Sepanjang perjalanan, Rizki menyebutkan hampir semua fasilitas yang bisa dia pikirkan.Cahya yang berada di ujung telepon, sama sekali tidak peduli dengan apa yang Rizki katakan. Pokoknya begitu Rizki mulai membicarakan desain rumah, Cahya sudah menyalakan perekam suara sambil mencatat."Kurang lebih begitu. Kalau aku terpikirkan sesuatu, aku akan menambahnya lagi. Mengenai hal lainnya serahkan saja pada arsiteknya.""Baik, Pak Rizki."Cahya ingin mengatakan sesuatu, tetapi teleponnya sudah ditutup oleh atasannya.Butuh beberapa waktu bagi Cahya untuk menyadari apa yang baru terjadi.Barusan, sepertinya Pak Rizki ingin mendesain rumah?Rumah??? Rumah dengan fasilitas sebanyak ini??Setelah menutup telepon, kebetulan mobilnya juga berhenti."Pak Rizki, kita sudah sampai.""Ya."Rizki menyimpan ponselnya dan turun dari mobil.Saat ini, pikirannya dipenuhi dengan berbagai desain rumah. Apa yang kurang? Apa yang nanti perlu ditambahkan? Sebaiknya dia mencatatnya setelah kembali.Saat di te
Setelah mengatakan itu, Hana terisak. Dia menenangkan emosinya dan berjalan mendekat. "Lalu yang terpenting, aku hanya menghapus pesan teks itu dan nggak melakukan apa-apa padanya. Kamu lihat, 'kan? Pada akhirnya dia masih melahirkan anak-anak itu. Selama kamu bersedia, aku bisa membesarkan anak-anak itu layaknya anakku sendiri, di masa depan aku juga nggak akan melahirkan anak. Oke?"Rizki menatapnya dengan tak acuh."Anak-anakku nggak akan dibesarkan oleh orang lain.""Rizki ...."Rizki mengepalkan kedua tangannya, sebuah sinar garang muncul di mata gelapnya."Kalau bukan karena kamu pernah menyelamatkanku ... kalau bukan karena itu ...."Sambil menggertakkan gigi, Rizki tidak menyelesaikan kalimatnya.Namun, hanya dari ucapannya itu, Hana sudah bisa mendengar suara gertakan giginya. Dia bahkan dapat merasakan aura dingin yang memancar darinya.Dia selalu merasa, bahwa bila dia tidak menyelamatkan nyawa Rizki waktu itu, Rizki pasti tidak akan membiarkannya begitu saja.Mengingat baga
"Me ... melahirkan anaknya?"Hana terkejut oleh perkataan ibunya. "Ibu, apa maksudmu? Ba ... bagaimana bisa aku melahirkan anaknya? Sekarang dia bahkan nggak mau melihatku lagi. Apa Ibu tahu ... hari ini tatapannya bagaikan mau balas dendam padaku."Tesa melihat putrinya dengan kesal."Kenapa kamu panik? Bukankah kamu putri Keluarga Adelia? Apa kamu takut dengan hal sepele seperti ini?""Tapi ....""Bagaimanapun juga, kamulah penyelamat nyawanya. Hal itu nggak akan pernah berubah. Lihat, bahkan setelah semuanya jadi seperti ini, dia masih nggak bisa berbuat apa-apa padamu. Aku nggak menyangka moral Rizki sekuat itu, kalau aku sih ...."Sampai di sini, Tesa berhenti sejenak dan tidak melanjutkan pembicaraan itu lagi. Sebaliknya, dia kembali membicarakan masalah Hana."Satu-satunya perbedaan antara kamu dan Alya adalah, dia punya anak, sementara kamu nggak. Itulah kenapa Rizki tanpa ragu memilihnya. Tapi bagaimana kalau kamu punya anak juga? Ditambah dengan utang nyawanya, kamu pikir sia
"Tapi, sekarang dia mungkin nggak mau melihatku lagi ....""Ibu akan memberimu kesempatan, kamu hanya perlu mengikuti apa kata Ibu."Melihat ibunya, Hana akhirnya mengangguk....Malam sudah larut.Namun, lampu di ruang kerja Rizki masih menyala.Dia membungkuk di mejanya sambil memegang pulpen. Tumpukan kertas di depannya penuh dengan tulisan dan beberapa sketsa struktur.Meja yang biasanya rapi itu sekarang berantakan, tetapi Rizki sama sekali tidak peduli dan terus mengerjakan desainnya.Ketika sedang fokus bekerja, waktu selalu berlalu dengan cepat.Begitu Rizki selesai menuliskan semua yang dipikirkannya, langit di luar sudah mulai terang. Di matanya juga terdapat garis-garis kemerahan.Meskipun habis bergadang semalaman, dia masih berenergi dan sama sekali tidak lelah.Dia melirik jam, saat ini Alya dan anak-anak seharusnya masih tidur.Rizki dengan hati-hati menyimpan desain kasar yang buru-buru dia buat semalam, lalu dia berdiri dan menutup jendela untuk mencegah angin meniup r
Akan tetapi, Alya hanya bisa mengingat adegan kecil itu. Setiap dia mencoba memikirkannya lebih dalam, kepalanya akan terasa pusing dan dia pun tidak bisa mengingat apa pun.Dia duduk di ujung tempat tidur dan melamun untuk waktu yang lama, tetapi yang dapat dia ingat hanyalah gambaran tadi.Melihat bahwa langit di luar sudah terang, Alya pun terpaksa bangun.Begitu keluar kamar, dia kebetulan bertemu dengan kedua anaknya yang sudah berpakaian rapi dan juga keluar dari kamar.Kebiasaan baik harus dikembangkan sejak dini. Alya mengajari mereka untuk menyiapkan baju yang akan dikenakan keesokan paginya dari malam. Kemudian keesokan harinya, setelah bangun mereka harus langsung ganti baju, tidak boleh menunda-nunda supaya mereka tidak kedinginan.Awalnya kedua anak itu masih kagok, tetapi begitu terbiasa, mereka bisa melakukannya dengan lancar.Akan tetapi, Alya masih agak khawatir. Dia pun menghampiri dan mengecek baju mereka. Sekarang suhu di sini sangat rendah. Jika mereka berpakaian t
Alya mengangkat dagunya dan membalas, "Memangnya kenapa kalau aku mengabaikanmu? Kamu kira kamu siapa? Kamu pikir kamu sepenting itu? Apa aku harus menjawabmu hanya karena kamu panggil?"Alya dengan marah mendorongnya, tetapi sebelum dia bisa berjalan jauh, pergelangan tangannya sudah ditarik kembali oleh pria itu."Kamu mau ke mana? Ayo kita bicarakan dulu."Kalau tidak bisa mencegatnya di sekolah, Rizki akan langsung mencarinya di rumah.Karena mereka adalah teman sejak kecil yang telah tumbuh bersama, meskipun Alya terus memberi tahu Kakek Kepala Pelayan untuk tidak membiarkan Rizki masuk, para pelayan di rumah tentu saja akan tersenyum dan membuka pintu ketika melihat Rizki.Kepala pelayan tua itu hanya akan tertawa dan berkata, "Nona, apa kamu bertengkar dengan Tuan Rizki lagi? Anak-anak biasanya akan berbaikan nggak lama setelah bertengkar.""Mimpi! Aku nggak mau berbaikan dengannya lagi! Kakek, kamu nggak boleh membiarkannya masuk, kalau nggak, aku akan marah.""Kakek, biarkan a
Melihat kertas yang terisi penuh itu, Alya hanya bisa syok.Tidak diragukan lagi, ini adalah tulisan tangan Rizki.Hanya dalam satu malam ....Mengingat lirikan mereka barusan, Alya menyadari bahwa lingkaran hitam di bawah mata Rizki memang lebih buruk darinya meskipun penampilan pria itu masih tampak sangat rapi.Setelah melihat halaman-halaman desain itu dengan cepat, Alya menutup tumpukan desain tersebut dan mengembalikannya pada Rizki.Rizki agak terkejut."Kamu ... sudah selesai melihatnya?"Alya mengangguk dengan ekspresi tak acuh.Melihat ini, Rizki pun tampak ragu. Dia tidak langsung mengambil desainnya kembali dan berkata, "Cepat sekali, kamu sudah melihat semuanya?"Nada bicara Alya masih tetap tak acuh. "Sudah."Rizki meliriknya.Meskipun Alya bilang sudah lihat, sikap dan nada bicaranya yang tak acuh jelas menunjukkan bahwa dia tidak melihat desain-desain ini dengan serius.Rizki merapatkan bibirnya, dia merasa agak kesal. Akan tetapi, dia masih berkata, "Apa desain ini ngg
Di mana ada penjual, di situ ada pembeli. Kebanyakan orang datang ke area ini di pagi hari seperti sekarang. Membawa mobil masuk ke sana bukanlah masalah, tetapi mengeluarkannya nanti akan memakan waktu.Jika hari ini mereka hanya sarapan tanpa perlu buru-buru ke sekolah, mereka bisa saja membawa mobil masuk.Hanya saja ....Alya hendak berbicara ketika mendengar Rizki yang lebih dulu berkata, "Kita turun saja lalu jalan."Kata-kata Alya telah direbut olehnya.Alya melirik belakang kepala Rizki dengan kesal."Ayo." Rizki menaruh tas sekolah anak-anak, lalu membawa kedua anak itu turun dari mobil.Sang sopir segera berkata, "Pak Rizki, aku akan menunggu kalian di mobil."Rizki mengangguk.Melihat ini, Alya pun terpaksa ikut turun dari mobil.Setelah turun, dia melirik pakaian Rizki. "Kamu yakin mau makan jajanan pinggir jalan bersama kami dengan jas mahal itu?"Rizki menatapnya balik."Apa ada masalah? Kamu sendiri juga berpakaian mencolok."Mendengar ini, Alya refleks menunduk untuk me
Biasanya dalam situasi seperti ini, Hana akan berbalik dan pergi.Namun, sekarang Hana tidak punya apa-apa lagi. Dia maju beberapa langkah, lalu menggigit bibirnya dan berkata, "Apa maksudmu dengan bercanda menggunakan perasaanmu? Kamu nggak berpikir kalau perasaanmu padanya tulus, 'kan? Begitu tulus sampai-sampai kamu nggak peduli kalau dia jatuh ke dalam pelukan pria lain?"Irfan melihat ke arah asistennya. "Bawa dia keluar.""Irfan, Alya akan bersama dengan Rizki. Apa kamu akan membiarkan mereka bersama begitu saja? Aku tahu bahwa selama 5 tahun ini kamu terus menemani Alya, kamu telah menunggunya selama 5 tahun. Bukankah kamu ingin bersama dengannya? Apa kamu bersedia kalau hari ini dia diambil oleh orang lain?"Hana berteriak seperti orang gila dan hampir histeris, tetapi orang di depannya masih tetap tenang."Sudah cukup bicaranya?"Hana tercengang.Apa maksudnya? Dia sudah berbicara panjang lebar, tetapi Irfan bahkan tidak peduli sedikit pun?Ini tidak masuk akal. Bukankah pria
Setelah ibunya pergi, Hana jatuh ke tempat tidur rumah sakit, menutupi pipinya yang memar dan menangis kesakitan.Jangankan ibunya, dia bahkan ingin menampar dirinya sendiri.Baru sekaranglah dia sadar, bahwa dia harusnya berhenti sejak dulu ....Namun, tampaknya, sekarang sudah terlambat untuk melakukan apa pun.Apakah ada seseorang yang bisa menolongnya?Mungkin ... ada seseorang yang bisa menolongnya.Hana terpikirkan seseorang dan melompat turun dari tempat tidur. "Nanda, cepat, bawa aku mencari taksi."Malam ini adalah malam yang sibuk.Di teras yang hening.Hasan menuangkan secangkir teh panas untuk Irfan, uap teh mengepul di udara yang dingin. Hana berdiri di hadapannya, dengan Nanda yang menopangnya di samping.Dia sudah cukup lama berdiri sana, tetapi Irfan sama sekali tidak berbicara ataupun mempersilakannya duduk.Bahkan Hasan yang berada di sisinya hanya menuangkan secangkir teh panas.Dia berlari keluar dengan terburu-buru, sehingga dia masih mengenakan gaun rumah sakit da
"Sebenarnya apa yang terjadi?"Nanda secara singkat menjelaskan apa yang dia tahu."Apa? Rizki datang?" Kegembiraan melintas di mata Tesa, dia maju dan menggenggam tangan Hana. "Hana, kenapa kamu nggak memberitahuku kalau Rizki datang? Dia datang menjengukmu, 'kan?"Sayangnya, mata Hana penuh dengan keputusasaan. Dia terlihat seperti pecundang. Tesa memanggilnya berkali-kali, tetapi dia tidak merespons."Hana? Cepat bicara!"Melihatnya yang seperti ini membuat Tesa kesal.Kemudian barulah Hana mendongak, matanya penuh dengan air mata."Ibu, dia tahu, dia sudah tahu. Selanjutnya dia nggak akan membiarkanku, dia juga nggak akan membiarkan Keluarga Adelia."Tesa mengerutkan keningnya."Tahu apa? Bicaralah yang jelas.""Alya, Alya Kartika, ingatan dia sudah kembali. Dia memberi tahu Rizki kebenarannya. Sekarang Rizki sudah tahu bahwa bukan aku yang menyelamatkannya. Dia akan membereskanku, selanjutnya dia pasti akan membereskan kita. Ibu, kita harus bagaimana?"Meskipun perkataan Hana agak
Sekarang Hana pun gelisah.Namun, sekarang dia sudah menenangkan dirinya. Malam ini Rizki datang untuk mempermainkannya.Selama dia menolak untuk mengakuinya, tidak ada yang bisa melakukan apa pun padanya.Memikirkan hal ini, Hana menatap Rizki dan berkata, "Bukankah kamu nggak tahu terima kasih? Apa kamu ke sini untuk mempermainkanku dan memberikan bukti pada Alya? Rizki, biar kuberi tahu kamu, aku nggak akan memberimu apa yang kamu mau. Kamu diselamatkan olehku yang telah mempertaruhkan nyawa. Waktu itu, aku hampir tenggelam di sungai demi menyelamatkanmu. Sementara mengenai Alya, dia bukan urusanku. Tapi, nggak ada satu pun orang yang bisa merebut jasaku. Kalau kamu mau menjadi orang yang nggak tahu terima kasih, silakan. Tapi jangan harap kamu bisa memaksa atau menyogokku untuk mendapatkan bukti apa pun."Setelah mengatakan itu, Hana langsung berbalik dan berjalan ke tepi tempat tidur, dia melepaskan sepatunya, lalu naik ke tempat tidur."Selama belasan tahun ini, akulah yang telah
Jawaban ini membuat Hana benar-benar panik.Tadinya, dia kira Rizki menanyakan hal ini karena ingin mendengarnya menceritakan ulang kejadiannya. Namun, ternyata ....Begitu menyadari betapa buruknya nasib yang harus dia hadapi bila Rizki sampai mengetahui kebenarannya, Hana pun seketika menjadi panik dan mulai berbicara dengan tidak jelas."Rizki, waktu itu benar-benar aku yang menyelamatkanmu. Jangan dengarkan omong kosong Alya, dia hanya ingin membohongimu dan membuatmu membuangku."Dari ucapannya ini, Rizki akhirnya mendapatkan kata kunci yang dia cari-cari. Matanya menyipit dengan mengancam, suaranya juga menjadi sangat dingin."Memangnya aku sudah bilang siapa yang mengatakannya?"Hana pun tercengang."Waktu itu, bukankah hanya ada aku dan kamu di tepi sungai? Kenapa kamu mengira Alya yang mengatakan sesuatu padaku? Kalau dia nggak di sana, apa perkataannya itu penting?"Sampai di sini, nada bicara Rizki seketika berubah menjadi tajam."Atau maksudmu, waktu itu bukan hanya ada kit
Hana tertegun oleh pertanyaannya dan membeku di tempat, dia menatap Rizki dengan bingung.Setelah waktu yang lama, barulah dia menyadari sesuatu.Mungkinkah Rizki sudah mengetahui kebohongannya?Tidak, itu tidak mungkin.Saat diselamatkan, Rizki masih tidak sadarkan diri. Alya juga telah kehilangan ingatannya. Rizki tidak mungkin mengetahuinya, kecuali Alya mendapatkan ingatannya kembali.Namun, bertahun-tahun telah berlalu, jika Alya ingin mendapatkan kembali ingatannya dia pasti sudah lama melakukannya, kenapa harus menunggu sampai sekarang?Apalagi, jika Alya benar-benar telah mendapatkan kembali ingatannya, apakah dia bisa menahan diri untuk tidak segera datang ke sini dan menemuinya? Dia mungkin sudah memberi tahu seluruh dunia bahwa dialah yang menyelamatkan Rizki.Setelah memikirkan hal ini, Hana merasa bahwa dirinya mungkin hanya terlalu sensitif dan curiga karena mimpinya.Rizki yang sekarang menanyakan hal-hal ini, sebenarnya memberikan kesempatan yang sangat bagus untuknya.
Karena di depan Rizki, dia selalu tampil ramah dan lembut, tidak pernah bertingkah seperti perempuan jahat seperti sekarang.Hana panik, dia segera menyibakkan selimutnya dan turun dari tempat tidur."Rizki, kenapa kamu ke sini?"Sebelum Hana selesai bicara, air mata sudah mengalir di pipinya. Dia menangis dan bergegas menghampiri Rizki."Aku kira kamu nggak mau berbicara denganku lagi."Rizki menurunkan matanya, memandang pergelangan tangan Hana."Kenapa kamu marah sekali?"Mendengar ini, Hana buru-buru menjelaskan, "A ... aku kira kamu mengabaikanku, jadi suasana hatiku sangat jelek. Maaf ... aku nggak bermaksud begitu. Nanda, apa kamu baik-baik saja?"Nanda menggeleng. Sambil melangkah mundur, dia membenci Hana yang bermuka dua ini di dalam hatinya. "Kalau begitu aku keluar dulu, kalian berdua silakan mengobrol."Dia segera pergi, bahkan menutup pintu kamar tersebut untuk Hana.Hana tidak tahu sekarang pukul berapa, tetapi seharusnya sudah malam sekali. Dia tidak menyangka Rizki aka
Setelah Rizki pergi, Alya berdiri seorang diri di depan pintu, berusaha menenangkan napas dan perasaannya.Beberapa waktu kemudian, dia mengangkat tangan dan menyentuh pipinya.Masih hangat ....Jelas-jelas tadi hanya sebuah pelukan.Akan tetapi, dia tidak menyangka Rizki benar-benar memercayainya dan sama sekali tidak mempertanyakannya.Bukankah ini artinya, hati Rizki selalu lebih condong kepadanya?"Mama?"Tiba-tiba, terdengar suara anak kecil dari belakangnya.Alya kaget dan berbalik, menemukan bahwa Satya sudah bangun entah sejak kapan dan sedang berdiri di sana menatapnya.Melihat putranya, Alya pun terkejut."Satya, kenapa kamu bangun?"Bukankah dia sudah tidur?Mata Alya menghindari putranya. Sudah berapa lama Satya berdiri di sana? Barusan dia tidak melihatnya, 'kan?Sambil memikirkan hal itu, Alya berjalan menghampiri Satya, lalu berjongkok di depannya dan menggendongnya. "Kamu keluar tanpa pakai baju tebal, bagaimana kalau nanti kamu sakit?"Setelah digendong, Satya memeluk
"Ya sudahlah." Alya berbalik. "Lagi pula kejadian itu sudah sangat lama berlalu. Kalau aku nggak mengingatnya, siapa pun pasti akan mengira dia yang menyelamatkanmu."Melihat punggungnya, Rizki merapatkan bibir."Kamu tenang saja, aku nggak akan membiarkan pencapaianmu dicuri oleh orang lain tanpa alasan."Alya tertawa dengan dingin."Apa gunanya kamu mengatakan itu sekarang? Semua orang sudah mengira dia yang menyelamatkanmu, kejadiannya juga terjadi bertahun-tahun yang lalu. Apa sekarang kamu akan keluar dan berkata bahwa yang menyelamatkanmu adalah aku dan bukan dia? Apa kamu punya bukti?""Nggak.""Jadi ...."Bahunya terasa berat, Rizki tiba-tiba memegang bahunya dan menariknya, membuatnya bertatap muka dengan pria itu."Bukti adalah sesuatu yang, selama aku inginkan, pasti ada."Alya tertegun. "Apa?"Rizki berkata, "Tadinya, aku hanya ingin memutus hubungan dengannya, lagi pula dia telah menyelamatkanku. Tapi sekarang karena dia nggak menyelamatkanku, ini bukan lagi hanya tentang