“Aku lebih baik berjuang dan berakhir kecewa daripada harus diam lalu nantinya menyesal,” batin Namira.
Namira berjalan sembari hatinya kacau. Mulutnya memang diam, tetapi hati dan pikirannya terus bertengkar. Pikirannya terlalu berisik, hampir saja ia tidak kuat menahan ramainya isi di kepalanya saat itu.
“Lebih baik pikiranku penuh dengan pekerjaan, daripada dipenuhi kegalauan hubungan seperti ini,” ucapnya sambil masuk ke dalam mobil yang terparkir di depan kantornya.
Waktu istirahat kali ini Namira gunakan untuk bertemu sang kekasih. Menyelesaikan masalah yang mengganggu pikirannya dan merusak konsentrasi bekerja. Namira mengalahkan semua ego.
Suara pintu mobil tertutup sudah terdengar, Namira siap melaju ke kantor sang kekasih. Rasanya saat itu Namira ingin terbang saja. Agar cepat sampai ke tempat tujuan. Lamunan Namira terpecah oleh bunyik klakson di sepanjang jalan. Makan siang sudah dimulai, jalanan dekat kantornya mulai macet karena banyak karyawan yang ingin makan siang di luar kantor.
“Kayak kenal mobil itu,” ujar Namira ketika melihat ke sebuah mobil putih yang tak jauh dari keberadaan mobilnya saat itu. Namira bergegas mengecek plat nomor mobil tersebut. “Aidan. Itu kan mobilnya Aidan,” seru Namira. Namira tidak mungkin salah sangka dengan mobil itu. Ia jelas ingat berapa nomor polisi mobil milik sang kekasih.
“Aku harus kejar!” ujarnya mengikuti mobil tersebut setelah macet mulai memudar. Diperjalanan, Namira terus menerus diberi pertanyaan oleh hatinya. Kemana perginya sang kekasih, dengan siapa ia di sana, dan masih banyak lagi. Tetapi, Namira mencoba untuk tetap tenang agar perjalanannya lancar.
Mobil berwarna putih yang Namira ikuti menambah kecepatannya. Namira pun demikian, ia tidak ingin kehilangan jejak Aidan. “Aidan mau kemana sih?” tanya Namira di dalam mobilnya. Sepanjang jalan, Aidan sudah banyak melewati restoran dan rumah makan, tetapi, sama sekali tidak ada tanda-tanda Aidan berhenti. Namira semakin penasaran dan tidak ingin kehilangan jejak.
“Hotel?” tanya Namira heran. Beberapa menit kemudian, Aidan menyalakan lampu sen mobilnya ke arah kanan. Di kanan jalan ada sebuah hotel yang bisa dibilang mewah. “Mau ngapain Aidan ke sini?” Namira mulai memiliki rasa curiga. “Astaga! Bisa saja Aidan akan meeting!” ucap Namira masih berpikir positif.
Sampai di parkiran mobil, Namira merasa bersalah karena telah menguntit sang kekasih sampai sejauh ini. Rasa percayanya hampir hilang ketika melihat Aidan masuk ke sebuah hotel. Tetapi, rasa bersalah juga muncul dalam waktu bersamaan.
“Harusnya aku nggak boleh seperti ini,” ucapnya di dalam mobil yang sudah terparkir cukup jauh dari mobil Aidan. Meski begitu, Namira masih bisa melihat Aidan dari jarak yang ada. “Huh, apa lebih baik aku pergi saja, ya?” Namira sudah mulai menyerah dengan misi rahasianya ini. “Kalau Aidan meeting dan dia tau aku ada di sini untuk menguntitnya, maka ia bisa marah besar!” katanya kebingungan.
Namira menoleh ke arah mobil Aidan terparkir. Aidan terlihat sudah turun dari mobilnya. Namira menyimpan banyak harapan siang itu. Sayangnya, harapannya pudar begitu saja. Namira tidak jadi menyesal mengikuti Aidan sampai sejauh ini. Seorang perempuan turun dari mobil Aidan. Bahkan Aidan membukakan pintu untuk perempuan itu dengan sangat manis.
“Aidan!” Namira meremas tangannya di atas setir mobil. Emosinya sudah mulai naik. Rasa bersalahnya hilang sejak saat itu. “Siapa dia? Nggak mungkin meeting hanya berdua dengan perempuan di sebuah hotel kayak gini!” ucap Namira kesal. Namira memasang tatapan marahnya. Pandangannya tidak ingin lepas dari Aidan dan perempuan yang Aidan bawa ke hotel itu. “Aku harus cari tahu!” seru Namira sembari membuka pintu mobilnya.
Namira mengenakan kacamata, masker, dan topi. Ia berlari mengejar Aidan dan perempuan yang turun dari mobil Aidan. Namira melangkah lebih lambat dari Aidan yang sudah berjalan lebih dulu di depannya. Awalnya Aidan curiga melihat keberadaan seorang perempuan mengenakan masker, kacamata, dan topi. Namira segera menyibukkan dirinya agar tidak membuat Aidan curiga. Aidan langsung merangkul perempuan asing itu hingga masuk ke dalam lift. “Tunggu!” Namira teriak karena hampir ketinggalan lift bersama Aidan. Hampir saja Namira ketahuan, Aidan menoleh seakan mengenal suara yang baru saja berteriak tunggu.
Namira dan Aidan berada di satu lift yang sama. Hanya ada tiga orang di dalam lift tersebut. Namira, Aidan, dan perempuan asing itu. Hati Namira mulai merasakan sayatan. Bagaimana tidak, kekasihnya merangkul seorang perempuan asing di hadapannya. Suara lift terbuka sudah Namira dengar. Namira ikut turun ketika Aidan dan perempuan asing itu keluar dari lift. Untung menghindari kecurigaan, Namira berbelok ke arah lain. Beberapa langkah dari lift, Namira memilih untuk bersembunyi. Ia ingin memastikan nomor kamar yang Aidan booking.
Baru beberapa detik di dalam kamar, suara pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. Bahkan Aidan masih berada di dekat pintu. Aidan membuka pintu kamarnya karena penasaran siapa yang mengetuk pintu kamar hotelnya. “Aidan!” teriak Namira seraya mendorong kekasihnya itu ke dalam kamar. Namira ikut masuk ke dalam kamar dan mulai melabrak sang kekasih. “Apa yang kamu lakukan di sini bersama perempuan itu?” tanya Namira yang sudah mulai terbakar emosi. “Namira, sejak kapan kamu di sini?” tanya Aidan heran. Namira sudah melepas masker dan segala perintilan lain yang tadi ia kenakan.
“Nggak penting sejak kapan aku di sini. Yang harusnya kau tanyakan, sejak kapan kamu seperti ini? Sudah dari dulu kah?” tanya Namira dengan tatapan yang tajam. “Aku berjuang mati-matian untuk mempertahankan hubungan ini, kamu malah beralih ke wanita lain! Hebat kamu!” teriak Namira lagi. Aidan masih diam, belum membuka suara. “Mba, dibayar berapa kamu sama Aidan?” kini pertanyaan Namira tertuju pada perempuan asing itu. “Namira diam!” bentak Aidan sembari menampar sang kekasih. Namira menahan sakit di pipi juga hatinya.
“Tampar aku lagi, tampar!” teriak Namira lagi. “Diam!” bentak Aidan. Aidan sudah mulai tersulut emosi. “Kamu dari tadi menguntit aku? Ini privasi aku, bisa-bisanya kamu memata-mataiku sejauh ini? Kamu lancang!” bentak Aidan lagi. Aidan tidak merasa bersalah, ia justru balik membentak Namira. “Satu lagi, aku nggak pernah minta kamu berjuang untuk hubungan kita. Hubungan kita udah nggak bisa selamatkan lagi!” ujar Aidan dengan nada lebih rendah.
“Oke kalau itu mau kamu! Kita putus sekarang juga! Aku nggak sudi lagi punya hubungan dengan laki-laki nggak setia dan berkhianat! Kita putus!” teriak Namira sambil mendorong Aidan lagi. Aidan malu diputuskan di depan perempuan asing itu.
Namira berlari keluar dari kamar setelah memaki Aidan di depan perempuan asing itu. Namira sedang memperjuangkan hubungannya yang nyaris kandas, tapi Aidan justru merusak segalanya yang sedang diperbaiki. Namira pun berlari masuk ke dalam lift, dan tidak beberapa lama lift itu terbuka dan seseorang masuk dalam lift tersebut.
“Namira? Kamu kenapa?” tanya seorang laki-laki ketika melihat wajah Namira penuh dengan air mata.
“Pak Dewangga?” ujar Namira, ia benar-benar merasa terkejut karena belum siap menerima pertanyaan dari siapapun. Ia pun Kembali menundukan kepalanya dan tidak berkata apa-apa karena tidak tahu harus berkata seperti apa.“Ada apa dengan kamu, Namira?” tanya seorang laki-laki itu lagi. Namira berusaha menyeka air matanya, meski tak seluruh wajahnya kering, setidaknya ada bagian yang bisa ia hilangkan. Lalu, ia memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan menatap laki-laki yang mengajaknya bicara.Namira seperti tidak percaya di hadapannya ada Dewangga, bos besarnya. “Kamu kenapa Namira? Hidung kamu berdarah!” serunya panik. Mendengar seruan dari Dewangga, Namira ikut panik. Ia tidak mengetahui hidungnya mengalirkan darah. Ternyata sudah ada beberapa tetes darah dari hidungnya yang jatuh ke lantai lift. “Astaga! Ada apa sebenarnya dengan kamu?” tanya Dewangga penuh dengan iba. “Ikut saya sekarang!” pinta Dewangga seraya menarik tangan Namira pelan.Namira tidak bisa menolak permintaa
“Memang rasa sakit harus dihadapi, bukan dihindari. Seperti yang Namira rasakan saat ini.” Siang ini menjadi makan siang yang tidak terlupakan untuk Namira. Bagaimana tidak, ia makan siang di kamar hotel hanya berdua dengan Dewangga. Dewangga yang terkenal dingin dan cuek itu berbuah menjadi manis dan hangat. Bahkan Dewangga juga perhatian kepada Namira, ia membantu Namira menyeka air mata juga darah yang mengalir di hidung Namira. Namun, Namira perlu was-was. Jika ada orang kantor yang mengetahui hal ini, maka Namira dan Dewangga akan menjadi topik hangat untuk mereka. Namira harus berhati-hati. “Astaga! Aku ketiduran!” ucap Namira setelah ia bangun dari tidur singkatnya di sofa kamar hotel. Namira benar-benar merasa bersalah karena sudah mengambil waktu untuk tidur siang. Padahal jam makan siang sudah berlalu sejak tadi. Namira bergegas mencari keberadaan Dewangga. “Pak Dewa?” panggil Namira. Namira berjalan menuju ruang kecil yang ada di samping lemari tadi. “Pak, Pak Dewangga,”
“Memang rasa sakit harus dihadapi, bukan dihindari. Seperti yang Namira rasakan saat ini.”Namira melongo melihat Dewangga yang mempersilakan petugas dari hotel masuk ke dalam kamarnya. Ia merasa canggung, takut ada salah paham yang terjadi setelah ini. Tetapi, wajah Dewangga sama sekali tidak menyimpan perasaan yang sama dengan Namira. Dewangga justru terlihat nyaman dan biasa saja.“Tolong disiapkan makanannya di sini ya, mba!” perintah Dewangga kepada petugas yang baru saja masuk ke dalam kamar hotelnya.“Baik, pak,” jawab mba-mba itu.Namira duduk di ujung ranjang. Bingung harus bersikap seperti apa. Jika ada satu kata yang salah saja dari mulutnya, ia takut menjadi berita di luar sana. Apalagi Dewangga adalah salah satu pengusaha sukses yang dikenal oleh banyak orang. Mungkin salah satunya adalah mba-mba hotel ini.“Gue harus gimana ini? Nggak mungkin gue duduk diem di ranjang seperti ini,” batin Namira.Namira menggigit bawah bibirnya, berpikir keras agar tidak diam saja seperti
“Jika masih ada yang bisa diperbaiki, mengapa harus memaksa pergi. Bukankah masalah ada untuk diselesaikan, bukan ditinggalkan?”Aidan masih berada di kamar 211. Setelah pertikaian dengan Namira tadi, Aidan belum juga keluar dari kamar itu. Ia masih tidak terima Namira bisa menemukannya bersama wanita lain. Apalagi wanita itu juga tidak ia kenali.“Mas, bagaimana kelanjutannya ini?” tanya perempuan itu kepada Aidan.Aidan menoleh ke arahnya. Ia tak langsung memberi jawaban. Wajah Aidan terlihat masih panik dan gelisah. Sedangkan, perempuan itu tidak bisa diam lama dengan suasana yang canggung di dalam kamar.“Kelanjutan apanya?” tanya Aidan.Perempuan itu pun berjalan menghampiri Aidan. Ia melepas bolero yang ia kenakan. Sementara itu Aidan sama sekali belum tertarik untuk melihatnya. Pikiran Aidan masih terjebak dengan perdebatan hebat dengan Namira.“Mas,” panggil perempuan itu seraya mengelus pundak sebelah kiri Aidan.Tangan Aidan langsung menghindar.“Maaf gue belum mau diganggu,
Keadaan patah hati, membuat hari berganti secara perlahan. Pikiran Namira masih kacau. Hatinya pun masih berantakan. Kejadian itu tidak bisa hilang begitu saja. “Ahh, kenapa gue bisa sebodoh ini!” ucap Namira di dalam mobil.Namira enggan menceritakan hal ini kepada orangtuanya, sebab, ia tidak ingin masalahnya akan menjadi lebih panjang dan rumit. Namira dan Aidan sudah menjalin hubungan cukup lama. Mama dan Papa Namira sudah mengenal Aidan, bahkan sudah memberikan restu karena Aidan selalu bersikap baik di depan Mama dan Papa Namira. Sayangnya, semua itu tak cukup untuk mempertahankan hubungan Aidan dan Namira.Posisi Namira sangat berbeda dengan Aidan. Namira justru tidak mendapat restu dari Mama dan Papa Aidan. Entah alasan apa, yang jelas orangtua Aidan tidak menyetujui hubungan mereka berjalan lebih serius. Hal inilah yang membuat Aidan ingin menyerah saja dan meninggalkan Namira. Tapi itu tidak berlaku bagi Namira. Ia masih ingin memperjuangkan hubungannya dengan Aidan. Tidak m
Namira dan Nimas masih berada di parkiran mobil kantornya. Nimas tetap ingin Namira menceritakan tentang kisah Namira beberapa hari ini saat itu juga. Meski ia melihat sahabatnya itu sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Terutama emosinya. “Gue nggak mau tau, pokoknya Lo harus cerita sama gue sekarang juga!” ujar Nimas. Namira diam saja, ia tidak membalas kalimat Nimas sama sekali. Namira menahan segala emosi bercampur kehancuran yang ia rasakan pagi itu. “Gue bener-bener nggak nyangka kisah cinta gue akan setragis ini,” ucap Namira. Mendengar ungkapan Namira, Nimas syok. “Makanya cerita!” teriak Nimas tidak sabar. “Hancur gue, Nim. Padahal gue tulis,” ucap Namira dengan tatapan kosong.“Ke pantry aja, yuk!” ajak Nimas karena ingin segera mendengar cerita dari sahabatnya itu. Tangannya sudah menarik tangan Namira dan segera menuju ke tempat yang baru saja ia sebutkan. Sayangnya, Nimas terlambat beberapa detik. Dewangga tiba-tiba saja sudah berada di belakang mereka. Nimas ya
Aidan mulai resah setelah hubungannya dengan Namira kandas. Berakhirnya hubungan mereka pun tidak baik-baik saja. Aidan kepergok selingkuh dengan perempuan lain, bahkan perempuan itu asing bagi Aidan. Rasa bersalah mulai bermunculan di hati Aidan. Meski sebenarnya Aidan sangat gengsi untuk mengetahui rasa bersalah itu. “Ah, gue nggak boleh merasa bersalah. Yang mutusin hubungan ini bukan gue, tapi Namira,” batinnya ketika berada di depan laptop di ruang kerjanya. Fokus dalam pekerjaannya pun mulai menurun. Banyak sekali hal lain yang berdatangan dan ingin sekali menjadi prioritas di pikiran Aidan. “Kenapa, Lo? Diem aja! Makan, yuk!” ajak salah satu teman kantor Aidan. Aidan terkejut karena teman kantornya itu menepuk bahunya.“Hei, bikin kaget aja, Lo!” protes Aidan. “Lagian Lo bengong aja, sih. Ada apa?” tanyanya ingin tahu. Aidan diam dan menutup laptopnya. Ia tidak menjawab dengan spesifik. Tetapi, dari napas yang baru saja ia embuskan membuat orang lain tau jika Aidan sedang tidak
Namira Yuna, gadis yang biasa ceria dan banyak bicara sekarang sedang bungkam dan tidak ingin berinteraksi dengan banyak orang. Sifatnya banyak disenangi oleh teman dan orang sekitarnya. Namun, beberapa hari belakangan ini, Namira justru menjadi sebaliknya. Ia menjadi gadis pendiam, suka murung, dan menjadi salah satu penggemar kata galau. Namira tak jarang menangis jika teringat akan kesedihan yang sedang menimpa dirinya. Waktu hampir 10 tahun bukanlah waktu yang singkat. Kebersamaan yang ia jalani bersama Aidan sangatlah berarti dan membekas dikehidupan Namira. Tetapi, sekarang ia harus terbiasa tanpa hal itu lagi. Masing-masing adalah keputusan terbaik untuk hubungan mereka berdua. Sebab, Namira sangat menjunjung tinggi kesetiaan.“Dulu gue pasti yakin kalau suatu saat gue balik lagi sama Aidan. Putus hanya masalah waktu. Tapi sekarang? Nggak mungkin gue kembali setelah dikhianati,” ujarnya di depan cermin kamar. Namira sedang bersiap untuk pergi ke kantor pagi ini. Walaupun sebena
Para pegawai Dewangga kini kembali menjalani rutinitas seperti biasanya. Meski telah dihadang oleh berbagai pekerjaan yang menumpuk di meja kerja masing-masing, suasana hati mereka tetap masih terbawa ceria. Hasil dari staycation tiba-tiba yang diadakan oleh Dewanti. Meski sedikit lancang karena tak minta persetujuan dari Dewangga, Dewanti ternyata berhasil membahagiakan pekerja di kantor Dewangga. Hati Dewanti semakin besar. Ia merasa dirinya akan memenangkan hati semua orang. “Seru banget ya, kemarin! Andai aja tiap bulan ada staycation, kita pasti bakal betah kerja di sini. Walaupun lembur, banyak kerjaan, sering kena marah, tapi kalau ada acara kayak kemarin sih gue betah,” celetuk Ailin dengan geng gosipnya itu. Nimas datang mendengar ocehan Ailin yang cukup kencang hingga bisa didengar meski belum sampai ke meja kerjanya.“Pagi, Nimas!” sapa Ailin iseng mendekati Nimas. Wajah Ailin tidak mencerminkan keceriaan sama sekali. Wajahnya lecek seperti pakaian yang masih kusut karena b
“Semua itu karena kesalahan Papa Dewangga. Beliau yang membuat perusahaan Dewangga hancur.” Anggara menceritakan bagaimana perjalanan kehidupan Dewangga sebelum hadirnya Namira. Dewangga sudah berjuang sejak lama. Namun, keringatnya tak ada yang melihat. Semua menilai bahwa Dewangga hanya mampu seperti sekarang. “Apa yang membuat hutang?” Namira bertanya terus dengan detail. Ia ingin tahu lebih dalam lagi tentang seseorang yang saat itu masih bertengger di hatinya. “Hutang,” jawab Anggara lalu menoleh ke arah Namira seolah memberi garis bawah. “Jadi...” “Iya, pertengkaran Dewangga dan Papanya bermula dari hutang perusahaan. Dewangga sudah susah payah membangun perusahaan itu, tetapi, Papanya justru menghancurkan sekejap dengan hutang yang menumpuk,” jelas Anggara lagi. “Kepergian dan Dewangga bukan tanpa alasan. Tapi, karena dengan hal itu Dewangga bisa damai dengan keadaan.”Selama ini diamnya Dewangga menyimpan banyak sekali luka. Dingin sikapnya melampiaskan segala kecewa yang seja
Akhir pekan ajaib bagi para pegawai kantor Dewangga. Untuk pertama kalinya, mereka bisa merasakan liburan bersama tanpa harus pusing dengan biaya atau pun lainnya. Mereka datang dengan outfit terbaik masing-masing. “Pasti bakalan seru banget!” celetuk Ailin dengan penampilannya yang begitu mencolok. Ailin juga geng gosipnya turun dari mobil, masuk ke villa yang sudah Dewanti sewa untuk liburan pegawai kantor calon suaminya. “Nanti fotoin gue disetiap sudut villa, ya!” pinta Ailin kepada salah satu temannya. Temannya hanya mengangguk lalu terus berjalan, karena sudah tidak sabar mengetahui isi di dalam villa. “Hai semua!” sapa Dewanti. Ia bersama Dewangga dan Anggara sudah lebih dulu sampai di villa. “Hai!” balas karyawan yang baru saja sampai di villa.Tangan Dewanti terlihat menggandeng Dewangga. Karena merasa tidak nyaman, Dewangga berusaha melepas gandengan tangan itu. Ada seseorang yang Dewangga cari, dari tatapan juga gerak tubuhnya menandakan ia sedang menanti. “Sudah datang sem
“Ada yang luka?” Namira masuk membawa setumpuk berkas. Tetapi, hal pertama yang ia tanyakan bukanlah tentang pekerjaan. Namira dan Dewangga hanya bisa saling menatap. Banyak sekali perasaan yang ingin mereka tumpahkan satu sama lain. Sayangnya, saat itu waktu dan keadaannya nya tak mendukung mereka menyuarakan isi hati masing-masing. “Ada apa, Namira?” Dewangga memulai obrolan setelah keheningan yang panjang. “Ada beberapa berkas yang harus diperiksa juga ditandangani,” jawab Namira lalu ia duduk di depan meja kerja Dewangga. Dewangga masih tidak percaya Namira masuk ke ruangannya ketika ia sedang menjadi sosok tak waras karena cinta. “Bukan itu. Tadi apa yang kamu tanya saat pertama masuk ke ruangan saya?” Dewangga ingin mendengar lagi pertanyaan dari Namira tadi. Rasanya ada secuil perhatian dari Namira untuk Dewangga.Tangan Dewangga merah. Rasa sakitnya tak ia hiraukan. Biar mengalir begitu saja. “Apa ada yang luka?” Namira mengulang sesuai permintaan Dewangga. “Sejak kapan kamu a
“Bapak sengaja mau mencelakai saya? Apa Bapak belum puas sudah melukai perasaan saya?” pertanyaan yang sungguh menggores lubuk hati. “Saya salah apa, Pak? Bapak tega sekali melakukan ini kepada saya,” sambung Namira. “Namira, tenang dulu. Saya bisa jelaskan semuanya. Kamu salah paham,” pinta Dewangga, ingin mendekat ke arah Namira tetapi Namira menolak. “Tolong tetap di situ saja,” perintah Namira untuk Dewangga yang hampir berpindah tempat ke samping Namira. “Saya tahu kejadian itu, tapi bukan berarti saya yang melakukan itu, Namira. Saya nggak mungkin tega melukai orang yang saya cintai,” jelas Dewangga yang tak mau didengar oleh Namira. “Lalu apa?” “Saya mengutus seorang menjadi mata-mata saya,” aku Dewangga semakin membuat Namira tak habis pikir.“Untuk apa?” Namira duduk, mencoba tidak membesarkan masalah yang sebenarnya menurut Namira ini adalah masalah besar. “Untuk jagain kamu,” jawab Dewangga. Suara ketukan pintu terdengar dari dalam. Namira panik. Dewangga langsung mendekat
Hubungan yang sudah diselesaikan ternyata bukan berarti berakhir. Seperti hubungan Namira dan Aidan yang kembali terjalin. Mungkin masih ada sisa rasa yang dulu mereka miliki, atau hanya sekedar ingin mengulang lembar yang tak mereka temukan pada orang lain. “Kita salah nggak sih?” tanya Namira disuatu malam ketika Namira dan Aidan sedang makan malam bersama. “Kenapa salah?” “Salah karena memulai hubungan yang pernah berakhir.” “Kalau kamu pernah dengar, hubungan lama yang dimulai lagi seperti halnya membaca novel yang sama berulang kali, menurut aku itu hanya sebuah opini. Anggapan yang belum tentu terjadi,” ungkap Aidan. “Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Yang kita bisa hanya memperbaiki hari ini untuk masa depan itu,” tambah Aidan.“Memangnya kamu setuju?” Aidan kini berbalik tanya ke Namira. “Emm.. enggak juga sih,” jawab Namira masih belum yakin akan pendapat itu. Tetapi ia juga tak yakin hubungannya akan lebih baik dari sebelumnya. “Menurutku, semua oran
Setelah malam yang menyebalkan terlewati dengan tidur, kini Namira siap kembali menyongsong pagi untuk bekerja. Pakaiannya sudah rapi. Namira selalu terlihat fashionable dalam setiap hari kerjanya. Baginya, itu adalah salah satu cara menghargai dirinya sendiri juga menambah semangat menjalani kesehariannya yang padat. “Apa ini?” katanya panik ketika menemukan sebuah kotak di depan pintu rumahnya. “Perasaan gue nggak pesan apa pun, kenapa ada paket yang datang?” Namira heran dengan kotak coklat misterius itu. “Ambil nggak ya?” tanya Namira bimbang. “Tapi kalau gue ambil terus isinya bahaya gimana?” Namira dilema. Sudah menunduk untuk mengambil paket itu, tetapi gagal karena pikirannya yang buruk muncul. “Apa mungkin dari Papa dan Mama? Kenapa nggak ada yang kabarin gue kalau mau kirim paket?” Namira terus bertanya-tanya sendiri.“Gue tinggal aja deh. Nanti gue buka pulang kerja,” ucap Namira menyingkirkan kotak coklat itu ke area pinggir pintu rumahnya. “Gue harus cari asisten rumah ta
Aidan meraih tangan Namira, ia menahan sang mantan kekasih agar tidak mendekati Dewangga. “Kenapa datang ke sini? Ada perlu apa lagi?” tanya Aidan seolah Aidan pemilik Namira saat itu. Namira tak menyangka Aidan akan bersikap demikian. Ia pun heran, mengapa tubuhnya memberi respon sesuai permintaan Aidan. Ia berhenti dari langkahnya mendekat ke arah Dewangga dan membiarkan Aidan yang mengambil alih. “Lo siapa? Gue ke sini ada perlu dengan pemilik rumah,” jawab Dewangga tetap ngotot masuk ke dalam rumah Namira. Malam itu, Namira membuka lebar pintu rumahnya, sebab, ia hanya berdua bersama Aidan di ruang tamu. Tak ingin ada pikiran yang buruk, Namira memilih untuk membuka lebar pintu rumahnya.“Namira, kenapa kamu biarkan dia datang ke sini lagi? Kenapa kamu masih terima dia?” Dewangga kecewa karena Namira menerima Aidan dengan baik. Namira hanya menghela napas. Tak memberi jawaban apa pun, padahal Dewangga menanti Namira membuka suara dan memberi penjelasan. “Tunggu!” Aidan menghadang
Dewangga turun dari mobilnya. Ia melihat Namira sedang duduk ditemani oleh Aidan. Ketika Dewangga turun, Namira berusaha menjauh dari Aidan. “Ngapain Namira sama laki-laki itu?” Dewangga kesal meski tak biasa ia utarakan langsung. Kemudian, pintu sebelah kiri mobil Dewangga terbuka. Namira melihat Dewanti turun dari sana. Dewanti terlihat sangat bahagia. “Aku kira kamu sendiri,” batin Namira. Namira langsung mengabaikan rasa tidak enaknya karena sedang berduaan dengan Aidan. Ia mendekat ke arah Aidan dan meminta Aidan untuk membantunya mengobati rasa sakit di kepalanya secara tiba-tiba. Aidan pun terkejut atas sikap Namira barusan. Tanpa basa basi atau pertanyaan lain, Aidan meraih tangan Namira untuk lebih dekat dengannya dan melihat di kepala Namira, apakah ada luka serius.“Sebelah mana yang sakit, Ra? Apa perlu kita ke dokter? Aku takut terjadi sesuatu,” kata Aidan cemas Namira mengeluh sakit pada kepalanya. “Emm, coba tolong kamu periksa,” pinta Namira. Ucapannya mengarah ke Aida