Ucapannya membuat Citra sedikit lebih tenang.Mereka sudah bertahun-tahun bersahabat, Citra pun menganggap dirinya telah mengenal Alya. Dia paham betul bahwa Alya adalah orang yang tahu kapan harus maju dan kapan harus mundur. Seharusnya dia sudah lama mengantisipasi hasil semacam ini.Namun, tetap saja, dia masih merasa kasihan pada teman baiknya ini.Citra menggigit bibirnya dan bertanya, "Tapi ... apa kamu benar-benar mau?"Alya menjawab, "Kalaupun aku nggak mau, apa gunanya?"Alya memang tidak mau, dia pun sudah mencoba untuk mengubahnya.Akan tetapi, dia telah ditampar oleh kenyataan yang memberitahunya untuk tidak berkhayal."Apa besok kamu ada waktu luang? Maukah kamu menemaniku ke rumah sakit?" Alya terdiam sejenak dan tertawa kecil. "Aku nggak mau pergi sendirian."Citra mengangguk. "Tolonglah, aku ini sahabatmu satu-satunya. Bahkan kalau aku sibuk, aku akan meluangkan waktuku, oke? Kamu nggak perlu bertanya padaku, langsung minta saja aku untuk pergi denganmu."Alya tersenyum
Dengan susah payah Alya pun membawa Rizki kembali ke kamar. Pada akhirnya, Alya tersandung dan terjatuh ke dada pria itu.Entah bagaimana, jatuhnya Alya memicu sesuatu dari dalam diri Rizki. Tangan besar pria itu mencengkeram pinggangnya yang ramping. Pria itu lalu berbalik dan menjepit Alya di bawah tubuhnya.Tubuh Rizki memang terlihat ramping, tetapi tubuhnya juga kokoh. Seluruh berat tubuhnya menimpa Alya. Entah karena alkohol atau bukan, wajah Alya terasa panas. Dia pun hendak mendorong Rizki bangun.Akan tetapi ketika dia hendak mendorongnya, bibir hangat dan tipis pria itu mencium bibirnya.Alya tercengang. Saat dia hendak mendorongnya, dia malah merasakan sesuatu yang hangat di mulutnya.Tiba-tiba, otaknya seperti telah tersambar oleh sesuatu. Tubuhnya sama sekali tidak bisa bergerak.Ketika dia tersadar, dia sudah membalas ciuman Rizki.Rizki yang menerima balasannya pun memeluknya dengan amat erat.Malam itu, Alya tidak lagi menahan dirinya.Ketika dia terbangun di pelukan Ri
Setibanya di rumah sakit, Citra melihat-lihat ke sekitar. Raut wajahnya tampak aneh. Dia lalu berbisik pada Alya, "Kenapa kita nggak pergi ke rumah sakit besar di sana saja? Bukankah rumah sakit kecil lebih berisiko untukmu?"Alya menjawab, "Rumah sakit besar nggak nyaman."Beberapa orang yang dikenal neneknya Rizki bekerja di rumah sakit besar. Waktu itu dia tidak mempertimbangkan kehamilannya, sehingga dia pergi ke sana untuk diperiksa.Sekarang dia harus mengurus kehamilannya, jadi dia tidak bisa lagi pergi ke rumah sakit itu.Untuk jaga-jaga supaya dia tidak ketahuan ... dan diadukan ke neneknya Rizki.Jadi, supaya aman, Alya bermaksud untuk mengurus kehamilannya di rumah sakit kecil ini.Alya harus menjalani pemeriksaan dulu, Citra pun pergi untuk mendaftarkannya dan melakukan pembayaran.Sambil menunggu pemeriksaan, mereka berdua duduk di kursi.Terkadang Citra akan menoleh untuk mengamati Alya. Beberapa saat kemudian, dia menoleh untuk melihat lagi. Dalam beberapa menit, Citra s
Alya berkata, "Mungkin gula darahku rendah,""Kalau begitu aku akan membelikanmu makanan. Tunggu aku di sini, aku akan segera kembali."Citra pun cepat-cepat pergi.Setelah sahabatnya pergi, Alya bersandar di kursi dan memejamkan matanya dengan lelah.Di dalam kepalanya, kedua suara itu kembali bertengkar."Apa yang kamu pikirkan? Kamu sudah memutuskannya, 'kan? Lagi pula kamu sudah datang ke rumah sakit, apa lagi yang kamu ragukan? Kalau kamu nggak menyelesaikan masalah ini, kamu akan terus menderita. Jangan lupa, dia sudah menawarkanmu untuk bercerai.""Memangnya kenapa kalau dia mau bercerai? Alya, kamu sudah dewasa. Apa kamu benar-benar nggak mampu membesarkan seorang anak?""Kamu pikir kecukupan finansial saja cukup untuk membesarkan seorang anak? Bagaimana dengan aspek emosional dan psikologisnya?""Kalau kamu khawatir anak itu nggak akan punya ayah, kamu bisa cari lagi saja. Kamu masih muda, apa kamu takut nggak akan menemukan seorang suami?"Gula darah rendah ditambah dengan du
Sebelum Ratna dapat menyelesaikan kalimatnya, sebuah sosok familier tiba-tiba keluar dari ruang konsultasi di belakang."Ibu."Begitu suara lembut gadis itu terdengar, raut wajah Ratna yang angkuh dan sinis seketika berubah secara drastis.Alya pun mengalihkan pandangannya ke pemilik suara tersebut.Dia langsung mengenalinya. Gadis itu adalah anak perempuan Ratna, Intan Pranata.Terdapat laporan hasil pemeriksaan di tangan gadis itu. Wajah dan bibirnya pucat, kondisinya terlihat sangat buruk. Alya belum mengatakan apa pun, tetapi Ratna yang tadi mengejeknya buru-buru berbalik dan membawa Intan pergi.Dari langkah Ratna yang terburu-buru, Alya sudah dapat menebak hasilnya.Akan tetapi, Alya tidak pernah tertarik dengan urusan pribadi orang lain, jadi dia tidak memedulikannya.Tak lama kemudian Ratna kembali lagi, tetapi dia kembali seorang diri. Mungkin dia menaruh putrinya di tempat lain.Dia berjalan ke depan Alya, ekspresinya menunjukkan kesinisan yang tidak sesuai dengan wajahnya ya
Mereka sudah terluka, oleh karena itu Alya tidak akan memberi mereka luka kedua.Dua menit kemudian, Citra akhirnya kembali."Aku beli roti lapis dan susu kacang, ada permen juga. Nggak banyak yang dijual di minimarket, kamu makan yang ada saja dulu."Sambil berbicara, Citra membukakan bungkus roti lapis tersebut dan memberinya pada Alya."Cepat makan, jangan biarkan dirimu kelaparan."Alya memandang Citra, kehangatan memancar dari matanya."Terima kasih."Dalam beberapa hal, Citra lebih mengkhawatirkannya daripada ibunya sendiri."Terima kasih apanya!"Citra memelototinya. "Apa masih perlu mengatakan terima kasih dalam hubungan kita? Kalau ingin membicarakan terima kasih, bukankah aku yang seharusnya berterima kasih padamu? Kalau bukan karenamu, aku mungkin nggak akan bisa berkuliah."Alya hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa pun.Dia dan Citra bertemu di SMA, mereka langsung menjadi dekat dan hubungan mereka sangat baik. Istimewanya lagi, mereka berdua juga masuk ke universitas y
Alya tidak mempunyai nafsu makan. Namun, di bawah desakan Citra, dia pun menghabiskan susunya dan memakan sedikit roti lapis.Melihat dia benar-benar tidak bisa makan, Citra tidak memaksanya lagi.Setelah membereskan makanan tadi, Citra kembali dan duduk."Bagaimana? Apa kamu merasa lebih baik?""Ya."Citra berdeham dan mencoba bertanya, "Kalau begitu, hari ini kita pulang dulu?"Alya tidak menjawab.Citra menggenggam tangan sahabatnya dan berkata dengan yakin, "Ayo pergi.""Baik ...."Saat ini Alya seperti berada di tengah kabut dan membutuhkan seseorang untuk mendorongnya, tak peduli seperti apa keputusan akhirnya.Dia pun berdiri dan pergi bersama Citra.Saat mereka melewati sebuah sudut, Alya mendengar sebuah perdebatan."Tapi Ibu, aku menyukainya." Suara gadis itu terdengar sangat sedih."Diam!" Suara wanita yang marah dan sinis membalas gadis itu, "Omong kosong apa yang kamu bicarakan? Bagaimana selama ini aku mengajarimu? Kamu sudah ditipu olehnya, mengerti?""Ibu ....""Setelah
Mendengar perkataan Citra yang mencela Rizki, Alya secara tidak sadar hampir ingin membela pria itu. Namun, ketika kata-katanya sudah berada di ujung lidah, dia tidak bisa mengatakannya.Bibirnya terbuka, menyadari betapa tak berdayanya dia.Membela?Kenyataan sudah terpapar di depannya, apa lagi yang perlu dia bela?Memikirkan ini, Alya menurunkan pandangannya dan terdiam.Akan tetapi, Citra sudah mengambil keputusan untuknya."Jangan pergi. Kalau mereka ingin menemuimu, biar mereka saja yang datang mencarimu. Kenapa kamu harus pergi hanya karena mereka menelepon dan mengirim alamat?"Melihat kemarahan Citra, Alya pun berbalik dan menenangkannya."Ya, aku nggak berencana pergi. Kamu jangan marah.""Aku nggak marah, aku ini khawatir padamu," ucap Citra dengan kesal. Tiba-tiba dia terpikirkan sesuatu dan menyipitkan matanya. "Hana ternyata sampai meminta temannya untuk mencarimu, tampaknya dia gelisah. Apa dia takut kamu nggak melakukan aborsi dan akan merebut Rizki darinya? Sepertinya