Share

Bab 2. Kehancuran Hati

Elena menerima amplop itu dengan tangan sedikit gemetar. Ia tercekat membaca isi surat perceraiannya dengan Raul.

“Raul, benarkah ini ...?” Elena menatap Raul, suaranya bergetar.

“Benar Elena, sekarang semuanya sudah berakhir.”  

Setelah berkata demikian, Raul bergeming di tempatnya. Ia masih berdiri dengan angkuh dan menatap wanita yang telah tiga tahun dinikahinya itu dengan dingin.

“Tapi Raul, apa salahku?”

“Kamu tidak salah, dan tidak ada yang mesti dipersalahkan, Elena. Karena sejak awal, pernikahan kita adalah suatu kesalahan.”

Terdengar helaan napas lelaki itu, perlahan ia duduk di sisi tempat tidur, di samping wanita yang matanya kembali menghangat, tergenang oleh kesedihan.

“Tapi Raul, kita telah bersama selama tiga tahun, tidak adakah tempat di hatimu untukku? Apakah kamu akan melupakan begitu saja saat-saat manis yang telah kita lalui?”

Raul terdiam, lelaki itu tak serta merta menjawab pertanyaan wanita di sampingnya, ia kembali menghela napas sebelum akhirnya bekata, “Maafkan aku Elena. Kamu tahu, kan? Sejak awal aku tidak mencintaimu, semua yang aku lakukan hanya sekedar menjalankan kewajibanku sebagai suami. Sekarang nenek sudah tidak ada, maka kamu bebas. Jadi, lupakan semuanya.”

Usai berkata lelaki itu segera berdiri dan melangkah meninggalkan Elena yang mulai terisak, tiba-tiba lelaki itu berhenti dan kembali menoleh pada Elena.

“Oya, Elena. Kamu masih boleh tinggal di rumah ini kalau kamu mau, tapi kita tidak bisa sekamar lagi. Nanti Carmen akan menunjukan kamar baru untukmu, supaya kamu tidak selalu teringat kenangan di kamar ini.”

Raul melanjutkan langkahnya dan segera ke luar dari kamar besar itu. Air mata segera menyergap Elena, tumpah tak terbendung lagi, ia menangis pilu. Seketika semua rekaman saat-saat bersama pria itu berputar kembali di kepalanya.

Meskipun sikap Raul dingin terhadapnya, namun ada saat-saat dimana mereka merajut kemesraan bersama. Meskipun bisa dihitung jari, tapi ia pernah merasakan pelukan hangat Raul dan kelembutan sikapnya. Apakah itu hanya pura-pura?

Pernah di satu malam, setelah mereka menuntaskan hasrat bercinta, Raul yang tertidur nyenyak mengigau dan memanggil namanya, saat itu Elena tersenyum, ia mengira jika Raul mulai mencintainya seperti yang ia rasakan. Apakah itu juga palsu? Bukankah hal itu terucap dari alam bawah sadar Raul?

Elena tak menemukan jawaban atas pertanyaan demi pertanyaan yang berputar-putar mengganggunya, ia hanya bisa menangis, merutuki nasibnya. Kini semua mimpi-mimpinya telah hancur, dunia yang ia pijak seakan telah runtuh.

Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, ia bertahan dan bersabar hanya untuk mendapatkan cinta suaminya. Namun semua berakhir di atas selembar surat cerai.

“Elena, apa kamu di dalam?!”

Terdengar teriakan Carmen memanggil dan mengetuk pintu. “Cepat ke dapur Elena! Banyak pekerjaan malah santai-santai.”

Setelah berteriak di depan kamar Elena, kepala pelayan itu pun kembali ke dapur.

Elena yang masih terisak mendengar semua teriakan Carmen.

Ia segera bangun dan duduk di depan meja hias. Ditatapnya wajahnya yang basah oleh air mata.

‘Sudahlah Elena, untuk apa kamu menangis? Sekarang kamu harus segera pergi dari sini.’

Terdengar bisikan dari dalam dirinya, Elena menghela napas panjang dan mengahpus sisa-sisa air mata di wajahnya.

“Benar, untuk apa lagi aku di sini? Hanya untuk dijadikan budak? Tidak! Selama ini aku bertahan di rumah besar ini hanya demi Raul, sekarang Raul sudah mencampakkanku, jadi, buat apa aku di sini?”

Elena bergumam meyakinkan dirinya sendiri.

Wanita itu  segera berdiri.

Ia membuka lemari dan mengambil satu stel pakaian yang dulu pernah ia pakai ketika pertama kali  datang ke rumah besar itu.

Meskipun sudah sedikit usang, namun masih pas di tubuhnya.

Elena memang tidak banyak mengalami perubahan, baik wajah maupun bentuk tubuh. Pernah nenek Maria menanyakan mengapa Elena belum juga hamil, ia hanya bisa menggeleng sambil tersenyum getir.

Bagaimana mau hamil? Saat berhubungan intim dengan Raul, suaminya itu selalu mengenakan pengaman.

Elena pernah menanyakan mengapa Raul selalu mengenakan pengaman saat bercinta dengannya, padahal mereka adalah pasangan resmi yang sah dan sehat.

“Aku belum siap untuk mempunyai anak, Elena. Jadi nikmati saja seperti ini,” jawab Raul acuh sambil melepas kondom yang penuh dengan cairan dari juniornya. Sejak saat itu, Elena tidak pernah bertanya lagi.

Mungkinkah itu cara Raul agar bisa berpisah dengannya lebih mudah?

Elena menghela napas.

Dipercepat gerakannya untuk mengganti pakaian.

Setelah selesai, Elena pun melepaskan satu per satu perhiasan yang dikenakannya.

Ia tidak akan membawa apa pun dari Raul meskipun sebenarnya ia punya hak. Namun, ia tidak mau keluarga Raul semakin merendahkannya lagi.

Sudah cukup!

Hanya saja, Elena tertegun saat meraba jari manisnya.

Cincin pernikahan bertahta berlian itu disematkan sendiri oleh Raul saat mereka mengikat janji suci di depan altar.

Saat itu, Elena memimpikan pernikahan yang dihiasi kebahagiaan, akan selalu bersama hingga maut memisahkan. Namun, semua mimpi sang pengantin itu kini telah musnah tak bersisa.

Dengan menghela napas berat, Elena melepas cincin pernikahannya itu dan di letaknnya di atas meja hias. Ia kembali membuka lemari dan mengambil tas yang dulu ia pakai saat pertama kali  datang lalu memasukkan barang-barang pribadinya, barang-barang yang dulu ia bawa sebelum menjadi istri Raul.

Tapi, hanya satu barang dari Keluarga Mendez yang tak bisa dilepaskan.

Gelang pemberian Nenek Maria.

Elena segera membuka kotak perhiasannya dan mengambil gelang itu, didekapnya gelang itu ke dadanya, terbayang semua kebaikan hati sang nenek.

“Nenek, maafkan aku ...” gumam Elena lirih, dikenakannya segera gelang itu, sebagai kenang-kenangan dari orang yang paling baik padanya. Yah, hanya nenek Maria, nenek kandung Raul yang baik dan peduli padanya di kediaman Mendez ini, sekarang sang nenek sudah tiada, Elena sudah kehilangan tempat berpijak di rumah besar itu.

Sejenak Elena mengedarkan pandangnya ke seluruh sudut kamar itu.

Air matanya kembali mengalir saat menatap foto pengantin yang tergantung di sudut dinding.

“Selamat tinggal Raul ...” ucap Elena dengan suara bergetar.

Perlahan Elena berbalik, lalu meninggalkan kamar yang penuh kenangan itu.

Ya, sebelum Carmen kembali untuk menyeretnya ke dapur, ia harus segera pergi.

Dengan mengendap-endap, Elena segera ke luar dari rumah besar keluarga Mendez.

Untungnya, semua orang sedang sibuk dengan pesta malam itu, sehingga tidak ada yang memperhatikan kepergian Elena.

Wanita itu terus berjalan tanpa arah dan tujuan menusuri sudut kota Barcelona yang indah.

Ia hanya mengikuti ke mana kaki akan membawanya. 

Entah sudah berapa jauh ia berjalan, Elena tidak tahu.

Yang ia tahu sekarang  mulai terasa letih.

Wanita itu pun duduk di tepi jalan, tenggorokannya mulai terasa kering, namun ia tidak membawa bekal minum.

Elena menelan ludah untuk menetralkan tenggorokannya yang kering. Ia mencoba berpikir, apa yang harus ia lakukan sekarang? Elena kepikiran untuk kembali ke toko tempat dulu ia bekerja, tapi di mana?

Semenjak menikah dengan Raul, Elena tidak pernah keluar rumah. Rumah besar itu bagaikan sangkar emas yang mengurungnya. Sekarang, Elena merasa kota ini begitu asing.

Hanya saja, saat Elena berkutat dalam kebingungannya, tiba-tiba terdengar suara berat seseorang memanggilnya, “Kamu tersesat, Sayang?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rosalinda
menarik ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status