“Saya di depan rumah kamu.” Dewangga mengirim pesan ke Namira. Sejak tadi di kantor, mereka tidak lagi berbicara tentang apa pun. Dewangga terlihat gelisah. Ia merasa bersalah atas apa yang disampaikan oleh Dewanti di kantor tadi. “Kamu dimana? Kita perlu bicara.” Dewangga mengirimkan pesan lagi. Karena tidak ada jawaban pun pesannya belum dibalas, Dewangga memutuskan untuk menelepon sang kekasih. Sayangnya, Namira tidak mau menjawab telepon dari Dewangga. Telepon itu tersambung. Tetapi, tidak ada suara Namira yang menandakan telepon itu dijawab. Dewangga berusaha agar pesan atau teleponnya mendapat jawaban dari Namira. “Gue ketuk saja lah pintunya!” tutur Dewangga lalu berjalan masuk ke dalam area rumah Namira.Beberapa kali ia mengetuk pintu rumah Namira. Tidak ada jawaban atau suara dari dalam. Dewangga mencoba sekali lagi. Kali ini lebih kencang dan bertenaga. Ia tidak hanya mengetuk pintu saja. Dewangga juga memanggil nama Namira sampai berulang kali. “Namira! Permisi! Namira, ap
Aidan mencoba memperbaiki hubungannya dengan Laras. Ia tidak ingin semuanya semakin rumit dan runyam. Pagi ini Aidan menjemput Laras tanpa Laras minta. Niatnya ingin memberikan kejutan untuk sang kekasih. “Pagi,” sapa Aidan tersenyum hangat. Laras tidak membalas sapaan dari Aidan juga senyumannya. Laras hanya diam, menekuk wajahnya. “Kamu kenapa? Ada masalah?” tanya Aidan tidak ingin menduga hal lainnya. Mobil sudah mulai jalan. Laras belum juga membuka suaranya untuk sekedar mengucapkan kalimat sapaan atau berterima kasih karena Aidan sudah menjemputnya pagi itu. “Laras, kamu kenapa diam saja dari tadi? Aku salah lagi?” tanya Aidan ketika ia sudah tidak tahan dengan kesunyian yang terjadi di dalam mobil. Laras menengok ke arah Aidan dengan tatapan tajam.“Semalam kemana? Kenapa sama sekali nggak kasih kabar ke aku? Kamu juga nggak jemput aku pulang dari kantor,” kalimat inilah yang pertama keluar dari mulut Laras ketika ia membuka suara. Protesnya penuh kecurigaan. Aidan mulai memana
Dewangga dan Namira masih terus membicarakan hubungan mereka di dalam ruangan Namira. Sementara itu Nimas tetap pada posisinya pertama. Ia menempelkan telinganya ke dinding, supaya suara Dewangga dan Namira lebih jelas terdengar. “Gue rasa Pak Dewangga dan Namira ada masalah lain selain pekerjaan,” batinnya. Nimas sesekali membaca berkas yang ia bawa agar tidak ada yang curiga kepadanya. “Hai!” Nimas menundukkan kepalanya ramah, menyapa seseorang yang datang melewatinya. Ia sengaja membalas sapaan dari mereka. “Semoga aja nggak ada si Ailin itu! Kalau ada kacau semua,” ujarnya melirik ke beberapa arah mencari keberadaan Ailin. Kemudian ia diam, berdiri mematung di dinding, menempelkan telinganya lagi. “Kok diem?” tanya Namira curiga mereka sudah selesai berbicara.“Pak, ini di kantor. Jadi lebih baik apa yang kita bicarakan di kantor adalah tentang pekerjaan. Ini permintaan saya, tolong hargai permintaan saya,” ucap Namira memohon dengan sangat. Dewangga tidak ingin membuat Namira sem
Tak ada pilihan lain selain Namira ikut masuk ke dalam mobil Dewangga. Jika tidak, akan bertambah banyak orang yang memata-matai mereka berdua. Sembari menepis tipis tangan Dewangga, Namira buru-buru menuju mobil bosnya itu. “Maaf Pak, pintunya belum bisa dibuka,” ucap Namira terhenti di samping mobil Dewangga. Pandangannya ia buang jauh dari tatapan orang-orang di sekitar kantor. Namira berlagak tidak tahu jika ia dan Dewangga sedang menjadi pusat perhatian. Dari jendela atas, Ailin dan geng gosipnya sedang berkumpul menatap Namira sambil berbisik. “Silakan masuk!” pinta Dewangga. Dewangga berniat membukakan pintu untuk Namira. Tetapi, Namira menolak. Ia memberi kode agar Dewangga segera masuk ke dalam mobil agar tidak semakin panjang gosip yang nanti akan ia dengar.“Namira, makasih kamu sudah mau kasih saya kesempatan,” ucap Dewangga saat keduanya telah berada di dalam mobil. Namira memperhatikan sekitar. Ia takut ada telinga lain yang mendengar obrolan mereka di dalam mobil. “Pak,
Namira dan Dewangga sudah menyelesaikan makan malam mewah mereka. Meski penuh rasa sungkan dan sedikit kikuk, Namira berhasil menghabiskan hidangan yang telah dipesan oleh Dewangga. Bukan kebiasaan Namira membiarkan makanan sisa di piringnya. “Apa ada lagi yang ingin bapak sampaikan?” tanya Namira saat makanan mereka sudah mulai habis. Dewangga juga telah selesai meneguk air putih di gelas bening yang ada di sebelah kanannya. “Jelas,” jawab Dewangga tegas. Namira mengangguk, ia menunggu apa yang akan Dewangga sampaikan kepadanya. “Lalu, apa lagi?” tanya Namira sudah tidak sabar mendengar kalimat dari Dewangga. “Saya tidak ingin banyak menjelaskan. Karena memang tidak ada yang bisa saya utarakan, terlebih alasan tentang semua ini. Yang ingin saya ucapkan, hanya satu,” Dewangga menggantung kalimatnya.Sebelum melanjutkan kalimatnya, Dewangga menarik tangan Namira. Mata Namira tak bisa menahan betapa ia terkejut akan apa yang dilakukan oleh Dewangga. “Pak Dewa, nggak enak kalau ada yang
Kantor masih belum dipenuhi oleh para pegawai. Hanya ada beberapa saja yang memang sengaja datang lebih pagi untuk menghindari macet. Salah satunya yaitu Nimas. “Sepi banget ini kantor jam segini,” ujarnya sembari meletakkan barang bawaannya ke atas meja dan menjatuhkan tubuhnya ke kursi kerja kesayangannya. “Enaknya sarapan apa, ya?” Nimas membuka aplikasi ojek online di ponselnya untuk memilih menu sarapannya pagi itu. “Rajin banget Lo sepagi ini udah Dateng ke kantor?” Ailin menghampiri Nimas yang sedang sibuk scroll layar ponselnya. “Mau cari muka ya, Lo?” Ailin memulai genderang perang. “Gue diem aja ya, tapi Lo duluan yang nyalain api!” balas Nimas mengacuhkan ponselnya sejenak untuk melihat ke arah Ailin.“Ya apa lagi kalau bukan cari muka? Nggak mungkin pegawai mau berangkat pagi buta kayak Lo!” Ailin menyiram bensin untuk api yang ia nyalakan. Nimas meletakkan handphone di atas mejanya dengan kasar. Ia berdiri siap menyerang Ailin yang sejak tadi sudah mengisyaratkan perang d
Namira menutup pintu ruangannya rapat. Ia tidak ingin mendengar suara apa pun dari bisingnya rencana Dewanti di kantornya. “Huh.. Biarkan saja, mungkin memang ini bukan untukku,” ucap Namira memberi ketegaran untuk dirinya sendiri. Ia kembali berjalan menuju meja kerjanya. Menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang telah menunggunya sejak beberapa waktu lalu. “Lebih baik aku bekerja. Sudah cukup sering gue menunda pekerjaan yang ada di depan mata,” ujar Namira namun kali ini ia sudah tidak bisa menahan air matanya. Hati dan pikirannya tidak sejalan. Ia mengelus dadanya, mencoba tegar dan tak terlihat lemah bahkan di depan dirinya sendiri. Tetapi hatinya begitu perih. Matanya tidak sanggup menahan kepedihan. “Namira, jangan nangis. Ayo jangan na-ngis,” air matanya terus keluar. Bahkan mengalir deras di pipinya. Isakannya semakin sesak. Terasa sangat sakit dan memilukan.Dibalik rencana ini, Dewangga tidak tahu apa-apa. Dewanti berhasil membuat banyak orang terkejut akan rencana luar biasany
“Heh, sok sibuk banget, Lo!” Ailin mendatangi meja kerja Nimas. Nimas langsung menoleh ke arah Ailin yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya. “Ada perlu apa? Gue sibuk!” Celetuk Nimas membuat suasana hati Ailin menjadi lebih buruk. “Dasar sombong!” umpat Ailin. “Lo setuju nggak Pak Dewangga dan Dewanti nikah? Kalau gue sih engga,” ungkap Ailin mengajak Nimas bergosip di tengah sibuknya lara pegawai di kantor. “Lo ngajak gue bergosip?” tanya Nimas heran. “Ini bukan gosip. Ini realita. Memang kenyataannya gue nggak setuju atas pernikahan Pak Dewangga dan Dewanti. Lebih baik Pak Dewangga nikah sama gue,” celetuk Ailin iseng. “Pak Dewangga yang nggak mau sama, Lo!” seru Nimas sampai beberapa pegawai menoleh ke arahnya.“Gimana kalau kita bikin Dewanti nggak betah di kantor ini?” Ailin tiba-tiba punya rencana jahat kepada Dewanti. “Lo kalau mau jahat sama orang jangan ngajakin gue!” protes Nimas. “Lo juga nggak suka sama keberadaan Dewanti, kan? Kita usir bareng aja dia!” seru Ailin membala