“Aku khilaf, Dik ….”
“Gimana bisa khilaf sampai sejauh itu, Mas …?”“Maaf ….”Hanya itu yang terus suamiku ucap. Maaf, maaf, dan khilaf, seolah tak ada kata lain yang sanggup keluar dari mulutnya. Ia tertunduk, pun matanya basah. Lelakiku ikut terisak. Aku tak bisa memahami apa yang ia rasakan sebenarnya.Mas ... sadarkah kau sudah torehkan luka teramat dalam, yang sekarang menganga di hati ini. Lupakah kau, saat anak kampung itu kita jemput, dengan janji akan menyekolahkannya, menolong mengangkat derajat keluarganya?Apa yang sampai membawamu terjerumus begitu dalam ...?Dosa apa yang kami buat sampai menanggung ujian ini, ya Rabb ….Aib suamiku ini, kami berdua bicarakan sambil berbisik di kamar, duduk berhadap-hadapan.Seberapa pun berat, aku tak ingin anak-anak yang begitu menghargai ayahnya turut terpukul atas kejadian ini...Tiga tahun lalu ....“April akan kami jaga, Bu. Tidak usah Ibu khawatir. Kebetulan waktu saya juga banyak di rumah, jadi insyaallah masih bisa mengawasi pergaulannya.”“Saya cuma khawatir, Mbak Aya. April ini biasa di kampung, takutnya kaget trus kebablasan gaul di kota," cemas wanita yang terlihat lebih tua dari usianya itu.Aku paham karena memang anak gadisnya itu berparas cantik alami.Untuk meyakinkan niat kami membantu masa depan April, suamiku ikut bicara, “Kalau bersama kami, nanti setelah lulus SMA April boleh lanjutkan kuliah, Bu. Nanti akan saya biayai, biar setelah itu dia bisa bekerja."Aku mengangguk, menyetujui perkataan suami, karena ini memang keputusan kami berdua. Sudah niat lama kami ingin membagi rezeki, mencari orang dari keluarga tidak mampu dan akan membantunya meraih cita-cita, sampai ia sukses.“Syukurlah kalau begitu, saya memang berharap dari lima anak, ada satu saja yang bisa sekolah tinggi. Bagaimana kamu, Pril, mau?” tanya wanita itu pada putrinya.Gadis berlesung pipit itu banyak menunduk. “Terserah Mamak ja, kalau Mamak setuju April mau.”Aku dan suami lega saat kami bisa membawa gadis itu pulang bersama. Tubuhnya mungil, berkulit kuning langsat, rambut gelombang sebahu berwarna kecoklatan, ia gadis cantik alami, sayang sekali kalau sampai putus sekolah karena ketiadaan biaya. Kami tahu keadaan keluarganya ini dari seorang saudara, gadis itu terpaksa membantu ibunya menyadap karet dan akan putus sekolah di kelas dua SMA.Berjalannya waktu bersama kami, April lulus dengan prestasi cukup baik. Meski sempat kaget dengan pelajaran di sekolah kota tak membuatnya ketinggalan jauh. Kegigihannya belajar dan membantuku dalam pekerjaan rumah membuatku jatuh hati. Aku menyayanginya seperti anak sendiri, sebab ia seumuran dengan Almira, si sulung. Empat anakku semuanya perempuan, dan hubunganku dengan mereka seperti teman.Saat membeli pakaian untuk yang lain aku juga pasti membelikan untuk April, begitu pun makanan apa yang kami makan ia bebas makan juga.Sesuai janji kami menguliahkannya, meski bersamaan dengan Almira juga kuliah, dan adiknya Syifa masuk SMP, kami tak kesulitan biaya.Usaha jual aneka kayu, dan pabrik bata masih lancar. Almira ke ibu kota, pilih jurusan kedokteran di kampus ternama, ia tinggal di kos dan akan jauh dari kami. Sedangkan April masuk akademi diploma tiga komputer Kota Cantik ini.Seminggu lebih aku ke Jakarta, mengantar dan menemani Almira di awal masa perkuliahannya. Lalu kembali pulang setelah melihat anak itu begitu mandiri, dan rasanya siap hatiku lepas ia sendiri.Hariku kemudian kembali menjalani rutinitas seperti semula. Sesekali ke pabrik bata yang berjarak tempuh satu jam naik mobil dari sini. Aku dan Mas Danang memang membagi waktu dan diri untuk usaha yang kami rintis bersama dari nol itu.Selama ini kami berdua terkenal kompak dan sama-sama gigih. Namun, kesibukan membuatku ternyata lalai memerhatikan April.“Sebelum berangkat usahakan sempatin nyuci, Pril.” Gadis itu lama-lama terlihat malas melakukan apapun di rumah.“Maaf, Tante berapa hari ini April sibuk, banyak tugas.” Ia memang memanggilku tante, dan om untuk Mas Danang.“Iya tante tahu, tapi paling tidak bangun lebih pagi, habis subuh itu sempatkan rendam pakaian trus giling. Pasti sempat, kok,” tegurku mengingatkan. Selain terlihat malas-malasan, ia juga sering pulang telat dari kampus, dan juga sering mengurung diri di kamar.“Iya, Tan. April kerjakan sekarang.” Mukanya terlihat kurang suka ditegur.Aku tidak bermaksud memaksanya bekerja, tapi berharap pengertiannya kalau kami di rumah ini memang harus saling membantu.Tugas April sejak awal nyuci dan gosok. Dua anakku bersih-bersih rumah sampai halaman. Aku bagian bersih kamar sampai empat kamar mandi, masak juga, cuma kadang bagian terakhir itu kami lakukan bersama, sambil menyesuaikan dengan selera masing-masing. Para gadisku memang kulatih mandiri tanpa pembantu.Begitu pun April, harusnya ia paham kami membantunya meraih ilmu, dan kehadiran juga diharap bisa meringankan pekerjaan rumah.Berjalannya waktu, setelah ditegur April tampak melakukan dengan baik, tapi beberapa hari berikut ia akan terlihat enggan lagi mengerjakan tugas rumah. Pakaiannya sendiri pun ditumpuk di keranjang cuci, belum lagi gosokan sampai menggunung tiga hari tak dikerjakan.Aku sengaja membiarkan ia mengerjakan sendiri tanpa terus-menerus menegur, terlihat dikerjakan juga meski wajahnya tanpa senyum.Sejak dipercayakan bawa motor ke kampus di semester berikutnya, ia makin sering terlambat pulang, pernah sampai malam dan sulit dihubungi. Aku menegurnya cukup keras saat itu.Kepercayaan awal yang begitu kuat sekejap menguap, saat aku menemukan bekas cairan kental di seprei April yang tergulung bersama pakaian dalam laki-laki, ada di keranjang cucian. Celana dalam itu milik Mas Danang!Apa yang kutemukan bagai membuka mata ini, membuat jantung terasa diremas-remas. April habis apa ...? Dan pikiranku menduga-duga hal yang tidak baik telah terjadi.Kusimpan curiga itu, menunggunya pulang.“Assalamuallaikum,” salamnya lembut seperti biasa. Kuperhatikan tak ada yang aneh dengan jalan atau raut wajahnya.Kujawab salam lalu membiarkannya membersihkan diri dulu.Setelah mencuci kaki, tangan, dan minum, ia akan ke kamar dan aku mengikutinya.“April, tante mau bicara.” Aku menahan pintu kamarnya. Ia terlihat terkejut, terlebih melihat sepreinya juga kubawa masuk.Ia takut-takut melihatku, lalu duduk di sisi tempat tidur.Langsung kubuka apa yang mengundang tanya di kepala. “Ini apa, Pril?”Ia yang sudah gugup sedikit ternganga lalu meremas tangan, belum juga menjawab pertanyaanku. Pandangan ia jatuhkan pada lantai di depannya.“Jawab, Pril! Kamu itu sudah dewasa, kamu pasti tahu apa maksud tante menanyakan ini!”Seprei dan celana dalam bernoda di tanganku tampak membuatnya pucat pasi. Air mata April langsung luruh, bersamaan kalimat yang keluar dari bibirnya.Dalam sekejap kurasakan dunia di sekitar langsung runtuh. April mengakui ada hubungan terlarang antara ia dan suamiku!...“Maafkan aku, Dik ….”Isakku belum jua reda, mendengar kalimat Mas Danang masih memuntahkan kata maaf. Kejadian hari ini memukulku telak. Menghancurkan semua yang kami bangun dalam sekejap mata.Diri bagai gelas kaca yang dilemparkan ke tembok, hingga hancur berkeping-keping.“Kenapa Mas tidak terus terang kalau memang mau nikah lagi …? Mungkin Aya akan lebih ikhlas, persiapkan diri, dan … tidak akan sesakit ini.”“….” Ia terdiam.“Aya butuh waktu untuk memikirkan bagaimana ini ke depannya ....” Kuusap sisa air mata, menarik napas panjang, embuskan pelan. Berusaha kuasai diri agar tetap tenang.Anak-anak begitu menghormati Mas Danang, ia panutan mereka. Apalagi di lingkungan ini suamiku dipercaya memimpin warganya sebagai ketua RW, dan ia belum lama ini disanjung sukses memimpin pembangunan rumah ibadah besar di daerah ini. Kepandaian Mas Danang melobi dan punya banyak relasi memudahkan segala urusannya.Aku tak habis pikir, kenapa sebelum berbuat khilaf terbesar ini ia tak berpikir jauh. Nama baiknya kini menjadi pertaruhan.Ya Rabb, kuatkan hamba mengambil keputusan terbaik ....Aku bukan manusia super kuat, penuh sabar, dan penuh maaf. Meskipun aib ini masih kugenggam tanpa siapa pun tahu kecuali Tuhan dan dua pelakunya, aku butuh waktu mendinginkan kepala untuk tetap berpikir jernih.“Ini, buat bayar kos. Saatnya kamu belajar bertanggung jawab pada diri sendiri. Aku sudah lepas tangan,” tekanku pada April di kamarnya sore ini. Saat ia baru pulang dengan sangat terlambat dari kampus.Satu juta rupiah untuk bekal ia keluar dari rumah. Masalah lain harus belajar dipikirkannya sendiri. Anak kampung tak tahu diri ini harus sadar kalau apa yang diperbuat itu salah, dan aku sama sekali tidak menerima perbuatannya.Tak menjawab satu kata pun April mulai menyiapkan barang-barangnya.“Mau ke mana Kak April, Ma?”Lewat depan kamarnya yang terbuka lebar aku dan April saling pandang, tampak ia tersenyum pada Syifa yang memang cukup dekat dengannya hari-hari.“Ka
Kuminta waktu untuk berpikir, menjanjikan paling lama sebulan. Waktu yang terlalu cepat untukku memutuskan, tapi mungkin akan menjadi waktu terlama untuk mereka yang tak sabar akan konaknya. Ah, manusia, betapa dosa menjanjikan keenakkan sampai kau mengabaikan segalanya.Memohon-mohon ia meninggalkan niat mendua sepertinya tak akan mempan. Terlihat Mas Danang mulai sering menghilang dan desas-desus tentang mereka pun bermunculan.“Mama Almira, itu kok April pindah sering dikunjungin Denok sama bapaknya?”“Iya dengar-dengar bapaknya Almira pernah datang sendiri malah, ngantar sesuatu gitu. Hati-hati loh zaman sekarang biar kayak anak sama bapak tetap bisa tertarik.”“Hu uh, Mbak Aya, bisa kejadian itu. Aku juga ngilu lihat akrabnya April sama Mas Danang, kok lain gitu ya tatapan matanya, beda kalau sama anak sendiri kan kelihatan banget dari mata, Mbak.”Saat kumpul arisan warga sebul
“Ma, Naya pulang sekolah langsung ke rumah Tante Laras aja.” “Iya, Nay. Mama sudah checkin ke Aqua lagi, dua adikmu Syifa di sana sama Tante Wid, apa gak gabung aja? Ajak Tante Laras skalian biar rame.” Aku sengaja bawa kami nginap lagi malam ini, menghindari rumah tentunya. Sebenarnya bisa nginap di rumah saudara, tapi keputusan menikahkan Mas Danang mengundang banyak tanya, aku sedang malas bahas itu berulang-ulang. Bukankah cukup sekali kujelaskan dan mereka harusnya faham. Pengulangan tanya hanya membuka luka yang sudah kubalut. “Nanti deh Nay pikirin, ada tugas kelompok juga ini, Ma, besok dkumpul.” “Iya, Sayang, kerjakan aja dulu. Nanti kita ketemu.” “Mama di mana?” Naya mungkin dengar suara vacum comedo yang menyedot di cuping hidung. “Em,” Aku terjeda pegawai salon permisi akan menyedot bagian dagu. “ini mama di salon, lagi bersih-bersih komedo.” “Ah, coba tau tadi Nay ikut.” “Boleh dong lang
Makin banyak yang datang, tapi tidak anak-anakku mereka bersikukuh memilih tidak ingin melihat ini. Aku paham, asal mereka tahu saja kalau bapaknya sudah menikah itu cukup.Aku duduk lesehan di antara para tamu, menyaksikan semua sampai kata sah dari pernikahan terpaut usia 26 tahun itu terucap. Genggaman erat tangan teman-teman makin menguatkanku untuk tak menangis.“Terima kasih atas keikhlasannya Bu Soraya. Kami atas nama keluarga meminta maaf yang sebesar-besarnya,” tandas paman April yang sebelumnya kupaksa datang untuk menjadi wali.Ia datang sendiri dengan wajah banyak tertunduk, sama seperti yang dilakukan keponakannya itu. Sementara ibunya April tak menampakkan batang hidung sama sekali, sudah pasti malu, merasa bersalah Mas Danang diam-diam menikahi anaknya beberapa hari lalu di rumahnya, tanpa sepengetahuanku.Aku tak menjawab kalimat basa-basi itu. Terlalu sulit untuk banyak bersandiwara, berpura menerima pa
“Ma apa boleh aku nginap di rumah kak April?” Terdengar ragu Denok berkata begitu. Aku yang tengah melihat surat kerjasama dengan perusahaan pengolahan kayu lekas menyingkirkan berkas ke sisi meja, menatap wajah anakku yang terlihat segan.Senyum kuberikan, lalu menyentuh pipinya lembut. “Boleh aja, Sayang. Kenapa enggak, Ayah kan juga ada di sana.”Matanya berbinar senang, tapi terasa menggores silet di dalam dada.“Makasiih, Ma. Mama baiiik banget!” Tubuhku dipeluk dan pipi ini diciumnya gemas.Gadis manja kelas 2 SMP itu segera menelepon seseorang sambil berjalan ke kamar.“Kak April Mama bolehin. Jemput aku, ya! Oh Ayah? Oke aku siap-siap dulu.”Udara terasa sulit kuhela. Denok … masih begitu akrab dengannya.Kenapa ada nyeri terasa menyengat?Secara kasat mata aku menunjukkan ppenerimaan atas kehadiran April di antara diri dan mas Danang, tanpa
Cukup di benak kutahan rasa terkejut. Pernah berfirasat akan begini akhirnya, melihat bagaimana borosnya mereka menghambur uang, hanya tak menyangka kalau secepat ini terjadi.Aku tetap diam menunggu ia selesai bicara.“… aku ada cicilan besar dan tambang lagi ngadat.” Wajahnya terpasang memelas.“Sebesar berapa kok sampai terpikir jual pabrik, Mas?”Ia memberanikan diri menatapku. “Hutang di bank hampir milyaran, Dik … belum lagi yang pribadi, ini gara-gara aku main saham.”“Yang online itu?” Ia mengangguk lemah. “Ya Allah sejak dulu aku menentang keras Mas lakuin itu. Resikonya besar.”“Terlanjur … rumah mungkin akan disita. Sebagian isinya diambil Jumri, puluhan juta uangnya kupinjam.”Aku menghela nafas berat. “Kalian boros sekali. Belum setahun sudah mandi hutang. Kenapa bisa kelepasan begitu?&rdquo
Ia menegakkan badan mukanya mendekat dengan mata tajam. “Sudah lama kubiarkan keuangan kamu kuasai, Soraya. Kamu pikir aku bodoh. Dari awal menikahi April aku banting tulang sendiri!”Wah, wah rupanya ia selalu memikirkan bagiannya dalam pekerjaanku. Ke sini ku kira baik-baik saja, tapi ternyata menyimpan bara yang masih merah.Aku bangkit. “Kita bicara di kamar, Mas!”“Di sini saja. Denok akan paham, biar tahu ibunya itu seperti apa!’Astagfirrullah ….Aku kembali duduk.“Kita perlu membagi harta yang ada, aku punya keluarga tang harus kunafkahi, Aya. Keperluan pribadiku. Mana hasil dari pabrik yang sekarang makin laku? Mana bagianku? Selama ini aku diam tanpa mau tanya, berharap kamu sadar ada hakku di sana. Tapi memang
“Ayo, makan yang banyak.” Aku menyuapi Syifa yang masih pucat. Bibirnya putih dan kering. Kemarin Hb-nya sempat drop, sampai butuh transfusi sekantung darah. Awalnya aku mau memberi darah ini, tapi kondisi kelelahan membuat fisikku tak memenuhi syarat. Akhirnya pakai dari yang tersedia di rumah sakit saja. Kami memindahkannya dirawat di rumah sakit, ini sudah hari ketiga. Alhamdulillah, hasil pemeriksaan sementara tidak ada yang serius, walaupun masih butuh pemeriksaan lanjut. Keadaannya mulai membaik. Jantungku sempat dag dig dug terus menerus melihat kondisinya kemarin, kini bisa menarik napas lega. Mas Danang juga menyusul, ia tak tega melihat keadaan Syifa saat Nay meneleponnya via video. Ya Rabb … keadaan kemarin terasa menampar diri. Aku tersadar saat-saat kritis itu hanya ada kekuatan lewat munajat pada-Nya. Tuhanku … satu-satunya tempat berharap s
POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a
“Wuaah, ini ajaib, Mama Al.” “Cakepnya, anak bule, kulit putih ambil mamanya, hidung mancung dari papanya.” “Kada nyangka, Aya, ikam kawa bisi anak lagi.” (Nggak nyangka, Aya, kamu bisa punya anak lagi) Itu sebagian kecil beragam komentar kawan-kawan saat aku lahiran, bahkan sampai sekarang. Sejak hamil sampai melahirkan mereka rutin lakukan panggilan video, ikut gemas lihat perkembangan anakku. Sekarang Rama sedang aktif-aktifnya melangkah, seperti mau cepat bisa lari. Otot kakinya sudah kuat, tak pernah terlihat jatuh lagi. Aku bersyukur atas kesehatannya ini. Dua perawat siaga, satu bertugas untuk Rama, satu untukku. Suami benar-benar memanjakan kami dengan kemampuannya. Ia melarangku terlalu lelah mengejar Rama yang sangat aktif bermain. “Biarkan yang muda aja
PoV SorayaHari di mana anak-anak memberi hadiah untukku, lukisan pemandangan yang menggetarkan hati. Sangat mengharukan, karena di situ ada kenangan dua orang yang tersimpan dalam.Pertama, tempat itu tempat Mas Danang dulu mengutarakan isi hati. Getaran cinta pertama pada lawan jenis. Kenapa bisa di sana, ya karena aku mengenalnya saat study tour kelas 2 SMA ke Jogja. Ia lebih tua 6 tahun dariku, bertemu di Borobudur langsung bilang suka dalam pandangan pertama. Jodoh menggariskan kami bertemu lagi di Palangkaraya dua tahun kemudian, lalu menikah di usiaku yang masih terbilang muda.Kedua, itu tempat kenangan bersama Mas Mahesa juga. Getaran pertama muncul makin kuat padanya, ia pernah dalam diam menungguku menikmati pemandangan bak karpet hijau terpampang di depan mata. Meski sudah tua saat itu, tapi getarku padanya sempat membuat diri
PoV Denok“Iya, iya. Kewajiban seorang mama ya memang begitu. Memastikan kalau anak-anaknya tumbuh baik.”“Termasuk harus berbohong?” Kututup mulut yang refleks bertanya.“Bohong buat kebaikan kenapa enggak?”“Ih, namanya Mama jahat sama diri sendiri.” Aku memeluk kakinya, mata hampir kembali basah.“Al, Nay, Fa, Denok … kalian dengarkan, ya. Mama ini sayang diri sendiri, sayang kalian-““Sayang Ayah?” Mama terhenti melihatku.Mengatup mulut sedikit mengangguk.“Ya, mama akui sayang ayahmu juga … 21 tahun bersama sebelum peristiwa itu bukanlah waktu sebentar. Kebaikan ayah kalian, di awal kami membangun rumah tangga