Bab 1. Temu Tanpa Cerita
Kennan menyandarkan punggung pada kursi kerjanya. Hari baru beranjak siang, namun dia sudah tak lagi punya gairah untuk bekerja. Semangatnya menghilang terbawa angin, terbang bersama debu jalanan melanglang metropolitan. Ayahnya baru saja mendatanginya. Memberi banyak permintaan yang tidak mungkin Kennan berikan dengan mudah.
Salah satunya … memberi cucu.
Kennan berdecih. Cucu dari Hongkong, dia saja tidak mau menikah.
Untuk apa menikah? Kalau hati saja, Kennan tak lagi yakin memiliki. Mungkin sudah mati, mungkin juga terbawa angin seperti semangatnya. Entahlah, dia terlalu malas untuk menjelaskan.
Kalau bisa, dia ingin merelakan. Kalau mampu, dia ingin meninggalkan.
Absurd. Sama seperti dirinya, tidak jauh berbeda. Sebelas dua belas antara waras dan tidak waras.
Dia terkadang tertawa dalam kepedihan. Menangis dalam kebahagiaan.
Tangisnya tidak mengeluarkan air mata, hanya beberapa perabot yang harus rela di jadikan sasaran atau dinding beton yang cukup mampu membuat jari-jari tangannya terluka.
“Kennan.”
Panggilan seseorang membuat Kennan memejamkan mata. Berpura-pura tidur, karena masih enggan bertemu orang itu. Suara pintu terbuka diikuti langkah kaki terdengar berirama mengusik rungu Kennan. Namun dia masih mendiamkannya, membiarkan orang itu semakin dekat ke arahnya.
“Tidur? Ish ish … bos malas sepertimu, mau jadi apa perusahaan ini,” cibir Wilona. Perempuan itu meletakkan tas tangannya di atas meja kerja Kennan. Lalu mengitari meja dan berhenti tepat di sebelah kursi yang sedang Kennan duduki.
Menumpukan berat badannya pada meja di belakangnya, Wilona bersedekap dengan terus menatap sahabatnya tanpa jemu. “Rencana pernikahanku dipercepat,” ucap Wilona, karena yakin Kennan tidak benar-benar tertidur.
Mendengar ucapan Wilona, Kennan menegang di tempatnya. Semakin merapatkan kelopak matanya. Menahan mati-matian untuk tidak segera membukanya demi menutupi satu luka yang baru ia dapatkan.
Dia masih bisa terluka. Hatinya yang dia gadang-gadang telah mati. Nyatanya tak pernah redup dari sosok Wilona. Seiring waktu justru semakin melekat, bagaimanapun Kennan berusaha menghilangkannya. Belasan tahun memendam cinta, menjadi satu alasan bagi Kennan untuk tidak mudah beranjak.
“Ken, kamu tidak senang. Padahal kamu adalah orang pertama yang kuberitahu kabar bahagia ini.”
Orang pertama yang ingin Wilona beritahu.
“Ya Tuhan,” Kennan melirih di dalam hati. Tidakkah perempuan itu sedikit saja menyadari. Kennan tidak pernah menganggap Wilona nomor dua. Perempuan itu selalu jadi yang pertama. Sama-sama pertama, namun dalam arti berbeda. Tentu saja. Memangnya apa yang Kennan harapkan. Wilona memilih laki-laki lain yang otomatis menjadi nomor satu di hati perempuan itu.
“Kamu menyebalkan, Ken. Aku benci.”
Demi seraut wajah merajuk Wilona, dan ucapan paling tidak ingin Kennan dengar, dia akhirnya mengalah. Perlahan dia membuka mata dengan sebelumnya menarik dan mengembuskan napasnya panjang.
“Kapan?” tanya Kennan. Ditatapnya Wilona yang kini tampak mengukir senyuman senang.
“Besok malam pertunangannya. Dua bulan lagi pernikahannya,” jawab Wilona antusias. Tanpa merasa sungkan atau bersalah.
Wilona memang tidak tahu, dan Kennan memahami itu. Wilona tidak benar-benar ingin menyakiti hatinya, meski yang selama ini perempuan itu lakukan adalah menancapkan belati di dadanya.
Memaksakan senyumnya, Kennan kembali berucap, “Oh ya, cepat sekali.”
Masih dengan antusiasme tinggi, Wilona turun dari duduknya di pinggiran meja. Di rengkuhnya bahu Kennan erat. “Iya, aku yang memintanya agar dipercepat.”
Kennan menahan napas. Disentuhnya lengan Wilona yang melingkari lehernya. Dia harus bahagia, meski remuk keadaan hatinya.
“Itu sangat bagus, Wil. Jadi, kamu bisa menambatkan hatimu dan tidak lagi menggangguku.”
Wilona berdecak. Melepaskan pelukannya dan berdiri berkacak pinggang. “Jadi, aku mengganggumu begitu?”
Kennan tertawa sumbang. “Tentu saja, aku ada banyak pekerjaaan hari ini,” ucapnya, sembari menarik tumpukkan dokumen di atas meja dan ia tunjukkan pada Wilona.
Wilona menepuk sebelah bahu Kennan. “Iya, Mr. Sok sibuk. Tahulah. Urusi saja pekerjaanmu, hingga kamu tua dan lupa dengan hidupmu.”
“Kamu yang mengatakan padaku tadi. Kalau aku tidur terus, mau jadi apa perusahaanku.”
“Tapi tidak dengan mengabaikanku,” decih Wilona.
Kennan menaikkan sebelah alisnya. “Aku tidak mengabaikanmu. Tidak pernah.” tekannya jujur. Berasal dari dalam hatinya.
“Kamu pembohong ulung. Sudahlah,” ucap Wilona meraih tasnya.
“Kamu mau pulang?”
Mengabaikan pertanyaan Kennan, Wilona beranjak pergi. Sedikit kesal karena Kennan mengatakan jika dirinya mengganggu. Wilona tahu, Kennan memang sibuk. Tapi selama ini sesibuk apa pun Kennan. Laki-laki itu tidak pernah mengatakan dirinya pengganggu.
“Pastikan kamu datang ke pestaku besok malam,” pesan Wilona. Sebelum benar-benar membuka pintu, ditolehkannya wajah untuk melihat Kennan. “Berdandan yang tampan,” lanjutnya.
Kennan mengembuskan napas, panjang dan berat. Mengurangi sesak yang menghimpit dadanya sejak tadi.
Yang bisa dia lakukan hanyalah seperti itu. Berpura-pura. Menyembunyikan rapat-rapat apa yang ada di dalam dadanya.
Tidak pernah sekalipun ia buka perasaannya. Karena baginya cukup mencintai, tanpa balasan. Meski dia harus menanggung duka.
***
“Yuna, antar pesanan ke meja nomor sembilan.”
Mengangguk mantap, Yuna mengambil pesanan yang diperintahkan. Di meja itu ada dua laki-laki berambut cepak dengan pakaian necis khas kantoran. Senyum Yuna terukir hangat ketika menyela obrolan tamunya. Izin untuk meletakkan pesanan di meja.
“Selamat menikmati.” Senyum Yuna terukir manis. Lewat sudut matanya, dia melirik salah satu laki-laki yang sedang sibuk dengan tab-nya.
Menahan napas, Yuna segera undur diri. Jantungnya berdegup cepat hanya karena laki-laki yang ditatapnya mengalihkan perhatian dari tab dan berbalik memandangnya.
“Ya Tuhan,” Yuna mendesah, merasa tindakannya barusan adalah sebuah kesalahan fatal. Dia baru saja terpesona akan ketampanan seseorang. Terperangkap hanya karena sebuah tatapan mata. Untuk kali pertama, detak jantungnya tak terkendali. Dia yang berusia 21 tahun dan menghabiskan sebagian hidupnya hanya untuk bekerja, tidaklah cukup mumpuni untuk membaca apa yang terjadi.
“Kenapa?”
Tersentak, Yuna mengurut dadanya. Ditolehkannya wajah menatap Nia, salah satu seniornya di restoran. “Kaget, Kak,” desah Yuna. Berusaha sedikit menenangkan degupan jantungnya yang masih memburu.
Nia meringis, “Masa sih?”
Yuna mengangguk malu.
“Sori deh, abisnya mukamu merah banget.”
“Huh,” Yuna mengerjap, ditepuk-tepuknya dua belah pipinya pelan. Memang sih, dia merasa jika wajahnya memanas. Sampai-sampai dia takut jika dirinya demam.
“Kak Nia—” ucapan Yuna terpotong karena seruan seseorang di meja nomor sembilan.
Nia mencolek bahu Yuna sembari mengedikkan dagunya. Meminta Yuna untuk segera kembali ke meja itu.
Baru saja Yuna ingin menolak, Nia sudah lebih dulu pergi. Ada tamu lain yang juga memanggil. Yuna menghela napas berkali-kali. Dia merasa gugup tiba-tiba.
“Apakah ada yang Anda inginkan?” tanya Yuna ramah. Dia menundukkan kepala, menatap rumbai penutup meja. Seolah apa yang di sana lebih indah dari pemandangan laki-laki tampan di hadapannya.
“Aku ingin kamu.”
Melotot, Yuna segera menengadah. Dipandanginya dua laki-laki di depannya secara bergantian dengan raut bertanya.
“Basi.”
“Hei, Ken. Diam saja kamu. Batu,” cibir Jefry.
Yuna bergeming, sebutan nama yang tak sengaja didengarnya perlahan membuat dadanya berdesir. Ken, itulah nama laki-laki tampan yang memiliki raut wajah datar itu.
“Ah, bisa tambah sausnya,” ucap Jefry.
Yuna mengangguk, tak lupa ia tambahi sebuah senyuman. “Mohon ditunggu,” ucapnya, kemudian berlalu pergi. Dia harus profesional. Sekalipun dia begitu ingin sedikit lama untuk memandang.
Sepeninggal Yuna, meja Kennan tampak gaduh dengan tawa Jefry yang membahana. Tidak ada yang sedang melucu, namun laki-laki itu justru tertawa begitu bahagia.
Kennan memutar bola matanya malas. Tidak ingin berkomentar dengan tingkah aneh sahabatnya.
“Kamu lihat mukanya, persis kayak lihat hantu,” seloroh Jefry di tengah tawanya.
“Sudah biasa.” Kennan menyahut tidak peduli. Dia kembali membuka tab-nya, melihat e-mail yang menumpuk, kebanyakan bahasan kerja. Tidak yang lain.
“Kali ini, harus dilihat. Perempuan itu lucu banget. Mukanya antara terpesona sama ketakutan.”
Dan tepat ketika Jefry menyelesaikan ucapannya. Yuna datang dengan pesanan yang Jefry inginkan.
Demi memastikan apa yang Jefry katakan, Kennan mendongak, menatap Yuna yang sedang mengukir senyum hangat. Kennan mengernyit, apa yang Jefry katakan tidak dia temukan. Perempuan di hadapannya justru tampak semringah. Bukan karena terpesona apalagi mencari perhatian.
“Gimana? Iya, kan?” Jefry bertanya memastikan. Setelah Yuna pergi dari mejanya.
Kennan berdecak. “Kalo enggak bisa baca raut muka. Jangan ceriwis lah.”
“Duh, payah,” cibir Jefry sembari menggelengkan kepala.
Mengedikkan bahu, Kennan tidak membalas cibiran Jefry. Dia mengambil sendok dan melahap makan siang menjelang sorenya. Meski tidak begitu berselera, dia tetap berusaha menjejalkan makanan itu ke dalam mulutnya.
Karena mungkin, besok dia akan lebih tidak berselera.
Bab 2. Kedua KaliYuna bangun lebih pagi, kata ibunya dulu, anak perempuan tidak baik bangun kesiangan apalagi ketika matahari sudah menyingsing. Nanti rejekinya dipatok ayam, jodohnya jauh. Oleh karena itu, saat azan subuh berkumandang, Yuna sudah menegakkan tubuh. Dia bergegas ke kamar mandi dan memulai aktivitas paginya.Menguap, Yuna menempelkan punggung tangan kirinya di depan mulut. Meski sudah mandi kantuknya masih terus merayap. Dia membuka pintu kosnya, keluar kamar mencari sarapan. Mungkin nasi uduk di sekitar kosnya, yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Tidak sampai sepuluh menit, Yuna tiba di depan sebuah rumah sederhana. Dia mengukir senyuman dengan langkah semakin mendekat pada teras rumah itu.“Selamat pagi, Nek,” sapa Yuna ramah.Warung nasi uduk langganannya, di samping enak, harganya tidak membuat kantongnya cepat kering.Sang nenek yang mengenal Yuna, tanpa diminta mulai meracik pesanan. Sebelumnya, nenek menyahut sapaan Yuna disertai senyuman yang menampi
Bab 3. Mengambil LangkahKennan mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, menelisik wajah-wajah perempuan cantik di kantornya. Semua terlihat ramah dan sopan dalam balutan pakaian kerja. Sedikit banyak, dia terpengaruh akan ucapan Jefry. Mencari perempuan yang bisa bekerja sama.Tapi siapa? Lagi, pertanyaan itu menghampiri benaknya. Jika Kennan sembarang memilih perempuan, nanti keturunannya yang dipertaruhkan. Jika dia memilih perempuan di kantornya, dia akan merusak image-nya yang sempurna. Nanti, dia di cap lelaki hidung belang.Kennan berdecak. Buntu. Usulan Jefry yang ngawur kenapa dianggap serius?Melangkahkan kakinya menjauh dari area kantin. Kennan memilih kembali ke ruang kerjanya. Lebih baik dia menyelesaikan pekerjaannya daripada mencari hal yang masih belum masuk di nalarnya.“Sial.” umpat Kennan dalam hati.Jefry berhasil membodohinya dengan banyak bualan. Harusnya ucapan Jefry, Kennan anggap angin lalu. Tapi, kenapa justru semakin melekat diingatannya. Dia tergiur bua
Bab 4. Melihat Sisi LainKennan meringis mengingat perkataannya beberapa hari lalu. Dia sendiri tidak yakin ucapan itu keluar dari bibirnya. Tapi, sudah telanjur basah, jadi menurut Kennan sekalian saja dibasahi sampai kuyup.Dia sedang duduk di ruang santai rumahnya, sendirian. Ayahnya sudah kembali ke Jepang menemani ibunya yang memang lebih suka tinggal di tanah lahirnya. Jefry sendiri mendapat tugas kerja ke kantor cabang di Singapura. Dan berakhir lah dia tanpa kawan seorang pun.Memangnya siapa lagi yang Kennan harapkan. Wilona sudah resmi bertunangan, jadi mana mungkin perempuan itu mau berlama-lama menghabiskan waktu dengannya seperti dulu.Tempo hari, dia datang tepat beberapa menit sebelum acara pertunangan Wilona selesai. Sengaja. Karena sebelumnya, Kennan justru tidak ingin menginjakkan kaki di acara itu. Terlalu menyakitkan melihat perempuan yang dicintai, bahagia bersama laki-laki lain.Beranjak dari duduknya, Kennan memutuskan untuk mencari angin di luar. Hari sudah sor
Bab 5. Menerima Apa AdanyaKennan melirik jam yang melingkar apik di pergelangan tangan kirinya. Mendesah berat ketika jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Dia lupa makan siang, terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan yang lambat laun semakin menguras waktunya.Dan perlahan, dia pun merindukan perhatian. Seharian ini tidak ada yang mengingatkannya untuk makan, apalagi mengajaknya makan bersama. Membuat dia bertambah malas untuk menyentuh makanan.Melepas jas kantornya, Kennan menanggalkannya di atas kursi. Mejanya sudah rapi, dengan tumpukan berkas yang selesai dia periksa.Kennan baru akan keluar ruangan, ketika sebuah ketukan di pintu mengurungkannya. Terlihat Rita dengan senyum ramahnya menyembul di balik pintu.“Ada apa?” tanya Kennan, dia duduk di pinggiran meja dengan sebelah tangan tersimpan rapi di saku celana depan.“Ada tamu yang ingin menemui Anda, Pak,” kata Rita, sembari membuka daun pintu lebih lebar.Kennan yang tadinya mengernyit, seketika menyeringai tipis melihat
Bab 6. Jadi MenikahSendiri di pelataran, Yuna berdiri canggung di depan sebuah bangunan megah. Meski begitu, tatapannya tetap terkagum akan desain rumah klasik khas mediteranian itu. Tampak tenang dan nyaman untuk disinggahi. Halamannya luas dan asri. Ada banyak bunga-bunga yang mekar, beraneka ragam dengan warna-warna cantik, juga air mancur yang membuat suara gemerisik menenangkan.Yuna memejamkan mata, awal baru dari kehidupannya sudah dimulai sejak dia pertama kali menginjakkan kakinya di rumah itu.“Nona.”Yuna mengerjap, tersenyum samar pada seorang perempuan yang memperkenalkan diri padanya bernama Mini. Juga, satu-satunya perempuan yang menyambut kedatangannya dan setia berdiri satu langkah di belakangnya.“Silakan masuk,” ucap Mini, tangan kanannya terangkat mempersilakan.Yuna mengangguk. Hendak menggeret koper berukuran sedangnya namun urung karena ada tangan yang menahannya.“Saya saja yang membawanya, Nona,” ucap Mini dengan senyuman di wajah yang tak kunjung luntur.“Ti
Bab 7. Malu-malu MauHidup bak putri raja, mungkin itu sebutan yang pantas disematkan pada seorang Ayuna Malika. Gadis bau kencur yang resmi menyandang status sebagai istri seorang Kennan Sabdayagra.Meski pura-pura. Meski berbatas waktu.Kali ini, Yuna sedang duduk di tepi ranjang dengan sebuah novel terbuka dipangkuan. Membaca novel romantis kesukaannya, yang entah tahu dari mana, Kennan menyiapkan puluhan buku itu di kamarnya. Mungkin dimaksudkan untuk mengusir bosan. Entahlah, Yuna tidak pernah menanyakan perihal itu.“Tuan,” panggil Yuna melirih, digigitnya bibir bawah, harap-harap cemas menanti respon dari Kennan. Pasalnya, laki-laki itu sedang sibuk dengan laptop menyala, sejak satu jam yang lalu.Cukup lama hingga akhirnya Kennan menoleh menatap Yuna. “Ada apa?” tanya Kennan, dahinya mengernyit samar.Yuna meletakkan novelnya ke atas nakas, menyibak selimut yang sedari tadi membungkus kakinya. Siang hari memang, tapi Kennan tidak membiarkan jendela kamar terbuka, lebih memilih
Bab 8. Kennan SabdayagraYuna mengetuk pintu ruang kerja Kennan, menunggu sebentar sebelum sebuah seruan dari dalam terdengar.Membuka pintu, Yuna berjalan ke arah Kennan yang fokus pada pekerjaannya. Dia membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Pesanan laki-laki itu. Tadi Yuna merebutnya dari seorang pelayan yang hendak mengantarkan.Yuna meletakkan cangkir ke atas meja. Cukup jauh dari tebaran dokumen yang memenuhi meja kerja Kennan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi Kennan masih enggan untuk beranjak dari pekerjaannya.“Apa Tuan tidak lapar?” tanya Yuna, mendekap nampan kosong di dadanya.Sesaat Kennan mengernyit, namun sedetik berikutnya dia menyeringai. Dia menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. “Aku lapar, tapi malam ini lelah sekali. Jadi ingin tidur saja.”Yuna tersedak. Mengerti maksud ucapan Kennan. Tidak jauh-jauh dari program anak. Menggelengkan kepala, Yuna menyangkal cepat. “Maksud saya, lapar makan nasi. Bukankah Anda belum makan malam?”Ke
Bab 9. Cinta Belasan TahunYuna sedang menanam bunga ketika sebuah mobil memasuki pelataran rumah. Dia tidak mendongak sedikit pun untuk sekadar menilik siapa yang datang. Masih sibuk menanam bibit bunga matahari yang baru dibelinya. Bukan dia yang beli sih, dia meminta Mini untuk mencari bibit bunga di penjual tanaman. Tadinya ingin menanam pohon mangga dan durian, tapi urung karena takut Kennan tidak akan suka.Dan ketika berpikir lagi, sekalipun dia menanam pohonnya, keberadaan dirinya di rumah itu tidak sampai hingga pohonnya berbuah.Menepuk-nepuk tangannya yang kotor karena tanah, Yuna menegakkan tubuh dan sedikit meregangkannya. Dia tersenyum melihat deretan bibit bunga yang baru ditanamnya.“Nona, Tuan Kennan sudah pulang.” Mini berseru tidak jauh dari Yuna.“Sudah pulang?” Yuna mengernyit, dia menengadah menatap langit biru di atas sana. Tumben sekali, biasanya Kennan pulang ketika malam menjelang tapi ini matahari saja masih bersinar terik.Terburu-buru, Yuna berjalan ke ara
Bab 10. Candaan PagiBerjalan-jalan di pelataran rumah, Yuna menikmati udara pagi dan semerbak bunga yang menguar, memenuhi indera penciumnya. Langit cerah dengan cahaya mentari yang hangat menyapa. Dia menyungging senyum. Menengadah menatap birunya langit, awan putih bersih berarak menghias.Biasanya, dulu sepagi ini, Yuna sudah disibukkan dengan aktivitas restoran yang mulai bersiap buka. Dia karyawan teladan yang memiliki banyak pekerjaan, mulai dari menyapu sampai mengelap kaca-kaca restoran.Dan semua itu menghilang sejak dia melakukan kontrak dengan Kennan. Yuna keluar dari dua pekerjaannya secara baik-baik, meski mendadak sekali. Membuat banyak temannya di restoran maupun di kedai mengernyit curiga padanya.Sudahlah. Yuna tidak ingin mengungkit awal mula dia terikat dengan Kennan. Sangat menyakitkan. Di mana dia merendahkan harga dirinya demi segenggam kehidupan layak yang dijanjikan.Yuna mengusap wajah, meregangkan tubuh agar sedikit lebih segar dan menghilangkan kekalutan ha
Bab 9. Cinta Belasan TahunYuna sedang menanam bunga ketika sebuah mobil memasuki pelataran rumah. Dia tidak mendongak sedikit pun untuk sekadar menilik siapa yang datang. Masih sibuk menanam bibit bunga matahari yang baru dibelinya. Bukan dia yang beli sih, dia meminta Mini untuk mencari bibit bunga di penjual tanaman. Tadinya ingin menanam pohon mangga dan durian, tapi urung karena takut Kennan tidak akan suka.Dan ketika berpikir lagi, sekalipun dia menanam pohonnya, keberadaan dirinya di rumah itu tidak sampai hingga pohonnya berbuah.Menepuk-nepuk tangannya yang kotor karena tanah, Yuna menegakkan tubuh dan sedikit meregangkannya. Dia tersenyum melihat deretan bibit bunga yang baru ditanamnya.“Nona, Tuan Kennan sudah pulang.” Mini berseru tidak jauh dari Yuna.“Sudah pulang?” Yuna mengernyit, dia menengadah menatap langit biru di atas sana. Tumben sekali, biasanya Kennan pulang ketika malam menjelang tapi ini matahari saja masih bersinar terik.Terburu-buru, Yuna berjalan ke ara
Bab 8. Kennan SabdayagraYuna mengetuk pintu ruang kerja Kennan, menunggu sebentar sebelum sebuah seruan dari dalam terdengar.Membuka pintu, Yuna berjalan ke arah Kennan yang fokus pada pekerjaannya. Dia membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Pesanan laki-laki itu. Tadi Yuna merebutnya dari seorang pelayan yang hendak mengantarkan.Yuna meletakkan cangkir ke atas meja. Cukup jauh dari tebaran dokumen yang memenuhi meja kerja Kennan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi Kennan masih enggan untuk beranjak dari pekerjaannya.“Apa Tuan tidak lapar?” tanya Yuna, mendekap nampan kosong di dadanya.Sesaat Kennan mengernyit, namun sedetik berikutnya dia menyeringai. Dia menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. “Aku lapar, tapi malam ini lelah sekali. Jadi ingin tidur saja.”Yuna tersedak. Mengerti maksud ucapan Kennan. Tidak jauh-jauh dari program anak. Menggelengkan kepala, Yuna menyangkal cepat. “Maksud saya, lapar makan nasi. Bukankah Anda belum makan malam?”Ke
Bab 7. Malu-malu MauHidup bak putri raja, mungkin itu sebutan yang pantas disematkan pada seorang Ayuna Malika. Gadis bau kencur yang resmi menyandang status sebagai istri seorang Kennan Sabdayagra.Meski pura-pura. Meski berbatas waktu.Kali ini, Yuna sedang duduk di tepi ranjang dengan sebuah novel terbuka dipangkuan. Membaca novel romantis kesukaannya, yang entah tahu dari mana, Kennan menyiapkan puluhan buku itu di kamarnya. Mungkin dimaksudkan untuk mengusir bosan. Entahlah, Yuna tidak pernah menanyakan perihal itu.“Tuan,” panggil Yuna melirih, digigitnya bibir bawah, harap-harap cemas menanti respon dari Kennan. Pasalnya, laki-laki itu sedang sibuk dengan laptop menyala, sejak satu jam yang lalu.Cukup lama hingga akhirnya Kennan menoleh menatap Yuna. “Ada apa?” tanya Kennan, dahinya mengernyit samar.Yuna meletakkan novelnya ke atas nakas, menyibak selimut yang sedari tadi membungkus kakinya. Siang hari memang, tapi Kennan tidak membiarkan jendela kamar terbuka, lebih memilih
Bab 6. Jadi MenikahSendiri di pelataran, Yuna berdiri canggung di depan sebuah bangunan megah. Meski begitu, tatapannya tetap terkagum akan desain rumah klasik khas mediteranian itu. Tampak tenang dan nyaman untuk disinggahi. Halamannya luas dan asri. Ada banyak bunga-bunga yang mekar, beraneka ragam dengan warna-warna cantik, juga air mancur yang membuat suara gemerisik menenangkan.Yuna memejamkan mata, awal baru dari kehidupannya sudah dimulai sejak dia pertama kali menginjakkan kakinya di rumah itu.“Nona.”Yuna mengerjap, tersenyum samar pada seorang perempuan yang memperkenalkan diri padanya bernama Mini. Juga, satu-satunya perempuan yang menyambut kedatangannya dan setia berdiri satu langkah di belakangnya.“Silakan masuk,” ucap Mini, tangan kanannya terangkat mempersilakan.Yuna mengangguk. Hendak menggeret koper berukuran sedangnya namun urung karena ada tangan yang menahannya.“Saya saja yang membawanya, Nona,” ucap Mini dengan senyuman di wajah yang tak kunjung luntur.“Ti
Bab 5. Menerima Apa AdanyaKennan melirik jam yang melingkar apik di pergelangan tangan kirinya. Mendesah berat ketika jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Dia lupa makan siang, terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan yang lambat laun semakin menguras waktunya.Dan perlahan, dia pun merindukan perhatian. Seharian ini tidak ada yang mengingatkannya untuk makan, apalagi mengajaknya makan bersama. Membuat dia bertambah malas untuk menyentuh makanan.Melepas jas kantornya, Kennan menanggalkannya di atas kursi. Mejanya sudah rapi, dengan tumpukan berkas yang selesai dia periksa.Kennan baru akan keluar ruangan, ketika sebuah ketukan di pintu mengurungkannya. Terlihat Rita dengan senyum ramahnya menyembul di balik pintu.“Ada apa?” tanya Kennan, dia duduk di pinggiran meja dengan sebelah tangan tersimpan rapi di saku celana depan.“Ada tamu yang ingin menemui Anda, Pak,” kata Rita, sembari membuka daun pintu lebih lebar.Kennan yang tadinya mengernyit, seketika menyeringai tipis melihat
Bab 4. Melihat Sisi LainKennan meringis mengingat perkataannya beberapa hari lalu. Dia sendiri tidak yakin ucapan itu keluar dari bibirnya. Tapi, sudah telanjur basah, jadi menurut Kennan sekalian saja dibasahi sampai kuyup.Dia sedang duduk di ruang santai rumahnya, sendirian. Ayahnya sudah kembali ke Jepang menemani ibunya yang memang lebih suka tinggal di tanah lahirnya. Jefry sendiri mendapat tugas kerja ke kantor cabang di Singapura. Dan berakhir lah dia tanpa kawan seorang pun.Memangnya siapa lagi yang Kennan harapkan. Wilona sudah resmi bertunangan, jadi mana mungkin perempuan itu mau berlama-lama menghabiskan waktu dengannya seperti dulu.Tempo hari, dia datang tepat beberapa menit sebelum acara pertunangan Wilona selesai. Sengaja. Karena sebelumnya, Kennan justru tidak ingin menginjakkan kaki di acara itu. Terlalu menyakitkan melihat perempuan yang dicintai, bahagia bersama laki-laki lain.Beranjak dari duduknya, Kennan memutuskan untuk mencari angin di luar. Hari sudah sor
Bab 3. Mengambil LangkahKennan mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, menelisik wajah-wajah perempuan cantik di kantornya. Semua terlihat ramah dan sopan dalam balutan pakaian kerja. Sedikit banyak, dia terpengaruh akan ucapan Jefry. Mencari perempuan yang bisa bekerja sama.Tapi siapa? Lagi, pertanyaan itu menghampiri benaknya. Jika Kennan sembarang memilih perempuan, nanti keturunannya yang dipertaruhkan. Jika dia memilih perempuan di kantornya, dia akan merusak image-nya yang sempurna. Nanti, dia di cap lelaki hidung belang.Kennan berdecak. Buntu. Usulan Jefry yang ngawur kenapa dianggap serius?Melangkahkan kakinya menjauh dari area kantin. Kennan memilih kembali ke ruang kerjanya. Lebih baik dia menyelesaikan pekerjaannya daripada mencari hal yang masih belum masuk di nalarnya.“Sial.” umpat Kennan dalam hati.Jefry berhasil membodohinya dengan banyak bualan. Harusnya ucapan Jefry, Kennan anggap angin lalu. Tapi, kenapa justru semakin melekat diingatannya. Dia tergiur bua
Bab 2. Kedua KaliYuna bangun lebih pagi, kata ibunya dulu, anak perempuan tidak baik bangun kesiangan apalagi ketika matahari sudah menyingsing. Nanti rejekinya dipatok ayam, jodohnya jauh. Oleh karena itu, saat azan subuh berkumandang, Yuna sudah menegakkan tubuh. Dia bergegas ke kamar mandi dan memulai aktivitas paginya.Menguap, Yuna menempelkan punggung tangan kirinya di depan mulut. Meski sudah mandi kantuknya masih terus merayap. Dia membuka pintu kosnya, keluar kamar mencari sarapan. Mungkin nasi uduk di sekitar kosnya, yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Tidak sampai sepuluh menit, Yuna tiba di depan sebuah rumah sederhana. Dia mengukir senyuman dengan langkah semakin mendekat pada teras rumah itu.“Selamat pagi, Nek,” sapa Yuna ramah.Warung nasi uduk langganannya, di samping enak, harganya tidak membuat kantongnya cepat kering.Sang nenek yang mengenal Yuna, tanpa diminta mulai meracik pesanan. Sebelumnya, nenek menyahut sapaan Yuna disertai senyuman yang menampi