Tak ada pilihan lain selain Namira ikut masuk ke dalam mobil Dewangga. Jika tidak, akan bertambah banyak orang yang memata-matai mereka berdua. Sembari menepis tipis tangan Dewangga, Namira buru-buru menuju mobil bosnya itu. “Maaf Pak, pintunya belum bisa dibuka,” ucap Namira terhenti di samping mobil Dewangga. Pandangannya ia buang jauh dari tatapan orang-orang di sekitar kantor. Namira berlagak tidak tahu jika ia dan Dewangga sedang menjadi pusat perhatian. Dari jendela atas, Ailin dan geng gosipnya sedang berkumpul menatap Namira sambil berbisik. “Silakan masuk!” pinta Dewangga. Dewangga berniat membukakan pintu untuk Namira. Tetapi, Namira menolak. Ia memberi kode agar Dewangga segera masuk ke dalam mobil agar tidak semakin panjang gosip yang nanti akan ia dengar.“Namira, makasih kamu sudah mau kasih saya kesempatan,” ucap Dewangga saat keduanya telah berada di dalam mobil. Namira memperhatikan sekitar. Ia takut ada telinga lain yang mendengar obrolan mereka di dalam mobil. “Pak,
Namira dan Dewangga sudah menyelesaikan makan malam mewah mereka. Meski penuh rasa sungkan dan sedikit kikuk, Namira berhasil menghabiskan hidangan yang telah dipesan oleh Dewangga. Bukan kebiasaan Namira membiarkan makanan sisa di piringnya. “Apa ada lagi yang ingin bapak sampaikan?” tanya Namira saat makanan mereka sudah mulai habis. Dewangga juga telah selesai meneguk air putih di gelas bening yang ada di sebelah kanannya. “Jelas,” jawab Dewangga tegas. Namira mengangguk, ia menunggu apa yang akan Dewangga sampaikan kepadanya. “Lalu, apa lagi?” tanya Namira sudah tidak sabar mendengar kalimat dari Dewangga. “Saya tidak ingin banyak menjelaskan. Karena memang tidak ada yang bisa saya utarakan, terlebih alasan tentang semua ini. Yang ingin saya ucapkan, hanya satu,” Dewangga menggantung kalimatnya.Sebelum melanjutkan kalimatnya, Dewangga menarik tangan Namira. Mata Namira tak bisa menahan betapa ia terkejut akan apa yang dilakukan oleh Dewangga. “Pak Dewa, nggak enak kalau ada yang
Kantor masih belum dipenuhi oleh para pegawai. Hanya ada beberapa saja yang memang sengaja datang lebih pagi untuk menghindari macet. Salah satunya yaitu Nimas. “Sepi banget ini kantor jam segini,” ujarnya sembari meletakkan barang bawaannya ke atas meja dan menjatuhkan tubuhnya ke kursi kerja kesayangannya. “Enaknya sarapan apa, ya?” Nimas membuka aplikasi ojek online di ponselnya untuk memilih menu sarapannya pagi itu. “Rajin banget Lo sepagi ini udah Dateng ke kantor?” Ailin menghampiri Nimas yang sedang sibuk scroll layar ponselnya. “Mau cari muka ya, Lo?” Ailin memulai genderang perang. “Gue diem aja ya, tapi Lo duluan yang nyalain api!” balas Nimas mengacuhkan ponselnya sejenak untuk melihat ke arah Ailin.“Ya apa lagi kalau bukan cari muka? Nggak mungkin pegawai mau berangkat pagi buta kayak Lo!” Ailin menyiram bensin untuk api yang ia nyalakan. Nimas meletakkan handphone di atas mejanya dengan kasar. Ia berdiri siap menyerang Ailin yang sejak tadi sudah mengisyaratkan perang d
Namira menutup pintu ruangannya rapat. Ia tidak ingin mendengar suara apa pun dari bisingnya rencana Dewanti di kantornya. “Huh.. Biarkan saja, mungkin memang ini bukan untukku,” ucap Namira memberi ketegaran untuk dirinya sendiri. Ia kembali berjalan menuju meja kerjanya. Menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang telah menunggunya sejak beberapa waktu lalu. “Lebih baik aku bekerja. Sudah cukup sering gue menunda pekerjaan yang ada di depan mata,” ujar Namira namun kali ini ia sudah tidak bisa menahan air matanya. Hati dan pikirannya tidak sejalan. Ia mengelus dadanya, mencoba tegar dan tak terlihat lemah bahkan di depan dirinya sendiri. Tetapi hatinya begitu perih. Matanya tidak sanggup menahan kepedihan. “Namira, jangan nangis. Ayo jangan na-ngis,” air matanya terus keluar. Bahkan mengalir deras di pipinya. Isakannya semakin sesak. Terasa sangat sakit dan memilukan.Dibalik rencana ini, Dewangga tidak tahu apa-apa. Dewanti berhasil membuat banyak orang terkejut akan rencana luar biasany
“Heh, sok sibuk banget, Lo!” Ailin mendatangi meja kerja Nimas. Nimas langsung menoleh ke arah Ailin yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya. “Ada perlu apa? Gue sibuk!” Celetuk Nimas membuat suasana hati Ailin menjadi lebih buruk. “Dasar sombong!” umpat Ailin. “Lo setuju nggak Pak Dewangga dan Dewanti nikah? Kalau gue sih engga,” ungkap Ailin mengajak Nimas bergosip di tengah sibuknya lara pegawai di kantor. “Lo ngajak gue bergosip?” tanya Nimas heran. “Ini bukan gosip. Ini realita. Memang kenyataannya gue nggak setuju atas pernikahan Pak Dewangga dan Dewanti. Lebih baik Pak Dewangga nikah sama gue,” celetuk Ailin iseng. “Pak Dewangga yang nggak mau sama, Lo!” seru Nimas sampai beberapa pegawai menoleh ke arahnya.“Gimana kalau kita bikin Dewanti nggak betah di kantor ini?” Ailin tiba-tiba punya rencana jahat kepada Dewanti. “Lo kalau mau jahat sama orang jangan ngajakin gue!” protes Nimas. “Lo juga nggak suka sama keberadaan Dewanti, kan? Kita usir bareng aja dia!” seru Ailin membala
“Dewanti, dimana Dewangga?” tanya Papa Dewangga ketika Dewanti masuk ke ruangan Dewangga sendirian. “Mas Dewa ada urusan, Pa. Jadi, pembahasan tentang pernikahan terpaksa kami tunda.” Dewanti mencari alasan agar keluarganya dan keluarga Dewangga tidak curiga akan masalah yang sedang mereka hadapi. Dewanti tidak ingin Mama dan Papanya sakit hati akan sikap Dewangga dan nantinya menghilangkan restu yang sudah diberikan sejak awal. “Tapi pernikahan kalian kan juga lebih penting,” sabut Mama Dewanti berusaha membela anaknya. “Ini juga tentang kantor, Ma. Kantor ini juga penting untuk aku dan Dewangga,” sambung Dewanti dengan senyum tegarnya meski dalam hati teriris. “Kalau begitu, bawa Mama dan Papa keluar dari sini,” pinta Papa Dewangga yang langsung dituruti oleh calon menantunya.Ailin dan Nimas melihat Dewanti bersama kedua orang tuanya dan orang tua Dewangga keluar dari ruangan Dewangga. “Nimas, Lo liat itu kan?” Ailin mengirim pesan ke Nimas agar ia tidak ketahuan jika sedang membic
Dewanti dan Namira terlibat obrolan yang serius. Dewanti tak ingin mengalah dengan perasaannya. Ia ingin Dewangga jatuh ke tangannya tanpa kendala apa pun. “Jauhi Dewangga jika kamu tidak mau dianggap sebagai perusak masa depan teman satu kantor kamu!” ancam Dewanti. Tangannya mendorong bahu sebelah kanan Namira. Namira menahan tubuhnya agar tidak runtuh seperti perasaannya sekarang. Tak ada kalimat yang keluar dari mulut Namira. Penjelasan apa pun tidak akan menyurutkan api kemarahan Dewanti. “Jika Ibu sudah selesai bicara, sebaiknya segera keluar dari ruangan ini. Saya harus melanjutkan pekerjaan,” pinta Namira seolah tidak terjadi sesuatu sebelumnya. Walaupun pada kenyataannya saat itu Namira sangat berantakan.Tubuhnya lemas, pikirannya penuh, pandangannya kosong. Napasnya tidak beraturan. Banyak hal yang ia pendam, tak bisa dikeluarkan. “Aku kira Pak Dewangga adalah obat dari lukaku yang lama, ternyata beliau justru lukaku yang baru,” ucap Namira sambil melanjutkan lamunannya di
“Pak, saya tidak sedang mencari luka lagi. Jadi tolong, biarkan saya menjalani hari-hari saya tanpa ada beban. Hubungan kita baru dimulai. Sebelum semakin jauh dan semakin dalam, lebih baik kita akhiri di sini,” jelas Namira melemah. Namira dan Dewangga saling menatap. Dewangga mencoba meraih tangan Namira. Namun, berulang kali Namira menjauh dan menghindar. Namira tidak ingin ada seseorang yang tahu tentang hubungannya dengan Dewangga. Karena, gosip di kantornya cepat sekali menyebar. “Namira, tolong dengerin saya dulu,” pinta Dewangga tidak ingin kehilangan kekasihnya yang baru saja bisa ia dapatkan. “Pak, saya ke sini bukan untuk membahas ini. Lagi pula, semua yang sudah kita mulai itu tidak baik. Harus segera diakhiri,” Namira mengakhiri kalimatnya.Namira hendak berbalik dan meninggalkan ruangan rapat. Namun, pelukan Dewangga telah menahan tubuh Namira di sana. Namira merasakannya selama beberapa saat, ia tidak menolak dan tidak melepaskan selama beberapa detik. “Ini yang aku but