Setelah malam yang menyebalkan terlewati dengan tidur, kini Namira siap kembali menyongsong pagi untuk bekerja. Pakaiannya sudah rapi. Namira selalu terlihat fashionable dalam setiap hari kerjanya. Baginya, itu adalah salah satu cara menghargai dirinya sendiri juga menambah semangat menjalani kesehariannya yang padat. “Apa ini?” katanya panik ketika menemukan sebuah kotak di depan pintu rumahnya. “Perasaan gue nggak pesan apa pun, kenapa ada paket yang datang?” Namira heran dengan kotak coklat misterius itu. “Ambil nggak ya?” tanya Namira bimbang. “Tapi kalau gue ambil terus isinya bahaya gimana?” Namira dilema. Sudah menunduk untuk mengambil paket itu, tetapi gagal karena pikirannya yang buruk muncul. “Apa mungkin dari Papa dan Mama? Kenapa nggak ada yang kabarin gue kalau mau kirim paket?” Namira terus bertanya-tanya sendiri.“Gue tinggal aja deh. Nanti gue buka pulang kerja,” ucap Namira menyingkirkan kotak coklat itu ke area pinggir pintu rumahnya. “Gue harus cari asisten rumah ta
Hubungan yang sudah diselesaikan ternyata bukan berarti berakhir. Seperti hubungan Namira dan Aidan yang kembali terjalin. Mungkin masih ada sisa rasa yang dulu mereka miliki, atau hanya sekedar ingin mengulang lembar yang tak mereka temukan pada orang lain. “Kita salah nggak sih?” tanya Namira disuatu malam ketika Namira dan Aidan sedang makan malam bersama. “Kenapa salah?” “Salah karena memulai hubungan yang pernah berakhir.” “Kalau kamu pernah dengar, hubungan lama yang dimulai lagi seperti halnya membaca novel yang sama berulang kali, menurut aku itu hanya sebuah opini. Anggapan yang belum tentu terjadi,” ungkap Aidan. “Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Yang kita bisa hanya memperbaiki hari ini untuk masa depan itu,” tambah Aidan.“Memangnya kamu setuju?” Aidan kini berbalik tanya ke Namira. “Emm.. enggak juga sih,” jawab Namira masih belum yakin akan pendapat itu. Tetapi ia juga tak yakin hubungannya akan lebih baik dari sebelumnya. “Menurutku, semua oran
“Bapak sengaja mau mencelakai saya? Apa Bapak belum puas sudah melukai perasaan saya?” pertanyaan yang sungguh menggores lubuk hati. “Saya salah apa, Pak? Bapak tega sekali melakukan ini kepada saya,” sambung Namira. “Namira, tenang dulu. Saya bisa jelaskan semuanya. Kamu salah paham,” pinta Dewangga, ingin mendekat ke arah Namira tetapi Namira menolak. “Tolong tetap di situ saja,” perintah Namira untuk Dewangga yang hampir berpindah tempat ke samping Namira. “Saya tahu kejadian itu, tapi bukan berarti saya yang melakukan itu, Namira. Saya nggak mungkin tega melukai orang yang saya cintai,” jelas Dewangga yang tak mau didengar oleh Namira. “Lalu apa?” “Saya mengutus seorang menjadi mata-mata saya,” aku Dewangga semakin membuat Namira tak habis pikir.“Untuk apa?” Namira duduk, mencoba tidak membesarkan masalah yang sebenarnya menurut Namira ini adalah masalah besar. “Untuk jagain kamu,” jawab Dewangga. Suara ketukan pintu terdengar dari dalam. Namira panik. Dewangga langsung mendekat
“Ada yang luka?” Namira masuk membawa setumpuk berkas. Tetapi, hal pertama yang ia tanyakan bukanlah tentang pekerjaan. Namira dan Dewangga hanya bisa saling menatap. Banyak sekali perasaan yang ingin mereka tumpahkan satu sama lain. Sayangnya, saat itu waktu dan keadaannya nya tak mendukung mereka menyuarakan isi hati masing-masing. “Ada apa, Namira?” Dewangga memulai obrolan setelah keheningan yang panjang. “Ada beberapa berkas yang harus diperiksa juga ditandangani,” jawab Namira lalu ia duduk di depan meja kerja Dewangga. Dewangga masih tidak percaya Namira masuk ke ruangannya ketika ia sedang menjadi sosok tak waras karena cinta. “Bukan itu. Tadi apa yang kamu tanya saat pertama masuk ke ruangan saya?” Dewangga ingin mendengar lagi pertanyaan dari Namira tadi. Rasanya ada secuil perhatian dari Namira untuk Dewangga.Tangan Dewangga merah. Rasa sakitnya tak ia hiraukan. Biar mengalir begitu saja. “Apa ada yang luka?” Namira mengulang sesuai permintaan Dewangga. “Sejak kapan kamu a
Akhir pekan ajaib bagi para pegawai kantor Dewangga. Untuk pertama kalinya, mereka bisa merasakan liburan bersama tanpa harus pusing dengan biaya atau pun lainnya. Mereka datang dengan outfit terbaik masing-masing. “Pasti bakalan seru banget!” celetuk Ailin dengan penampilannya yang begitu mencolok. Ailin juga geng gosipnya turun dari mobil, masuk ke villa yang sudah Dewanti sewa untuk liburan pegawai kantor calon suaminya. “Nanti fotoin gue disetiap sudut villa, ya!” pinta Ailin kepada salah satu temannya. Temannya hanya mengangguk lalu terus berjalan, karena sudah tidak sabar mengetahui isi di dalam villa. “Hai semua!” sapa Dewanti. Ia bersama Dewangga dan Anggara sudah lebih dulu sampai di villa. “Hai!” balas karyawan yang baru saja sampai di villa.Tangan Dewanti terlihat menggandeng Dewangga. Karena merasa tidak nyaman, Dewangga berusaha melepas gandengan tangan itu. Ada seseorang yang Dewangga cari, dari tatapan juga gerak tubuhnya menandakan ia sedang menanti. “Sudah datang sem
“Semua itu karena kesalahan Papa Dewangga. Beliau yang membuat perusahaan Dewangga hancur.” Anggara menceritakan bagaimana perjalanan kehidupan Dewangga sebelum hadirnya Namira. Dewangga sudah berjuang sejak lama. Namun, keringatnya tak ada yang melihat. Semua menilai bahwa Dewangga hanya mampu seperti sekarang. “Apa yang membuat hutang?” Namira bertanya terus dengan detail. Ia ingin tahu lebih dalam lagi tentang seseorang yang saat itu masih bertengger di hatinya. “Hutang,” jawab Anggara lalu menoleh ke arah Namira seolah memberi garis bawah. “Jadi...” “Iya, pertengkaran Dewangga dan Papanya bermula dari hutang perusahaan. Dewangga sudah susah payah membangun perusahaan itu, tetapi, Papanya justru menghancurkan sekejap dengan hutang yang menumpuk,” jelas Anggara lagi. “Kepergian dan Dewangga bukan tanpa alasan. Tapi, karena dengan hal itu Dewangga bisa damai dengan keadaan.”Selama ini diamnya Dewangga menyimpan banyak sekali luka. Dingin sikapnya melampiaskan segala kecewa yang seja
Para pegawai Dewangga kini kembali menjalani rutinitas seperti biasanya. Meski telah dihadang oleh berbagai pekerjaan yang menumpuk di meja kerja masing-masing, suasana hati mereka tetap masih terbawa ceria. Hasil dari staycation tiba-tiba yang diadakan oleh Dewanti. Meski sedikit lancang karena tak minta persetujuan dari Dewangga, Dewanti ternyata berhasil membahagiakan pekerja di kantor Dewangga. Hati Dewanti semakin besar. Ia merasa dirinya akan memenangkan hati semua orang. “Seru banget ya, kemarin! Andai aja tiap bulan ada staycation, kita pasti bakal betah kerja di sini. Walaupun lembur, banyak kerjaan, sering kena marah, tapi kalau ada acara kayak kemarin sih gue betah,” celetuk Ailin dengan geng gosipnya itu. Nimas datang mendengar ocehan Ailin yang cukup kencang hingga bisa didengar meski belum sampai ke meja kerjanya.“Pagi, Nimas!” sapa Ailin iseng mendekati Nimas. Wajah Ailin tidak mencerminkan keceriaan sama sekali. Wajahnya lecek seperti pakaian yang masih kusut karena b
“Aku lebih baik berjuang dan berakhir kecewa daripada harus diam lalu nantinya menyesal,” batin Namira.Namira berjalan sembari hatinya kacau. Mulutnya memang diam, tetapi hati dan pikirannya terus bertengkar. Pikirannya terlalu berisik, hampir saja ia tidak kuat menahan ramainya isi di kepalanya saat itu.“Lebih baik pikiranku penuh dengan pekerjaan, daripada dipenuhi kegalauan hubungan seperti ini,” ucapnya sambil masuk ke dalam mobil yang terparkir di depan kantornya.Waktu istirahat kali ini Namira gunakan untuk bertemu sang kekasih. Menyelesaikan masalah yang mengganggu pikirannya dan merusak konsentrasi bekerja. Namira mengalahkan semua ego.Suara pintu mobil tertutup sudah terdengar, Namira siap melaju ke kantor sang kekasih. Rasanya saat itu Namira ingin terbang saja. Agar cepat sampai ke tempat tujuan. Lamunan Namira terpecah oleh bunyik klakson di sepanjang jalan. Makan siang sudah dimulai, jalanan dekat kantornya mulai macet karena banyak karyawan yang ingin makan siang di
Para pegawai Dewangga kini kembali menjalani rutinitas seperti biasanya. Meski telah dihadang oleh berbagai pekerjaan yang menumpuk di meja kerja masing-masing, suasana hati mereka tetap masih terbawa ceria. Hasil dari staycation tiba-tiba yang diadakan oleh Dewanti. Meski sedikit lancang karena tak minta persetujuan dari Dewangga, Dewanti ternyata berhasil membahagiakan pekerja di kantor Dewangga. Hati Dewanti semakin besar. Ia merasa dirinya akan memenangkan hati semua orang. “Seru banget ya, kemarin! Andai aja tiap bulan ada staycation, kita pasti bakal betah kerja di sini. Walaupun lembur, banyak kerjaan, sering kena marah, tapi kalau ada acara kayak kemarin sih gue betah,” celetuk Ailin dengan geng gosipnya itu. Nimas datang mendengar ocehan Ailin yang cukup kencang hingga bisa didengar meski belum sampai ke meja kerjanya.“Pagi, Nimas!” sapa Ailin iseng mendekati Nimas. Wajah Ailin tidak mencerminkan keceriaan sama sekali. Wajahnya lecek seperti pakaian yang masih kusut karena b
“Semua itu karena kesalahan Papa Dewangga. Beliau yang membuat perusahaan Dewangga hancur.” Anggara menceritakan bagaimana perjalanan kehidupan Dewangga sebelum hadirnya Namira. Dewangga sudah berjuang sejak lama. Namun, keringatnya tak ada yang melihat. Semua menilai bahwa Dewangga hanya mampu seperti sekarang. “Apa yang membuat hutang?” Namira bertanya terus dengan detail. Ia ingin tahu lebih dalam lagi tentang seseorang yang saat itu masih bertengger di hatinya. “Hutang,” jawab Anggara lalu menoleh ke arah Namira seolah memberi garis bawah. “Jadi...” “Iya, pertengkaran Dewangga dan Papanya bermula dari hutang perusahaan. Dewangga sudah susah payah membangun perusahaan itu, tetapi, Papanya justru menghancurkan sekejap dengan hutang yang menumpuk,” jelas Anggara lagi. “Kepergian dan Dewangga bukan tanpa alasan. Tapi, karena dengan hal itu Dewangga bisa damai dengan keadaan.”Selama ini diamnya Dewangga menyimpan banyak sekali luka. Dingin sikapnya melampiaskan segala kecewa yang seja
Akhir pekan ajaib bagi para pegawai kantor Dewangga. Untuk pertama kalinya, mereka bisa merasakan liburan bersama tanpa harus pusing dengan biaya atau pun lainnya. Mereka datang dengan outfit terbaik masing-masing. “Pasti bakalan seru banget!” celetuk Ailin dengan penampilannya yang begitu mencolok. Ailin juga geng gosipnya turun dari mobil, masuk ke villa yang sudah Dewanti sewa untuk liburan pegawai kantor calon suaminya. “Nanti fotoin gue disetiap sudut villa, ya!” pinta Ailin kepada salah satu temannya. Temannya hanya mengangguk lalu terus berjalan, karena sudah tidak sabar mengetahui isi di dalam villa. “Hai semua!” sapa Dewanti. Ia bersama Dewangga dan Anggara sudah lebih dulu sampai di villa. “Hai!” balas karyawan yang baru saja sampai di villa.Tangan Dewanti terlihat menggandeng Dewangga. Karena merasa tidak nyaman, Dewangga berusaha melepas gandengan tangan itu. Ada seseorang yang Dewangga cari, dari tatapan juga gerak tubuhnya menandakan ia sedang menanti. “Sudah datang sem
“Ada yang luka?” Namira masuk membawa setumpuk berkas. Tetapi, hal pertama yang ia tanyakan bukanlah tentang pekerjaan. Namira dan Dewangga hanya bisa saling menatap. Banyak sekali perasaan yang ingin mereka tumpahkan satu sama lain. Sayangnya, saat itu waktu dan keadaannya nya tak mendukung mereka menyuarakan isi hati masing-masing. “Ada apa, Namira?” Dewangga memulai obrolan setelah keheningan yang panjang. “Ada beberapa berkas yang harus diperiksa juga ditandangani,” jawab Namira lalu ia duduk di depan meja kerja Dewangga. Dewangga masih tidak percaya Namira masuk ke ruangannya ketika ia sedang menjadi sosok tak waras karena cinta. “Bukan itu. Tadi apa yang kamu tanya saat pertama masuk ke ruangan saya?” Dewangga ingin mendengar lagi pertanyaan dari Namira tadi. Rasanya ada secuil perhatian dari Namira untuk Dewangga.Tangan Dewangga merah. Rasa sakitnya tak ia hiraukan. Biar mengalir begitu saja. “Apa ada yang luka?” Namira mengulang sesuai permintaan Dewangga. “Sejak kapan kamu a
“Bapak sengaja mau mencelakai saya? Apa Bapak belum puas sudah melukai perasaan saya?” pertanyaan yang sungguh menggores lubuk hati. “Saya salah apa, Pak? Bapak tega sekali melakukan ini kepada saya,” sambung Namira. “Namira, tenang dulu. Saya bisa jelaskan semuanya. Kamu salah paham,” pinta Dewangga, ingin mendekat ke arah Namira tetapi Namira menolak. “Tolong tetap di situ saja,” perintah Namira untuk Dewangga yang hampir berpindah tempat ke samping Namira. “Saya tahu kejadian itu, tapi bukan berarti saya yang melakukan itu, Namira. Saya nggak mungkin tega melukai orang yang saya cintai,” jelas Dewangga yang tak mau didengar oleh Namira. “Lalu apa?” “Saya mengutus seorang menjadi mata-mata saya,” aku Dewangga semakin membuat Namira tak habis pikir.“Untuk apa?” Namira duduk, mencoba tidak membesarkan masalah yang sebenarnya menurut Namira ini adalah masalah besar. “Untuk jagain kamu,” jawab Dewangga. Suara ketukan pintu terdengar dari dalam. Namira panik. Dewangga langsung mendekat
Hubungan yang sudah diselesaikan ternyata bukan berarti berakhir. Seperti hubungan Namira dan Aidan yang kembali terjalin. Mungkin masih ada sisa rasa yang dulu mereka miliki, atau hanya sekedar ingin mengulang lembar yang tak mereka temukan pada orang lain. “Kita salah nggak sih?” tanya Namira disuatu malam ketika Namira dan Aidan sedang makan malam bersama. “Kenapa salah?” “Salah karena memulai hubungan yang pernah berakhir.” “Kalau kamu pernah dengar, hubungan lama yang dimulai lagi seperti halnya membaca novel yang sama berulang kali, menurut aku itu hanya sebuah opini. Anggapan yang belum tentu terjadi,” ungkap Aidan. “Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Yang kita bisa hanya memperbaiki hari ini untuk masa depan itu,” tambah Aidan.“Memangnya kamu setuju?” Aidan kini berbalik tanya ke Namira. “Emm.. enggak juga sih,” jawab Namira masih belum yakin akan pendapat itu. Tetapi ia juga tak yakin hubungannya akan lebih baik dari sebelumnya. “Menurutku, semua oran
Setelah malam yang menyebalkan terlewati dengan tidur, kini Namira siap kembali menyongsong pagi untuk bekerja. Pakaiannya sudah rapi. Namira selalu terlihat fashionable dalam setiap hari kerjanya. Baginya, itu adalah salah satu cara menghargai dirinya sendiri juga menambah semangat menjalani kesehariannya yang padat. “Apa ini?” katanya panik ketika menemukan sebuah kotak di depan pintu rumahnya. “Perasaan gue nggak pesan apa pun, kenapa ada paket yang datang?” Namira heran dengan kotak coklat misterius itu. “Ambil nggak ya?” tanya Namira bimbang. “Tapi kalau gue ambil terus isinya bahaya gimana?” Namira dilema. Sudah menunduk untuk mengambil paket itu, tetapi gagal karena pikirannya yang buruk muncul. “Apa mungkin dari Papa dan Mama? Kenapa nggak ada yang kabarin gue kalau mau kirim paket?” Namira terus bertanya-tanya sendiri.“Gue tinggal aja deh. Nanti gue buka pulang kerja,” ucap Namira menyingkirkan kotak coklat itu ke area pinggir pintu rumahnya. “Gue harus cari asisten rumah ta
Aidan meraih tangan Namira, ia menahan sang mantan kekasih agar tidak mendekati Dewangga. “Kenapa datang ke sini? Ada perlu apa lagi?” tanya Aidan seolah Aidan pemilik Namira saat itu. Namira tak menyangka Aidan akan bersikap demikian. Ia pun heran, mengapa tubuhnya memberi respon sesuai permintaan Aidan. Ia berhenti dari langkahnya mendekat ke arah Dewangga dan membiarkan Aidan yang mengambil alih. “Lo siapa? Gue ke sini ada perlu dengan pemilik rumah,” jawab Dewangga tetap ngotot masuk ke dalam rumah Namira. Malam itu, Namira membuka lebar pintu rumahnya, sebab, ia hanya berdua bersama Aidan di ruang tamu. Tak ingin ada pikiran yang buruk, Namira memilih untuk membuka lebar pintu rumahnya.“Namira, kenapa kamu biarkan dia datang ke sini lagi? Kenapa kamu masih terima dia?” Dewangga kecewa karena Namira menerima Aidan dengan baik. Namira hanya menghela napas. Tak memberi jawaban apa pun, padahal Dewangga menanti Namira membuka suara dan memberi penjelasan. “Tunggu!” Aidan menghadang
Dewangga turun dari mobilnya. Ia melihat Namira sedang duduk ditemani oleh Aidan. Ketika Dewangga turun, Namira berusaha menjauh dari Aidan. “Ngapain Namira sama laki-laki itu?” Dewangga kesal meski tak biasa ia utarakan langsung. Kemudian, pintu sebelah kiri mobil Dewangga terbuka. Namira melihat Dewanti turun dari sana. Dewanti terlihat sangat bahagia. “Aku kira kamu sendiri,” batin Namira. Namira langsung mengabaikan rasa tidak enaknya karena sedang berduaan dengan Aidan. Ia mendekat ke arah Aidan dan meminta Aidan untuk membantunya mengobati rasa sakit di kepalanya secara tiba-tiba. Aidan pun terkejut atas sikap Namira barusan. Tanpa basa basi atau pertanyaan lain, Aidan meraih tangan Namira untuk lebih dekat dengannya dan melihat di kepala Namira, apakah ada luka serius.“Sebelah mana yang sakit, Ra? Apa perlu kita ke dokter? Aku takut terjadi sesuatu,” kata Aidan cemas Namira mengeluh sakit pada kepalanya. “Emm, coba tolong kamu periksa,” pinta Namira. Ucapannya mengarah ke Aida