Alya berbicara dengan terus terang.Tidak seperti Hana yang berhati-hati.Seketika Hana merasa canggung. "Aku ... aku nggak bermaksud begitu."Alya pun tidak peduli dengan apa yang wanita itu maksud.Sebelum mereka pergi, Farhan menuliskan resep obat untuk Alya. Lalu, dia berkata pada Hana, "Walaupun temanmu nggak mau minum obat, dengan kondisinya yang seperti ini akan lebih baik kalau dia minum. Aku memberinya resep obat herbal yang nggak berbahaya untuk tubuhnya, minum beberapa dosis saja sudah cukup.""Baik." Hana mengambil obat herbal itu.Ketiga orang itu pun meninggalkan klinik dan kembali ke kediaman Keluarga Saputra.Kediaman Keluarga Saputra.Begitu pintu mobil terbuka, Alya menahan rasa tidak nyamannya dan berjalan keluar. Saat ini, dia hanya ingin kembali ke lantai atas dan tidur.Namun, ketika turun dari mobil, dia terhuyung-huyung dan hampir jatuh ke depan. Rizki yang keluar dari mobil dengan cepat menangkapnya.Pria itu mengerutkan kening dan menatapnya. "Kondisimu sepert
"Baik."Sebelum pergi, Hana melihat-lihat ruangan itu. Tiba-tiba, dia melihat sebuah jas pria buatan penjahit tergantung di rak mantel di luar.Model jas seperti itu hanya dikenakan Rizki.Wajah Hana agak memucat. Dia merapatkan bibirnya, lalu dengan diam mengikuti Rizki keluar.Setelah mereka pergi, Alya membuka matanya. Dia menatap langit-langit kamar berwarna putih dan merasa bingung.Mengenai anak ini ... dia harus apa?Kehamilan berbeda dengan hal lainnya.Contohnya, Alya dapat menyembunyikan perasaan yang dimilikinya dari Rizki. Entah itu selama setahun atau 2 tahun, bahkan 10 tahun pun tidak masalah.Namun, bagaimana dengan kehamilan?Ketika waktunya tiba, perutnya akan membesar dan dia tidak dapat menyembunyikannya.Makin memikirkannya, kepala Alya menjadi makin pusing. Perlahan, dia pun mulai tertidur lelap.Di dalam mimpinya.Alya merasa kerah bajunya telah dibuka. Kemudian, sesuatu yang dingin menyelimuti tubuhnya. Dia merasa hangat dan nyaman. Alya menghela napasnya, lalu t
Seketika jantung Alya berdegap kencang. Rasa panik berkilat di matanya.Dia merasa tertangkap basah.Namun, dia cepat-cepat menenangkan dirinya. Dia mengatupkan bibir pucatnya, lalu berkata tanpa menyembunyikan apa pun, "Kamu melihat semuanya, ya?"Sikapnya yang terus terang mengurangi kecurigaan di mata Rizki.Pria itu menghampirinya, menatap mangkuk obat yang sudah kosong di tangannya."Aku meminta orang-orang dapur untuk merebus obat itu dengan saksama, tapi kamu nggak meminumnya dan malah membuangnya seperti ini?"Alya meliriknya."Sudah kubilang aku nggak mau minum."Setelah itu, dia keluar sambil membawa mangkuk kosong tersebut.Rizki mengikutinya, lalu berkata dengan suara yang jelas, "Kemarin malam, apa kamu sengaja kehujanan?"Mendengar ini, Alya terdiam sejenak. Lalu, dia menggelengkan kepalanya untuk membantah."Nggak, bagaimana mungkin aku melakukan hal seperti itu?"Akan tetapi, Rizki masih menatapnya dengan curiga. "Benarkah? Kalau begitu, kenapa kamu nggak mau ke rumah s
Dingin.Alya mengatupkan bibir merahnya. Binar di matanya perlahan meredup.Pagi itu, seorang pelayan membawakannya makanan dan semangkuk sup obat lagi.Setelah membersihkan diri, Alya mencium bau sup obat yang kuat dan mengerutkan keningnya."Nyonya, obat ini ...."Alya tidak bisa menahannya lagi, nada bicaranya pun menjadi keras."Bukankah aku sudah bilang jangan merebus obat ini lagi? Kenapa kamu membawanya lagi?"Kelembutannya yang biasa tergantikan dengan kekerasan yang tiba-tiba, membuat sang pelayan terkejut.Setelah berbicara, Alya menyadari bahwa emosinya telah lepas kendali. Dia tiba-tiba kembali tersadar dan memijat keningnya. "Maaf, aku agak nggak enak badan. Kamu bawa saja obatnya pergi."Pelayan itu hanya dapat membawa obat itu kembali ke lantai bawah.Di dapur, sang kepala pelayan melihat mangkuk obat itu dibawa kembali. Wajah tuanya berkerut. "Oh, Nyonya masih nggak meminum obatnya?"Pelayan itu mengangguk, lalu menjelaskan apa yang baru terjadi.Ketika mendengar kekesa
Pertanyaan ini membuat wajah sang pelayan memucat. "Tuan, laporannya sudah dibuang."Rizki mengerutkan keningnya."Apa katamu?"Aura suram Rizki membuat pelayan itu ketakutan dan hanya bisa menjelaskan dengan panik, "Maafkan aku, Tuan. Aku nggak sengaja membuangnya. Kondisi laporan tersebut sudah buruk. Saat itu aku juga nggak berpikir panjang, jadi ...."Kertas itu dibuang oleh majikannya, dia pun tidak memiliki keinginan untuk menyelidikinya.Selain itu, dokumen rahasia dari perusahaan Rizki juga sering disobek. Dia hanya seseorang yang bekerja untuk mencari nafkah. Hari itu, dia tidak banyak berpikir ketika melihat laporan tersebut.Hingga akhirnya, selama 2 hari ini dia mulai merebus obat. Dia mengira bahwa obat ini untuk penyakit Nyonya, tetapi dia tidak menduga bahwa ini hanya obat penurun demam.Perkataannya membuat Rizki mengerutkan keningnya.Rizki memang berkata kalau ada yang tidak beres dengan Alya.Dengan hujan sederas itu, meskipun Alya memberikan payungnya pada orang lai
Kenapa pertanyaan ini lagi?Alya kembali ke laptopnya, berpura-pura seakan tidak ada yang terjadi dan menjelajahi layar monitornya. Lalu, dia menjelaskan dengan tenang, "Kemarin aku nggak mau minum, hari ini aku merasa lebih baik jadi nggak perlu minum."Sikapnya yang tenang membuat Rizki menarik sudut bibirnya. "Begitukah? Kalau begitu bagaimana dengan laporan itu?"Begitu mendengar "laporan", tangan Alya yang sedang menggulir tetikus tiba-tiba berhenti.Alya hampir mengira dirinya sudah salah dengar.Namun suara napas Rizki yang begitu dekat, menunjukkan bahwa dia baru saja mengatakan kata-kata itu dengan jelas.Rizki sudah melihatnya.Setelah menyebutkan laporan tersebut, jari tangan Alya tiba-tiba berhenti bergerak.Reaksi ini membuat Rizki tanpa sadar menyipitkan matanya.Wanita ini menyembunyikan sesuatu darinya.Tak lama kemudian, Alya seperti baru saja mengendalikan emosinya. Dia mendongak menatap Rizki, dengan keraguan yang tersembunyi di matanya."Laporan apa?"Rizki menatapn
Waktu berlalu cukup lama, Alya menghela napas di dalam hati.Lebih baik dia tidak tahu, untuk menghindari kecanggungan di antara mereka.Anggap saja semua ini hanya transaksi, mereka cukup mengambil apa yang mereka perlukan.Dengan pemikiran ini, Alya mendorong Rizki yang berada sangat dekat dengannya dan berkata, "Pokoknya bukan kamu."Jawaban Alya membuat Rizki mengerutkan keningnya."Apa maksudmu bukan aku? Apa ada yang lebih memahamimu daripada aku? Siapa?"Rizki tidak menyadari bahwa jawaban tersebut telah membuatnya emosi.Alya tetap terdiam.Melihat wanita ini mengabaikannya, Rizki meraih dan mencengkeram bahunya. Dia bertanya dengan marah, "Pria atau wanita?"Pria itu mencengkeram bahu Alya dengan cukup kuat.Alya mengerutkan kening dan mendorongnya. "Sakit, jangan pegang begitu."Melihat reaksi tersebut, Rizki mengendurkan cengkeramannya. Namun, dia sama sekali tidak menyerah dengan pertanyaannya."Baik, aku nggak pegang, tapi jawab pertanyaanku. Siapa orang yang memahamimu? L
Sambil menghela napas lega, Alya memutuskan untuk mengambil risiko. Dia ingin menghilangkan semua keraguan Rizki, terlepas dari apakah pria itu mencurigainya hamil atau tidak.Dengan pemikiran ini, Alya memandangnya dan perlahan berkata, "Kenapa kamu segugup ini? Apa kamu takut kalau itu adalah laporan kehamilan?"Awalnya Rizki hendak membantah, tetapi ketika mendengar kalimat terakhir itu, napasnya menjadi berat.Kemudian, dia menyembunyikan emosinya sambil menatap Alya.Alya mengangkat alisnya. "Kenapa ekspresimu begitu? Kamu takut kehamilanku akan memengaruhi hubunganmu dengan Hana?"Rizki menyipitkan matanya. "Kamu hamil?"Alya mengangkat bahunya dan menjawab, "Nggak. Kalau aku hamil, aku pasti sudah menunjukkan laporannya kepadamu. Berdasarkan hubungan masa kecil kita, kalau anak ini diaborsi maka kamu harus memberikanku kompensasi cukup banyak, 'kan?"Nada bicaranya yang ringan dan sikapnya yang tak acuh membuat raut wajah Rizki sedikit berubah."Apa katamu?""Kamu ingin mengabor