Elena menoleh ke arah sumber suara.
Seorang pria yang duduk di atas kursi roda, tersenyum ramah padanya.
Di bawah pantulan lampu kota yang terang, terlihat pantulan wajahnya yang tenang.
Pria ini terlihat lebih dewasa dari Raul, namun jejak ketampanan masih terlihat dengan jelas di wajahnya yang tenang. Tatapan matanya tegas, namun terlihat teduh. Hanya melihat sekilas, orang akan merasakan aura keagungan pria ini, meskipun ia duduk di atas kursi roda.
“Anda siapa, tuan?” tanya Elena bingung.
Pria itu tersenyum dan mendorong kursi rodanya mendekati Elena.
“Apakah nama itu sesuatu yang penting?” Balik bertanya, pria itu melempar pandangannya ke arah langit yang dipenuhi bintang. “Lihatlah bintang-bintang itu, apakah nama penting bagi mereka? Mereka akan tetap seperti itu, terlepas apa pun orang menamai mereka.”
Tanpa sadar, Elena ikut melihat ke atas langit. Entah mengapa, ia merasakan sedikit tenang manakala menatap langit yang dipenuhi ribuan bintang, terlihat sangat damai.
“Langit malam ini begitu indah, tenang dan damai dengan hiasan bintang-bintangnya. Tapi mengapa kamu terlihat sebaliknya?”
Terdengar kembali suara pria itu membuyarkan lamunan Elena, ia segera menurunkan pandangannya dari atas langit dan menoleh pada pria asing yang sedang menatapnya.
“Sa-saya ....”
Elena menjadi gugup, ia bingung harus menjawab apa, selain pikirannya yang masih kalut, tatapan pria itu cukup mendominasi, membuat Elena tak bisa berkutik. Tampak sekali jika pria itu bisa membaca pikiran dan apa yang sedang dirasakan oleh wanita di hadapannya.
Pria itu meraih kantong yang tergantung di kuris rodanya, ia mengeluarkan sebotol air mineral, lalu menyerahkannya pada Elena.
“Minumlah, sepertinya kamu sangat kehausan.”
Elena segera mengambil botol itu lalu menenggak isinya hingga habis. Kini ia merasa lebih segar, namun kemudian ia tertegun, bagaimana laki-laki itu bisa tahu kalau dia sangat kehausan?
“Terima kasih air minumnya, Tuan,” ucap Elena tulus, pria itu terkekeh.
“Hanya sebotol kecil air mineral, tapi kamu berterima kasihnya sampai berkali-kali.”
“Benar, Tuan. Memang hanya sebotol kecil air yang sekilas tak berarti, tapi bagi orang yang sangat kehausan, jangankan sebotol, setetes saja akan sangat berarti karena akan menyelamatkan hidupnya.”
Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya mendengar ucapan Elena yang sangat sarat makna itu, diam-diam ia merasa kagum pada wanita yang tampak mengenaskan itu.
“Apa kamu mau membalas budi?” tanya pria itu tiba-tiba yang membuat Elena tertegun, namun kemudian ia tersenyum.
“Tentu Tuan, hutang budi wajib dibalas, jika tidak akan terbawa sampai mati. Dan saya bukan orang yang tidak tahu balas budi.” Elena berkata dengan tegas. Meskipun ia berasal dari desa, tapi ia selalu diajarkan akan kebaikan oleh mendiang kedua orang tuanya. Kebaikan harus dibalas dengan kebaikan juga yang setimpal.
“Bagus!” sahut pria itu, “kalau begitu kamu bisa membalasnya.”
Elena terdiam, ia memang harus membalas kebaikan tuan ini, tapi saat ini ia tidak membawa uang, jadi bagaimana ia akan membeli sebotol air mineral. Tiba-tiba tangan Elena menyentuh pergelangan tangannya dimana melingkar gelang pemberian nenek Maria.
“Bagaimana?” tanya pria itu lagi, Elena segera mengangkat wajahnya menatap pria itu.
“Baiklah, Tuan. Anda tunggu di sini sebentar, saya akan mencari kedai minuman di sekitar sini untuk membeli sebotol minuman buat Tuan.”
Elena segera berdiri, apa boleh buat, ia terpaksa harus merelakan gelang kenang-kenangan dari nenek Maria untuk membeli sebotol minuman, supaya ia tidak berhutang budi lagi.
Namun, diluar dugaan Elena, pria yang duduk di atas kursi roda itu tertawa mendengar jawaban Elena.
“Kamu pikir aku sedang kehausan sehingga membutuhkan minuman?” ucap pria itu di sela-sela tawanya. “Yeah, aku memang haus, tapi aku tidak butuh minuman.”
Elena kembali tertegun, apa maksudnya? Pria ini sepertinya sangat aneh, namun ia berusaha memberanikan diri untuk bertanya supaya semuanya menjadi jelas.
“M-maksud Anda bagaimana, Tuan? Haus tapi tidak butuh minuman?” Elena terdiam sesaat, ia memang bingung apa maksud pria asing ini. “Bukankah kalau orang haus, ia harus minum untuk menghilangkan dahaganya? Kalau orang lapar, baru makan.”
Pria itu kembali tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban polos Elena, saking kerasnya hingga ia terbatuk-batuk. Melihat hal itu, Elena refleks menepuk-nepuk punggung atas pria itu, dan mengusapnya.
“Pelan-pelan tertawanya, Tuan.”
Pria itu terdiam, tanpa Elena sadari tangan pria itu meraih tangan Elena yang masih berada di atas pundaknya. Elena tersentak, ia hendak menarik tangannya, namun tangan pria itu telah menggenggam tangannya.
Elena menjadi kikuk, karena pria itu menarik tangannya, hingga Elena berada tepat di depan pria itu.
“Bagaimana saya harus memanggilmu? Nyonya atau Nona?” tanya pria itu.
“Elena, panggil saja Elena, Tuan.”
“Baiklah, Elena. Duduklah,” pinta pria itu. Perlahan, Elena menurunkan tubuhnya, lalu berjongkok sehingga posisi mereka sejajar. Kini, posisi Elena tepat berada di hadapan pria aneh yang duduk di atas kursi rodanya.
“Elena, apa kamu masih mau membalas budi?” tanya pria itu memecah kebisuan diantara keduanya.
“Iya, Tuan.” Elena mengangguk dan menjawab dengan mantap.
“Kalau kamu mau membalas budi, tidak perlu membelikanku minuman. Karena, mendapatkan minuman bukan hal yang sulit bagiku.”
Perlahan Elena mengangkat wajahnya, ia memberanikan diri menatap pria yang juga sedang menatapnya.
“Lalu, bagaimana caranya saya membalas budi baik Anda, Tuan?”
Pria itu tidak segera menjawab, ia terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Ikutlah denganku.”
“Apa, Tuan? Ikut dengan Anda?” Elena terkesima mendengar jawaban pria itu, namun ia berpikir mungkin pria lumpuh ini membutuhkan perawat yang akan membantunya.
“Apa Anda membutuhkan orang yang akan merawat Anda, Tuan? Kalau memang begitu tidak masalah, saya akan menjadi perawat Anda, dan Anda tidak perlu membayar saya.”
Elena menjawab dengan semangat, bukankah itu lebih baik baginya dengan merawat orang sakit, daripada di rumah Raul dijadikan budak. Tidak masalah ia tidak dibayar, yang pentinga ada tempat untuk berteduh dan tidak kelaparan.
Namun Elena kembali dikejutkan dengan sikap pria yang belum dikenalnya itu. Pria itu tersenyum hangat padanya.
“Aku tidak butuh perawat, karena aku punya dokter pribadi yang merawatku. Aku juga sudah ada beberapa pelayan yang mengurusku.”
Elena menggaruk kepalanya yang tak gatal, pria ini sungguh membingungkan.
“Lalu, apa yang harus saya lakukan, Tuan?” tanya Elena dengan kebingungannya.
Pria itu kembali tersenyum, dan kali ini ia melakukan sesuatu yang membuat Elena melongo. Pria itu meraih tangan Elena, lalu mengusap-usap punggung tangan wanita itu. Sesaat berikutnya, ia mencium punggung tangan Elena.
“Menikahlah denganku, Elena.”
Elena tertegun, ia seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya. “A-apa, Tuan?”“Apa suaraku kurang jelas, Elena?” “Baik, aku ulangi. Menikahlah denganku, Elena. Aku akan memberikanmu kehidupan yang lebih baik,” ucap pria itu lagi.“Me-menikah...?” gumam Elena, ia benar-benar bingung. Bagaimana mungkin pria ini bisa mengajaknya menikah, sedangkan mereka baru saja bertemu, tidak mengenal satu sama lain? Nama pria ini saja, Elena tidak tahu. Sungguh pria yang aneh!“Bagaimana, Elena?”“Ta-tapi Tuan, kita baru saja bertemu, kita belum mengenal satu sama lain, bagaimana mungkin Anda langsung meminta saya menikah?”“Apanya yang tidak mungkin, Elena? Jika sesuatu bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit?” Diego Rodriguez berkata dengan mantap.“Tuan, bukankah pernikahan itu sesuatu yang sakral, bukan sesuatu yang bisa untuk bermain-main.”Mendengar perkataan Elena, pria aneh itu tersenyum. “Kamu benar, Elena. Terus siapa yang sedang mengajakmu bermain-main? Aku menawarkan pernikahan yan
Nyonya Victoria menatap benda yang digenggam kepala pelayannya itu. “Cincin ...?” Wanita itu bergumam sambil mengamati cicin bermatakan berlian itu, “sepertinya ini cincin Elena.”“Benar, Nyonya. Itu cincin pernikahan Elena dengan tuan muda.” Carmen menjawab dengan suara yang rendah.“Bagaimana bisa ada padamu?” tanya Nyonya Victoria heran. Dengan cepat, Carmen pun menceritakan bagaimana ia menemukan cincin itu.Bermula saat ia kembali ke kamar Elena untuk menyeretnya ke dapur, karena telah lama ditunggu-tunggu namun perempuan itu tidak juga datang, Carmen berpikir Elena sedang tidur, karenanya ia segera masuk ke dalam kamar yang tidak dikunci itu. Ternyata wanita itu tidak menemui siapa-siapa.Carmen mencari Elena ke setiap sudut kamar, namun tetap tidak menemukannya, dan tanpa sengaja ia melihat cincin itu tergeletak di meja rias Elena.“Hmm, sepertinya Elena pergi.” Nyonya Victoria menghela napas lalu menoleh pada putranya yang mulai mabuk.“Benar, Nyonya. Dan dia tidak membawa ap
Tampak sekali Mario masih ragu dan bingung dengan rencana tuannya itu, namun Diego tersenyum sebagai reaksi atas kebimbangan dari orang kepercayaannya itu.“Aku percaya, Elena pasti bisa. Asal kamu mau membimbingnya dengan sabar dan sungguh-sungguh.”Diego berkata dengan kesungguhan di wajahnya, ia juga menatap Mario dengan tatapan yang penuh keyakinan.“Baiklah, Tuan. Saya akan mengerahkan segenap kemampuan saya untuk menangani hal ini. Saya permisi, untuk segera mencatatkan pernikahan Anda dan nona Elena.”Diego mengangguk, Mario segera berbalik dan keluar dari ruangan sang bos. Hari itu kediaman Rodriguez cukup sibuk, Mia mengerahka para pelayan untuk bekerja ekstra. Sejak pagi-pagi buta kesibukan di kediaman mewah itu sudah terlihat, terutama sekali di bagian dapur. Beberapa pelayan yang biasanya mengerjakan bagian lain turut diperbantukan ke dapur.“Sebenarnya mau ada acara apa sih? Kok sibuk sekali, apa tuan akan mengadakan jamuan besar?” tanya Dona, salah seorang pelayan wanit
“Apa? Pesta? Apa maksudmu?” Wanita yang berada diujung telepon itu nampak terkejut, begitupun dengan Dona. Semula ia merasa senang, jika nyonya Emma Rodriguez kembali lagi ke kediaman ini, maka otomatis ia akan mendapatkan kekuasaan menggantikan Mia. Itulah yang dijanjikan nyonya Emma.“Ja-jadi, Anda tidak tahu, Nyonya?”“Justru aku tidak mengerti apa maksudmu, coba cerita yang jelas, Dona!” bentak wanita yang dipanggil nyonya Emma itu. Donna pun menceritakan semua yang didengar dan dilihatnya.“Oke Dona, dengar! Cepat cari informasi apa yang terjadi di sana, segera laporkan padaku, paham!”“Ba-baik Nyonya.”Setelah mematikan panggilan dengan Dona, Emma berjalan mondar mandir di balkon kamarnya. Informasi yang belum jelas itu cukup mengganggu pikirannya. Apa sebenarnya yang terjadi di kediaman Rodriguez? Si lumpuh itu mau mengadakan pesta? Pesta apa? Pesta kematiannya?“Diego-Diego. Sudah mau mati besok masih mikirin pesta.”Emma bergumam, ia nampak berpikir keras. “Lalu siapa yang d
Tanpa disadari oleh mereka, seseorang diam-diam menyelinap meninggalkan ruangan itu. Ia masuk ke tempat lain yang sepi dan menghubungi Emma.“Apa? Menikah? Jadi benar si lumpuh itu akan menikah?”“Be-benar Nyonya, pengantin wanitanya sangat cantik.”“Bodoh! Aku tidak peduli cantik atau tidak, tapi siapa perempuan yang dinikahi Diego.” Emma mendengus gusar.“Oh, namanya Elena, Nyonya. Mereka sedang bersiap untuk upacara pemberkatan.” Dona menjawab cepat.“Elena ... Hm, baiklah aku akan segera ke sana.”Usai memberikan laporan, Dona segera kembali ke tempat semula, namun barisan pelayan itu sudah bubar dan kembali ke pekerjaan masing-masing.“Kamu dari mana Dona? Jose mencarimu, kalau kamu sudah tidak sakit segera selesaikan pekerjaanmu.”“Kamu siapa memangnya ngatur-ngatur aku?” Dona menjawab ketus.“Aku bukan ngatur kamu, Dona. Tapi menyampaikan pesan Jose,” balas pelayan itu tak kalah ketus, keduanya bergegas ke ruangan dapur.Sementara itu, Elena telah tiba di area depan di mana Die
Seorang wanita melangkah mendekati Diego dan Elena. Ia mengenakan gaun malam seksi dan perhiasan mewah, berjalan dengan anggun layaknya wanita-wanita dari kalangan atas. Namun, wanita itu nampak angkuh dan arogan.Elena tertegun, siapa wanita yang sangat mendominasi itu? Elena memperhatikan dengan seksama, jika diperhatikan baik-baik, wanita itu sepertinya sangat mengenal Diego. Ia seperti sangat familiar dengan tempat itu.Diam-diam Elena melirik suaminya, Diego nampak acuh, riak wajahnya tak berubah sama sekali. Ia tetap duduk dengan tenang. Elena menghela napas, bagaimanapun ia adalah orang baru, ia belum tahu apa-apa tentang kehidupan suaminya. Jadi, ia hanya akan mengikuti dan menyimak apa pun yang terjadi.Sedangkan Diego, ia hanya melirik Mario, dan memberi kode padanya, sang asisten mengangguk perlahan. Ia paham betul, kalau mereka kedatangan tamu yang tak diundang.“Selamat, selamat atas pernikahan kalian!” Wanita itu berhenti tepat di depan pasangan pengantin, “sungguh sua
Diego menghela napas, ia memperhatikan langkah sang asisten yang menjauh. Elena terdiam di samping lelaki yang kini telah resmi menjadi suaminya, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.“Tuan, Nyonya. Saatnya makan malam.” Mia berkata sopan mengingatkan Diego dan Elena.“Kamu mau makan, sayang?”Terdengar suara Diego sambil tersenyum menatap Elena.“Sebenarnya aku belum lapar, tapi bukankah kamu juga belum makan, Diego?” Elena balik bertanya.“Hahaha, kamu benar sayang. Sekarang saatnya menikmati hidangan spesial yang telah disiapkan Jose.”Elena mengangguk, ia pun berdiri mendorong kursi roda Diego mengikuti langkah Mia menuju bagian lain di mansion mewah itu. Tempat yang disiapkan itu khusus untuk makan malam pasangan pengantin, dengan aura yang sangat romantis dan magis.Warna putih klasik yang dipadu dengan warna gold mendominasi ruangan terbuka itu dengan dekorasi bunga-bunga segar dan lampu-lampu hias. Sebuah meja bulat telah di tata sedemikian rupa, tak ketinggalan empat buah
“Nyonya, saya sudah mendapatkan informasinya.”Dona masuk sambil membawa sebuah amplop lalu menyerahkannya pada Emma. Wanita itu segera membukanya, ternyata isi amplop itu adalah salinan data-data pribadi Elena.“Hmm, Ellena Torres ... Ternyata dia bukan berasal dari kota ini.” Emma bergumam sambil mengangguk-anggukan kepalanya, seulas senyum misterius tersungging di bibirnya.“Oh, memangnya nyonya Elena berasal dari mana, Nyonya?” tanya Dona penasaran, ia sendiri tidak sempat membuka amplop yang dikirimkan seseorang tadi.“Tidak penting juga untukmu. Kamu mau tahu apa yang penting?”“I-iya Nyonya pasti, yang penting itu apa ya Nyonya?”“Dengar baik-baik, Dona. Cari informasi kapan wanita itu datang ke kediaman ini, dan bagaimana dia bertemu Diego. Kamu paham?”“Pa-paham Nyonya. Ta-tapi ....”“Tapi apa?!” potong Emma. “Hmm, pasti kamu mau minta uang, kan?!”“Hehe, Nyonya tahu aja ....”“Dasar mata duitan!” Emma segera mengambil amplop dari tasnya, dan melemparkannya pada pelayan d