Aidan mencoba memperbaiki hubungannya dengan Laras. Ia tidak ingin semuanya semakin rumit dan runyam. Pagi ini Aidan menjemput Laras tanpa Laras minta. Niatnya ingin memberikan kejutan untuk sang kekasih. “Pagi,” sapa Aidan tersenyum hangat. Laras tidak membalas sapaan dari Aidan juga senyumannya. Laras hanya diam, menekuk wajahnya. “Kamu kenapa? Ada masalah?” tanya Aidan tidak ingin menduga hal lainnya. Mobil sudah mulai jalan. Laras belum juga membuka suaranya untuk sekedar mengucapkan kalimat sapaan atau berterima kasih karena Aidan sudah menjemputnya pagi itu. “Laras, kamu kenapa diam saja dari tadi? Aku salah lagi?” tanya Aidan ketika ia sudah tidak tahan dengan kesunyian yang terjadi di dalam mobil. Laras menengok ke arah Aidan dengan tatapan tajam.“Semalam kemana? Kenapa sama sekali nggak kasih kabar ke aku? Kamu juga nggak jemput aku pulang dari kantor,” kalimat inilah yang pertama keluar dari mulut Laras ketika ia membuka suara. Protesnya penuh kecurigaan. Aidan mulai memana
Dewangga dan Namira masih terus membicarakan hubungan mereka di dalam ruangan Namira. Sementara itu Nimas tetap pada posisinya pertama. Ia menempelkan telinganya ke dinding, supaya suara Dewangga dan Namira lebih jelas terdengar. “Gue rasa Pak Dewangga dan Namira ada masalah lain selain pekerjaan,” batinnya. Nimas sesekali membaca berkas yang ia bawa agar tidak ada yang curiga kepadanya. “Hai!” Nimas menundukkan kepalanya ramah, menyapa seseorang yang datang melewatinya. Ia sengaja membalas sapaan dari mereka. “Semoga aja nggak ada si Ailin itu! Kalau ada kacau semua,” ujarnya melirik ke beberapa arah mencari keberadaan Ailin. Kemudian ia diam, berdiri mematung di dinding, menempelkan telinganya lagi. “Kok diem?” tanya Namira curiga mereka sudah selesai berbicara.“Pak, ini di kantor. Jadi lebih baik apa yang kita bicarakan di kantor adalah tentang pekerjaan. Ini permintaan saya, tolong hargai permintaan saya,” ucap Namira memohon dengan sangat. Dewangga tidak ingin membuat Namira sem
Tak ada pilihan lain selain Namira ikut masuk ke dalam mobil Dewangga. Jika tidak, akan bertambah banyak orang yang memata-matai mereka berdua. Sembari menepis tipis tangan Dewangga, Namira buru-buru menuju mobil bosnya itu. “Maaf Pak, pintunya belum bisa dibuka,” ucap Namira terhenti di samping mobil Dewangga. Pandangannya ia buang jauh dari tatapan orang-orang di sekitar kantor. Namira berlagak tidak tahu jika ia dan Dewangga sedang menjadi pusat perhatian. Dari jendela atas, Ailin dan geng gosipnya sedang berkumpul menatap Namira sambil berbisik. “Silakan masuk!” pinta Dewangga. Dewangga berniat membukakan pintu untuk Namira. Tetapi, Namira menolak. Ia memberi kode agar Dewangga segera masuk ke dalam mobil agar tidak semakin panjang gosip yang nanti akan ia dengar.“Namira, makasih kamu sudah mau kasih saya kesempatan,” ucap Dewangga saat keduanya telah berada di dalam mobil. Namira memperhatikan sekitar. Ia takut ada telinga lain yang mendengar obrolan mereka di dalam mobil. “Pak,
Namira dan Dewangga sudah menyelesaikan makan malam mewah mereka. Meski penuh rasa sungkan dan sedikit kikuk, Namira berhasil menghabiskan hidangan yang telah dipesan oleh Dewangga. Bukan kebiasaan Namira membiarkan makanan sisa di piringnya. “Apa ada lagi yang ingin bapak sampaikan?” tanya Namira saat makanan mereka sudah mulai habis. Dewangga juga telah selesai meneguk air putih di gelas bening yang ada di sebelah kanannya. “Jelas,” jawab Dewangga tegas. Namira mengangguk, ia menunggu apa yang akan Dewangga sampaikan kepadanya. “Lalu, apa lagi?” tanya Namira sudah tidak sabar mendengar kalimat dari Dewangga. “Saya tidak ingin banyak menjelaskan. Karena memang tidak ada yang bisa saya utarakan, terlebih alasan tentang semua ini. Yang ingin saya ucapkan, hanya satu,” Dewangga menggantung kalimatnya.Sebelum melanjutkan kalimatnya, Dewangga menarik tangan Namira. Mata Namira tak bisa menahan betapa ia terkejut akan apa yang dilakukan oleh Dewangga. “Pak Dewa, nggak enak kalau ada yang
Kantor masih belum dipenuhi oleh para pegawai. Hanya ada beberapa saja yang memang sengaja datang lebih pagi untuk menghindari macet. Salah satunya yaitu Nimas. “Sepi banget ini kantor jam segini,” ujarnya sembari meletakkan barang bawaannya ke atas meja dan menjatuhkan tubuhnya ke kursi kerja kesayangannya. “Enaknya sarapan apa, ya?” Nimas membuka aplikasi ojek online di ponselnya untuk memilih menu sarapannya pagi itu. “Rajin banget Lo sepagi ini udah Dateng ke kantor?” Ailin menghampiri Nimas yang sedang sibuk scroll layar ponselnya. “Mau cari muka ya, Lo?” Ailin memulai genderang perang. “Gue diem aja ya, tapi Lo duluan yang nyalain api!” balas Nimas mengacuhkan ponselnya sejenak untuk melihat ke arah Ailin.“Ya apa lagi kalau bukan cari muka? Nggak mungkin pegawai mau berangkat pagi buta kayak Lo!” Ailin menyiram bensin untuk api yang ia nyalakan. Nimas meletakkan handphone di atas mejanya dengan kasar. Ia berdiri siap menyerang Ailin yang sejak tadi sudah mengisyaratkan perang d
Namira menutup pintu ruangannya rapat. Ia tidak ingin mendengar suara apa pun dari bisingnya rencana Dewanti di kantornya. “Huh.. Biarkan saja, mungkin memang ini bukan untukku,” ucap Namira memberi ketegaran untuk dirinya sendiri. Ia kembali berjalan menuju meja kerjanya. Menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang telah menunggunya sejak beberapa waktu lalu. “Lebih baik aku bekerja. Sudah cukup sering gue menunda pekerjaan yang ada di depan mata,” ujar Namira namun kali ini ia sudah tidak bisa menahan air matanya. Hati dan pikirannya tidak sejalan. Ia mengelus dadanya, mencoba tegar dan tak terlihat lemah bahkan di depan dirinya sendiri. Tetapi hatinya begitu perih. Matanya tidak sanggup menahan kepedihan. “Namira, jangan nangis. Ayo jangan na-ngis,” air matanya terus keluar. Bahkan mengalir deras di pipinya. Isakannya semakin sesak. Terasa sangat sakit dan memilukan.Dibalik rencana ini, Dewangga tidak tahu apa-apa. Dewanti berhasil membuat banyak orang terkejut akan rencana luar biasany
“Heh, sok sibuk banget, Lo!” Ailin mendatangi meja kerja Nimas. Nimas langsung menoleh ke arah Ailin yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya. “Ada perlu apa? Gue sibuk!” Celetuk Nimas membuat suasana hati Ailin menjadi lebih buruk. “Dasar sombong!” umpat Ailin. “Lo setuju nggak Pak Dewangga dan Dewanti nikah? Kalau gue sih engga,” ungkap Ailin mengajak Nimas bergosip di tengah sibuknya lara pegawai di kantor. “Lo ngajak gue bergosip?” tanya Nimas heran. “Ini bukan gosip. Ini realita. Memang kenyataannya gue nggak setuju atas pernikahan Pak Dewangga dan Dewanti. Lebih baik Pak Dewangga nikah sama gue,” celetuk Ailin iseng. “Pak Dewangga yang nggak mau sama, Lo!” seru Nimas sampai beberapa pegawai menoleh ke arahnya.“Gimana kalau kita bikin Dewanti nggak betah di kantor ini?” Ailin tiba-tiba punya rencana jahat kepada Dewanti. “Lo kalau mau jahat sama orang jangan ngajakin gue!” protes Nimas. “Lo juga nggak suka sama keberadaan Dewanti, kan? Kita usir bareng aja dia!” seru Ailin membala
“Dewanti, dimana Dewangga?” tanya Papa Dewangga ketika Dewanti masuk ke ruangan Dewangga sendirian. “Mas Dewa ada urusan, Pa. Jadi, pembahasan tentang pernikahan terpaksa kami tunda.” Dewanti mencari alasan agar keluarganya dan keluarga Dewangga tidak curiga akan masalah yang sedang mereka hadapi. Dewanti tidak ingin Mama dan Papanya sakit hati akan sikap Dewangga dan nantinya menghilangkan restu yang sudah diberikan sejak awal. “Tapi pernikahan kalian kan juga lebih penting,” sabut Mama Dewanti berusaha membela anaknya. “Ini juga tentang kantor, Ma. Kantor ini juga penting untuk aku dan Dewangga,” sambung Dewanti dengan senyum tegarnya meski dalam hati teriris. “Kalau begitu, bawa Mama dan Papa keluar dari sini,” pinta Papa Dewangga yang langsung dituruti oleh calon menantunya.Ailin dan Nimas melihat Dewanti bersama kedua orang tuanya dan orang tua Dewangga keluar dari ruangan Dewangga. “Nimas, Lo liat itu kan?” Ailin mengirim pesan ke Nimas agar ia tidak ketahuan jika sedang membic
Para pegawai Dewangga kini kembali menjalani rutinitas seperti biasanya. Meski telah dihadang oleh berbagai pekerjaan yang menumpuk di meja kerja masing-masing, suasana hati mereka tetap masih terbawa ceria. Hasil dari staycation tiba-tiba yang diadakan oleh Dewanti. Meski sedikit lancang karena tak minta persetujuan dari Dewangga, Dewanti ternyata berhasil membahagiakan pekerja di kantor Dewangga. Hati Dewanti semakin besar. Ia merasa dirinya akan memenangkan hati semua orang. “Seru banget ya, kemarin! Andai aja tiap bulan ada staycation, kita pasti bakal betah kerja di sini. Walaupun lembur, banyak kerjaan, sering kena marah, tapi kalau ada acara kayak kemarin sih gue betah,” celetuk Ailin dengan geng gosipnya itu. Nimas datang mendengar ocehan Ailin yang cukup kencang hingga bisa didengar meski belum sampai ke meja kerjanya.“Pagi, Nimas!” sapa Ailin iseng mendekati Nimas. Wajah Ailin tidak mencerminkan keceriaan sama sekali. Wajahnya lecek seperti pakaian yang masih kusut karena b
“Semua itu karena kesalahan Papa Dewangga. Beliau yang membuat perusahaan Dewangga hancur.” Anggara menceritakan bagaimana perjalanan kehidupan Dewangga sebelum hadirnya Namira. Dewangga sudah berjuang sejak lama. Namun, keringatnya tak ada yang melihat. Semua menilai bahwa Dewangga hanya mampu seperti sekarang. “Apa yang membuat hutang?” Namira bertanya terus dengan detail. Ia ingin tahu lebih dalam lagi tentang seseorang yang saat itu masih bertengger di hatinya. “Hutang,” jawab Anggara lalu menoleh ke arah Namira seolah memberi garis bawah. “Jadi...” “Iya, pertengkaran Dewangga dan Papanya bermula dari hutang perusahaan. Dewangga sudah susah payah membangun perusahaan itu, tetapi, Papanya justru menghancurkan sekejap dengan hutang yang menumpuk,” jelas Anggara lagi. “Kepergian dan Dewangga bukan tanpa alasan. Tapi, karena dengan hal itu Dewangga bisa damai dengan keadaan.”Selama ini diamnya Dewangga menyimpan banyak sekali luka. Dingin sikapnya melampiaskan segala kecewa yang seja
Akhir pekan ajaib bagi para pegawai kantor Dewangga. Untuk pertama kalinya, mereka bisa merasakan liburan bersama tanpa harus pusing dengan biaya atau pun lainnya. Mereka datang dengan outfit terbaik masing-masing. “Pasti bakalan seru banget!” celetuk Ailin dengan penampilannya yang begitu mencolok. Ailin juga geng gosipnya turun dari mobil, masuk ke villa yang sudah Dewanti sewa untuk liburan pegawai kantor calon suaminya. “Nanti fotoin gue disetiap sudut villa, ya!” pinta Ailin kepada salah satu temannya. Temannya hanya mengangguk lalu terus berjalan, karena sudah tidak sabar mengetahui isi di dalam villa. “Hai semua!” sapa Dewanti. Ia bersama Dewangga dan Anggara sudah lebih dulu sampai di villa. “Hai!” balas karyawan yang baru saja sampai di villa.Tangan Dewanti terlihat menggandeng Dewangga. Karena merasa tidak nyaman, Dewangga berusaha melepas gandengan tangan itu. Ada seseorang yang Dewangga cari, dari tatapan juga gerak tubuhnya menandakan ia sedang menanti. “Sudah datang sem
“Ada yang luka?” Namira masuk membawa setumpuk berkas. Tetapi, hal pertama yang ia tanyakan bukanlah tentang pekerjaan. Namira dan Dewangga hanya bisa saling menatap. Banyak sekali perasaan yang ingin mereka tumpahkan satu sama lain. Sayangnya, saat itu waktu dan keadaannya nya tak mendukung mereka menyuarakan isi hati masing-masing. “Ada apa, Namira?” Dewangga memulai obrolan setelah keheningan yang panjang. “Ada beberapa berkas yang harus diperiksa juga ditandangani,” jawab Namira lalu ia duduk di depan meja kerja Dewangga. Dewangga masih tidak percaya Namira masuk ke ruangannya ketika ia sedang menjadi sosok tak waras karena cinta. “Bukan itu. Tadi apa yang kamu tanya saat pertama masuk ke ruangan saya?” Dewangga ingin mendengar lagi pertanyaan dari Namira tadi. Rasanya ada secuil perhatian dari Namira untuk Dewangga.Tangan Dewangga merah. Rasa sakitnya tak ia hiraukan. Biar mengalir begitu saja. “Apa ada yang luka?” Namira mengulang sesuai permintaan Dewangga. “Sejak kapan kamu a
“Bapak sengaja mau mencelakai saya? Apa Bapak belum puas sudah melukai perasaan saya?” pertanyaan yang sungguh menggores lubuk hati. “Saya salah apa, Pak? Bapak tega sekali melakukan ini kepada saya,” sambung Namira. “Namira, tenang dulu. Saya bisa jelaskan semuanya. Kamu salah paham,” pinta Dewangga, ingin mendekat ke arah Namira tetapi Namira menolak. “Tolong tetap di situ saja,” perintah Namira untuk Dewangga yang hampir berpindah tempat ke samping Namira. “Saya tahu kejadian itu, tapi bukan berarti saya yang melakukan itu, Namira. Saya nggak mungkin tega melukai orang yang saya cintai,” jelas Dewangga yang tak mau didengar oleh Namira. “Lalu apa?” “Saya mengutus seorang menjadi mata-mata saya,” aku Dewangga semakin membuat Namira tak habis pikir.“Untuk apa?” Namira duduk, mencoba tidak membesarkan masalah yang sebenarnya menurut Namira ini adalah masalah besar. “Untuk jagain kamu,” jawab Dewangga. Suara ketukan pintu terdengar dari dalam. Namira panik. Dewangga langsung mendekat
Hubungan yang sudah diselesaikan ternyata bukan berarti berakhir. Seperti hubungan Namira dan Aidan yang kembali terjalin. Mungkin masih ada sisa rasa yang dulu mereka miliki, atau hanya sekedar ingin mengulang lembar yang tak mereka temukan pada orang lain. “Kita salah nggak sih?” tanya Namira disuatu malam ketika Namira dan Aidan sedang makan malam bersama. “Kenapa salah?” “Salah karena memulai hubungan yang pernah berakhir.” “Kalau kamu pernah dengar, hubungan lama yang dimulai lagi seperti halnya membaca novel yang sama berulang kali, menurut aku itu hanya sebuah opini. Anggapan yang belum tentu terjadi,” ungkap Aidan. “Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Yang kita bisa hanya memperbaiki hari ini untuk masa depan itu,” tambah Aidan.“Memangnya kamu setuju?” Aidan kini berbalik tanya ke Namira. “Emm.. enggak juga sih,” jawab Namira masih belum yakin akan pendapat itu. Tetapi ia juga tak yakin hubungannya akan lebih baik dari sebelumnya. “Menurutku, semua oran
Setelah malam yang menyebalkan terlewati dengan tidur, kini Namira siap kembali menyongsong pagi untuk bekerja. Pakaiannya sudah rapi. Namira selalu terlihat fashionable dalam setiap hari kerjanya. Baginya, itu adalah salah satu cara menghargai dirinya sendiri juga menambah semangat menjalani kesehariannya yang padat. “Apa ini?” katanya panik ketika menemukan sebuah kotak di depan pintu rumahnya. “Perasaan gue nggak pesan apa pun, kenapa ada paket yang datang?” Namira heran dengan kotak coklat misterius itu. “Ambil nggak ya?” tanya Namira bimbang. “Tapi kalau gue ambil terus isinya bahaya gimana?” Namira dilema. Sudah menunduk untuk mengambil paket itu, tetapi gagal karena pikirannya yang buruk muncul. “Apa mungkin dari Papa dan Mama? Kenapa nggak ada yang kabarin gue kalau mau kirim paket?” Namira terus bertanya-tanya sendiri.“Gue tinggal aja deh. Nanti gue buka pulang kerja,” ucap Namira menyingkirkan kotak coklat itu ke area pinggir pintu rumahnya. “Gue harus cari asisten rumah ta
Aidan meraih tangan Namira, ia menahan sang mantan kekasih agar tidak mendekati Dewangga. “Kenapa datang ke sini? Ada perlu apa lagi?” tanya Aidan seolah Aidan pemilik Namira saat itu. Namira tak menyangka Aidan akan bersikap demikian. Ia pun heran, mengapa tubuhnya memberi respon sesuai permintaan Aidan. Ia berhenti dari langkahnya mendekat ke arah Dewangga dan membiarkan Aidan yang mengambil alih. “Lo siapa? Gue ke sini ada perlu dengan pemilik rumah,” jawab Dewangga tetap ngotot masuk ke dalam rumah Namira. Malam itu, Namira membuka lebar pintu rumahnya, sebab, ia hanya berdua bersama Aidan di ruang tamu. Tak ingin ada pikiran yang buruk, Namira memilih untuk membuka lebar pintu rumahnya.“Namira, kenapa kamu biarkan dia datang ke sini lagi? Kenapa kamu masih terima dia?” Dewangga kecewa karena Namira menerima Aidan dengan baik. Namira hanya menghela napas. Tak memberi jawaban apa pun, padahal Dewangga menanti Namira membuka suara dan memberi penjelasan. “Tunggu!” Aidan menghadang
Dewangga turun dari mobilnya. Ia melihat Namira sedang duduk ditemani oleh Aidan. Ketika Dewangga turun, Namira berusaha menjauh dari Aidan. “Ngapain Namira sama laki-laki itu?” Dewangga kesal meski tak biasa ia utarakan langsung. Kemudian, pintu sebelah kiri mobil Dewangga terbuka. Namira melihat Dewanti turun dari sana. Dewanti terlihat sangat bahagia. “Aku kira kamu sendiri,” batin Namira. Namira langsung mengabaikan rasa tidak enaknya karena sedang berduaan dengan Aidan. Ia mendekat ke arah Aidan dan meminta Aidan untuk membantunya mengobati rasa sakit di kepalanya secara tiba-tiba. Aidan pun terkejut atas sikap Namira barusan. Tanpa basa basi atau pertanyaan lain, Aidan meraih tangan Namira untuk lebih dekat dengannya dan melihat di kepala Namira, apakah ada luka serius.“Sebelah mana yang sakit, Ra? Apa perlu kita ke dokter? Aku takut terjadi sesuatu,” kata Aidan cemas Namira mengeluh sakit pada kepalanya. “Emm, coba tolong kamu periksa,” pinta Namira. Ucapannya mengarah ke Aida