“Jika masih ada yang bisa diperbaiki, mengapa harus memaksa pergi. Bukankah masalah ada untuk diselesaikan, bukan ditinggalkan?”
Aidan masih berada di kamar 211. Setelah pertikaian dengan Namira tadi, Aidan belum juga keluar dari kamar itu. Ia masih tidak terima Namira bisa menemukannya bersama wanita lain. Apalagi wanita itu juga tidak ia kenali.
“Mas, bagaimana kelanjutannya ini?” tanya perempuan itu kepada Aidan.
Aidan menoleh ke arahnya. Ia tak langsung memberi jawaban. Wajah Aidan terlihat masih panik dan gelisah. Sedangkan, perempuan itu tidak bisa diam lama dengan suasana yang canggung di dalam kamar.
“Kelanjutan apanya?” tanya Aidan.
Perempuan itu pun berjalan menghampiri Aidan. Ia melepas bolero yang ia kenakan. Sementara itu Aidan sama sekali belum tertarik untuk melihatnya. Pikiran Aidan masih terjebak dengan perdebatan hebat dengan Namira.
“Mas,” panggil perempuan itu seraya mengelus pundak sebelah kiri Aidan.
Tangan Aidan langsung menghindar.
“Maaf gue belum mau diganggu,” ujar Aidan tanpa melihat ke arah perempuan itu.
Perempuan yang Aidan bawa lumayan kesal dengan tingkah Aidan. Ia segera mencari cara supaya Aidan bisa menengok ke arahnya.
“Mas, sudahlah yang sudah terjadi biarlah berlalu. Sekarang, tinggal kita jalani apa yang sedang ada di depan kita,” ucap perempuan itu kepada Aidan.
Perempuan itu sudah berbaring di ranjang kamar 211. Ia bersandar dan sedikit menggoda Aidan supaya Aidan mau menghampirinya.
“Buat apa memikirkan yang sudah terjadi? Semua tidak akan berubah. Jalani saja yang ada di depan mata. Tidak pernah ada kesempatan kedua,” ujar perempuan itu kembali.
Aidan sudah mulai menoleh ke arah perempuan yang ia bawa ke kamar. Napasnya mulai teratur. Aidan menatap perempuan itu sejenak. Lalu, ia mulai melangkah ke arah ranjang.
Perempuan di ranjang itu terlihat senang melihat Aidan mulai bergerak mendekat. Ia merasa Aidan sudah mulai terpengaruh dengan semua kalimatnya. Senyumannya terlihat jelas di wajahnya. Senyuman tanda kemenangan.
Aidan berhenti setelah berjalan beberapa langkah. Ia masih berpikir dua kali untuk melakukan hal yang sebenarnya sudah ia pikirkan sebelumnya bertemu dengan Namira. Tetapi, setelah Namira datang dan memecah rencananya, Aidan menjadi ragu. Langkahnya penuh akan ketakutan dan rasa bersalah. Namun hatinya mencoba untuk melawan semua yang sedang ia rasakan.
“Gue juga boleh bahagia. Gue boleh melakukan apapun yang gue mau!” batin Aidan.
Aidan kembali mundur, ia menatap ke arah luar kamar lagi. Pikirannya sedang benar-benar kacau. Dilema hebat mulai menghampirinya.
Bagi Aidan, hubungannya dengan Namira sudah tidak bisa diselamatkan. Mereka sudah selayaknya berpisah. Tak perlu berjuang jika pada akhirnya akan menjadi sebuah kenangan. Entah kenangan yang manis suatu saat nanti, atau kenangan menyakitkan.
“Kalau memang tidak bisa diperbaiki, lebih baik pergi. Daripada menunda perpisahan yang berujung lebih menyakitkan,” ujar perempuan itu lagi kepada Aidan.
Aidan menengok ke arahnya. Ia kembali berjalan menuju ranjang. Kali ini langkahnya mulai yakin. Sepertinya Aidan sudah bisa memilih.
**
Namira menemukan selembar surat di meja yang ada di kamar hotel Dewangga. Ia mengambil surat itu lalu, membaca isi pesan yang bosnya tulis.
Namira, maaf saya pergi dulu. Tadi saya melihat kamu tidur sangat nyenyak dan nyaman. Saya tidak tega membangunkanmu. Jadi, saya biarkan kamu tidur pulas di sofa kamar saya. Kalau kamu mau keluar, silakan bawa kartu yang ada di meja bersebelahan dengan kertas ini.
Namira merasa malu sekali. Bukannya kerja yang bagus, ia malah tertidur di kamar hotel bosnya sendiri.
“Mau taruh dimana muka gue?” Namira kembali menepuk keningnya. Ia menyesal karena tadi memilih duduk di sofa ketika menunggu bosnya berganti pakaian.
“Gue balik sekarang aja, deh!”
Namira buru-buru pergi dari kamar hotel bosnya. Tak lupa ia membawa kartu akses masuk agar ia bisa keluar dengan mudah.
“Huh, ini sudah jam 3 sore. Bilang apa gue sama orang-oranh kantor baru aja balik dari makan siang,” ucap Namira lirih saat berada di lift seorang diri.
Saat sedang panik dan gelisah, tiba-tiba pintu lift terbuka. Harapan Namira pupus untuk berada di dalam lift sendirian. Namira takut ada orang yang dikenal, kemudian memergoki ia baru keluar dari hotel itu.
“Siapa nih yang masuk,” batin Namira gelisah.
Sepatu seorang laki-laki mulai terlihat di depan Namira. Namira masih enggan menoleh ke atas, ia tetap menunduk. Namira takut melihat seseorang yang ia kenal.
“Kamu belum pergi?” tanya laki-laki itu.
Jantung Namira memacu kencang. Suara itu tidaklah asing bagi Namira. Ia pun memutuskan menegakkan kepalanya dan melihat siapa orang yang ada di hadapannya.
“Aidan?” panggil Namira.
Baru saja Namira keringkan air mata yang membanjiri pipinya. Beberapa saat kemudian ia harus kembali berhadapan dengan lelaki penyebab air matanya mengalir deras.
“Kamu ngapain masih di sini? Jangan-jangan kamu.....”
“Sudah puas kamu sama perempuan itu?” tanya Namira tanpa mempedulikan pertanyaan dari Aidan sebelumnya.
“Puas apa, hah? Jangan nuduh sembarangan, ya!” sahut Aidan kesal.
Namira tersenyum sinis. Kekasih hati yang dulu menghiasi harinya, kini telah menghancurkan hatinya berkeping-keping.
“Aidan, jangan pura-pura deh. Orang lain juga bisa menilai. Kenapa laki-laki bawa perempuan ke dalam kamar hotel. Apalagi perempuan itu nggak dia kenal!” ujar Namira menahan tangis.
Bunyi lift sudah terdengar. Namira dan Aidan keluar dari lift itu, karena mereka sudah sampai di lantai dasar.
“Kamu ngapain ke lantai ini? Bukannya mobil kamu di basemen?” tanya Aidan mulai curiga.
Namira mematung satu detik. Ia mencerna pertanyaan dari Aidan.
“Iya, ya. Kenapa gue malah ke sini?” tanya Namira dalam hati.
“Oh jadi maling teriak maling ya, kamu!” ucap Aidan mengundang emosi Namira.
“Aidan!” Namira teriak sembari menahan tangis kesalnya.
“Apa? Kamu ke sini juga sama laki-laki lain, kan? Astaga, baru sadar aku ternyata di sini yang perusak hubungan itu kamu bukan aku!” ucap Aidan sambil menunjuk Namira tepat di depan keningnya.
Namira tak kuasa menahan air mata. Padahal sudah sekuat tenaga ia tahan agar tidak mengalir lagi.
“Aidan, jelas-jelas yang pengkhianat itu kamu bukan aku. Tapi kamu masih bisa balikin fakta?” balas Namira.
Namira dan Aidan terlibat perdebatan lagi. Namira menarik tangan Aidan agar mereka tidak berdebat di tengah lobby.
“Namira, lepasin!”
“Ikut aku!” sahut Namira.
Namira membawa Aidan ke tempat yang cukup sepi, tak banyak pengunjung yang berlalu lalang di sana.
“Aidan, aku ke sini hanya untuk menemui kamu. Aku nggak pergi bersama laki-laki lain, aku bukan pengkhianat seperti kamu!”
“Oh ya? Aku nggak percaya. Kalau kamu hanya menemui aku, lalu kenapa kamu masih ada di sini sampa sesore ini?” cerca Aidan.
“Niat aku tadi untuk memperbaiki dan menyelesaikan masalah kita. Aku nggak nyangka kejadiannya akan seperti ini,” ujar Namira.
“Kenapa sih kamu nggak mau ngaku aja? Jelas-jelas udah terbukti di kamar 211 kamu bersama perempuan lain, Aidan!” ungkap Namira lagi.
“Namira, dengar baik-baik. Hubungan kita sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Kita tidak dapat restu, terus bertengkar, dan yang jelas tidak pernah menemukan solusi dari setiap masalah. Jadi, wajar kalau aku sudah menemukan pengganti kamu!” jawab Aidan.
Aidan meninggalkan Namira sendiri di sana. Ia ingin melanjutkan apa yang sudah ia rencana sebelum bertemu lagi dengan Namira di lift.
“Aidan...”
Namira masih menangis.
“Aku masih belum terima sama semua ini, Aidan,” ucap Namira di dalam gedung paling ujung.
Keadaan patah hati, membuat hari berganti secara perlahan. Pikiran Namira masih kacau. Hatinya pun masih berantakan. Kejadian itu tidak bisa hilang begitu saja. “Ahh, kenapa gue bisa sebodoh ini!” ucap Namira di dalam mobil.Namira enggan menceritakan hal ini kepada orangtuanya, sebab, ia tidak ingin masalahnya akan menjadi lebih panjang dan rumit. Namira dan Aidan sudah menjalin hubungan cukup lama. Mama dan Papa Namira sudah mengenal Aidan, bahkan sudah memberikan restu karena Aidan selalu bersikap baik di depan Mama dan Papa Namira. Sayangnya, semua itu tak cukup untuk mempertahankan hubungan Aidan dan Namira.Posisi Namira sangat berbeda dengan Aidan. Namira justru tidak mendapat restu dari Mama dan Papa Aidan. Entah alasan apa, yang jelas orangtua Aidan tidak menyetujui hubungan mereka berjalan lebih serius. Hal inilah yang membuat Aidan ingin menyerah saja dan meninggalkan Namira. Tapi itu tidak berlaku bagi Namira. Ia masih ingin memperjuangkan hubungannya dengan Aidan. Tidak m
Namira dan Nimas masih berada di parkiran mobil kantornya. Nimas tetap ingin Namira menceritakan tentang kisah Namira beberapa hari ini saat itu juga. Meski ia melihat sahabatnya itu sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Terutama emosinya. “Gue nggak mau tau, pokoknya Lo harus cerita sama gue sekarang juga!” ujar Nimas. Namira diam saja, ia tidak membalas kalimat Nimas sama sekali. Namira menahan segala emosi bercampur kehancuran yang ia rasakan pagi itu. “Gue bener-bener nggak nyangka kisah cinta gue akan setragis ini,” ucap Namira. Mendengar ungkapan Namira, Nimas syok. “Makanya cerita!” teriak Nimas tidak sabar. “Hancur gue, Nim. Padahal gue tulis,” ucap Namira dengan tatapan kosong.“Ke pantry aja, yuk!” ajak Nimas karena ingin segera mendengar cerita dari sahabatnya itu. Tangannya sudah menarik tangan Namira dan segera menuju ke tempat yang baru saja ia sebutkan. Sayangnya, Nimas terlambat beberapa detik. Dewangga tiba-tiba saja sudah berada di belakang mereka. Nimas ya
Aidan mulai resah setelah hubungannya dengan Namira kandas. Berakhirnya hubungan mereka pun tidak baik-baik saja. Aidan kepergok selingkuh dengan perempuan lain, bahkan perempuan itu asing bagi Aidan. Rasa bersalah mulai bermunculan di hati Aidan. Meski sebenarnya Aidan sangat gengsi untuk mengetahui rasa bersalah itu. “Ah, gue nggak boleh merasa bersalah. Yang mutusin hubungan ini bukan gue, tapi Namira,” batinnya ketika berada di depan laptop di ruang kerjanya. Fokus dalam pekerjaannya pun mulai menurun. Banyak sekali hal lain yang berdatangan dan ingin sekali menjadi prioritas di pikiran Aidan. “Kenapa, Lo? Diem aja! Makan, yuk!” ajak salah satu teman kantor Aidan. Aidan terkejut karena teman kantornya itu menepuk bahunya.“Hei, bikin kaget aja, Lo!” protes Aidan. “Lagian Lo bengong aja, sih. Ada apa?” tanyanya ingin tahu. Aidan diam dan menutup laptopnya. Ia tidak menjawab dengan spesifik. Tetapi, dari napas yang baru saja ia embuskan membuat orang lain tau jika Aidan sedang tidak
Namira Yuna, gadis yang biasa ceria dan banyak bicara sekarang sedang bungkam dan tidak ingin berinteraksi dengan banyak orang. Sifatnya banyak disenangi oleh teman dan orang sekitarnya. Namun, beberapa hari belakangan ini, Namira justru menjadi sebaliknya. Ia menjadi gadis pendiam, suka murung, dan menjadi salah satu penggemar kata galau. Namira tak jarang menangis jika teringat akan kesedihan yang sedang menimpa dirinya. Waktu hampir 10 tahun bukanlah waktu yang singkat. Kebersamaan yang ia jalani bersama Aidan sangatlah berarti dan membekas dikehidupan Namira. Tetapi, sekarang ia harus terbiasa tanpa hal itu lagi. Masing-masing adalah keputusan terbaik untuk hubungan mereka berdua. Sebab, Namira sangat menjunjung tinggi kesetiaan.“Dulu gue pasti yakin kalau suatu saat gue balik lagi sama Aidan. Putus hanya masalah waktu. Tapi sekarang? Nggak mungkin gue kembali setelah dikhianati,” ujarnya di depan cermin kamar. Namira sedang bersiap untuk pergi ke kantor pagi ini. Walaupun sebena
“Hai, Kak! Maaf ya aku tiba-tiba kebelet,” ucap Laras berlari kecil kembali lagi ke ruang kerjanya. Laras sedikit heran karena Namira menatap ponselnya yang ada di meja kerja juga ponsel milik Namira sendiri. “Kak? Kak Namira?” panggil Laras karena Namira tidak memberikan respon apapun. Laras menepuk bahu Namira, meski tidak kencang Namira tetap merasakannya. Ia cukup terkejut ketika melihat Laras sudah kembali dan kini berada di belakangnya. “Eh Laras!” seru Namira. “Ada apa, Kak?” tanya Laras pelan-pelan. Ia ingin tahu apa yang sedang Namira alami, tetapi ada rasa sungkan juga. Takut jika Namira merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang Laras ajukan. “Oh enggak! Nggak papa,” jawab Namira menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya.“Astaga! Ada telepon,” ucap Laras ketika melihat layar ponselnya kembali menyala karena ada panggilan dari Aidan lagi. “Kak, boleh izin jawab teleponnya dulu?” tanya Laras. Namira dilema, antara ingin mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, namun juga
Hari ini, hari Namira sudah dibooking oleh kesibukan. Banyak sekali jadwal Dewangga yang harus selesai hari ini juga. Meeting, pertemuan dengan rekan bisnis, teman, sampai kunjungan ke kantor lain. Namira telah menyiapkan tenaga sedari malam. Ia tidak ingin pagi hari kehilangan mood dan membuat pekerjaannya semua jadi terbengkalai. Dewangga pasti akan kecewa, pun semua yang sudah ia susun rapi pasti akan berantakan juga. “Gue harus dandan yang rapi, cantik, supaya suasana hati gue jadi lebih baik,” ucap Namira ketika sedang bersiap menuju ke kantor. Senyumnya sudah menunjukkan jika semua sudah cukup. Namira terlihat senang dengan dandanannya pagi ini. Tak butuh waktu lama, Namira langsung bergegas pergi ke kantor. Sebab, hari ini dimulai dengan sangat pagi. Pastinya akan berakhir sangat malam pula.“Namira, kamu sudah siap? Sudah jalan ke kantor?” Dewangga telepon Namira dan menanyakan keberadaan Namira saat itu. Namira pun segera menjawab telepon dari bosnya. Sebab, ia tidak ingin ad
Namira dan Dewangga tidak bergerak sama sekali. Mereka masih terkejut dengan kejadian yang barusan mereka alami. Namira jatuh ke pangkuan Dewangga. Sedangkan posisi mereka ada di dalam kamar hotel. Rasa takut dan canggung segera memburu Namira. Ia merasa bersalah karena tidak berhati-hati dan tak sekuat tenaga menahan badannya. “Ma-maaf, Pak,” Namira buka suara setelah berhasil berdiri dari pangkuan Dewangga. Dewangga sempat membantu Namira karena ia tidak ingin membuat Namira semakin menjauh darinya. “Sstt, sudah ini bukan salah kamu,” jawab Dewangga. Namira membuang pandangannya dari Dewangga. Ia merasa salah tingkah dan mati gaya. “Astaga, kenapa harus ada adegan seperti ini, sih! Gue kan jadi malu!” batin Namira kesal.“Kamu tunggu di sini, ya! Saya mau ganti baju,” pinta Dewangga kepada Namira. Namira hanya mengangguk tanpa memberi jawaban lain. Dewangga membawa setelan jas yang baru saja Namira berikan kepadanya. Setelan jas pertama yang akan ia pakai untuk meeting pagi ini. “Na
Berpapasan dengan masa lalu adalah hal yang tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Apalagi perpisahannya merupakan keputusan yang menyakitkan. Entah karena keegoisan, pengkhianatan, atau mungkin lainnya. Itulah yang sekarang sedang dialami oleh Namira. Namira berangkat ke kantor bersama bosnya. Mobilnya ditinggal di hotel Dewangga. Semua ini merupakan permintaan dari Dewangga. Karena tidak punya banyak alasan kuat, Namira pun menuruti permintaan dari Dewangga. Mereka berangkat bersama menggunakan mobil Dewangga. Sayangnya, pagi itu menjadi salah satu pagi menyebalkan bagi Namira. “Aidan?” batin Namira ketika terkejut melihat mantan kekasihnya itu mengantar Laras ke kantor. “Sudah sedekat ini mereka,” Namira masih terus membatin. “Kenapa harus ada aku di sini, sih?” Namira kesal harus melihat kebersamaan Aidan dan Laras.Dewangga telah menemukan tempat parkir yang tepat untuk mobilnya. Sebab, ia tidak akan lama memarkir mobilnya di sana. Sebentar lagi Dewangga dan Namira akan meeting
Para pegawai Dewangga kini kembali menjalani rutinitas seperti biasanya. Meski telah dihadang oleh berbagai pekerjaan yang menumpuk di meja kerja masing-masing, suasana hati mereka tetap masih terbawa ceria. Hasil dari staycation tiba-tiba yang diadakan oleh Dewanti. Meski sedikit lancang karena tak minta persetujuan dari Dewangga, Dewanti ternyata berhasil membahagiakan pekerja di kantor Dewangga. Hati Dewanti semakin besar. Ia merasa dirinya akan memenangkan hati semua orang. “Seru banget ya, kemarin! Andai aja tiap bulan ada staycation, kita pasti bakal betah kerja di sini. Walaupun lembur, banyak kerjaan, sering kena marah, tapi kalau ada acara kayak kemarin sih gue betah,” celetuk Ailin dengan geng gosipnya itu. Nimas datang mendengar ocehan Ailin yang cukup kencang hingga bisa didengar meski belum sampai ke meja kerjanya.“Pagi, Nimas!” sapa Ailin iseng mendekati Nimas. Wajah Ailin tidak mencerminkan keceriaan sama sekali. Wajahnya lecek seperti pakaian yang masih kusut karena b
“Semua itu karena kesalahan Papa Dewangga. Beliau yang membuat perusahaan Dewangga hancur.” Anggara menceritakan bagaimana perjalanan kehidupan Dewangga sebelum hadirnya Namira. Dewangga sudah berjuang sejak lama. Namun, keringatnya tak ada yang melihat. Semua menilai bahwa Dewangga hanya mampu seperti sekarang. “Apa yang membuat hutang?” Namira bertanya terus dengan detail. Ia ingin tahu lebih dalam lagi tentang seseorang yang saat itu masih bertengger di hatinya. “Hutang,” jawab Anggara lalu menoleh ke arah Namira seolah memberi garis bawah. “Jadi...” “Iya, pertengkaran Dewangga dan Papanya bermula dari hutang perusahaan. Dewangga sudah susah payah membangun perusahaan itu, tetapi, Papanya justru menghancurkan sekejap dengan hutang yang menumpuk,” jelas Anggara lagi. “Kepergian dan Dewangga bukan tanpa alasan. Tapi, karena dengan hal itu Dewangga bisa damai dengan keadaan.”Selama ini diamnya Dewangga menyimpan banyak sekali luka. Dingin sikapnya melampiaskan segala kecewa yang seja
Akhir pekan ajaib bagi para pegawai kantor Dewangga. Untuk pertama kalinya, mereka bisa merasakan liburan bersama tanpa harus pusing dengan biaya atau pun lainnya. Mereka datang dengan outfit terbaik masing-masing. “Pasti bakalan seru banget!” celetuk Ailin dengan penampilannya yang begitu mencolok. Ailin juga geng gosipnya turun dari mobil, masuk ke villa yang sudah Dewanti sewa untuk liburan pegawai kantor calon suaminya. “Nanti fotoin gue disetiap sudut villa, ya!” pinta Ailin kepada salah satu temannya. Temannya hanya mengangguk lalu terus berjalan, karena sudah tidak sabar mengetahui isi di dalam villa. “Hai semua!” sapa Dewanti. Ia bersama Dewangga dan Anggara sudah lebih dulu sampai di villa. “Hai!” balas karyawan yang baru saja sampai di villa.Tangan Dewanti terlihat menggandeng Dewangga. Karena merasa tidak nyaman, Dewangga berusaha melepas gandengan tangan itu. Ada seseorang yang Dewangga cari, dari tatapan juga gerak tubuhnya menandakan ia sedang menanti. “Sudah datang sem
“Ada yang luka?” Namira masuk membawa setumpuk berkas. Tetapi, hal pertama yang ia tanyakan bukanlah tentang pekerjaan. Namira dan Dewangga hanya bisa saling menatap. Banyak sekali perasaan yang ingin mereka tumpahkan satu sama lain. Sayangnya, saat itu waktu dan keadaannya nya tak mendukung mereka menyuarakan isi hati masing-masing. “Ada apa, Namira?” Dewangga memulai obrolan setelah keheningan yang panjang. “Ada beberapa berkas yang harus diperiksa juga ditandangani,” jawab Namira lalu ia duduk di depan meja kerja Dewangga. Dewangga masih tidak percaya Namira masuk ke ruangannya ketika ia sedang menjadi sosok tak waras karena cinta. “Bukan itu. Tadi apa yang kamu tanya saat pertama masuk ke ruangan saya?” Dewangga ingin mendengar lagi pertanyaan dari Namira tadi. Rasanya ada secuil perhatian dari Namira untuk Dewangga.Tangan Dewangga merah. Rasa sakitnya tak ia hiraukan. Biar mengalir begitu saja. “Apa ada yang luka?” Namira mengulang sesuai permintaan Dewangga. “Sejak kapan kamu a
“Bapak sengaja mau mencelakai saya? Apa Bapak belum puas sudah melukai perasaan saya?” pertanyaan yang sungguh menggores lubuk hati. “Saya salah apa, Pak? Bapak tega sekali melakukan ini kepada saya,” sambung Namira. “Namira, tenang dulu. Saya bisa jelaskan semuanya. Kamu salah paham,” pinta Dewangga, ingin mendekat ke arah Namira tetapi Namira menolak. “Tolong tetap di situ saja,” perintah Namira untuk Dewangga yang hampir berpindah tempat ke samping Namira. “Saya tahu kejadian itu, tapi bukan berarti saya yang melakukan itu, Namira. Saya nggak mungkin tega melukai orang yang saya cintai,” jelas Dewangga yang tak mau didengar oleh Namira. “Lalu apa?” “Saya mengutus seorang menjadi mata-mata saya,” aku Dewangga semakin membuat Namira tak habis pikir.“Untuk apa?” Namira duduk, mencoba tidak membesarkan masalah yang sebenarnya menurut Namira ini adalah masalah besar. “Untuk jagain kamu,” jawab Dewangga. Suara ketukan pintu terdengar dari dalam. Namira panik. Dewangga langsung mendekat
Hubungan yang sudah diselesaikan ternyata bukan berarti berakhir. Seperti hubungan Namira dan Aidan yang kembali terjalin. Mungkin masih ada sisa rasa yang dulu mereka miliki, atau hanya sekedar ingin mengulang lembar yang tak mereka temukan pada orang lain. “Kita salah nggak sih?” tanya Namira disuatu malam ketika Namira dan Aidan sedang makan malam bersama. “Kenapa salah?” “Salah karena memulai hubungan yang pernah berakhir.” “Kalau kamu pernah dengar, hubungan lama yang dimulai lagi seperti halnya membaca novel yang sama berulang kali, menurut aku itu hanya sebuah opini. Anggapan yang belum tentu terjadi,” ungkap Aidan. “Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Yang kita bisa hanya memperbaiki hari ini untuk masa depan itu,” tambah Aidan.“Memangnya kamu setuju?” Aidan kini berbalik tanya ke Namira. “Emm.. enggak juga sih,” jawab Namira masih belum yakin akan pendapat itu. Tetapi ia juga tak yakin hubungannya akan lebih baik dari sebelumnya. “Menurutku, semua oran
Setelah malam yang menyebalkan terlewati dengan tidur, kini Namira siap kembali menyongsong pagi untuk bekerja. Pakaiannya sudah rapi. Namira selalu terlihat fashionable dalam setiap hari kerjanya. Baginya, itu adalah salah satu cara menghargai dirinya sendiri juga menambah semangat menjalani kesehariannya yang padat. “Apa ini?” katanya panik ketika menemukan sebuah kotak di depan pintu rumahnya. “Perasaan gue nggak pesan apa pun, kenapa ada paket yang datang?” Namira heran dengan kotak coklat misterius itu. “Ambil nggak ya?” tanya Namira bimbang. “Tapi kalau gue ambil terus isinya bahaya gimana?” Namira dilema. Sudah menunduk untuk mengambil paket itu, tetapi gagal karena pikirannya yang buruk muncul. “Apa mungkin dari Papa dan Mama? Kenapa nggak ada yang kabarin gue kalau mau kirim paket?” Namira terus bertanya-tanya sendiri.“Gue tinggal aja deh. Nanti gue buka pulang kerja,” ucap Namira menyingkirkan kotak coklat itu ke area pinggir pintu rumahnya. “Gue harus cari asisten rumah ta
Aidan meraih tangan Namira, ia menahan sang mantan kekasih agar tidak mendekati Dewangga. “Kenapa datang ke sini? Ada perlu apa lagi?” tanya Aidan seolah Aidan pemilik Namira saat itu. Namira tak menyangka Aidan akan bersikap demikian. Ia pun heran, mengapa tubuhnya memberi respon sesuai permintaan Aidan. Ia berhenti dari langkahnya mendekat ke arah Dewangga dan membiarkan Aidan yang mengambil alih. “Lo siapa? Gue ke sini ada perlu dengan pemilik rumah,” jawab Dewangga tetap ngotot masuk ke dalam rumah Namira. Malam itu, Namira membuka lebar pintu rumahnya, sebab, ia hanya berdua bersama Aidan di ruang tamu. Tak ingin ada pikiran yang buruk, Namira memilih untuk membuka lebar pintu rumahnya.“Namira, kenapa kamu biarkan dia datang ke sini lagi? Kenapa kamu masih terima dia?” Dewangga kecewa karena Namira menerima Aidan dengan baik. Namira hanya menghela napas. Tak memberi jawaban apa pun, padahal Dewangga menanti Namira membuka suara dan memberi penjelasan. “Tunggu!” Aidan menghadang
Dewangga turun dari mobilnya. Ia melihat Namira sedang duduk ditemani oleh Aidan. Ketika Dewangga turun, Namira berusaha menjauh dari Aidan. “Ngapain Namira sama laki-laki itu?” Dewangga kesal meski tak biasa ia utarakan langsung. Kemudian, pintu sebelah kiri mobil Dewangga terbuka. Namira melihat Dewanti turun dari sana. Dewanti terlihat sangat bahagia. “Aku kira kamu sendiri,” batin Namira. Namira langsung mengabaikan rasa tidak enaknya karena sedang berduaan dengan Aidan. Ia mendekat ke arah Aidan dan meminta Aidan untuk membantunya mengobati rasa sakit di kepalanya secara tiba-tiba. Aidan pun terkejut atas sikap Namira barusan. Tanpa basa basi atau pertanyaan lain, Aidan meraih tangan Namira untuk lebih dekat dengannya dan melihat di kepala Namira, apakah ada luka serius.“Sebelah mana yang sakit, Ra? Apa perlu kita ke dokter? Aku takut terjadi sesuatu,” kata Aidan cemas Namira mengeluh sakit pada kepalanya. “Emm, coba tolong kamu periksa,” pinta Namira. Ucapannya mengarah ke Aida