Share

Bab 3. Pria Aneh

Elena menoleh ke arah sumber suara.

Seorang pria yang duduk di atas kursi roda, tersenyum ramah padanya.

Di bawah pantulan lampu kota yang terang, terlihat pantulan wajahnya yang tenang.

Pria ini terlihat lebih dewasa dari Raul, namun jejak ketampanan masih terlihat dengan jelas di wajahnya yang tenang. Tatapan matanya tegas, namun terlihat teduh. Hanya melihat sekilas, orang akan merasakan aura keagungan pria ini, meskipun ia duduk di atas kursi roda.

“Anda siapa, tuan?” tanya Elena bingung.

Pria itu tersenyum dan mendorong kursi rodanya mendekati Elena.

“Apakah nama itu sesuatu yang penting?” Balik bertanya, pria itu melempar pandangannya ke arah langit yang dipenuhi bintang. “Lihatlah bintang-bintang itu, apakah nama penting bagi mereka? Mereka akan tetap seperti itu, terlepas apa pun orang menamai mereka.”

Tanpa sadar, Elena ikut melihat ke atas langit. Entah mengapa, ia merasakan sedikit tenang manakala menatap langit yang dipenuhi ribuan bintang, terlihat sangat damai.

“Langit malam ini begitu indah, tenang dan damai dengan hiasan bintang-bintangnya. Tapi mengapa kamu terlihat sebaliknya?”

Terdengar kembali suara pria itu membuyarkan lamunan Elena, ia segera menurunkan pandangannya dari atas langit dan menoleh pada pria asing yang sedang menatapnya.

“Sa-saya ....”

Elena menjadi gugup, ia bingung harus menjawab apa, selain pikirannya yang masih kalut, tatapan pria itu cukup mendominasi, membuat Elena tak bisa berkutik. Tampak sekali jika pria itu bisa membaca pikiran dan apa yang sedang dirasakan oleh wanita di hadapannya.

Pria itu meraih kantong yang tergantung di kuris rodanya, ia mengeluarkan sebotol air mineral, lalu menyerahkannya pada Elena.

“Minumlah, sepertinya kamu sangat kehausan.”

Elena segera mengambil botol itu lalu menenggak isinya hingga habis. Kini ia merasa lebih segar, namun kemudian ia tertegun, bagaimana laki-laki itu bisa tahu kalau dia sangat kehausan?

“Terima kasih air minumnya, Tuan,” ucap Elena tulus, pria itu terkekeh.

“Hanya sebotol kecil air mineral, tapi kamu berterima kasihnya sampai berkali-kali.”

“Benar, Tuan. Memang hanya sebotol kecil air yang sekilas tak berarti, tapi bagi orang yang sangat kehausan, jangankan sebotol, setetes saja akan sangat berarti karena akan menyelamatkan hidupnya.”

Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya mendengar ucapan Elena yang sangat sarat makna itu, diam-diam ia merasa kagum pada wanita yang tampak mengenaskan itu.

“Apa kamu mau membalas budi?” tanya pria itu tiba-tiba yang membuat Elena tertegun, namun kemudian ia tersenyum.

“Tentu Tuan, hutang budi wajib dibalas, jika tidak akan terbawa sampai mati. Dan saya bukan orang yang tidak tahu balas budi.” Elena berkata dengan tegas. Meskipun ia berasal dari desa, tapi ia selalu diajarkan akan kebaikan oleh mendiang kedua orang tuanya. Kebaikan harus dibalas dengan kebaikan juga yang setimpal.

“Bagus!” sahut pria itu, “kalau begitu kamu bisa membalasnya.”

Elena terdiam, ia memang harus membalas kebaikan tuan ini, tapi saat ini ia tidak membawa uang, jadi bagaimana ia akan membeli sebotol air mineral. Tiba-tiba tangan Elena menyentuh pergelangan tangannya dimana melingkar gelang pemberian nenek Maria.

“Bagaimana?” tanya pria itu lagi, Elena segera mengangkat wajahnya menatap pria itu.

“Baiklah, Tuan. Anda tunggu di sini sebentar, saya akan mencari kedai minuman di sekitar sini untuk membeli sebotol minuman buat Tuan.”

Elena segera berdiri, apa boleh buat, ia terpaksa harus merelakan gelang kenang-kenangan dari nenek Maria untuk membeli sebotol minuman, supaya ia tidak berhutang budi lagi.

Namun, diluar dugaan Elena, pria yang duduk di atas kursi roda itu tertawa mendengar jawaban Elena.

“Kamu pikir aku sedang kehausan sehingga membutuhkan minuman?” ucap pria itu di sela-sela tawanya. “Yeah, aku memang haus, tapi aku tidak butuh minuman.”

Elena kembali tertegun, apa maksudnya? Pria ini sepertinya sangat aneh, namun ia berusaha memberanikan diri untuk bertanya supaya semuanya menjadi jelas.

“M-maksud Anda bagaimana, Tuan? Haus tapi tidak butuh minuman?”  Elena terdiam sesaat, ia memang bingung apa maksud pria asing ini. “Bukankah kalau orang haus, ia harus minum untuk menghilangkan dahaganya?  Kalau orang lapar, baru makan.”

Pria itu kembali tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban polos Elena, saking kerasnya hingga ia terbatuk-batuk. Melihat hal itu, Elena refleks menepuk-nepuk punggung atas pria itu, dan mengusapnya.

“Pelan-pelan tertawanya, Tuan.”

Pria itu terdiam, tanpa Elena sadari tangan pria itu meraih tangan Elena yang masih berada di atas pundaknya. Elena tersentak, ia hendak menarik tangannya, namun tangan pria itu telah menggenggam tangannya.

Elena menjadi kikuk, karena pria itu menarik tangannya, hingga Elena berada tepat di depan pria itu.

“Bagaimana saya harus memanggilmu? Nyonya atau Nona?” tanya pria itu.

“Elena, panggil saja Elena, Tuan.”

“Baiklah, Elena. Duduklah,” pinta pria itu. Perlahan, Elena menurunkan tubuhnya, lalu berjongkok sehingga posisi mereka sejajar. Kini, posisi Elena tepat berada di hadapan pria aneh yang duduk di atas kursi rodanya.

“Elena, apa kamu masih mau membalas budi?” tanya pria itu memecah kebisuan diantara keduanya.

“Iya, Tuan.” Elena mengangguk dan menjawab dengan mantap.

“Kalau kamu mau membalas budi, tidak perlu membelikanku minuman. Karena, mendapatkan minuman bukan hal yang sulit bagiku.”

Perlahan Elena mengangkat wajahnya, ia memberanikan diri menatap pria yang juga sedang menatapnya.

“Lalu, bagaimana caranya saya membalas budi baik Anda, Tuan?”

Pria itu tidak segera menjawab, ia terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Ikutlah denganku.”

“Apa, Tuan? Ikut dengan Anda?” Elena terkesima mendengar jawaban pria itu, namun ia berpikir mungkin pria lumpuh ini membutuhkan perawat yang akan membantunya.

“Apa Anda membutuhkan orang yang akan merawat Anda, Tuan? Kalau memang begitu tidak masalah, saya akan menjadi perawat Anda, dan Anda tidak perlu membayar saya.”

Elena menjawab dengan semangat, bukankah itu lebih baik baginya dengan merawat orang sakit, daripada di rumah Raul dijadikan budak. Tidak masalah ia tidak dibayar, yang pentinga ada tempat untuk berteduh dan tidak kelaparan.

Namun Elena kembali dikejutkan dengan sikap pria yang belum dikenalnya itu. Pria itu tersenyum hangat padanya.

“Aku tidak butuh perawat, karena aku punya dokter pribadi yang merawatku. Aku juga sudah ada beberapa pelayan yang mengurusku.”

Elena menggaruk kepalanya yang tak gatal, pria ini sungguh membingungkan.

“Lalu, apa yang harus saya lakukan, Tuan?” tanya Elena dengan kebingungannya.

Pria itu kembali tersenyum, dan kali ini ia melakukan sesuatu yang membuat Elena melongo. Pria itu meraih tangan Elena, lalu mengusap-usap punggung tangan wanita itu. Sesaat berikutnya, ia mencium punggung tangan Elena.

“Menikahlah denganku, Elena.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
kalifia
wow langsung diajak nikah. Menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status