“Heh, sok sibuk banget, Lo!” Ailin mendatangi meja kerja Nimas. Nimas langsung menoleh ke arah Ailin yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya. “Ada perlu apa? Gue sibuk!” Celetuk Nimas membuat suasana hati Ailin menjadi lebih buruk. “Dasar sombong!” umpat Ailin. “Lo setuju nggak Pak Dewangga dan Dewanti nikah? Kalau gue sih engga,” ungkap Ailin mengajak Nimas bergosip di tengah sibuknya lara pegawai di kantor. “Lo ngajak gue bergosip?” tanya Nimas heran. “Ini bukan gosip. Ini realita. Memang kenyataannya gue nggak setuju atas pernikahan Pak Dewangga dan Dewanti. Lebih baik Pak Dewangga nikah sama gue,” celetuk Ailin iseng. “Pak Dewangga yang nggak mau sama, Lo!” seru Nimas sampai beberapa pegawai menoleh ke arahnya.“Gimana kalau kita bikin Dewanti nggak betah di kantor ini?” Ailin tiba-tiba punya rencana jahat kepada Dewanti. “Lo kalau mau jahat sama orang jangan ngajakin gue!” protes Nimas. “Lo juga nggak suka sama keberadaan Dewanti, kan? Kita usir bareng aja dia!” seru Ailin membala
“Dewanti, dimana Dewangga?” tanya Papa Dewangga ketika Dewanti masuk ke ruangan Dewangga sendirian. “Mas Dewa ada urusan, Pa. Jadi, pembahasan tentang pernikahan terpaksa kami tunda.” Dewanti mencari alasan agar keluarganya dan keluarga Dewangga tidak curiga akan masalah yang sedang mereka hadapi. Dewanti tidak ingin Mama dan Papanya sakit hati akan sikap Dewangga dan nantinya menghilangkan restu yang sudah diberikan sejak awal. “Tapi pernikahan kalian kan juga lebih penting,” sabut Mama Dewanti berusaha membela anaknya. “Ini juga tentang kantor, Ma. Kantor ini juga penting untuk aku dan Dewangga,” sambung Dewanti dengan senyum tegarnya meski dalam hati teriris. “Kalau begitu, bawa Mama dan Papa keluar dari sini,” pinta Papa Dewangga yang langsung dituruti oleh calon menantunya.Ailin dan Nimas melihat Dewanti bersama kedua orang tuanya dan orang tua Dewangga keluar dari ruangan Dewangga. “Nimas, Lo liat itu kan?” Ailin mengirim pesan ke Nimas agar ia tidak ketahuan jika sedang membic
Dewanti dan Namira terlibat obrolan yang serius. Dewanti tak ingin mengalah dengan perasaannya. Ia ingin Dewangga jatuh ke tangannya tanpa kendala apa pun. “Jauhi Dewangga jika kamu tidak mau dianggap sebagai perusak masa depan teman satu kantor kamu!” ancam Dewanti. Tangannya mendorong bahu sebelah kanan Namira. Namira menahan tubuhnya agar tidak runtuh seperti perasaannya sekarang. Tak ada kalimat yang keluar dari mulut Namira. Penjelasan apa pun tidak akan menyurutkan api kemarahan Dewanti. “Jika Ibu sudah selesai bicara, sebaiknya segera keluar dari ruangan ini. Saya harus melanjutkan pekerjaan,” pinta Namira seolah tidak terjadi sesuatu sebelumnya. Walaupun pada kenyataannya saat itu Namira sangat berantakan.Tubuhnya lemas, pikirannya penuh, pandangannya kosong. Napasnya tidak beraturan. Banyak hal yang ia pendam, tak bisa dikeluarkan. “Aku kira Pak Dewangga adalah obat dari lukaku yang lama, ternyata beliau justru lukaku yang baru,” ucap Namira sambil melanjutkan lamunannya di
“Pak, saya tidak sedang mencari luka lagi. Jadi tolong, biarkan saya menjalani hari-hari saya tanpa ada beban. Hubungan kita baru dimulai. Sebelum semakin jauh dan semakin dalam, lebih baik kita akhiri di sini,” jelas Namira melemah. Namira dan Dewangga saling menatap. Dewangga mencoba meraih tangan Namira. Namun, berulang kali Namira menjauh dan menghindar. Namira tidak ingin ada seseorang yang tahu tentang hubungannya dengan Dewangga. Karena, gosip di kantornya cepat sekali menyebar. “Namira, tolong dengerin saya dulu,” pinta Dewangga tidak ingin kehilangan kekasihnya yang baru saja bisa ia dapatkan. “Pak, saya ke sini bukan untuk membahas ini. Lagi pula, semua yang sudah kita mulai itu tidak baik. Harus segera diakhiri,” Namira mengakhiri kalimatnya.Namira hendak berbalik dan meninggalkan ruangan rapat. Namun, pelukan Dewangga telah menahan tubuh Namira di sana. Namira merasakannya selama beberapa saat, ia tidak menolak dan tidak melepaskan selama beberapa detik. “Ini yang aku but
“Laras, saya minta maaf. Saya tahu saya salah. Tapi, beri waktu saya untuk menjalankan. Ini bukan kesalahan Aidan, ini salah saya,” ujar Namira menahan Laras yang akan pergi dari taman itu setelah puas membentak Namira dan Aidan yang sedang berduaan. “Mau jelasin apa lagi sih, kak? Udah jelas jelas Kakak itu orang ketiga antara aku dan Aidan. Selama ini Aidan sikap Aidan berubah itu pasti gara-gara Kak Namira, kan! Aku nggak habis pikir. Aku kira kalian udah selesai, ternyata aku hanya sebagai pelampiasan!” bentak Laras diakhir kalimatnya. Aidan pasrah tanpa penjelasan. Seperti tidak ingin ada yang diperbaiki lagi. “Aku kecewa sama Kak Namira. Selama ini aku salah menilai Kakak. Sejahat itu sama aku!” ucapnya lalu berbalik. Laras tak langsung meninggalkan Namira dan Aidan. Masih ada harapan darinya kepada Aidan. Namun, tangan Aidan sama sekali tidak menyentuh Laras.“Aidan, kejar!” ujar Namira lirih dan memberi. Mata dan kepalanya memberi isyarat untuk Aidan agar mengejar Laras yang s
Dewangga tertidur di mobilnya yang terparkir di depan rumah Namira sejak semalam. Namira masih enggan mengaktifkan ponselnya. Dengan begitu Namira memiliki malam yang membuatnya tenang tanpa dikejar pesan ataupun panggilan. “Astaga, kenapa gue ketiduran di ujung ranjang?” celetuk Namira saat sadar ia tertidur di tepi ranjang. Semalam sulit sekali baginya memejamkan mata. Banyak sekali usaha yang dilakukan agar matanya bisa tertutup dan istirahat sejenak sampai pagi hari. Sayangnya, semua usaha Namira tak berbuah manis. Pada akhirnya, Namira justru tertidur dengan posisi kaki menggantung di tepian tempat tidur. “Aduh, badan gue jadi sakit semua!” keluhnya seraya meregangkan tubuhnya. “Bukannya segeran pagi ini, malah jadi pegel semua badan,” tuturnya sambil meregangkan bagian kepala.“Cuti enak kali, ya?” ucapnya setelah sudah siap untuk pergi bekerja dan menuruni tangga di rumahnya. Namira hanya tinggal seorang diri di Ibu Kota. Mama dan Papanya tinggal di luar kota, sesuai dengan din
Dewangga tak muncul di kantor hingga jam makan siang. Dewanti menahannya di kamar hotel, demi membicarakan pesta pernikahan yang sudah diimpikan oleh Dewanti. “Hari ini, Cuma ada kamu dan aku. Kita bahas tuntas semua persiapan pesta pernikahan kita,” tutur Dewanti senang. Sebagai calon istri yang sedang mencoba mengambil hati Dewangga, Dewanti sibuk menyiapkan sarapan dan minuman sehat untuk sang calon suami. Padahal, Dewangga sendiri justru sibuk memikirkan cara bagaimana ia bisa keluar dari kamar hotel. “Gue nggak boleh ada sini. Gue harus ada di kantor. Gue harus menyelesaikan semua permasalahan yang ada,” batinnya. Pikirannya penuh sampai dia tidak fokus. “Dewangga?” panggil Dewanti. Tangan Dewanti melambai di depan wajah Dewangga karena susah beberapa panggilan tak Dewangga respon.“Eee... Ada apa?” tanya Dewangga terlihat sedikit gugup. “Kamu kenapa? Sakit?” Dewanti masih berpikir positif. “Aku panggilan dokter mau?” tanya Dewanti yang mencemaskan calon suaminya. “Nggak. Nggak p
Makan siang salah satu waktu yang ditunggu Namira dan Nimas. Mereka bisa melepaskan penat sejenak lewat menu makan siang yang mereka pilih. Walaupun tidak panjang, setidaknya ketegangan otak mereka teredam sejenak. “Gue Nemu restoran baru, Ra. Lo mau cobain nggak?” kata Nimas antusias sekali. “Boleh. Gue juga udah bosen makan di tempat yang sama terus,” jawab Namira menerima tawaran dari Nimas. “Dimana?” Namira penasaran dengan restoran yang dimaksud oleh Nimas. “Ada, tenang aja. Nanti Lo juga tau tempatnya,” kata Nimas merahasiakan alamat restoran tersebut. “Harus enak, ya. Awas aja sampai gue kecewa sama menunya,” tutur Namira menggoda Nimas. “Siap, bos!” jawab Nimas kemudia ia fokus menyetir mobil.Namira dan Nimas sampai di restoran yang tadi Nimas maksud. Namira belum pernah berkunjung ke sini sebelumnya. Ia terlihat begitu tidak sabar mencicipi menu yang tersedia di dalam. “Ayo masuk!” ajak Nimas. Namira berjalan merangkul sahabatnya itu. Nimas membalas rangkulan itu tanpa perta