Setelah beberapa detik, Rizki pun menundukkan kepalanya.Akan tetapi, di mana anak kecil tadi? Setelah berterima kasih pada Rizki, anak itu sudah masuk ke toilet. Saat ini Rizki pun tidak tahu bilik mana yang dimasuki anak itu.Rizki mengatupkan bibirnya, berdiam di tempatnya sambil mengerutkan kening.Dia sudah tidak lagi mendengarkan apa yang diucapkan oleh orang di teleponnya.Apa tadi hanya perasaannya saja?Atau mungkin, karena kedua anak itu mengumumkan bahwa mereka tidak akan melakukan siaran langsung untuk sementara waktu, Rizki mulai merindukan mereka. Oleh karena itu, saat ini dia pun malah mendengar suara anak laki-laki bernama Satya dari siaran langsung itu."Pak Rizki, mengenai kerja sama kali ini, sebenarnya aku memiliki beberapa ide. Mungkin kita bisa mengatur waktu untuk ...."Sebelum orang itu dapat selesai berbicara, Rizki tiba-tiba menyelanya dengan suara dingin, "Apa barusan kamu mendengar suara?"Rekan kerja samanya yang tiba-tiba disela itu pun tercengang."Hah?"
Jika dia tidak salah lihat, orang itu baru saja keluar dari toilet, 'kan?Jadi ....Oh tidak!"Alya!"Citra buru-buru berlari ke arah toilet. Ketika dia sedang mengantre tadi, dia baru menyadari satu masalah. Satya adalah anak laki-laki, sehingga Satya tidak bisa dibawa masuk ke toilet wanita. Namun, di saat yang sama, Alya juga tidak bisa mengikuti Satya ke dalam toilet pria. Masalah ini bisa jadi sangat merepotkan.Oleh karena itu, Citra pun buru-buru berlari ke sini. Dia berniat untuk menunggu di luar, melihat apakah ada sesuatu yang bisa dia bantu.Dia tidak menyangka akan bertemu dengan Rizki.Dia sudah sangat lama tidak melihat pria itu.Lima tahun telah berlalu, Rizki yang sekarang memiliki perawakan serta penampilan seorang pria matang. Dia terlihat lebih mapan, tetapi auranya juga lebih dingin dan kuat.Dari jauh saja, Citra dapat merasakan aura dingin yang dipancarkan Rizki.Fitur wajah pria itu juga lebih tajam dan tampan dibandingkan dulu.Karena itulah Citra dapat langsung
Karena Alya tidak tahu, Citra pun tidak perlu membicarakannya.Pokoknya, hubungan bernasib buruk itu sudah berakhir.Selain itu, Alya pantas mendapatkan pria yang lebih baik.Dengan pemikiran tersebut, hati Citra pun menjadi jauh lebih tenang. Dia tersenyum dan bercanda, "Hm, misalnya kamu melihat seseorang membawa jalan anjing atau melihat pengemis."".... Apa kamu baik-baik saja? Anjing nggak diperbolehkan di bandara, pengemis juga nggak boleh masuk," ujar Alya."Yah, mungkin karena kalian akan pergi, aku sangat patah hati sampai-sampai aku jadi gila. Bagaimana kalau sebaiknya kamu tinggal saja?"Ck, Alya terlalu malas untuk berurusan dengan rajukannya.Alya menunduk untuk merapikan baju anak-anaknya. Tepat pada saat ini, dia mendengar Satya berkata, "Mama, aku bertemu paman yang sangat tampan di toilet. Dia yang membukakan pintu untukku."Alya tidak tahu siapa yang telah anaknya temui, jadi dia hanya membalas, "Begitukah? Apa Satya sudah mengucapkan terima kasih pada paman itu?""Su
Mulai sekarang, sebaiknya dia lebih bersikap tenang dalam menghadapi masalah."Citra, ada apa?"Bayu dan Yuni yang sudah berjalan cukup jauh menoleh ke belakang dan menemukan bahwa Citra masih berdiri diam di tempat. Kedua orang tua itu pun menghentikan langkah mereka dan menatap wanita tersebut.Mendengar suara mereka, Citra tersadar kembali dan hanya tersenyum."Apa kamu nggak mau berpisah dengan Alya? Aduh, sekarang kalian anak muda bisa tinggal naik pesawat saja kalau ingin bertemu. Jangan bersedih."Yuni menghampiri untuk menghiburnya."Aku tahu, Bibi. Jangan khawatir. Kalau aku merindukannya, aku akan pergi menemuinya.""Ayo kita pergi."Sebelum pergi, Citra tidak bisa menahan dirinya dan menoleh lagi untuk melihat tempat pemeriksaan.Dia harus memastikan bahwa Alya tidak bertemu dengan Rizki.Biarkanlah takdir buruk ini berlalu seperti di toilet tadi....Setelah melewati pemeriksaan, Alya membawa kedua anaknya berjalan ke depan. Dia sama sekali tidak perlu membawa koper dan bar
Maya menjilat bibirnya, dia merasa sangat lapar.Namun, karena mamanya bilang dia tidak boleh makan, dia hanya bisa memikirkan minuman di pesawat nanti.Dia mengedipkan matanya, menatap gambar-gambar minuman dingin yang digantung di pintu toko.Hasan yang melihat dari samping merasa bahwa Maya sangat menggemaskan. Hanya melihatnya saja, Hasan ingin memberinya makan.Oleh karena itu dia pun berkata, "Bu Alya, terkadang anak-anak menyukai hal semacam ini. Bagaimana kalau aku membelikan kedua anak ini segelas saja?"Alya tersenyum tipis."Pak Hasan, bukankah kamu pelayan kami? Bagaimana kalau kami yang membelikanmu segelas minuman? Lagi pula, kamu sudah bekerja keras membantu kami."Hasan menjawab, ".... Kalau begitu sebaiknya lupakan saja, aku nggak perlu.""Oh ya, Pak Hasan. Mulai sekarang kamu nggak usah memanggilku Bu Alya lagi. Sekarang aku sudah bukan manajer perusahaannya Irfan."Hasan berpikir sejenak, lalu mengangguk."Baik, Nona Alya."Semua orang pun melanjutkan perjalanan mere
"Nona Alya?" Hasan sudah lama berada di sisi Irfan dan telah belajar untuk mengamati ekspresi orang. Melihat raut wajah Alya yang kurang baik, dia pun bertanya, "Ada apa?"Hasan adalah seorang pria. Di hadapan pria sepertinya, Alya masih merasa agak malu.Namun,dalam situasi sekarang ini, Alya harus segera pergi ke toilet untuk menangani masalahnya.Dia merapatkan bibirnya, lalu berkata, "Maaf, aku mau ke toilet sebentar. Kalian pergi ke tempat duduk kalian dulu bersama Pak Hasan. Nanti aku akan menyusul."Setelah Alya pergi, Hasan melirik kedua anak kecil tersebut."Kalau begitu, ayo kita pergi dulu?"Wajah kecil Satya yang tampan menunjukkan ekspresi khawatir.Dia teringat sesuatu dan bertanya pada Hasan, "Paman Hasan, hari ini tanggal berapa?"Hasan melirik ponselnya dan memberi tahu tanggal hari ini."Memangnya ada apa dengan tanggal ini?" tanya Hasan.Begitu mendengar tanggal berapa hari ini, Satya pun mengerti. Dia menghitung dengan jarinya, lalu berkata, "Sepertinya hari ini tan
"Baik, tiga gelas cokelat panas. Mohon ditunggu sebentar. Bapak bisa menunggu sambil duduk dulu.""Oke."Hasan melihat-lihat dan menemukan sebuah tempat di sebelah jendela. Dia pun membawa kedua anak kecil itu ke sana."Ayo, ikut Paman Hasan ke sana."Maya cepat-cepat berlari ke depan dan memegangi baju Hasan.Hasan menunduk dan melihat sebuah tangan merah mudah yang kecil memegangi bajunya. Tangan itu sangat kecil, bahkan tidak sampai sepertiga tangannya sendiri.Meskipun kecil, tangan itu memegang bajunya dengan erat-erat.Hasan, seorang pria yang besar dan kekar, dalam sekejap merasa hatinya menjadi lunak.Pantas saja banyak orang yang menyukai anak kecil.Jadi dia pun melambatkan langkahnya supaya Maya dapat mengikutinya. Kemudian, dia memandang Satya.Anak laki-laki masihlah anak laki-laki. Satya dengan hati-hati menjaga jaraknya. Anak laki-laki itu berjalan di samping adiknya dengan wajah serius, seperti orang dewasa kecil.Sejak diperingati oleh Rizki tadi, Cahya tidak berani un
Wanita itu tertegun dan seketika mengerti. "Kalau begitu jagalah dirimu baik-baik, ya.""Terima kasih." Alya memaksakan sebuah senyum pucat untuk berterima kasih padanya.Setelah keluar dari toilet, Alya melihat sebuah pintu keberangkatan di depannya. Dia pun berjalan ke sana dan menemukan sebuah kursi. Kemudian dia mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan pada Hasan: "Pak Hasan, apa kalian sudah di pintu keberangkatan?"Ketika menerima pesan Alya, Hasan sudah cukup lama menunggu di dalam kafe tersebut. Dia masih belum menerima tiga gelas cokelat panasnya, sehingga dia pun mulai agak tidak sabar.Bukankah efisiensi toko ini terlalu rendah?Tepat pada saat itu, Hasan menerima pesan dari Alya.Hasan refleks membalas, "Kami berada di dalam kafe barusan ....""Pak, tiga gelas cokelat panasnya sudah siap."Hasan belum selesai mengetik balasannya ketika pelayan kafe tersebut memanggilnya."Oke." Hasan terpaksa menyimpan kembali ponselnya. Dia memegang kembali koper-kopernya, lalu