Bab 6. Jadi Menikah
Sendiri di pelataran, Yuna berdiri canggung di depan sebuah bangunan megah. Meski begitu, tatapannya tetap terkagum akan desain rumah klasik khas mediteranian itu. Tampak tenang dan nyaman untuk disinggahi. Halamannya luas dan asri. Ada banyak bunga-bunga yang mekar, beraneka ragam dengan warna-warna cantik, juga air mancur yang membuat suara gemerisik menenangkan.
Yuna memejamkan mata, awal baru dari kehidupannya sudah dimulai sejak dia pertama kali menginjakkan kakinya di rumah itu.
“Nona.”
Yuna mengerjap, tersenyum samar pada seorang perempuan yang memperkenalkan diri padanya bernama Mini. Juga, satu-satunya perempuan yang menyambut kedatangannya dan setia berdiri satu langkah di belakangnya.
“Silakan masuk,” ucap Mini, tangan kanannya terangkat mempersilakan.
Yuna mengangguk. Hendak menggeret koper berukuran sedangnya namun urung karena ada tangan yang menahannya.
“Saya saja yang membawanya, Nona,” ucap Mini dengan senyuman di wajah yang tak kunjung luntur.
“Tidak perlu, biar saya bawa sendiri,” Yuna menolak kalem. Dia menggeret kopernya, memasuki rumah megah yang kali pertama dia datangi. Sedikit ribet karena kebaya yang di pakainya menjuntai sampai ke lantai.
Melewati ruang tamu, dua matanya disuguhkan dengan banyak hiasan dinding yang tampak indah dan bernilai seni tinggi. Juga langit-langit rumah yang tinggi dan desain yang sangat menarik.
Menaiki tangga, kali ini Yuna merelakan kopernya dibawa orang lain. Dia sudah teramat kerepotan dengan highheels dan juntaian kebaya yang harus dipegangi.
Sampai di depan sebuah pintu besar, Yuna termangu. Matanya tiba-tiba merebak dipenuhi genangan air mata ketika ruangan di balik pintu terbuka. Menampilkan dominasi putih dengan semerbak wangi mawar menguar dari dalam.
“Ini kamar Anda, Nona.” Mini meletakkan koper Yuna di dalam kamar, berjalan ke arah jendela dan menyibak tirainya. Menampilkan pemandangan halaman belakang rumah yang tak kalah asri dari halaman depan.
“Tuan Kennan berpesan, jika Anda tidak menyukai desain kamarnya, kami akan merubahnya,” ucap Mini membalik badan dan berjalan ke arah pintu di mana Yuna masih bergeming.
Yuna mengangguk lemah. Dia melangkah pelan memasuki kamar, ada debaran sesak yang tiba-tiba menyambangi dadanya. Entah kenapa.
“Selamat istirahat, Nona. Jika butuh bantuan, panggil saya saja.”
“Iya,” sahut Yuna singkat. Setelahnya, dia mengatupkan bibir hingga debam pintu tertutup memecah sepi. Perlahan, air matanya merembes, setelah sejak tadi ditahannya agar tidak ada seorang pun yang melihat.
Rasanya menyakitkan, hari ini dia menikah dan resmi menjadi istri seseorang, meski di bawah sebuah embel-embel kawin kontrak. Namun, seremeh apa pun itu. Jauh di dalam hatinya timbul sebuah luka yang sejak dulu selalu rapat disimpannya. Dalam akadnya tadi, tidak ada seorang pun dari saudara ataupun teman yang ikut mengiringinya. Menemaninya.
Menunjukkan betapa di dunia ini hanya tinggal dirinya seorang diri. Andai tidak ada Sita–adiknya, dia hanyalah sebatang kara.
Kennan mempersiapkan segalanya secara matang dari wali hakim sampai saksi.
Pagi-pagi sekali, Yuna dijemput langsung dari kosnya untuk bersiap-siap. Didandani sedemikian rupa hingga wajah upik abu-nya berubah menjadi cinderella dalam sehari. Yuna tidak pernah berpikiran, pada akhirnya hatinya tersakiti luar biasa karena dirinya yang gegabah. Dia hanya sendiri, di hari yang semua perempuan idamkan menjadi salah satu hari terbahagia dalam hidup.
Yuna tergugu, luruh di tepi ranjang. Memeluk kakinya karena sakit tiada terkira. Dia menenggelamkan wajahnya yang dipoles cantik di antara lutut, menyembunyikan air mata yang meleleh memenuhi wajah ayunya.
Memang dia yang memilih jalan itu, namun siapalah dia. Gadis muda yang bahkan belum pernah jatuh hati. Gadis lugu yang hanya memikirkan satu-satunya orang paling dikasihinya. Yuna masih butuh banyak belajar tentang hidup. Butuh arahan yang sejak lima tahun lalu tidak pernah lagi ia dapatkan. Dia ingin dirangkul. Dikuatkan di kala melemah dan ingin menyerah.
Karena sekuatnya Yuna. Dia hanyalah gadis bau kencur yang begitu mudah dikhianati dunia.
***
Sore menjelang, sinar senja menelisik dari balik tirai tipis yang tersibak hembusan angin. Menyinari seluruh kamar dengan nuansa jingga cerah yang menghangatkan.
Yuna melenguh pelan, kelopak matanya mengerjap terbias sinar sore. Menyilaukan. Dia menggusak kepalanya yang terasa sedikit lebih berat. Pening melanda. Namun ada yang aneh. Yuna tidak merasakan kerasnya lantai, justru sebaliknya. Dia merasa sedang tertidur di atas tumpukan bulu angsa yang lembut.
“Kamu sudah bangun?”
Tanpa repot membuka matanya lebih lebar, Yuna hanya menggumam untuk menjawab pertanyaan seseorang yang sayup ia dengar. Dia masih ingin melanjutkan tidur.
“Tidur di lantai dan tidak makan siang.”
Terkesiap. Sontak Yuna membulatkan mata, bangun dari tidurnya dan melupakan bahwa kepalanya masih berputar pelan.
“Tuan,” lirih Yuna. Ditatapnya Kennan yang duduk melipat kaki tepat di sebelahnya. Laki-laki itu sedang sibuk mengutak-atik tab, bersandar pada kepala ranjang.
Yuna gelagapan. Seingatnya dia sedang duduk memeluk kaki di sudut ranjang dan menangis. Buru-buru dia mengusap wajahnya, mencoba menghapus sisa air mata yang pastinya sudah mengering.
“Anda sudah pulang?” tanya Yuna. Dia melihat sekitar, menilik pakaiannya dan detik berikutnya tercengang bukan kepalang. Kebaya pengantinnya sudah berganti dengan piyama tidur berlengan panjang.
“Hm, sejak tiga jam lalu.”
Yuna meringis, malu karena tertidur begitu lelap. Bahkan dia tidak sadar ketika dirinya dipindahkan dari lantai ke atas kasur. Dan entah siapa yang memindahkannya, juga mengganti pakaiannya.
“Saya permisi—”
Menyadari gerakan tubuh Yuna yang hendak turun dari kasur, Kennan buru-buru memotong ucapan perempuan itu. “Jangan kemana-mana, tidur lagi saja. Siapa tahu nanti malam kamu akan begadang sampai pagi.”
Yuna menatap Kennan dengan kening berkerut. “Begadang untuk apa?” tanyanya tidak mengerti.
Kennan berdecak. “Menagih kewajibanmu tentunya.”
Yuna mengerucutkan bibirnya sembari mengangguk-anggukan kepala. Hingga detik berikutnya dia membeliak. “Secepat ini?”
Kennan tertawa kecil, ekspresi terkejut Yuna baginya sungguh menggelikan. Dia meletakkan tab-nya ke atas nakas, lalu beralih pada Yuna yang bergeming di tempatnya. Gadis itu terduduk dengan memeluk selimut.
Menyeringai tipis, Kennan melingkarkan lengannya di bahu Yuna lalu membawa tubuh gadis itu untuk kembali rebah. Tidak peduli jika tindakannya mampu membuat Yuna menahan napas.
“Tuan.”
Kennan diam, dia memejamkan mata dengan lengan memeluk Yuna. Kali pertama bagi dia tidur memeluk seseorang seperti itu. Tidak buruk juga, malahan menyenangkan.
“Saya belum mandi,” lirih Yuna. Terbujur lemah dalam kungkungan Kennan. Jantungnya berdegup cepat, dua matanya bergerak gelisah. Sesekali bulu-bulu halus di lehernya meremang karena tersapu embusan napas Kennan.
Masih dalam mode enggan menjawab. Kennan justru menikmati momennya, mengingat segala tingkah mendadaknya hari ini dan beberapa hari belakangan. Dia masih tidak percaya, dan sangat tidak mengerti dengan arah pikirannya. Dia pada akhirnya menikah dengan seseorang hanya demi mendapatkan anak.
Semuanya berjalan lancar sesuai dengan yang dia harapkan. Meski setelah akad pagi tadi, dia tidak bisa langsung ikut pulang melainkan ke kantor lebih dulu. Menyelesaikan beberapa pekerjaan agar tenang ketika dia tinggal nantinya.
Ketika Kennan pulang ke rumah, dirinya cukup terkejut melihat Yuna yang tertidur di lantai masih dengan kebaya pengantin. Gadis aneh. Bukannya tidur di atas kasur yang spesial Kennan pesankan. Justru memilih karpet lantainya yang tidak nyaman untuk ditiduri.
“Tuan.”
Menggertakkan giginya, Kennan berdesis tidak suka. “Diam.”
Tanpa bantahan lagi, Yuna membungkam bibirnya. Diam dengan rasa canggung luar biasa. Dari sudut matanya, diliriknya Kennan yang menenggelamkan wajah di perpotongan lehernya. Yuna menelan ludah. Kennan terlihat tidak terganggu sama sekali, pun merasa canggung dengan apa yang dilakukan.
Sedangkan Yuna merasa jantungnya seolah sedang berlomba. Saling memburu. Tidakkah Kennan menyadari apa yang sedang dialami gadis dalam kungkungannya itu?
Beberapa tahun belakangan ini, Yuna tidak sedikit pun memikirkan tentang perasaan, tentang laki-laki. Hidupnya berantakan semenjak ayah dan ibunya tiada. Dia harus berjuang sendiri, di tengah-tengah ketidakadilan. Mengais-ais rupiah entah apa pekerjaannya.
Memang usianya masih belasan tahun kala itu, tapi jika dia menyerah, adiknya bagaimana? Sita masih terlalu kecil untuk menghadapi kerasnya hidup.
“Tuan,” lirih Yuna ketika sebuah ketukan di pintu terdengar. Sudah sedari tadi, sepertinya Kennan enggan beranjak pun sekadar menyahut. “Ada yang datang, mungkin penting.”
Kennan menggeram, semakin mengeratkan pelukannya. Dia terlelap dan tampak nyaman memeluk tubuh kecil Yuna. Hangat tubuh Yuna menjalar di tubuhnya. Sudah lama dia tidak pernah tidur siang, ah sore maksudnya.
Yuna semakin tidak nyaman, apalagi ketukan di pintu disusul dengan panggilan seseorang yang tampak mendesak. Menggigit bibir bawahnya, sebelah tangan Yuna terangkat untuk memindahkan lengan Kennan yang setia melingkar perutnya.
Kennan yang merasakan pergerakan, serta merta melepaskan pelukan. Tanpa membuka mata, dia mengganti posisi tidur, menarik selimut dan membungkus tubuhnya.
“Saya buka pintu dulu,” lirih Yuna. Turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu.
Yuna berhenti tepat di depan daun pintu, menyempatkan diri membenarkan letak pakaiannya yang kusut dan merapikan rambut panjangnya yang berantakan.
“Tuan, ada telepon dari Tuan Jefry.”
Yuna mengernyit sesaat. Sebelah tangannya sudah menggenggam kenop pintu dan siap membukanya. Namun ia urungkan saat Kennan berseru.
“Bilang aku sibuk. Nanti telepon balik!” seru Kennan entah pada siapa.
Yuna membalikkan tubuhnya, melihat Kennan yang kini duduk di tepi ranjang. Laki-laki itu tengah mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan sedari tadi. Memutuskan tidak membuka pintu, Yuna berjalan ke arah ranjang. Duduk di sebelah Kennan, dan memberi jarak cukup jauh.
“Enggak jadi?” tanya Kennan, bibirnya mengukir senyum remeh.
Dengan polosnya, Yuna menggeleng. “Untuk apa? Orangnya sudah pergi.”
Memang benar, seseorang yang tadi mengetuk pintu kamarnya lekas pergi setelah Kennan berseru dari dalam.
Kennan mengangguk, perlahan dia melepas kancing kemejanya satu persatu. Dan pergerakan itu tak luput dari tatapan Yuna. Yuna merona, ketika kemeja itu tersingkap dan menampilkan kulit tubuh di baliknya.
“Kamu suka?” tanya Kennan. Tanpa basa basi apa pun, dia menggeser tubuhnya mepet pada Yuna yang juga semakin menjauh.
Melihat Yuna yang semakin menjauh darinya, Kennan mencekal sebelah lengan Yuna. Menahan gadis itu yang sebentar lagi akan terjatuh karena tepat berada di ujung ranjang.
“Hei, hati-hati,” ucap Kennan pelan.
Dalam satu gerakan cepat, dia memindah tubuh Yuna ke pangkuannya. Menatap lekat pada manik yang tampak kebingungan itu.
Mengukir seringai tipis, Kennan mengecup bibir Yuna lembut. Merasakan kebekuan di bibir semerah stroberi itu. Dia mengangkat sebelah tangannya menahan belakang kepala Yuna agar tidak bergerak. Dan semakin menikmati bertemunya dua bibir itu.
Dalam kecupannya, Kennan menyungging senyuman samar karena satu fakta yang dia tangkap. Bagaimana Yuna yang tampak menegang dengan dua mata membelalak terkejut juga beku di bibir tipis itu.
“Kamu belum pernah berciuman?”
Yuna diam. Wajahnya merah padam karena pertanyaan Kennan yang sepenuhnya benar. Selama ini dia selalu menjaga apa yang ada pada dirinya. Tidak membiarkannya untuk disentuh orang lain apalagi laki-laki.
Terkekeh pelan, Kennan kembali mengecup bibir Yuna kilat dan melepasnya lagi.
“Aku akan mengajarimu.”
Dan Kennan kembali membenamkan bibirnya. Kali ini bukan sekadar kecupan semata, lebih dari itu. Seperti yang Kennan bilang, dia akan mengajari Yuna.
Kennan bersorak dalam hati. Merasa tidak salah pilih perempuan untuk mengandung anaknya. Yuna adalah kriteria perempuan yang tepat. Terlihat lembut dan penyayang. Juga penurut dalam satu waktu. Mungkin, pertemuannya dengan Yuna adalah satu takdir yang akan mengukir kisah dalam hidupnya.
Semoga,
Bab 7. Malu-malu MauHidup bak putri raja, mungkin itu sebutan yang pantas disematkan pada seorang Ayuna Malika. Gadis bau kencur yang resmi menyandang status sebagai istri seorang Kennan Sabdayagra.Meski pura-pura. Meski berbatas waktu.Kali ini, Yuna sedang duduk di tepi ranjang dengan sebuah novel terbuka dipangkuan. Membaca novel romantis kesukaannya, yang entah tahu dari mana, Kennan menyiapkan puluhan buku itu di kamarnya. Mungkin dimaksudkan untuk mengusir bosan. Entahlah, Yuna tidak pernah menanyakan perihal itu.“Tuan,” panggil Yuna melirih, digigitnya bibir bawah, harap-harap cemas menanti respon dari Kennan. Pasalnya, laki-laki itu sedang sibuk dengan laptop menyala, sejak satu jam yang lalu.Cukup lama hingga akhirnya Kennan menoleh menatap Yuna. “Ada apa?” tanya Kennan, dahinya mengernyit samar.Yuna meletakkan novelnya ke atas nakas, menyibak selimut yang sedari tadi membungkus kakinya. Siang hari memang, tapi Kennan tidak membiarkan jendela kamar terbuka, lebih memilih
Bab 8. Kennan SabdayagraYuna mengetuk pintu ruang kerja Kennan, menunggu sebentar sebelum sebuah seruan dari dalam terdengar.Membuka pintu, Yuna berjalan ke arah Kennan yang fokus pada pekerjaannya. Dia membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Pesanan laki-laki itu. Tadi Yuna merebutnya dari seorang pelayan yang hendak mengantarkan.Yuna meletakkan cangkir ke atas meja. Cukup jauh dari tebaran dokumen yang memenuhi meja kerja Kennan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi Kennan masih enggan untuk beranjak dari pekerjaannya.“Apa Tuan tidak lapar?” tanya Yuna, mendekap nampan kosong di dadanya.Sesaat Kennan mengernyit, namun sedetik berikutnya dia menyeringai. Dia menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. “Aku lapar, tapi malam ini lelah sekali. Jadi ingin tidur saja.”Yuna tersedak. Mengerti maksud ucapan Kennan. Tidak jauh-jauh dari program anak. Menggelengkan kepala, Yuna menyangkal cepat. “Maksud saya, lapar makan nasi. Bukankah Anda belum makan malam?”Ke
Bab 9. Cinta Belasan TahunYuna sedang menanam bunga ketika sebuah mobil memasuki pelataran rumah. Dia tidak mendongak sedikit pun untuk sekadar menilik siapa yang datang. Masih sibuk menanam bibit bunga matahari yang baru dibelinya. Bukan dia yang beli sih, dia meminta Mini untuk mencari bibit bunga di penjual tanaman. Tadinya ingin menanam pohon mangga dan durian, tapi urung karena takut Kennan tidak akan suka.Dan ketika berpikir lagi, sekalipun dia menanam pohonnya, keberadaan dirinya di rumah itu tidak sampai hingga pohonnya berbuah.Menepuk-nepuk tangannya yang kotor karena tanah, Yuna menegakkan tubuh dan sedikit meregangkannya. Dia tersenyum melihat deretan bibit bunga yang baru ditanamnya.“Nona, Tuan Kennan sudah pulang.” Mini berseru tidak jauh dari Yuna.“Sudah pulang?” Yuna mengernyit, dia menengadah menatap langit biru di atas sana. Tumben sekali, biasanya Kennan pulang ketika malam menjelang tapi ini matahari saja masih bersinar terik.Terburu-buru, Yuna berjalan ke ara
Bab 10. Candaan PagiBerjalan-jalan di pelataran rumah, Yuna menikmati udara pagi dan semerbak bunga yang menguar, memenuhi indera penciumnya. Langit cerah dengan cahaya mentari yang hangat menyapa. Dia menyungging senyum. Menengadah menatap birunya langit, awan putih bersih berarak menghias.Biasanya, dulu sepagi ini, Yuna sudah disibukkan dengan aktivitas restoran yang mulai bersiap buka. Dia karyawan teladan yang memiliki banyak pekerjaan, mulai dari menyapu sampai mengelap kaca-kaca restoran.Dan semua itu menghilang sejak dia melakukan kontrak dengan Kennan. Yuna keluar dari dua pekerjaannya secara baik-baik, meski mendadak sekali. Membuat banyak temannya di restoran maupun di kedai mengernyit curiga padanya.Sudahlah. Yuna tidak ingin mengungkit awal mula dia terikat dengan Kennan. Sangat menyakitkan. Di mana dia merendahkan harga dirinya demi segenggam kehidupan layak yang dijanjikan.Yuna mengusap wajah, meregangkan tubuh agar sedikit lebih segar dan menghilangkan kekalutan ha
Bab 1. Temu Tanpa CeritaKennan menyandarkan punggung pada kursi kerjanya. Hari baru beranjak siang, namun dia sudah tak lagi punya gairah untuk bekerja. Semangatnya menghilang terbawa angin, terbang bersama debu jalanan melanglang metropolitan. Ayahnya baru saja mendatanginya. Memberi banyak permintaan yang tidak mungkin Kennan berikan dengan mudah.Salah satunya … memberi cucu.Kennan berdecih. Cucu dari Hongkong, dia saja tidak mau menikah.Untuk apa menikah? Kalau hati saja, Kennan tak lagi yakin memiliki. Mungkin sudah mati, mungkin juga terbawa angin seperti semangatnya. Entahlah, dia terlalu malas untuk menjelaskan.Kalau bisa, dia ingin merelakan. Kalau mampu, dia ingin meninggalkan.Absurd. Sama seperti dirinya, tidak jauh berbeda. Sebelas dua belas antara waras dan tidak waras.Dia terkadang tertawa dalam kepedihan. Menangis dalam kebahagiaan.Tangisnya tidak mengeluarkan air mata, hanya beberapa perabot yang harus rela di jadikan sasaran atau dinding beton yang cukup mampu
Bab 2. Kedua KaliYuna bangun lebih pagi, kata ibunya dulu, anak perempuan tidak baik bangun kesiangan apalagi ketika matahari sudah menyingsing. Nanti rejekinya dipatok ayam, jodohnya jauh. Oleh karena itu, saat azan subuh berkumandang, Yuna sudah menegakkan tubuh. Dia bergegas ke kamar mandi dan memulai aktivitas paginya.Menguap, Yuna menempelkan punggung tangan kirinya di depan mulut. Meski sudah mandi kantuknya masih terus merayap. Dia membuka pintu kosnya, keluar kamar mencari sarapan. Mungkin nasi uduk di sekitar kosnya, yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Tidak sampai sepuluh menit, Yuna tiba di depan sebuah rumah sederhana. Dia mengukir senyuman dengan langkah semakin mendekat pada teras rumah itu.“Selamat pagi, Nek,” sapa Yuna ramah.Warung nasi uduk langganannya, di samping enak, harganya tidak membuat kantongnya cepat kering.Sang nenek yang mengenal Yuna, tanpa diminta mulai meracik pesanan. Sebelumnya, nenek menyahut sapaan Yuna disertai senyuman yang menampi
Bab 3. Mengambil LangkahKennan mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, menelisik wajah-wajah perempuan cantik di kantornya. Semua terlihat ramah dan sopan dalam balutan pakaian kerja. Sedikit banyak, dia terpengaruh akan ucapan Jefry. Mencari perempuan yang bisa bekerja sama.Tapi siapa? Lagi, pertanyaan itu menghampiri benaknya. Jika Kennan sembarang memilih perempuan, nanti keturunannya yang dipertaruhkan. Jika dia memilih perempuan di kantornya, dia akan merusak image-nya yang sempurna. Nanti, dia di cap lelaki hidung belang.Kennan berdecak. Buntu. Usulan Jefry yang ngawur kenapa dianggap serius?Melangkahkan kakinya menjauh dari area kantin. Kennan memilih kembali ke ruang kerjanya. Lebih baik dia menyelesaikan pekerjaannya daripada mencari hal yang masih belum masuk di nalarnya.“Sial.” umpat Kennan dalam hati.Jefry berhasil membodohinya dengan banyak bualan. Harusnya ucapan Jefry, Kennan anggap angin lalu. Tapi, kenapa justru semakin melekat diingatannya. Dia tergiur bua
Bab 4. Melihat Sisi LainKennan meringis mengingat perkataannya beberapa hari lalu. Dia sendiri tidak yakin ucapan itu keluar dari bibirnya. Tapi, sudah telanjur basah, jadi menurut Kennan sekalian saja dibasahi sampai kuyup.Dia sedang duduk di ruang santai rumahnya, sendirian. Ayahnya sudah kembali ke Jepang menemani ibunya yang memang lebih suka tinggal di tanah lahirnya. Jefry sendiri mendapat tugas kerja ke kantor cabang di Singapura. Dan berakhir lah dia tanpa kawan seorang pun.Memangnya siapa lagi yang Kennan harapkan. Wilona sudah resmi bertunangan, jadi mana mungkin perempuan itu mau berlama-lama menghabiskan waktu dengannya seperti dulu.Tempo hari, dia datang tepat beberapa menit sebelum acara pertunangan Wilona selesai. Sengaja. Karena sebelumnya, Kennan justru tidak ingin menginjakkan kaki di acara itu. Terlalu menyakitkan melihat perempuan yang dicintai, bahagia bersama laki-laki lain.Beranjak dari duduknya, Kennan memutuskan untuk mencari angin di luar. Hari sudah sor
Bab 10. Candaan PagiBerjalan-jalan di pelataran rumah, Yuna menikmati udara pagi dan semerbak bunga yang menguar, memenuhi indera penciumnya. Langit cerah dengan cahaya mentari yang hangat menyapa. Dia menyungging senyum. Menengadah menatap birunya langit, awan putih bersih berarak menghias.Biasanya, dulu sepagi ini, Yuna sudah disibukkan dengan aktivitas restoran yang mulai bersiap buka. Dia karyawan teladan yang memiliki banyak pekerjaan, mulai dari menyapu sampai mengelap kaca-kaca restoran.Dan semua itu menghilang sejak dia melakukan kontrak dengan Kennan. Yuna keluar dari dua pekerjaannya secara baik-baik, meski mendadak sekali. Membuat banyak temannya di restoran maupun di kedai mengernyit curiga padanya.Sudahlah. Yuna tidak ingin mengungkit awal mula dia terikat dengan Kennan. Sangat menyakitkan. Di mana dia merendahkan harga dirinya demi segenggam kehidupan layak yang dijanjikan.Yuna mengusap wajah, meregangkan tubuh agar sedikit lebih segar dan menghilangkan kekalutan ha
Bab 9. Cinta Belasan TahunYuna sedang menanam bunga ketika sebuah mobil memasuki pelataran rumah. Dia tidak mendongak sedikit pun untuk sekadar menilik siapa yang datang. Masih sibuk menanam bibit bunga matahari yang baru dibelinya. Bukan dia yang beli sih, dia meminta Mini untuk mencari bibit bunga di penjual tanaman. Tadinya ingin menanam pohon mangga dan durian, tapi urung karena takut Kennan tidak akan suka.Dan ketika berpikir lagi, sekalipun dia menanam pohonnya, keberadaan dirinya di rumah itu tidak sampai hingga pohonnya berbuah.Menepuk-nepuk tangannya yang kotor karena tanah, Yuna menegakkan tubuh dan sedikit meregangkannya. Dia tersenyum melihat deretan bibit bunga yang baru ditanamnya.“Nona, Tuan Kennan sudah pulang.” Mini berseru tidak jauh dari Yuna.“Sudah pulang?” Yuna mengernyit, dia menengadah menatap langit biru di atas sana. Tumben sekali, biasanya Kennan pulang ketika malam menjelang tapi ini matahari saja masih bersinar terik.Terburu-buru, Yuna berjalan ke ara
Bab 8. Kennan SabdayagraYuna mengetuk pintu ruang kerja Kennan, menunggu sebentar sebelum sebuah seruan dari dalam terdengar.Membuka pintu, Yuna berjalan ke arah Kennan yang fokus pada pekerjaannya. Dia membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Pesanan laki-laki itu. Tadi Yuna merebutnya dari seorang pelayan yang hendak mengantarkan.Yuna meletakkan cangkir ke atas meja. Cukup jauh dari tebaran dokumen yang memenuhi meja kerja Kennan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi Kennan masih enggan untuk beranjak dari pekerjaannya.“Apa Tuan tidak lapar?” tanya Yuna, mendekap nampan kosong di dadanya.Sesaat Kennan mengernyit, namun sedetik berikutnya dia menyeringai. Dia menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. “Aku lapar, tapi malam ini lelah sekali. Jadi ingin tidur saja.”Yuna tersedak. Mengerti maksud ucapan Kennan. Tidak jauh-jauh dari program anak. Menggelengkan kepala, Yuna menyangkal cepat. “Maksud saya, lapar makan nasi. Bukankah Anda belum makan malam?”Ke
Bab 7. Malu-malu MauHidup bak putri raja, mungkin itu sebutan yang pantas disematkan pada seorang Ayuna Malika. Gadis bau kencur yang resmi menyandang status sebagai istri seorang Kennan Sabdayagra.Meski pura-pura. Meski berbatas waktu.Kali ini, Yuna sedang duduk di tepi ranjang dengan sebuah novel terbuka dipangkuan. Membaca novel romantis kesukaannya, yang entah tahu dari mana, Kennan menyiapkan puluhan buku itu di kamarnya. Mungkin dimaksudkan untuk mengusir bosan. Entahlah, Yuna tidak pernah menanyakan perihal itu.“Tuan,” panggil Yuna melirih, digigitnya bibir bawah, harap-harap cemas menanti respon dari Kennan. Pasalnya, laki-laki itu sedang sibuk dengan laptop menyala, sejak satu jam yang lalu.Cukup lama hingga akhirnya Kennan menoleh menatap Yuna. “Ada apa?” tanya Kennan, dahinya mengernyit samar.Yuna meletakkan novelnya ke atas nakas, menyibak selimut yang sedari tadi membungkus kakinya. Siang hari memang, tapi Kennan tidak membiarkan jendela kamar terbuka, lebih memilih
Bab 6. Jadi MenikahSendiri di pelataran, Yuna berdiri canggung di depan sebuah bangunan megah. Meski begitu, tatapannya tetap terkagum akan desain rumah klasik khas mediteranian itu. Tampak tenang dan nyaman untuk disinggahi. Halamannya luas dan asri. Ada banyak bunga-bunga yang mekar, beraneka ragam dengan warna-warna cantik, juga air mancur yang membuat suara gemerisik menenangkan.Yuna memejamkan mata, awal baru dari kehidupannya sudah dimulai sejak dia pertama kali menginjakkan kakinya di rumah itu.“Nona.”Yuna mengerjap, tersenyum samar pada seorang perempuan yang memperkenalkan diri padanya bernama Mini. Juga, satu-satunya perempuan yang menyambut kedatangannya dan setia berdiri satu langkah di belakangnya.“Silakan masuk,” ucap Mini, tangan kanannya terangkat mempersilakan.Yuna mengangguk. Hendak menggeret koper berukuran sedangnya namun urung karena ada tangan yang menahannya.“Saya saja yang membawanya, Nona,” ucap Mini dengan senyuman di wajah yang tak kunjung luntur.“Ti
Bab 5. Menerima Apa AdanyaKennan melirik jam yang melingkar apik di pergelangan tangan kirinya. Mendesah berat ketika jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Dia lupa makan siang, terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan yang lambat laun semakin menguras waktunya.Dan perlahan, dia pun merindukan perhatian. Seharian ini tidak ada yang mengingatkannya untuk makan, apalagi mengajaknya makan bersama. Membuat dia bertambah malas untuk menyentuh makanan.Melepas jas kantornya, Kennan menanggalkannya di atas kursi. Mejanya sudah rapi, dengan tumpukan berkas yang selesai dia periksa.Kennan baru akan keluar ruangan, ketika sebuah ketukan di pintu mengurungkannya. Terlihat Rita dengan senyum ramahnya menyembul di balik pintu.“Ada apa?” tanya Kennan, dia duduk di pinggiran meja dengan sebelah tangan tersimpan rapi di saku celana depan.“Ada tamu yang ingin menemui Anda, Pak,” kata Rita, sembari membuka daun pintu lebih lebar.Kennan yang tadinya mengernyit, seketika menyeringai tipis melihat
Bab 4. Melihat Sisi LainKennan meringis mengingat perkataannya beberapa hari lalu. Dia sendiri tidak yakin ucapan itu keluar dari bibirnya. Tapi, sudah telanjur basah, jadi menurut Kennan sekalian saja dibasahi sampai kuyup.Dia sedang duduk di ruang santai rumahnya, sendirian. Ayahnya sudah kembali ke Jepang menemani ibunya yang memang lebih suka tinggal di tanah lahirnya. Jefry sendiri mendapat tugas kerja ke kantor cabang di Singapura. Dan berakhir lah dia tanpa kawan seorang pun.Memangnya siapa lagi yang Kennan harapkan. Wilona sudah resmi bertunangan, jadi mana mungkin perempuan itu mau berlama-lama menghabiskan waktu dengannya seperti dulu.Tempo hari, dia datang tepat beberapa menit sebelum acara pertunangan Wilona selesai. Sengaja. Karena sebelumnya, Kennan justru tidak ingin menginjakkan kaki di acara itu. Terlalu menyakitkan melihat perempuan yang dicintai, bahagia bersama laki-laki lain.Beranjak dari duduknya, Kennan memutuskan untuk mencari angin di luar. Hari sudah sor
Bab 3. Mengambil LangkahKennan mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, menelisik wajah-wajah perempuan cantik di kantornya. Semua terlihat ramah dan sopan dalam balutan pakaian kerja. Sedikit banyak, dia terpengaruh akan ucapan Jefry. Mencari perempuan yang bisa bekerja sama.Tapi siapa? Lagi, pertanyaan itu menghampiri benaknya. Jika Kennan sembarang memilih perempuan, nanti keturunannya yang dipertaruhkan. Jika dia memilih perempuan di kantornya, dia akan merusak image-nya yang sempurna. Nanti, dia di cap lelaki hidung belang.Kennan berdecak. Buntu. Usulan Jefry yang ngawur kenapa dianggap serius?Melangkahkan kakinya menjauh dari area kantin. Kennan memilih kembali ke ruang kerjanya. Lebih baik dia menyelesaikan pekerjaannya daripada mencari hal yang masih belum masuk di nalarnya.“Sial.” umpat Kennan dalam hati.Jefry berhasil membodohinya dengan banyak bualan. Harusnya ucapan Jefry, Kennan anggap angin lalu. Tapi, kenapa justru semakin melekat diingatannya. Dia tergiur bua
Bab 2. Kedua KaliYuna bangun lebih pagi, kata ibunya dulu, anak perempuan tidak baik bangun kesiangan apalagi ketika matahari sudah menyingsing. Nanti rejekinya dipatok ayam, jodohnya jauh. Oleh karena itu, saat azan subuh berkumandang, Yuna sudah menegakkan tubuh. Dia bergegas ke kamar mandi dan memulai aktivitas paginya.Menguap, Yuna menempelkan punggung tangan kirinya di depan mulut. Meski sudah mandi kantuknya masih terus merayap. Dia membuka pintu kosnya, keluar kamar mencari sarapan. Mungkin nasi uduk di sekitar kosnya, yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Tidak sampai sepuluh menit, Yuna tiba di depan sebuah rumah sederhana. Dia mengukir senyuman dengan langkah semakin mendekat pada teras rumah itu.“Selamat pagi, Nek,” sapa Yuna ramah.Warung nasi uduk langganannya, di samping enak, harganya tidak membuat kantongnya cepat kering.Sang nenek yang mengenal Yuna, tanpa diminta mulai meracik pesanan. Sebelumnya, nenek menyahut sapaan Yuna disertai senyuman yang menampi