang ingin menemui Anda, Pak,” kata Rita, sembari membuka daun pintu lebih lebar.Kennan yang tadinya mengernyit, seketika menyeringai tipis melihat
Bab 4. Melihat Sisi LainKennan meringis mengingat perkataannya beberapa hari lalu. Dia sendiri tidak yakin ucapan itu keluar dari bibirnya. Tapi, sudah telanjur basah, jadi menurut Kennan sekalian saja dibasahi sampai kuyup.Dia sedang duduk di ruang santai rumahnya, sendirian. Ayahnya sudah kembali ke Jepang menemani ibunya yang memang lebih suka tinggal di tanah lahirnya. Jefry sendiri mendapat tugas kerja ke kantor cabang di Singapura. Dan berakhir lah dia tanpa kawan seorang pun.Memangnya siapa lagi yang Kennan harapkan. Wilona sudah resmi bertunangan, jadi mana mungkin perempuan itu mau berlama-lama menghabiskan waktu dengannya seperti dulu.Tempo hari, dia datang tepat beberapa menit sebelum acara pertunangan Wilona selesai. Sengaja. Karena sebelumnya, Kennan justru tidak ingin menginjakkan kaki di acara itu. Terlalu menyakitkan melihat perempuan yang dicintai, bahagia bersama laki-laki lain.Beranjak dari duduknya, Kennan memutuskan untuk mencari angin di luar. Hari sudah sor
Bab 3. Mengambil LangkahKennan mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, menelisik wajah-wajah perempuan cantik di kantornya. Semua terlihat ramah dan sopan dalam balutan pakaian kerja. Sedikit banyak, dia terpengaruh akan ucapan Jefry. Mencari perempuan yang bisa bekerja sama.Tapi siapa? Lagi, pertanyaan itu menghampiri benaknya. Jika Kennan sembarang memilih perempuan, nanti keturunannya yang dipertaruhkan. Jika dia memilih perempuan di kantornya, dia akan merusak image-nya yang sempurna. Nanti, dia di cap lelaki hidung belang.Kennan berdecak. Buntu. Usulan Jefry yang ngawur kenapa dianggap serius?Melangkahkan kakinya menjauh dari area kantin. Kennan memilih kembali ke ruang kerjanya. Lebih baik dia menyelesaikan pekerjaannya daripada mencari hal yang masih belum masuk di nalarnya.“Sial.” umpat Kennan dalam hati.Jefry berhasil membodohinya dengan banyak bualan. Harusnya ucapan Jefry, Kennan anggap angin lalu. Tapi, kenapa justru semakin melekat diingatannya. Dia tergiur bua
Bab 2. Kedua KaliYuna bangun lebih pagi, kata ibunya dulu, anak perempuan tidak baik bangun kesiangan apalagi ketika matahari sudah menyingsing. Nanti rejekinya dipatok ayam, jodohnya jauh. Oleh karena itu, saat azan subuh berkumandang, Yuna sudah menegakkan tubuh. Dia bergegas ke kamar mandi dan memulai aktivitas paginya.Menguap, Yuna menempelkan punggung tangan kirinya di depan mulut. Meski sudah mandi kantuknya masih terus merayap. Dia membuka pintu kosnya, keluar kamar mencari sarapan. Mungkin nasi uduk di sekitar kosnya, yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Tidak sampai sepuluh menit, Yuna tiba di depan sebuah rumah sederhana. Dia mengukir senyuman dengan langkah semakin mendekat pada teras rumah itu.“Selamat pagi, Nek,” sapa Yuna ramah.Warung nasi uduk langganannya, di samping enak, harganya tidak membuat kantongnya cepat kering.Sang nenek yang mengenal Yuna, tanpa diminta mulai meracik pesanan. Sebelumnya, nenek menyahut sapaan Yuna disertai senyuman yang menampi