Dengan berderai air mata, Hani keluar dari gerbang mewah milik majikannya. Seharusnya saat ini dia merasa lega, bisa terbebas dari rumah mewah milik suaminya. Tapi kenapa hati Hani terasa kosong dan hampa. Seperti ada yang tertinggal di dalam sana, tapi apa?Sekali lagi, Hani membalikkan tubuhnya. Untuk yang terakhir kalinya, dia kembali menatap rumah mewah milik majikannya.Kini dia harus pergi. Hani bingung kemana arah dan tujuannya saat ini. Apa dia memilih untuk kembali ke kampung saja? Apa bapak dan ibu akan baik-baik saja, jika mereka bertemu nanti dan mengetahui mas Bram masih hidup.Mau tidak mau, itu adalah jalan satu-satunya. Kembali ke rumah ibu dan bapaknya, itulah jalan satu-satunya.Hani segera menghentikan sebuah motor ojek. Tak berapa lama, sebuah motor ojek berhenti di hadapannya."Bang, bisa antarkan saya ke stasiun kereta ya?""Baik neng, " jawab tukang ojek tadi."Hani segera naik ke atas motor lalu melaju menuju stasiun yang di sebutkan oleh Hani tadi.Tiga puluh m
Hani menunduk, dia tak tahu harus menjawab apa. Dengan sabar ibu Victoria menantikan jawaban dari Hani.Ada sebulir bening air mata yang sempat menetes di pipi Hani. Tak lolos dari pandangan ibu Victoria, membuat hatinya menjadi iba."Sebenarnya saya mau pulang kampung bu, tapi rumah saya sudah dijual oleh ibu mertua dan ipar saya. Saya tak tahu harus ke mana lagi," ucap Hani dengan polos.Air matanya seolah tak ingin berhenti mengalir di pipinya. Mengingat kembali kejadian pagi tadi. Begitu cepat bagai mimpi, dia diusir dari rumah majikannya. Ibu mertua dan juga Nita pasti sangat senang saat ini merayakan kebebasan mereka. Sebenarnya dia sangat lega, keluar dari rumah majikannya itu. Terbebas dari belenggu jahat suaminya. Tapi kini dia menjadi bingung, jika dia keluar dari rumah mewah majikannya. Bagaimana dia bisa menggugat cerai suaminya. Bagaimana dia bisa terbebas dari status istri dari Bram. Karena Hani sangat ingin terbebas dari statusnya. Jangan bermimpi kamu mas Bram. Kini k
Tiga jam yang lalu, di kediaman mewah milik nyonya Greta.Mbok Rumi, mana Hani?" tanya Niko membuat Mbok Rumi terkejut. Saat Niko turum dari lantai atas, dia tak melihat sosok Hani lagi di tempatnya tadi."Bukannya sejak tadi Hani sudah pergi tuan?" Mbok Rumi juga bingung mendapat pertanyaan dari tuan Niko. Tak sempat memperhatikan kepergian Hani beberapa saat yang lalu."Pergi? Kemana?""Saya kurang tahu tuan, tadi setelah nyonya Nita memberikan amplop padanya, Hani langsung pergi," jelas mbok Rumi.Niko geram dalam hatinya dipenuhi amarah. Dia tak sempat melihat kepergian Hani tadi."Mbok, tolong keluar sebentar mencarinya. Siapa tahu Hani masih berada di depan gerbang," pinta Niko.Dia masih belum puas dengan perlakuan kakaknya tadi."Baik tuan." Mbok Rumi hanya menggeleng, melihat Niko perhatian pada Hani. Lalu mbok Rumi bergegas menuju gerbang depan, melakukan apa yang dipinta tuan Niko padanya.Niko berlari kecil meanaiki anak tangga dengan terburu-buru. Niko kembali menhged
Niko acuh tak acuh, membiarkan pria brengsek itu mengurus istrinya. Sudah sejak awal dia memperingatkan kakaknya, agar mau mendengarkan pendapatnya. Dan kini, kakaknya harus menerima juga resiko menerima pinangan pria yang tak tahu asal usulnya yang tak jelas seperti ini.Niko berlalu dan masuk ke kamarnya. Sementara Bram membopong tubuh istrinya turun dari tangga dan segera masuk ke dalam mobil. Tentu Bram akan membawa istrinya masuk ke rumah sakit lagi dan lagi. Tinggal menunggu waktu untuk melihat hasil kerja obat pemberian Bram selama ini. Sengaja Niko tak perduli, dia ingin kakaknya membuka matanya lebar-lebar melihat kebusukan hati suami dan keluarganya dalam rumah milik kakaknya itu. Tapi kakaknya selama ini seakan dibutakan oleh cinta palsu dari Bram. Sedang ibu mertua dan ipar kakaknya itu menikmati hidup tanpa beban menjadi benalu dalam rumah tangga Bram.Bram dengan tergesa-gesa menggendong tubuh nyonya Greta ke dalam mobil. Dia terus berteriak pada adik dan ibunya agar me
Mobil mewah milik ibu Victoria memasuki halaman rumah yang sangat besar. Kira-kira lebih dari lima puluh meter perjalanan hingga masuk ke pelataran rumah. Hani terkesima, sepertinya rumah ibu Victoria lebih besar dari rumah nyonya Greta. Halamannya saja saja sangat besar, apa lagi rumahnya begitu megah berdiri. Dengan pilar yang menjulang tinggi, sudah seperti rumah kerajaan Italia yang dilihat Hani di buku Sejarah dahulu sewaktu masih sekolah dasar."Tolong bangunkan ibu," pinta sang supir pada Hani, terdengar sopan.Syukurlah ternyata tampang serem supir ibu Victoria, dia memiliki sikap yang sopan bila berbicara. Membuat hati Hani merasa lega, ada terbesit rasa bersalah pada dirinya. Sudah berpikiran buruk pada pria tadi."Bangun bu," ucap Hani pelan, sambil menggoyangkan tubuh Ibu Victoria.Hani khawatir jika akan membuat ibu Victoria tak suka diganggu.Sedang ibu Victoria mengerjapkan matanya berulang kali. Sepertinya dia sangat kelelahan, hingga tertidur dalam mobil. Menurut ceri
Hani tak bisa memejamkan matanya lagi. Sejak tadi dia tak merasa nyaman, meski ranjang yang dia gunakan sangatlah empuk. Sejak tadi dia hanya tidur dengan berganti banyak posisi. Hingga pukul 03.00, Hani masih saja belum bisa tertidur. Pikirannya terus saja melayang, merasa ada sesuatu yang kurang.Sayang tadi pagi, ponselnya diambil oleh Nita."Kamu tak berhak menggunakan ponsel. Kembalikan pada pemiliknya, mas Niko," ucap Nita dengan angkuh sambil merampas ponsel Hani.Hatinya terus merasa tak tenang. Kembali dia mengingat kediaman mewah milih nyonya Greta. Pasti kini mereka telah bahagia dengan kehidupan mereka tanpa diganggu oleh orang-orang lain. Lalu bagaimana jika bukti rekaman itu sudah dihapus, apakah nyonya Greta memaafkan suaminya, entahlah. Apa nyonya Greta mempercayai tuan Niko. Hani menggelengkan kepalanya. Tak tahu lagi apa yang harus dia pikirkan.Ingin menghubungi tuan Niko, tapi sayang Hani tak menghafal nomor ponselnya. Semakin Hani memikirkannya, semakin sakit kepal
"Tidak bu, saya sangat senang di tempat ini. Terima kasih sudah memberi kesempatan pada saya bekerja di sini."Hani sangat bersyukur ibu Victoria sangat baik padanya."Sudah sore, saya akan kembali pulang Hani. Kamu akan tinggal di kamar ruang atas khusus karyawan," ucap ibu Victoria.Sambil melihat jarum jam di pergelangan tangannya.Hani mengangguk sambil menundukkan kepalanya. "Terima kasih, bu.""Hani, kamu bisa kan mengurus semuanya?"Tanya ibu Victoria, yang mempercayakan Hani untuk posisi yang kosong di butiknya.Sebab bukan tak mungkin, ibu Victoria menginginkan kebaikkan untuk butiknya."Tenang saja bu, saya akan mengurus semuanya, ibu tak usah khawatir," jawab Hani sambil tersenyum."Baiklah, jangan lupa tutup butiknya tepat waktu.""Baik bu."Sedetik kemudian ibu Victoria pun berlalu meninggalkan butik."Ayo Hani kita selesaikan pekerjaan kita."Ajak Ratih meminta Hani dan seluruh karyawan bertanggung jawab dalam pekerjaaanya masing-masing.Mereka lalu mengerjakan semua
Ibu Victoria menatap wajah Hani. Membuat hati Hani semakin khawatir. Mungkin saja dia sudah melakukan kesalahan yang membuat mata semua orang tertuju kepadanya.Banyak sekali pengunjung di sini menambah kegugupan Hani."Hani kemarilah, dan ikuti aku," ucap ibu Victoria dengan serius.Hani mengikuti langkah ibu Victoria menuju ke ruangan miliknya.Para pengunjung tadi semakin riuh, meminta apa yang mereka inginkan. Ibu Victoria malah membiarkan mereka terus berdiri di sana.Setelah ibu Victoria duduk di meja kerja miliknya, dia kembali menatap Hani."Hani, jelaskan padaku. Siapa yang membuat gaun peach di luar itu."Hani menundukkan kepalanya, tangannya meremas rok panjang miliknya. Berpikir dia harus menguatkan hatinya menerima kemarahan ibu Victoria. "Maafkan saya ibu," ucap Hani pelan.Hani merasa bodoh sekali. Kenapa dia tak meminta ijin dahulu, untuk berbuat sesuatu di butik ini. Andai dia meminta ijin terlebih dahulu, nyatanya dia terlalu bersemangat, mengira bahan-bahan sisa i