Setibanya di rumah sakit, Citra melihat-lihat ke sekitar. Raut wajahnya tampak aneh. Dia lalu berbisik pada Alya, "Kenapa kita nggak pergi ke rumah sakit besar di sana saja? Bukankah rumah sakit kecil lebih berisiko untukmu?"Alya menjawab, "Rumah sakit besar nggak nyaman."Beberapa orang yang dikenal neneknya Rizki bekerja di rumah sakit besar. Waktu itu dia tidak mempertimbangkan kehamilannya, sehingga dia pergi ke sana untuk diperiksa.Sekarang dia harus mengurus kehamilannya, jadi dia tidak bisa lagi pergi ke rumah sakit itu.Untuk jaga-jaga supaya dia tidak ketahuan ... dan diadukan ke neneknya Rizki.Jadi, supaya aman, Alya bermaksud untuk mengurus kehamilannya di rumah sakit kecil ini.Alya harus menjalani pemeriksaan dulu, Citra pun pergi untuk mendaftarkannya dan melakukan pembayaran.Sambil menunggu pemeriksaan, mereka berdua duduk di kursi.Terkadang Citra akan menoleh untuk mengamati Alya. Beberapa saat kemudian, dia menoleh untuk melihat lagi. Dalam beberapa menit, Citra s
Alya berkata, "Mungkin gula darahku rendah,""Kalau begitu aku akan membelikanmu makanan. Tunggu aku di sini, aku akan segera kembali."Citra pun cepat-cepat pergi.Setelah sahabatnya pergi, Alya bersandar di kursi dan memejamkan matanya dengan lelah.Di dalam kepalanya, kedua suara itu kembali bertengkar."Apa yang kamu pikirkan? Kamu sudah memutuskannya, 'kan? Lagi pula kamu sudah datang ke rumah sakit, apa lagi yang kamu ragukan? Kalau kamu nggak menyelesaikan masalah ini, kamu akan terus menderita. Jangan lupa, dia sudah menawarkanmu untuk bercerai.""Memangnya kenapa kalau dia mau bercerai? Alya, kamu sudah dewasa. Apa kamu benar-benar nggak mampu membesarkan seorang anak?""Kamu pikir kecukupan finansial saja cukup untuk membesarkan seorang anak? Bagaimana dengan aspek emosional dan psikologisnya?""Kalau kamu khawatir anak itu nggak akan punya ayah, kamu bisa cari lagi saja. Kamu masih muda, apa kamu takut nggak akan menemukan seorang suami?"Gula darah rendah ditambah dengan du
Sebelum Ratna dapat menyelesaikan kalimatnya, sebuah sosok familier tiba-tiba keluar dari ruang konsultasi di belakang."Ibu."Begitu suara lembut gadis itu terdengar, raut wajah Ratna yang angkuh dan sinis seketika berubah secara drastis.Alya pun mengalihkan pandangannya ke pemilik suara tersebut.Dia langsung mengenalinya. Gadis itu adalah anak perempuan Ratna, Intan Pranata.Terdapat laporan hasil pemeriksaan di tangan gadis itu. Wajah dan bibirnya pucat, kondisinya terlihat sangat buruk. Alya belum mengatakan apa pun, tetapi Ratna yang tadi mengejeknya buru-buru berbalik dan membawa Intan pergi.Dari langkah Ratna yang terburu-buru, Alya sudah dapat menebak hasilnya.Akan tetapi, Alya tidak pernah tertarik dengan urusan pribadi orang lain, jadi dia tidak memedulikannya.Tak lama kemudian Ratna kembali lagi, tetapi dia kembali seorang diri. Mungkin dia menaruh putrinya di tempat lain.Dia berjalan ke depan Alya, ekspresinya menunjukkan kesinisan yang tidak sesuai dengan wajahnya ya
Mereka sudah terluka, oleh karena itu Alya tidak akan memberi mereka luka kedua.Dua menit kemudian, Citra akhirnya kembali."Aku beli roti lapis dan susu kacang, ada permen juga. Nggak banyak yang dijual di minimarket, kamu makan yang ada saja dulu."Sambil berbicara, Citra membukakan bungkus roti lapis tersebut dan memberinya pada Alya."Cepat makan, jangan biarkan dirimu kelaparan."Alya memandang Citra, kehangatan memancar dari matanya."Terima kasih."Dalam beberapa hal, Citra lebih mengkhawatirkannya daripada ibunya sendiri."Terima kasih apanya!"Citra memelototinya. "Apa masih perlu mengatakan terima kasih dalam hubungan kita? Kalau ingin membicarakan terima kasih, bukankah aku yang seharusnya berterima kasih padamu? Kalau bukan karenamu, aku mungkin nggak akan bisa berkuliah."Alya hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa pun.Dia dan Citra bertemu di SMA, mereka langsung menjadi dekat dan hubungan mereka sangat baik. Istimewanya lagi, mereka berdua juga masuk ke universitas y
Alya tidak mempunyai nafsu makan. Namun, di bawah desakan Citra, dia pun menghabiskan susunya dan memakan sedikit roti lapis.Melihat dia benar-benar tidak bisa makan, Citra tidak memaksanya lagi.Setelah membereskan makanan tadi, Citra kembali dan duduk."Bagaimana? Apa kamu merasa lebih baik?""Ya."Citra berdeham dan mencoba bertanya, "Kalau begitu, hari ini kita pulang dulu?"Alya tidak menjawab.Citra menggenggam tangan sahabatnya dan berkata dengan yakin, "Ayo pergi.""Baik ...."Saat ini Alya seperti berada di tengah kabut dan membutuhkan seseorang untuk mendorongnya, tak peduli seperti apa keputusan akhirnya.Dia pun berdiri dan pergi bersama Citra.Saat mereka melewati sebuah sudut, Alya mendengar sebuah perdebatan."Tapi Ibu, aku menyukainya." Suara gadis itu terdengar sangat sedih."Diam!" Suara wanita yang marah dan sinis membalas gadis itu, "Omong kosong apa yang kamu bicarakan? Bagaimana selama ini aku mengajarimu? Kamu sudah ditipu olehnya, mengerti?""Ibu ....""Setelah
Mendengar perkataan Citra yang mencela Rizki, Alya secara tidak sadar hampir ingin membela pria itu. Namun, ketika kata-katanya sudah berada di ujung lidah, dia tidak bisa mengatakannya.Bibirnya terbuka, menyadari betapa tak berdayanya dia.Membela?Kenyataan sudah terpapar di depannya, apa lagi yang perlu dia bela?Memikirkan ini, Alya menurunkan pandangannya dan terdiam.Akan tetapi, Citra sudah mengambil keputusan untuknya."Jangan pergi. Kalau mereka ingin menemuimu, biar mereka saja yang datang mencarimu. Kenapa kamu harus pergi hanya karena mereka menelepon dan mengirim alamat?"Melihat kemarahan Citra, Alya pun berbalik dan menenangkannya."Ya, aku nggak berencana pergi. Kamu jangan marah.""Aku nggak marah, aku ini khawatir padamu," ucap Citra dengan kesal. Tiba-tiba dia terpikirkan sesuatu dan menyipitkan matanya. "Hana ternyata sampai meminta temannya untuk mencarimu, tampaknya dia gelisah. Apa dia takut kamu nggak melakukan aborsi dan akan merebut Rizki darinya? Sepertinya
Sejak dia menghapus pesan teks itu dari ponsel Rizki, hingga sekarang Hana terus merasa gelisah.Sebenarnya, Hana menebak bahwa Alya mengirim pesan tersebut pada Rizki karena tidak berani untuk mengatakannya secara langsung.Namun, Hana masih tidak tenang. Hari itu, dia berencana mengajak Rizki pergi.Akan tetapi, malam itu Rizki harus kerja lembur dan tidak bisa pergi.Hana masih tidak tenang, jadi dia menemani pria itu kerja lembur di kantor. Begitu Rizki selesai bekerja, Hana mengajaknya bertemu dengan teman-teman.Rizki pun pergi. Akhirnya, dia minum terlalu banyak dan tidak sadarkan diri.Saat itu, Hana juga menelepon Alya. Alya pun menutup teleponnya dengan kesal.Hal ini sebetulnya membuat Hana senang.Reaksi Alya menunjukkan bahwa dia sudah mulai merasa kecewa. Kemudian, yang perlu Hana lakukan hanyalah menunjukkan pesan Rizki yang memintanya untuk aborsi. Begitu Hana memberinya kompensasi, seharusnya Alya tidak akan lagi berkhayal.Namun, dia sendiri tidak bisa mengatakannya p
Tidak perlu dipikirkan, itu pasti temannya Hana.Dia baru saja ingin menolak telepon tersebut, tetapi entah kenapa, dia malah menerimanya.Dia tidak berinisiatif untuk bicara lebih dulu, orang di ujung telepon pun juga tidak berbicara.Setelah beberapa saat, dia akhirnya mendengar suara Hana."Alya, ini Hana ...."Tentu saja saat temanmu tidak bisa membantu, kamu hanya bisa mengandalkan dirimu sendiri, 'kan?Ujung bibir Alya melengkung. "Hm.""Apa kita bisa bertemu?" Setelah mengatakan itu, seolah-olah takut ditolak, Hana melanjutkan, "Berikan aku alamatnya, aku akan menghampirimu."Alya berpikir sejenak dan berkata, "Aku ada di rumah."Untuk waktu yang cukup lama, tidak terdengar apa pun dari ujung telepon. Akhirnya Hana bertanya, "Apa ... apa maksudmu?""Kamu bisa langsung datang ke sini."Hana terdiam.Lawan bicaranya kembali membisu, Alya pun mengatupkan bibirnya. "Hari ini aku lelah, jadi aku nggak mau pergi keluar."Setelah beberapa waktu, akhirnya Hana berkata, "Baiklah, aku aka