Wisnu tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi nada bicaranya telah menunjukkan emosinya dengan cukup jelas.Dia merasa kesal dengan keras kepalanya Alya.Alya hanya bisa bersyukur pria ini tidak mengetahui kehamilannya. Kalau tidak, nada bicaranya akan menjadi jauh lebih parah.Mungkin karena Alya terus terdiam, Wisnu tidak mengatakan apa-apa lagi. Pria itu membawanya ke sebuah restoran, lalu setelah memesan makanan, dia berkata, "Kamu tunggu di sini sebentar, aku akan kembali dalam 10 menit.""Baik." Alya mengangguk, sama sekali tidak memiliki tenaga untuk menanyakan ke mana Wisnu mau pergi.Sepuluh menit kemudian, Wisnu kembali dengan sebungkus plastik di tangannya."Ambillah.""Apa ini?"Wisnu menjawab, "Obat. Kamu sakit, 'kan? Sebagai orang dewasa, seharusnya kamu selalu membawa obat-obatan bersamamu. Ketika kamu sakit, minumlah obatnya."Alya menatap plastik itu untuk beberapa saat dan berkata, "Tapi aku sudah nggak apa-apa.""Kalau begitu simpan saja untuk lain waktu.""Baiklah."
Pikiran Wisnu pun kembali terfokus ke saat ini.Dia melirik gadis di hadapannya.Gadis ini berpakaian dengan sangat sederhana, rambut panjangnya yang tergerai hanya diselipkan di belakang telinganya. Hari ini, Alya bahkan tidak mengenakan riasan wajah, sehingga dia tampak memancarkan kecantikan yang rapuh.Hal ini membuat orang-orang merasa kasihan ketika melihatnya.Wisnu adalah orang yang tahu diri.Dia tahu bahwa dirinya tidak bisa dibandingkan dengan Rizki, pantas untuk dibandingkan pun tidak.Ketika Keluarga Kartika bangkrut, dia bepergian ke banyak tempat. Sayangnya, dia bukanlah orang penting, sehingga kata-kata yang diucapkannya tidak memiliki banyak arti. Dia sama sekali tidak bisa membantu.Bahkan CEO sebuah perusahaan berterus terang padanya dengan berkata, "Wisnu, kamu luar biasa, aku pun sangat menghargai kemampuanmu. Tapi, sekarang Keluarga Kartika sudah jatuh. Orang cerdas seharusnya tahu bagaimana cara membuat pilihan, kamu bisa bergabung dengan perusahaanku."Waktu itu
Alya membalas: "Aku akan kembali begitu jam makan siang berakhir."Setelah itu, Rizki tidak membalas pesannya lagi.Dia meletakkan kembali ponselnya dan berkata pada Wisnu, "Aku mengerti, Kak Wisnu."Tatapan Wisnu untuk beberapa saat tertuju pada ponselnya, pria itu bertanya, "Pesan dari Rizki?"Alya terdiam sejenak, lalu mengangguk.Wisnu pun tidak mengatakan apa pun lagi. Mereka berdua lalu menghabiskan makanan yang tersisa dalam diam dan membayar tagihannya. Kemudian, Wisnu mengantar Alya kembali.Ketika Alya memasuki lift, dia menyadari bahwa Wisnu juga mengikutinya masuk.Dia pun agak terkejut. "Kamu juga mau naik?"Kantor tempat mereka bekerja tidak berada di tempat yang sama.Satu tangan Wisnu berada di dalam sakunya, ekspresinya tampak tenang. "Aku mau menemui Pak Rizki, kebetulan ada yang perlu aku laporkan."Setelah keluar dari lift, Wisnu mengecek waktu di jam tangannya. Kemudian, dia menatap Alya dan berkata, "Masih ada 10 menit sebelum jam kerja dimulai, nggak sopan kalau
Di bawah tatapannya yang seperti itu, Alya tidak tahu harus berbuat apa.Lagi pula ketika Alya keluar siang tadi, bukankah Rizki datang ke kantor bersama Hana? Kenapa Alya tidak ada di dalam ruang kantornya?Alya tenggelam dalam pikirannya. Wisnu menanyakannya sesuatu, dia pun tersadar kembali dan cepat-cepat merespons.Ketika laporan kerjanya sudah selesai, Wisnu lalu bersiap untuk pergi.Rizki dengan dingin mengangguk.Begitu Wisnu berjalan pergi, tatapan Rizki seketika jatuh pada Alya. Sebelumnya dia berdiri di belakang Wisnu, sehingga dirinya agak tertutupi dari pandangan Rizki.Sekarang, dia sama sekali tidak bisa menghindar.Saat ini, Wisnu yang hampir mencapai pintu ruang kantor tiba-tiba menoleh dan memandang Alya. "Alya, besok siang bagaimana kalau aku juga menjemputmu?"Mendengar ini, Alya tertegun sejenak.Rizki juga menyadari sesuatu dan mengangkat alisnya."Pak Rizki, apa kamu keberatan bila aku berbicara sebentar dengan Bu Alya?"Alya mengangkat alis indahnya.Apa yang ma
Atau mungkin, pria ini hanya berpura-pura seperti tidak ada yang terjadi?"Kenapa kamu diam saja?" Rizki memegang dagu Alya. Dia jelas menyadari bahwa perhatian Alya sedang teralihkan pada hal lain. Rizki pun menyipitkan matanya. "Ada apa?"Alya menatap wajah tampan di depannya. Dia membuka mulutnya, seolah-olah hendak mengatakan sesuatu tetapi ragu.Dia sungguh ingin mengatakannya, dia ingin menanyakannya.Namun, begitu kata-katanya sudah mencapai lidah, dia menyadari bahwa itu semua sia-sia ....Dia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.Bagaimana kalau Rizki tiba-tiba menjadi suram dan menanyakannya, "Aku hanya ingin menyisakanmu sedikit harga diri, jadi aku pura-pura nggak tahu. Alya, kenapa kamu nggak tahu terima kasih?"Jika Rizki berbicara seperti itu, apa yang harus dia lakukan?Situasi saat ini sudah cukup baik untuk mereka berdua. Diam-diam menanganinya seorang diri pun juga tidak buruk."Nggak apa-apa." Alya menggelengkan kepalanya.Mata Rizki sedikit menggelap.Lagi-lagi
Ucapannya membuat Citra sedikit lebih tenang.Mereka sudah bertahun-tahun bersahabat, Citra pun menganggap dirinya telah mengenal Alya. Dia paham betul bahwa Alya adalah orang yang tahu kapan harus maju dan kapan harus mundur. Seharusnya dia sudah lama mengantisipasi hasil semacam ini.Namun, tetap saja, dia masih merasa kasihan pada teman baiknya ini.Citra menggigit bibirnya dan bertanya, "Tapi ... apa kamu benar-benar mau?"Alya menjawab, "Kalaupun aku nggak mau, apa gunanya?"Alya memang tidak mau, dia pun sudah mencoba untuk mengubahnya.Akan tetapi, dia telah ditampar oleh kenyataan yang memberitahunya untuk tidak berkhayal."Apa besok kamu ada waktu luang? Maukah kamu menemaniku ke rumah sakit?" Alya terdiam sejenak dan tertawa kecil. "Aku nggak mau pergi sendirian."Citra mengangguk. "Tolonglah, aku ini sahabatmu satu-satunya. Bahkan kalau aku sibuk, aku akan meluangkan waktuku, oke? Kamu nggak perlu bertanya padaku, langsung minta saja aku untuk pergi denganmu."Alya tersenyum
Dengan susah payah Alya pun membawa Rizki kembali ke kamar. Pada akhirnya, Alya tersandung dan terjatuh ke dada pria itu.Entah bagaimana, jatuhnya Alya memicu sesuatu dari dalam diri Rizki. Tangan besar pria itu mencengkeram pinggangnya yang ramping. Pria itu lalu berbalik dan menjepit Alya di bawah tubuhnya.Tubuh Rizki memang terlihat ramping, tetapi tubuhnya juga kokoh. Seluruh berat tubuhnya menimpa Alya. Entah karena alkohol atau bukan, wajah Alya terasa panas. Dia pun hendak mendorong Rizki bangun.Akan tetapi ketika dia hendak mendorongnya, bibir hangat dan tipis pria itu mencium bibirnya.Alya tercengang. Saat dia hendak mendorongnya, dia malah merasakan sesuatu yang hangat di mulutnya.Tiba-tiba, otaknya seperti telah tersambar oleh sesuatu. Tubuhnya sama sekali tidak bisa bergerak.Ketika dia tersadar, dia sudah membalas ciuman Rizki.Rizki yang menerima balasannya pun memeluknya dengan amat erat.Malam itu, Alya tidak lagi menahan dirinya.Ketika dia terbangun di pelukan Ri
Setibanya di rumah sakit, Citra melihat-lihat ke sekitar. Raut wajahnya tampak aneh. Dia lalu berbisik pada Alya, "Kenapa kita nggak pergi ke rumah sakit besar di sana saja? Bukankah rumah sakit kecil lebih berisiko untukmu?"Alya menjawab, "Rumah sakit besar nggak nyaman."Beberapa orang yang dikenal neneknya Rizki bekerja di rumah sakit besar. Waktu itu dia tidak mempertimbangkan kehamilannya, sehingga dia pergi ke sana untuk diperiksa.Sekarang dia harus mengurus kehamilannya, jadi dia tidak bisa lagi pergi ke rumah sakit itu.Untuk jaga-jaga supaya dia tidak ketahuan ... dan diadukan ke neneknya Rizki.Jadi, supaya aman, Alya bermaksud untuk mengurus kehamilannya di rumah sakit kecil ini.Alya harus menjalani pemeriksaan dulu, Citra pun pergi untuk mendaftarkannya dan melakukan pembayaran.Sambil menunggu pemeriksaan, mereka berdua duduk di kursi.Terkadang Citra akan menoleh untuk mengamati Alya. Beberapa saat kemudian, dia menoleh untuk melihat lagi. Dalam beberapa menit, Citra s