Alya membalas: "Aku akan kembali begitu jam makan siang berakhir."Setelah itu, Rizki tidak membalas pesannya lagi.Dia meletakkan kembali ponselnya dan berkata pada Wisnu, "Aku mengerti, Kak Wisnu."Tatapan Wisnu untuk beberapa saat tertuju pada ponselnya, pria itu bertanya, "Pesan dari Rizki?"Alya terdiam sejenak, lalu mengangguk.Wisnu pun tidak mengatakan apa pun lagi. Mereka berdua lalu menghabiskan makanan yang tersisa dalam diam dan membayar tagihannya. Kemudian, Wisnu mengantar Alya kembali.Ketika Alya memasuki lift, dia menyadari bahwa Wisnu juga mengikutinya masuk.Dia pun agak terkejut. "Kamu juga mau naik?"Kantor tempat mereka bekerja tidak berada di tempat yang sama.Satu tangan Wisnu berada di dalam sakunya, ekspresinya tampak tenang. "Aku mau menemui Pak Rizki, kebetulan ada yang perlu aku laporkan."Setelah keluar dari lift, Wisnu mengecek waktu di jam tangannya. Kemudian, dia menatap Alya dan berkata, "Masih ada 10 menit sebelum jam kerja dimulai, nggak sopan kalau
Di bawah tatapannya yang seperti itu, Alya tidak tahu harus berbuat apa.Lagi pula ketika Alya keluar siang tadi, bukankah Rizki datang ke kantor bersama Hana? Kenapa Alya tidak ada di dalam ruang kantornya?Alya tenggelam dalam pikirannya. Wisnu menanyakannya sesuatu, dia pun tersadar kembali dan cepat-cepat merespons.Ketika laporan kerjanya sudah selesai, Wisnu lalu bersiap untuk pergi.Rizki dengan dingin mengangguk.Begitu Wisnu berjalan pergi, tatapan Rizki seketika jatuh pada Alya. Sebelumnya dia berdiri di belakang Wisnu, sehingga dirinya agak tertutupi dari pandangan Rizki.Sekarang, dia sama sekali tidak bisa menghindar.Saat ini, Wisnu yang hampir mencapai pintu ruang kantor tiba-tiba menoleh dan memandang Alya. "Alya, besok siang bagaimana kalau aku juga menjemputmu?"Mendengar ini, Alya tertegun sejenak.Rizki juga menyadari sesuatu dan mengangkat alisnya."Pak Rizki, apa kamu keberatan bila aku berbicara sebentar dengan Bu Alya?"Alya mengangkat alis indahnya.Apa yang ma
Atau mungkin, pria ini hanya berpura-pura seperti tidak ada yang terjadi?"Kenapa kamu diam saja?" Rizki memegang dagu Alya. Dia jelas menyadari bahwa perhatian Alya sedang teralihkan pada hal lain. Rizki pun menyipitkan matanya. "Ada apa?"Alya menatap wajah tampan di depannya. Dia membuka mulutnya, seolah-olah hendak mengatakan sesuatu tetapi ragu.Dia sungguh ingin mengatakannya, dia ingin menanyakannya.Namun, begitu kata-katanya sudah mencapai lidah, dia menyadari bahwa itu semua sia-sia ....Dia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.Bagaimana kalau Rizki tiba-tiba menjadi suram dan menanyakannya, "Aku hanya ingin menyisakanmu sedikit harga diri, jadi aku pura-pura nggak tahu. Alya, kenapa kamu nggak tahu terima kasih?"Jika Rizki berbicara seperti itu, apa yang harus dia lakukan?Situasi saat ini sudah cukup baik untuk mereka berdua. Diam-diam menanganinya seorang diri pun juga tidak buruk."Nggak apa-apa." Alya menggelengkan kepalanya.Mata Rizki sedikit menggelap.Lagi-lagi
Ucapannya membuat Citra sedikit lebih tenang.Mereka sudah bertahun-tahun bersahabat, Citra pun menganggap dirinya telah mengenal Alya. Dia paham betul bahwa Alya adalah orang yang tahu kapan harus maju dan kapan harus mundur. Seharusnya dia sudah lama mengantisipasi hasil semacam ini.Namun, tetap saja, dia masih merasa kasihan pada teman baiknya ini.Citra menggigit bibirnya dan bertanya, "Tapi ... apa kamu benar-benar mau?"Alya menjawab, "Kalaupun aku nggak mau, apa gunanya?"Alya memang tidak mau, dia pun sudah mencoba untuk mengubahnya.Akan tetapi, dia telah ditampar oleh kenyataan yang memberitahunya untuk tidak berkhayal."Apa besok kamu ada waktu luang? Maukah kamu menemaniku ke rumah sakit?" Alya terdiam sejenak dan tertawa kecil. "Aku nggak mau pergi sendirian."Citra mengangguk. "Tolonglah, aku ini sahabatmu satu-satunya. Bahkan kalau aku sibuk, aku akan meluangkan waktuku, oke? Kamu nggak perlu bertanya padaku, langsung minta saja aku untuk pergi denganmu."Alya tersenyum
Dengan susah payah Alya pun membawa Rizki kembali ke kamar. Pada akhirnya, Alya tersandung dan terjatuh ke dada pria itu.Entah bagaimana, jatuhnya Alya memicu sesuatu dari dalam diri Rizki. Tangan besar pria itu mencengkeram pinggangnya yang ramping. Pria itu lalu berbalik dan menjepit Alya di bawah tubuhnya.Tubuh Rizki memang terlihat ramping, tetapi tubuhnya juga kokoh. Seluruh berat tubuhnya menimpa Alya. Entah karena alkohol atau bukan, wajah Alya terasa panas. Dia pun hendak mendorong Rizki bangun.Akan tetapi ketika dia hendak mendorongnya, bibir hangat dan tipis pria itu mencium bibirnya.Alya tercengang. Saat dia hendak mendorongnya, dia malah merasakan sesuatu yang hangat di mulutnya.Tiba-tiba, otaknya seperti telah tersambar oleh sesuatu. Tubuhnya sama sekali tidak bisa bergerak.Ketika dia tersadar, dia sudah membalas ciuman Rizki.Rizki yang menerima balasannya pun memeluknya dengan amat erat.Malam itu, Alya tidak lagi menahan dirinya.Ketika dia terbangun di pelukan Ri
Setibanya di rumah sakit, Citra melihat-lihat ke sekitar. Raut wajahnya tampak aneh. Dia lalu berbisik pada Alya, "Kenapa kita nggak pergi ke rumah sakit besar di sana saja? Bukankah rumah sakit kecil lebih berisiko untukmu?"Alya menjawab, "Rumah sakit besar nggak nyaman."Beberapa orang yang dikenal neneknya Rizki bekerja di rumah sakit besar. Waktu itu dia tidak mempertimbangkan kehamilannya, sehingga dia pergi ke sana untuk diperiksa.Sekarang dia harus mengurus kehamilannya, jadi dia tidak bisa lagi pergi ke rumah sakit itu.Untuk jaga-jaga supaya dia tidak ketahuan ... dan diadukan ke neneknya Rizki.Jadi, supaya aman, Alya bermaksud untuk mengurus kehamilannya di rumah sakit kecil ini.Alya harus menjalani pemeriksaan dulu, Citra pun pergi untuk mendaftarkannya dan melakukan pembayaran.Sambil menunggu pemeriksaan, mereka berdua duduk di kursi.Terkadang Citra akan menoleh untuk mengamati Alya. Beberapa saat kemudian, dia menoleh untuk melihat lagi. Dalam beberapa menit, Citra s
Alya berkata, "Mungkin gula darahku rendah,""Kalau begitu aku akan membelikanmu makanan. Tunggu aku di sini, aku akan segera kembali."Citra pun cepat-cepat pergi.Setelah sahabatnya pergi, Alya bersandar di kursi dan memejamkan matanya dengan lelah.Di dalam kepalanya, kedua suara itu kembali bertengkar."Apa yang kamu pikirkan? Kamu sudah memutuskannya, 'kan? Lagi pula kamu sudah datang ke rumah sakit, apa lagi yang kamu ragukan? Kalau kamu nggak menyelesaikan masalah ini, kamu akan terus menderita. Jangan lupa, dia sudah menawarkanmu untuk bercerai.""Memangnya kenapa kalau dia mau bercerai? Alya, kamu sudah dewasa. Apa kamu benar-benar nggak mampu membesarkan seorang anak?""Kamu pikir kecukupan finansial saja cukup untuk membesarkan seorang anak? Bagaimana dengan aspek emosional dan psikologisnya?""Kalau kamu khawatir anak itu nggak akan punya ayah, kamu bisa cari lagi saja. Kamu masih muda, apa kamu takut nggak akan menemukan seorang suami?"Gula darah rendah ditambah dengan du
Sebelum Ratna dapat menyelesaikan kalimatnya, sebuah sosok familier tiba-tiba keluar dari ruang konsultasi di belakang."Ibu."Begitu suara lembut gadis itu terdengar, raut wajah Ratna yang angkuh dan sinis seketika berubah secara drastis.Alya pun mengalihkan pandangannya ke pemilik suara tersebut.Dia langsung mengenalinya. Gadis itu adalah anak perempuan Ratna, Intan Pranata.Terdapat laporan hasil pemeriksaan di tangan gadis itu. Wajah dan bibirnya pucat, kondisinya terlihat sangat buruk. Alya belum mengatakan apa pun, tetapi Ratna yang tadi mengejeknya buru-buru berbalik dan membawa Intan pergi.Dari langkah Ratna yang terburu-buru, Alya sudah dapat menebak hasilnya.Akan tetapi, Alya tidak pernah tertarik dengan urusan pribadi orang lain, jadi dia tidak memedulikannya.Tak lama kemudian Ratna kembali lagi, tetapi dia kembali seorang diri. Mungkin dia menaruh putrinya di tempat lain.Dia berjalan ke depan Alya, ekspresinya menunjukkan kesinisan yang tidak sesuai dengan wajahnya ya